ISTIDROJ...
Akhir-akhir ini muncul krisis kepercayaan dari sebagian masyarakat terhadap partai politik, lembaga yudikatif, eksekutif, dan para pemimpin senior. Apabila bermunculannya para pemimpin muda merupakan istidraj, tetapi mereka tidak dapat memberikan pelayanan yang memuaskan publik, akan berakibat pada terjadinya krisis kepercayaan yang berkembang ke semua lini, dan masyarakat pun akan bertambah apatis dalam menetukan pemimpin lokal dan nasional.
Seringkali juga kita mempertanyakan...mengapa mereka para pemimpin tersebut, maupun orang-orang yang berbuat zhalim, tidak adil, berbuat maksiat..malah bertambah "makmur" bebas, tidak tertimpa musibah. dan lain sebagainya.
Berikut akan kami paparkan pemberian Allah kepada manusia berupa Nikmat ataupun Istidroj....
Nikmat dan Istidroj
Ada 2 macam pemberian Allah, yang diberikan kepada manusia. Yang satu berupa Nikmat yang membawa kita kepada ketaatan kita kepada Allah, membuat kita semakin bersyukur serta mengingat kepada Allah, juga "nikmat sakit" yang membuat kita juga semakin mengingat kepada Allah betapa kita suka lupa padasaat kita sehat.
Yang kedua adalah Nikmat yang membawa kita justru jauh dan lupa kepada Allah. Dan nikmat itu dinamakan ISTIDROJ.
Semoga di dalam kehidupan dunia yang fana ini Allah SWT memberikan kepada kita karunia NIKMAT yang akan membawa kita untuk selalu mengingat dan bersyukur kepada Allah.
Berikut ada 2 jenis pemberian Allah di dunia sebagai berikut :
PEMBERIAN ALLAH SWT di Dunia
1. Nikmat
2. Istidroj
Nikmat : Karunia Allah yang diberikan kepada hamba-Nya yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, yang dicintai, disayangi & diridhoi-Nya
(QS.1. Al-Fatihah : 6-7)
“Tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat
kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula) mereka yang sesat”
(QS. 2 Al-Baqarah : 150)
“Maka janganlah kamu takut kepada mereka, dan takutlah kepada-Ku. Dan agar Aku sempurnakanlah nikmat-Ku atasmu dan supaya kamu mendapat petunjuk”
(QS. 4 An-Nisaa` : 69-70)
"Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu : para Nabi, Shiddiqin, Orang-orang yang mati Syahid dan Orang-orang yang Shalih. Dan mereka itu teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan cukuplah Allah Dzat Yang Maha Mengetahui”
Tanda - tanda Nikmat :
1. Rizki, Kekayaan, Pangkat & Jabatannya digunakan untuk berinfaq & berjihad di jalan Allah
(QS. 9. At-Taubah : 20)
“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah. Dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan”
2. Semakin bertambah derajat taat & taqwanya, maka semakin ditambah baginya nikmat karunia-Nya
(QS. 65. Ath-Thalaaq)
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan untuknya jalan keluar
(dari persoalannya), dan akan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.
Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (kebutuhan) nya”
3. Nikmat jika disyukuri,maka akan semakin ditambah. Jika dikufuri, maka akan menjadi azab
(QS. 14. Ibrahim : 7)
"Dan (ingatlah), tatkala Tuhanmu memaklumkan : “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”
4. Hamba Allah yang diberi nikmat di dunia, maka ia akan diberi nikmat pula di akhirat
(QS. 22. Al-Hajj : 56)
“Kekuasaan di hari itu ada pada Allah, Dia memberi keputusan diantara mereka. Maka orang-orang yang beriman dan beramal shalih adalah di dalam surga yang penuh kenikmatan”
(QS. 52 Ath-Thuur : 17-18)
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam surga dan kenikmatan, mereka bersuka ria dengan apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. Dan Tuhan mereka memelihara mereka dari azab neraka”
(AL-Hikam : 82)
“Barangsiapa yang dapat merasakan buahnya amal tatkala masih di dunia, maka itu tanda atas adanya diterimanya amal diakhirat nanti”
Istidroj : " Pemberian Allah yang diberikan kepada manusia yang tidak beriman, kafir, munafik, fasik, jahat, ahli maksiat, yang tidak disukai-Nya, dibenci, dilaknat & dimurkai-Nya "
Penjelasan (QS. 7. Al-A’raaf : 182-183):
Sesungguhnya Allah membukakan untuk orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah, pintu-pintu rizki dan bebagai macam penghidupan di dunia sehingga mereka terpedaya dengan segala sesuatu yang ada pada mereka, dan mereka berkeyakinan bahwa sesungguhnya mereka berada pada suatu keberuntungan, sebagaimana firman Allah dalam (QS.6. Al-An’aam : 44-45) :
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, maka Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. Maka orang-orang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”
(QS. 68 Al-Qolam : 44-45)
“Maka serahkanlah (Wahai Nabi) kepada-Ku (urusan)orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al-Quran). Nanti Kami akan menarik mereka secara berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui. Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana-Ku amat kokoh”
Rasulullah bersabda, “Apabila kamu melihat Allah memberi seorang hamba apa yang diinginkannya, padahal hamba itu selalu berbuat maksiat, maka sesungguhnya itu adalah istidraj dari Allah untuknya”. (HR. Ahmad dan Thabrani, dalam kitab as-Syu’ab).
Tanda - tanda Istidroj :
1. Rizki, Kekayaan, Pangkat & Jabatannya digunakan untuk Menghalangi Manusia dari Jalan Allah
(QS. 8 Al-Anfaal : 36)
“Sesungguhnya orang-orang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam nereka Jahannam orang-orang kafir itu dikumpulkan”
2. Rizki, Kekayaan, Pangkat & Jabatannya Adalah bagian dari Proses menuju Azab Allah
(QS. 9. At-Taubah : 55)
“Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda & anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir”
(QS. 40 Al-Mukmin : 4)
“Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir. Karena itu janganlah bolak-baliknya mereka dengan bebas dari suatu kota ke kota yang lain membuatmu terpedaya”
3. Semakin bertambah Kemaksiatan & Kekafirannya, maka semakin ditambah Kekayaan & Kesenangan Duniawinya
(Tanbihul Ghaafiliin : 93)
“Apabila kamu melihat orang yang Allah berikan apa saja yang ia sukai sedangkan ia terus-menerus di dalam kemaksiatannya, maka ketahuilah bahwa itu adalah istidroj”
(AL-Hikam : 75)
“TAKUTLAH DARI ADANYA KEBAIKAN PEMBERIAN ALLAH KEPADAMU, SEDANGKAN KAMU TERUS-MENERUS BERBUAT KEBURUKAN KEPADA-NYA, BAHWA ITU ADALAH ISTIDROJ BAGIMU, SEBAGAIMANA ALLAH BERFIRMAN, KAMI AKAN ISTIDROJ MEREKA DARI ARAH YANG MEREKA TIDAK KETAHUI”
4. Orang yang diistidroj di dunia, maka di akhirat bagiannya hanya Siksa yang Abadi
(QS. 3 Ali Imran : 10)
“Sesungguhnya orang-orang kafir itu, harta benda dan anak-anak mereka, sedikitpun tidak dapat menolak (siksa) Allah dari mereka. Dan mereka itu adalah bahan bakar api neraka”
(QS. 10 Yunus : 4)
“Dan untuk orang-orang kafir disediakan minuman air yang sangat panas dan azab yang pedih disebabkan kekafiran mereka”
(QS. 2 Al-Baqarah : 217)
“Barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat. Dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal abadi di dalamnya”
" SUKSES YANG HAKIKI HANYA DAPAT KITA RAIH DENGAN MEMADUKAN ANTARA MAKSIMALNYA USAHA DAN SEMPURNANYA TAAT KEPADA ALLAH DENGAN SELURUH KETENTUAN HUKUM DAN SYARIATNYA "
(QS. 7. Al-A`raaf : 96)
“Sesungguhnya jikalau penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi”
Wallahu a'lam Bis showab
Senin, 27 Desember 2010
Rabu, 15 Desember 2010
WANITA KARIER DILIHAT DARI PERSEPSI HUKUM ISLAM BAGIAN 2
Tujuan dari Berdiamnya Wanita di Rumah
1. Aman dari fitnah
Islam telah menunjuki kaum wanita agar tetap tinggal di rumahnya; tidak keluar darinya, kecuali jika ada kebutuhan. Hal ini dilakukan guna menjaganya dari perbuatan sia-sia dan melindunginya dari pandangan mata orang asing (bukan mahram) yang melihatnya. Serta, agar dirinya terpelihara dan kehormatannya terlindungi.
Ketika Allah Yang Mahabijaksana menganjurkan kaum wanita agar mengerjakan ibadah di rumahnya saja, maka sudah tentu `tidak keluar rumah' untuk perkara lainnya selain ibadah adalah lebih utama lagi. Sebab, pada saat itu tidak ada keperluan ataupun maslahat yang diperoleh dari keluar rumah1.
Oleh sebab itu, `Aisyah RA pernah berkata: "Andaikata Rasulullah SAW melihat apa yang diperbuat para wanita sekarang, niscaya beliau akan melarang mereka pergi ke masjid; sebagai¬mana para wanita Bani Israil dilarang pergi ke Masjid."2
Dari perkataan `Aisyah ini, kita mendapati bahwa `Aisyah menerangkan sebab pelarangan ini, yaitu karena fitnah-fitnah yang ditimbulkan oleh para wanita.
2. Dapat menunaikan hak suami
Seorang isteri wajib menaati suaminya dan mengurus rumahnya. Seorang isteri tidak boleh keluar dari rumah kecuali dengan izin dari suaminya. Namun, tidak boleh keluar dari rumah itu jangan sampai bertentangan dengan kewajiban mengurus rumah.
Rasulullah SAW bersabda:
"Apabila seorang wanita telah mengerjakan shalat lima waktu, berpuasa pada bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya, serta mentaati suaminya, maka akan dikatakan kepadanya: `Masuklah engkau ke dalam Surga dari pintu mana pun yang engkau dikehendaki.”3
Dari Ibnu `Umar bahwasanya dia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:
"Tiap-tiap kalian adalah pemimpin, dan masing–masing dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban tentang ke-pemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Seorang suami adalah pemimpin bagi keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Seorang isteri adalah pemimpin di rumah suaminya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Seorang pembantu adalah pemimpin atas harta majikannya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban awaban tentang kepemimpinannya."
Ibnu 'Umar berkata: "Aku mengira, beliau juga bersabda: `Seorang anak adalah pemimpin atas harta ayahnya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang ia pimpin. Dan, sesungguhnya masing-masing kalian adalah pemimpin, dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya."4
Kesimpulannya, para wanita harus berdiam di rumahnya demi menjaga hak suami dan melindungi diri sendiri, serta menghindari terjadinya prasangka-prasangka buruk terhadap mereka, yang dapat menimbulkan kecurigaan pada diri suami atau diri orang lain5.
3. Dapat mengurus rumah dan anak-anak
Isteri memiliki peran yang sangat penting dalam mem-perbaiki penataan rumah, pembeliharaannya, juga per-lindungan terhadapnya, berikut semua barang dan orang yang ada di dalamnya. Rasulullah SAW telah menerangkan hal tersebut dengan sabdanya:
"Tiap-tiap kalian adalah pemimpin, dan masing-masing dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya Seorang isteri adalah pemimpin di rumah suaminya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya."6.
Kepemimpinan seorang isteri tentunya dilaksanakan dengan mentaati segala perintah suami, serta dengan menjaga harta dan anak-anaknya. Inilah fitrah wanita yang telah Allah tetapkan baginya.
Demi menggapai kepemimpinan yang paling afdhal, seorang isteri harus tetap tinggal di rumahnya agar dapat memperhatikan keadaan anak-anaknya dan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan mereka, karena yang demikian itu tidak mungkin bisa dilakukan oleh orang lain selain seorang ibu. Hal ini tampak jelas dalam hadits di atas.
Aturan-aturan bagi Wanita yang Keluar Rumah.
1. Mendapatkan izin dari walinya
Wali adalah kerabat seorang wanita, baik dari sisi nasabiyah (garis keturunan), sababiyah (karena adanya tali pernikahan), ulul arbam (kerabat jauh), orang yang diserahi perwalian, maupun seorang pemimpin (wali hakim).
2. Berpakaian secara syar'i
Syarat-syarat pakaian syar'i (bagi wanita) adalah sebagai berikut7
a. Menutup seluruh tubuh selain bagian yang dikecualikan8.
Dasarnya adalah firman Allah :
"Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya clan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak rnempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan, janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan, bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung," (QS. An-Nuur: 31)
Juga, firman Allah SWT :"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang Mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.' Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan, Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Ahzaab: 59)
b. Pakaian itu sendiri bukan pakaian perhiasan Syarat yang kedua ini diambil dari firman Allah SWT :
"Dan, hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang ahiliyyah yang dahulu ...." (QS. Al-Ahzaab: 33)
c. Tebal, tidak membuat warna kulit di bawahnya kelihatan (transparan)
Karena, sesuatu (pakaian) tidak bisa dikatakan sebagai penutup kecuali ia tebal dan tidak membuat warna kulit di bawahnya kelihatan. Adapun pakaian yang tipis, maka ia hanya akan menambah fitnah dan semakin menghiasi seorang wanita di mata laki-laki. Mengenai hal ini, Rasulullah SAW bersabda:
"Ada dua golongan dari penduduk Neraka yang belum pernah aku lihat: (1) suatu kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi yang mereka gunakan untuk memukul manusia; dan (2) wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak¬lenggok menarik perhatiap., kepala mereka bergoyang-goyang seperti punuk unta yang bergoyang-goyang. Mereka tidak akan masuk Surga dan tidak akan mencium aromanya. Sesungguhnya aroma Surga itu dapat tercium dari jarak sekian dan sekian.”9
d. Pakaian tersebut harus longgar
Hendaklah pakaian tersebut tidak sempit dan ketat sehingga mencetak lekuk tubuhnya. Sebab, tujuan mengenakan pakaian adalah untuk menghindari fitnah. Dan, tujuan ini tidak bisa dicapai melainkan dengan pakaian yang longgar dan luas (tidak ketat).
Usamah bin Zaid bercerita: "Rasulullah memberiku pakaian Qibti yang tebal. Pakaian itu adalah hadiah yang diberikan Dihyah al-Kalbi kepada beliau. Kemudian, aku memberikan pakaian tersebut kepada isteriku. Lalu, Rasulullah menanyaiku: `Mengapa kamu tidak memakai pakaian Qibti itu?' Aku menjawab: `Wahai Rasulullah, pakaian itu telah kuberikan kepada isteriku.' Kemudian, beliau berkata kepadaku:
Perintahkanlah kepada isterimu agar memakai pakaian dalam di bawah baju itu. Sesungguhnya aku khawatir baju itu dapat mencetak bentuk tubuhnya.'10 Yakni, membentuk lekukan tubuhnya.
Dari Abu Musa al-Asy'ari RA, dia berkata bahwa Rasulullah bersabda:
"Wanita mana saja yang memakai minyak wangi, lalu ia pergi melewati suatu kaum agar mereka mencium aromanya, maka ia adalah wanita pezina."11
3. Aman dari fitnah
Yang dimaksud aman dari fitnah adalah, hendaklah agama, kehormatan, dan kesucian diri seorang wanita terlindungi ketika ia keluar rumah hingga kembali lagi ke rumah. Untuk merealisasikan tujuan ini, Islam memerintahkan perkara-perkara berikut ini.
a. Tidak boleh ber-khalwat
Khalwat ialah seorang wanita berdua-duaan dengan seorang laki-laki asing (bukan mahram) tanpa disertai mahramnya12. Rasulullah SAW melarang kita berkhalwat dengan seorang wanita dalam sabdanya:
"Seorang laki-laki tidak boleh berduaan dengan seorang wanita, kecuali jika disertai mahramnya."13
Dan, sabda Nabi SAW:
"Janganlah kalian masuk menemui wanita (tanpa mahram)14.
Lalu, seorang laki-laki Anshar bertanya: "Apa pendapat engkau jika laki-laki itu adalah ipar14 si wanita?" Beliau men-jawab:
"Ipar adalah maut (yakni, ipar wanita yang bertemu dengannya secara berduaan bahayanya seperti kematian)."15
b. Menghindari ikhtilath (pembauran antara laki-laki dan perempuan)
Ikhtilath adalah berkumpulnya para laki-laki dengan wanita-wanita yang bukan mahram yang dapat menyebabkan timbulnya fitnah, baik perkumpulan itu terjadi di tempat khusus maupun umum.16
Namun, ikhtilath yang saya maksud di sini bukanlah berkumpulnya kaum wanita dan kaum laki-laki pada suatu tempat yang masing-masing dan keduanya berada di posisi terpisah, antara yang satu dengan yang lainnya (kaum laki-laki di satu sisi dan kaum wanita di sisi yang lain). Karena, perkumpulan seperti ini pernah terjadi pada masa Rasulullah yaitu shalatnya kaum wanita di belakang kaum laki-laki.
Hukum ikhtilath (yang tanpa hijab/pembatas) adalah haram. Sebab, ikhtilath dapat mendatangkan fitnah. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri , dia berkata bahwa seorang wanita menemui Rasulullah SAW seraya berkata:
"Wahai Rasulullah, kaum laki-laki telah pergi dengan membawa hadits darimu. Maka, luangkanlah satu hari untuk kami (kaum wanita) agar kami dapat menemuimu pada hari itu dan engkau mengajarkan kepada kami apa-apa yang telah diajarkan Allah kepadamu." Beliau bersabda:
"Berkumpullah kalian pada hari ini dan ini, di tempat ini dan ini.”
Setelah itu, para wanita pun berkumpul di tempat (yang dijanjikan) tersebut. Rasulullah lantas menemui mereka, lalu mengajari mereka segala hal yang telah diajarkan Allah kepada beliau.17
Hadits ini menunjukkan tidak boleh melakukan ikhtilath. Seandainya dibolehkan, tentulah kaum wanita akan duduk (berdempet-dempetan) bersama kaum pria di majelis Rasulullah untuk menuntut ilmu, dan tentulah beliau tidak akan mengkhususkan hari tertentu untuk mereka.
c. Tidak memperlembut tutur kata ketika berbicara, serta menundukkan pandangan dan berjalan dengan sewajarnya (tidak melenggak-lenggok)
Seorang wanita tidak halal memperlembut bicaranya dan memperhalus suaranya ketika berbicara kepada kaum laki-laki, sehingga hati-hati mereka tertarik karenanya. Dasarnya adalah firman Allah SWT:
"... maka janganlah kamu menghaluskan suara dalam berbicara, sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik." (QS. Al-Ahzaab: 32)
Wanita juga diperintahkan untuk menundukkan pandangan-nya, sebagaimana firman Allah SWT:
"Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya (QS. An-Nuur: 31)
Sebagaimana mereka juga diperintahkan untuk berjalan dengan sewajarnya, sesuai dengan firman Allah SWT:
"... dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan ...." (QS. An-Nuur: 31)
4. Adanya mahram ketika melakukan safar
Pengertian mahram
Menurut bahasa, seseorang disebut sebagai mahram bagi seorang wanita apabila orang itu tidak halal menikahi wanita tersebut18.
Adapun menurut istilah, mahram adalah suami dan laki-laki yang diharamkan menikahi wanita tersebut selama-lamanya. Ketetapan ini berlaku baik hubungan antara laki-laki tersebut dengan si wanita disebabkan karena ikatan nasab (keturunan), seperti ayah dan anak laki-laki; ikatan perkawinan, seperti suami dari anak perempuan dan anak laki-laki suami; maupun sebab persusuan, seperti anak yang disusui atau saudara laki-laki sepersusuan.19
Nabi SAW bersabda:
"Persusuan mengharamkan apa-apa yang diharamkan karena nasab."20
Insya Allah masih bersambung ke Penutup, serta profesi-profesi yang dibolehkan secara syariah, dan profesi-profesi yang dilarang dalam fiqh Islam (setelah diringkas dari kesepakatan jumhur ulama berdasarkan pendapat yang rajih/lebih kuat menurut pandangan Penulis kitab ini).
Wallahua’lam.
Catatan Kaki :
1. Qaraqi', Ahkaam Qaraaril Mar-ah fii Baitiha wa Khuruujiha minhu fil Filqh al-Islaami (hlm. 33).
2. HR. Al-Bukhari dalam Shahiih-nya (no. 869), Kitab "al-Adzaan", Bab "Intizhaarun Naas Qiyaamal Imaam al-‘Aalim"; Muslim dalam. Shahiih-nya (no. 445), Kitab "ash-Shalaah", Bab "Khuruujun Nisaa' ilal Masaajid idza lam Yatarattab `alaihi Fitnah wa annaha laa Takhruju Muthayyabah", dari Aisyah RA
3. " HR. Ibnu Hibban dalam Shahiih-nya (no. 4163—al-Ihsaan); ath-Thabrani dalam al-Ausath (no. 4598), dari Abu Hurairah RA dengan sanad shahih. Lihat 'Abdul 'Azhim bin 'Abdul Qawi al-Mundziri Abu Muhammad, at-Targhiib wat Tarhiib minal Hadiits asy-Syariif (III/33/2970), cetakan pertama, dengan tahqiq Ibrahim Syamsuddin, terbitan Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, tahun 1417 H.
4. Al-Bukhari (no. 893), Kitab "al-Jumu'ah':, Bab "al-Jumu'ah fil Quraa wal Mudun"; Muslim dalam Shahiih-nya (no. 1829), Kitab "al-Imaarah", Bab "Fadhiilatul Imaam al’Aadil wa `Uquubatul Jaa-ir wal Hatstsu `alar Rifqi bir Ra'iyyah wan Nahyu Masyaqqah `alaihim", dari `Abdullah bin `Umar RA.
5. Qaraqi', Ahkaam Qaraaril Mar-ah fii Baitiha wa Khuruujiha minhu fil Fiqh al-Islaami (hlm. 35).
6. Takhrij-nya telah disebutkan.
7. Lihat Muhammad Nashiruddin al-Albani, Jilbaabul Mar-ah al-Muslimah (him. 39), terbitan Maktabah Dandis, 'Amman, tahun 1423 H.
8. Maksudnya, wajah dan kedua telapak tangan, berdasarkan perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Namun, di sini bukan tempat untuk membahasnya.
9. Muslim dalam Shahiih-nya (no. 2128), Kitab "al-Libaas waz Ziinah", Bab "an-Nisaa¬ul Kaasiyaat al-`Aariyaatul Maa-ilaat al-Mumiilaat", dari Abu Hurairah . Abu `Ubaidah berkata: "Hadits ini mengisyaratkan bahwa kezhaliman dari pemerintah dan kerusakan akhlak saling mengiringi, antara satu dengan yang lainnya. Keduanya bagaikan dua mata koin yang tak terpisahkan! Ketika akhlak manusia rusak, Allah mengirimkan berbagai macam adzab melalui tangan-tangan orang yang berbuat buruk kepada mereka, baik secara materi maupun maknawi. Oleh karena itu, periksalah dan carilah kesalahan; niscaya kamu akan menemukannya, lalu minta ampunlah kepada Allah!"
10. HR. Ahmad dalam al-Musnad (V/205, no. 21786); al-Bazzar dalam Musnad-nya (VII/30, no. 2579); ath-Thabrani (Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Abul Qasim), al-Mu Jamul Kabiir (no. 376), cetakan kedua, dengan tahqiq Hamidi bin 'Abdul Majid as-Salafi, terbitan Maktabah al-Uluum wa al-Hikam, al-Mushil, tahun 1404 H/1983 M; al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubraa (XXI/234); Ibnu Sa'ad (Muhammad bin Sa'ad bin Mani' Abu `Abdullah al-Bashri az-Zuhri), ath-Tbabaqaatul Kubraa (IV/64-65), terbitan Daar Shaadir, Beirut, dari Usamah bin Zaid dengan sanad hasan.
11. HR. Ahmad dalam al-Musnad (IV/414, no. 19711); `Abd bin Humaid dalam Musnad¬nya (no. 557 —al-Muntakhab); Abu Dawud dalam as-Sunan (no. 4173), Kitab "at-Tarajjul", Bab "Maa Jaa-a fil Mar-ah Tatathayyabu lil Khuruuj"; at-Tirmidzi dalam as-Sunan (no. 2786), Kitab "al-Adab", Bab "Maa Jaa-a fii Karaahiyati Khuruujil Mar-ah Muta'aththirah"; an-Nasa-i (Ahmad bin Syu'aib Abu `Abdurrahman an-Nasa-i), al-Multabaa minas Sunan, cetakan kedua, dengan tahqiq 'Abdul Fattah Abu Ghuddah, terbitan Maktabah al-Mathbuu'aat al-Islaamiah, Halab, tahun 1406 H/1986 M (no. 5126—al-Mujtabaa), Kitab "az-Ziinah", Bab "Maa Yukrahu lin Nisaa' minath Thiib"; ad-Darimi dalam as-Sunan (11/362, no. 2646); Ibnu Khuzaimah dalam Shahiih-nya (no. 1681); Ibnu Hibban dalam Shahiih-nya (no. 4424—alihsaan); al-Hakim dalam al-Mustadrak (II/430); al-Baihaqi dalam as-Sunan (III/246), dari Abu Musa al-Asy'ari dan `Abdullah bin Qais dengan sanad shahih. Muthayyabatan", dari Zainab ats-Tsagafiyyah; an-Nasa-i (no. 5134—al-Mujtabaa), Kitab "az-Ziinah", Bab "an-Nahyu lil Mar-ah an Tasyhadash Shalaah idzaa Ashaabatil Bukhuur".
12. Dr. Abu Yahya berkata: "Khalwat ialah seorang wanita berduaan dengan seorang atau beberapa orang laki-laki asing tanpa disertai mahramnya". Lihat Dr. Muhammad Hasan Abu Yahya, Ahammu Qadhaayal Manah al-Mustimah (hlm. 105), cetakan ketiga, terbitan Maktabah ar-Risaalah, 'Amman, tahun 1411 H.
13. Al-Bukhari dalam Shahiib-nya (no. 5233), Kitab "an-Nikaah", Bab "Las Yakhluwanna Rajulun bi Imra-atin illaa Dzuu Mahramin"; Muslim dalam Shahiih-nya (no. 1341), Kitab "al-Hajj", Bab "Safarul Mar-ah ma'a Mahramin iIal Hajji wa Ghairihi".
14. Hamu artinya kerabat suami, misalnya saudara kandung dan paman. Lihat Ahmad bin Muhammad bin 'Ali al-Magri al-Fayumi ar-Rafi'i, al-Mishbaahui Muniir (I/210), terbitan Daar al-Qalam, Beirut.
15. HR. A1-Bukhari dalam Shahiih-nya (no. 5232), Kitab "an-Nikaah", Bab "Laa Yakhluwanna Rajulun bi Imra-atin illaa Dzuu Mahramin"; Muslim dalam Shahiih-nya (no. 2172), Kitab "as-Salaam", Bab "Tahriimul Khalwah bit Ajnabiyyah wad Dukhuul alaihaa".
16. Abu Yahya. Ahammu Qadhayal Mar-ah al Muslimah
17. Al-Bukhari dalam Shahiih-nya (no. 7310), Kitab "al-I'tishaam bil Kitaab was Sunnah", Bab "Ta'liimun Nabi Umatahu minar Rijaal wan Nisaa' mimmaa 'Allamahullaah laisa bi Ra'yin walaa bi Tamtsiilin", Fat-hul Baari (XV/9087); Muslim dalam Shahiih¬nya dengan syarah an-Nawawi (VIII/230-231, no. 2633), Kitab "al-Birr wash Shilah wal Adab", Bab "Fadhlu Man Yamuutu lahu Waladun fa Yahtasibuhu".
18. " Ar-Razi, Mukhtaarush Shihaah (hlm. 56).
19. " Qaraqi', A hkaam Qamard Mar-ah fii Baitihaa wa Khurujihaa minim fil Fiqh al-Islaami (hlm. 212).
20. " HR. Al-Bukhari (no. 2645), Kitab "asy-Syahaadaat", Bab "asy-Syahaadah 'alai Ansaab"; Muslim (no. 1447), Kitab "ar-Radhaa'", Bab "Tahriim Ibnatil Akh minar Radhaa'ah", dari Ibnu 'Abbas
1. Aman dari fitnah
Islam telah menunjuki kaum wanita agar tetap tinggal di rumahnya; tidak keluar darinya, kecuali jika ada kebutuhan. Hal ini dilakukan guna menjaganya dari perbuatan sia-sia dan melindunginya dari pandangan mata orang asing (bukan mahram) yang melihatnya. Serta, agar dirinya terpelihara dan kehormatannya terlindungi.
Ketika Allah Yang Mahabijaksana menganjurkan kaum wanita agar mengerjakan ibadah di rumahnya saja, maka sudah tentu `tidak keluar rumah' untuk perkara lainnya selain ibadah adalah lebih utama lagi. Sebab, pada saat itu tidak ada keperluan ataupun maslahat yang diperoleh dari keluar rumah1.
Oleh sebab itu, `Aisyah RA pernah berkata: "Andaikata Rasulullah SAW melihat apa yang diperbuat para wanita sekarang, niscaya beliau akan melarang mereka pergi ke masjid; sebagai¬mana para wanita Bani Israil dilarang pergi ke Masjid."2
Dari perkataan `Aisyah ini, kita mendapati bahwa `Aisyah menerangkan sebab pelarangan ini, yaitu karena fitnah-fitnah yang ditimbulkan oleh para wanita.
2. Dapat menunaikan hak suami
Seorang isteri wajib menaati suaminya dan mengurus rumahnya. Seorang isteri tidak boleh keluar dari rumah kecuali dengan izin dari suaminya. Namun, tidak boleh keluar dari rumah itu jangan sampai bertentangan dengan kewajiban mengurus rumah.
Rasulullah SAW bersabda:
"Apabila seorang wanita telah mengerjakan shalat lima waktu, berpuasa pada bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya, serta mentaati suaminya, maka akan dikatakan kepadanya: `Masuklah engkau ke dalam Surga dari pintu mana pun yang engkau dikehendaki.”3
Dari Ibnu `Umar bahwasanya dia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:
"Tiap-tiap kalian adalah pemimpin, dan masing–masing dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban tentang ke-pemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Seorang suami adalah pemimpin bagi keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Seorang isteri adalah pemimpin di rumah suaminya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Seorang pembantu adalah pemimpin atas harta majikannya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban awaban tentang kepemimpinannya."
Ibnu 'Umar berkata: "Aku mengira, beliau juga bersabda: `Seorang anak adalah pemimpin atas harta ayahnya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang ia pimpin. Dan, sesungguhnya masing-masing kalian adalah pemimpin, dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya."4
Kesimpulannya, para wanita harus berdiam di rumahnya demi menjaga hak suami dan melindungi diri sendiri, serta menghindari terjadinya prasangka-prasangka buruk terhadap mereka, yang dapat menimbulkan kecurigaan pada diri suami atau diri orang lain5.
3. Dapat mengurus rumah dan anak-anak
Isteri memiliki peran yang sangat penting dalam mem-perbaiki penataan rumah, pembeliharaannya, juga per-lindungan terhadapnya, berikut semua barang dan orang yang ada di dalamnya. Rasulullah SAW telah menerangkan hal tersebut dengan sabdanya:
"Tiap-tiap kalian adalah pemimpin, dan masing-masing dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya Seorang isteri adalah pemimpin di rumah suaminya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya."6.
Kepemimpinan seorang isteri tentunya dilaksanakan dengan mentaati segala perintah suami, serta dengan menjaga harta dan anak-anaknya. Inilah fitrah wanita yang telah Allah tetapkan baginya.
Demi menggapai kepemimpinan yang paling afdhal, seorang isteri harus tetap tinggal di rumahnya agar dapat memperhatikan keadaan anak-anaknya dan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan mereka, karena yang demikian itu tidak mungkin bisa dilakukan oleh orang lain selain seorang ibu. Hal ini tampak jelas dalam hadits di atas.
Aturan-aturan bagi Wanita yang Keluar Rumah.
1. Mendapatkan izin dari walinya
Wali adalah kerabat seorang wanita, baik dari sisi nasabiyah (garis keturunan), sababiyah (karena adanya tali pernikahan), ulul arbam (kerabat jauh), orang yang diserahi perwalian, maupun seorang pemimpin (wali hakim).
2. Berpakaian secara syar'i
Syarat-syarat pakaian syar'i (bagi wanita) adalah sebagai berikut7
a. Menutup seluruh tubuh selain bagian yang dikecualikan8.
Dasarnya adalah firman Allah :
"Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya clan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak rnempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan, janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan, bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung," (QS. An-Nuur: 31)
Juga, firman Allah SWT :"Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang Mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.' Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan, Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Ahzaab: 59)
b. Pakaian itu sendiri bukan pakaian perhiasan Syarat yang kedua ini diambil dari firman Allah SWT :
"Dan, hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang ahiliyyah yang dahulu ...." (QS. Al-Ahzaab: 33)
c. Tebal, tidak membuat warna kulit di bawahnya kelihatan (transparan)
Karena, sesuatu (pakaian) tidak bisa dikatakan sebagai penutup kecuali ia tebal dan tidak membuat warna kulit di bawahnya kelihatan. Adapun pakaian yang tipis, maka ia hanya akan menambah fitnah dan semakin menghiasi seorang wanita di mata laki-laki. Mengenai hal ini, Rasulullah SAW bersabda:
"Ada dua golongan dari penduduk Neraka yang belum pernah aku lihat: (1) suatu kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi yang mereka gunakan untuk memukul manusia; dan (2) wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak¬lenggok menarik perhatiap., kepala mereka bergoyang-goyang seperti punuk unta yang bergoyang-goyang. Mereka tidak akan masuk Surga dan tidak akan mencium aromanya. Sesungguhnya aroma Surga itu dapat tercium dari jarak sekian dan sekian.”9
d. Pakaian tersebut harus longgar
Hendaklah pakaian tersebut tidak sempit dan ketat sehingga mencetak lekuk tubuhnya. Sebab, tujuan mengenakan pakaian adalah untuk menghindari fitnah. Dan, tujuan ini tidak bisa dicapai melainkan dengan pakaian yang longgar dan luas (tidak ketat).
Usamah bin Zaid bercerita: "Rasulullah memberiku pakaian Qibti yang tebal. Pakaian itu adalah hadiah yang diberikan Dihyah al-Kalbi kepada beliau. Kemudian, aku memberikan pakaian tersebut kepada isteriku. Lalu, Rasulullah menanyaiku: `Mengapa kamu tidak memakai pakaian Qibti itu?' Aku menjawab: `Wahai Rasulullah, pakaian itu telah kuberikan kepada isteriku.' Kemudian, beliau berkata kepadaku:
Perintahkanlah kepada isterimu agar memakai pakaian dalam di bawah baju itu. Sesungguhnya aku khawatir baju itu dapat mencetak bentuk tubuhnya.'10 Yakni, membentuk lekukan tubuhnya.
Dari Abu Musa al-Asy'ari RA, dia berkata bahwa Rasulullah bersabda:
"Wanita mana saja yang memakai minyak wangi, lalu ia pergi melewati suatu kaum agar mereka mencium aromanya, maka ia adalah wanita pezina."11
3. Aman dari fitnah
Yang dimaksud aman dari fitnah adalah, hendaklah agama, kehormatan, dan kesucian diri seorang wanita terlindungi ketika ia keluar rumah hingga kembali lagi ke rumah. Untuk merealisasikan tujuan ini, Islam memerintahkan perkara-perkara berikut ini.
a. Tidak boleh ber-khalwat
Khalwat ialah seorang wanita berdua-duaan dengan seorang laki-laki asing (bukan mahram) tanpa disertai mahramnya12. Rasulullah SAW melarang kita berkhalwat dengan seorang wanita dalam sabdanya:
"Seorang laki-laki tidak boleh berduaan dengan seorang wanita, kecuali jika disertai mahramnya."13
Dan, sabda Nabi SAW:
"Janganlah kalian masuk menemui wanita (tanpa mahram)14.
Lalu, seorang laki-laki Anshar bertanya: "Apa pendapat engkau jika laki-laki itu adalah ipar14 si wanita?" Beliau men-jawab:
"Ipar adalah maut (yakni, ipar wanita yang bertemu dengannya secara berduaan bahayanya seperti kematian)."15
b. Menghindari ikhtilath (pembauran antara laki-laki dan perempuan)
Ikhtilath adalah berkumpulnya para laki-laki dengan wanita-wanita yang bukan mahram yang dapat menyebabkan timbulnya fitnah, baik perkumpulan itu terjadi di tempat khusus maupun umum.16
Namun, ikhtilath yang saya maksud di sini bukanlah berkumpulnya kaum wanita dan kaum laki-laki pada suatu tempat yang masing-masing dan keduanya berada di posisi terpisah, antara yang satu dengan yang lainnya (kaum laki-laki di satu sisi dan kaum wanita di sisi yang lain). Karena, perkumpulan seperti ini pernah terjadi pada masa Rasulullah yaitu shalatnya kaum wanita di belakang kaum laki-laki.
Hukum ikhtilath (yang tanpa hijab/pembatas) adalah haram. Sebab, ikhtilath dapat mendatangkan fitnah. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri , dia berkata bahwa seorang wanita menemui Rasulullah SAW seraya berkata:
"Wahai Rasulullah, kaum laki-laki telah pergi dengan membawa hadits darimu. Maka, luangkanlah satu hari untuk kami (kaum wanita) agar kami dapat menemuimu pada hari itu dan engkau mengajarkan kepada kami apa-apa yang telah diajarkan Allah kepadamu." Beliau bersabda:
"Berkumpullah kalian pada hari ini dan ini, di tempat ini dan ini.”
Setelah itu, para wanita pun berkumpul di tempat (yang dijanjikan) tersebut. Rasulullah lantas menemui mereka, lalu mengajari mereka segala hal yang telah diajarkan Allah kepada beliau.17
Hadits ini menunjukkan tidak boleh melakukan ikhtilath. Seandainya dibolehkan, tentulah kaum wanita akan duduk (berdempet-dempetan) bersama kaum pria di majelis Rasulullah untuk menuntut ilmu, dan tentulah beliau tidak akan mengkhususkan hari tertentu untuk mereka.
c. Tidak memperlembut tutur kata ketika berbicara, serta menundukkan pandangan dan berjalan dengan sewajarnya (tidak melenggak-lenggok)
Seorang wanita tidak halal memperlembut bicaranya dan memperhalus suaranya ketika berbicara kepada kaum laki-laki, sehingga hati-hati mereka tertarik karenanya. Dasarnya adalah firman Allah SWT:
"... maka janganlah kamu menghaluskan suara dalam berbicara, sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik." (QS. Al-Ahzaab: 32)
Wanita juga diperintahkan untuk menundukkan pandangan-nya, sebagaimana firman Allah SWT:
"Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya (QS. An-Nuur: 31)
Sebagaimana mereka juga diperintahkan untuk berjalan dengan sewajarnya, sesuai dengan firman Allah SWT:
"... dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan ...." (QS. An-Nuur: 31)
4. Adanya mahram ketika melakukan safar
Pengertian mahram
Menurut bahasa, seseorang disebut sebagai mahram bagi seorang wanita apabila orang itu tidak halal menikahi wanita tersebut18.
Adapun menurut istilah, mahram adalah suami dan laki-laki yang diharamkan menikahi wanita tersebut selama-lamanya. Ketetapan ini berlaku baik hubungan antara laki-laki tersebut dengan si wanita disebabkan karena ikatan nasab (keturunan), seperti ayah dan anak laki-laki; ikatan perkawinan, seperti suami dari anak perempuan dan anak laki-laki suami; maupun sebab persusuan, seperti anak yang disusui atau saudara laki-laki sepersusuan.19
Nabi SAW bersabda:
"Persusuan mengharamkan apa-apa yang diharamkan karena nasab."20
Insya Allah masih bersambung ke Penutup, serta profesi-profesi yang dibolehkan secara syariah, dan profesi-profesi yang dilarang dalam fiqh Islam (setelah diringkas dari kesepakatan jumhur ulama berdasarkan pendapat yang rajih/lebih kuat menurut pandangan Penulis kitab ini).
Wallahua’lam.
Catatan Kaki :
1. Qaraqi', Ahkaam Qaraaril Mar-ah fii Baitiha wa Khuruujiha minhu fil Filqh al-Islaami (hlm. 33).
2. HR. Al-Bukhari dalam Shahiih-nya (no. 869), Kitab "al-Adzaan", Bab "Intizhaarun Naas Qiyaamal Imaam al-‘Aalim"; Muslim dalam. Shahiih-nya (no. 445), Kitab "ash-Shalaah", Bab "Khuruujun Nisaa' ilal Masaajid idza lam Yatarattab `alaihi Fitnah wa annaha laa Takhruju Muthayyabah", dari Aisyah RA
3. " HR. Ibnu Hibban dalam Shahiih-nya (no. 4163—al-Ihsaan); ath-Thabrani dalam al-Ausath (no. 4598), dari Abu Hurairah RA dengan sanad shahih. Lihat 'Abdul 'Azhim bin 'Abdul Qawi al-Mundziri Abu Muhammad, at-Targhiib wat Tarhiib minal Hadiits asy-Syariif (III/33/2970), cetakan pertama, dengan tahqiq Ibrahim Syamsuddin, terbitan Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, tahun 1417 H.
4. Al-Bukhari (no. 893), Kitab "al-Jumu'ah':, Bab "al-Jumu'ah fil Quraa wal Mudun"; Muslim dalam Shahiih-nya (no. 1829), Kitab "al-Imaarah", Bab "Fadhiilatul Imaam al’Aadil wa `Uquubatul Jaa-ir wal Hatstsu `alar Rifqi bir Ra'iyyah wan Nahyu Masyaqqah `alaihim", dari `Abdullah bin `Umar RA.
5. Qaraqi', Ahkaam Qaraaril Mar-ah fii Baitiha wa Khuruujiha minhu fil Fiqh al-Islaami (hlm. 35).
6. Takhrij-nya telah disebutkan.
7. Lihat Muhammad Nashiruddin al-Albani, Jilbaabul Mar-ah al-Muslimah (him. 39), terbitan Maktabah Dandis, 'Amman, tahun 1423 H.
8. Maksudnya, wajah dan kedua telapak tangan, berdasarkan perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Namun, di sini bukan tempat untuk membahasnya.
9. Muslim dalam Shahiih-nya (no. 2128), Kitab "al-Libaas waz Ziinah", Bab "an-Nisaa¬ul Kaasiyaat al-`Aariyaatul Maa-ilaat al-Mumiilaat", dari Abu Hurairah . Abu `Ubaidah berkata: "Hadits ini mengisyaratkan bahwa kezhaliman dari pemerintah dan kerusakan akhlak saling mengiringi, antara satu dengan yang lainnya. Keduanya bagaikan dua mata koin yang tak terpisahkan! Ketika akhlak manusia rusak, Allah mengirimkan berbagai macam adzab melalui tangan-tangan orang yang berbuat buruk kepada mereka, baik secara materi maupun maknawi. Oleh karena itu, periksalah dan carilah kesalahan; niscaya kamu akan menemukannya, lalu minta ampunlah kepada Allah!"
10. HR. Ahmad dalam al-Musnad (V/205, no. 21786); al-Bazzar dalam Musnad-nya (VII/30, no. 2579); ath-Thabrani (Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Abul Qasim), al-Mu Jamul Kabiir (no. 376), cetakan kedua, dengan tahqiq Hamidi bin 'Abdul Majid as-Salafi, terbitan Maktabah al-Uluum wa al-Hikam, al-Mushil, tahun 1404 H/1983 M; al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubraa (XXI/234); Ibnu Sa'ad (Muhammad bin Sa'ad bin Mani' Abu `Abdullah al-Bashri az-Zuhri), ath-Tbabaqaatul Kubraa (IV/64-65), terbitan Daar Shaadir, Beirut, dari Usamah bin Zaid dengan sanad hasan.
11. HR. Ahmad dalam al-Musnad (IV/414, no. 19711); `Abd bin Humaid dalam Musnad¬nya (no. 557 —al-Muntakhab); Abu Dawud dalam as-Sunan (no. 4173), Kitab "at-Tarajjul", Bab "Maa Jaa-a fil Mar-ah Tatathayyabu lil Khuruuj"; at-Tirmidzi dalam as-Sunan (no. 2786), Kitab "al-Adab", Bab "Maa Jaa-a fii Karaahiyati Khuruujil Mar-ah Muta'aththirah"; an-Nasa-i (Ahmad bin Syu'aib Abu `Abdurrahman an-Nasa-i), al-Multabaa minas Sunan, cetakan kedua, dengan tahqiq 'Abdul Fattah Abu Ghuddah, terbitan Maktabah al-Mathbuu'aat al-Islaamiah, Halab, tahun 1406 H/1986 M (no. 5126—al-Mujtabaa), Kitab "az-Ziinah", Bab "Maa Yukrahu lin Nisaa' minath Thiib"; ad-Darimi dalam as-Sunan (11/362, no. 2646); Ibnu Khuzaimah dalam Shahiih-nya (no. 1681); Ibnu Hibban dalam Shahiih-nya (no. 4424—alihsaan); al-Hakim dalam al-Mustadrak (II/430); al-Baihaqi dalam as-Sunan (III/246), dari Abu Musa al-Asy'ari dan `Abdullah bin Qais dengan sanad shahih. Muthayyabatan", dari Zainab ats-Tsagafiyyah; an-Nasa-i (no. 5134—al-Mujtabaa), Kitab "az-Ziinah", Bab "an-Nahyu lil Mar-ah an Tasyhadash Shalaah idzaa Ashaabatil Bukhuur".
12. Dr. Abu Yahya berkata: "Khalwat ialah seorang wanita berduaan dengan seorang atau beberapa orang laki-laki asing tanpa disertai mahramnya". Lihat Dr. Muhammad Hasan Abu Yahya, Ahammu Qadhaayal Manah al-Mustimah (hlm. 105), cetakan ketiga, terbitan Maktabah ar-Risaalah, 'Amman, tahun 1411 H.
13. Al-Bukhari dalam Shahiib-nya (no. 5233), Kitab "an-Nikaah", Bab "Las Yakhluwanna Rajulun bi Imra-atin illaa Dzuu Mahramin"; Muslim dalam Shahiih-nya (no. 1341), Kitab "al-Hajj", Bab "Safarul Mar-ah ma'a Mahramin iIal Hajji wa Ghairihi".
14. Hamu artinya kerabat suami, misalnya saudara kandung dan paman. Lihat Ahmad bin Muhammad bin 'Ali al-Magri al-Fayumi ar-Rafi'i, al-Mishbaahui Muniir (I/210), terbitan Daar al-Qalam, Beirut.
15. HR. A1-Bukhari dalam Shahiih-nya (no. 5232), Kitab "an-Nikaah", Bab "Laa Yakhluwanna Rajulun bi Imra-atin illaa Dzuu Mahramin"; Muslim dalam Shahiih-nya (no. 2172), Kitab "as-Salaam", Bab "Tahriimul Khalwah bit Ajnabiyyah wad Dukhuul alaihaa".
16. Abu Yahya. Ahammu Qadhayal Mar-ah al Muslimah
17. Al-Bukhari dalam Shahiih-nya (no. 7310), Kitab "al-I'tishaam bil Kitaab was Sunnah", Bab "Ta'liimun Nabi Umatahu minar Rijaal wan Nisaa' mimmaa 'Allamahullaah laisa bi Ra'yin walaa bi Tamtsiilin", Fat-hul Baari (XV/9087); Muslim dalam Shahiih¬nya dengan syarah an-Nawawi (VIII/230-231, no. 2633), Kitab "al-Birr wash Shilah wal Adab", Bab "Fadhlu Man Yamuutu lahu Waladun fa Yahtasibuhu".
18. " Ar-Razi, Mukhtaarush Shihaah (hlm. 56).
19. " Qaraqi', A hkaam Qamard Mar-ah fii Baitihaa wa Khurujihaa minim fil Fiqh al-Islaami (hlm. 212).
20. " HR. Al-Bukhari (no. 2645), Kitab "asy-Syahaadaat", Bab "asy-Syahaadah 'alai Ansaab"; Muslim (no. 1447), Kitab "ar-Radhaa'", Bab "Tahriim Ibnatil Akh minar Radhaa'ah", dari Ibnu 'Abbas
WANITA KARIER DILIHAT DARI PERSEPSI HUKUM ISLAM BAGIAN 1
HUKUM WANITA BERDIAM DIRUMAH
Bagian 1.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum berdiamnya wanita di rumahnya. Ada dua pendapat dalam hal ini.
Pendapat pertama, wanita wajib berdiam diri di rumah-nya. Ini adalah pendapat jumhur ulama ahli tafsir1. Dalil-dalil yang dijadikan dasar pendapat ini adalah sebagai berikut.
Pertama, dalil dari al-Qur-an, yakni firman Allah SWT :
"Dan, hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah yang dahulu ...." (QS. Al-Ahzaab: 33)
Kata qarna merupakan fi'il ‘amr (kata kerja perintah) dari kata qarar yang menunjukkan suatu kewajiban. Dengan demikian, ayat tersebut menunjukkan wajibnya seorang wanita berdiam di dalam rumahnya.
Jadi, pengertian ayat al-Qur-an di atas adalah perintah kepada para wanita untuk tetap tinggal dan menetap di rumah serta tidak keluar darinya kecuali untuk suatu keperluan atau hal yang darurat2.
Kedua, dalil akal. Menurut akal sehat, seorang wanita harus tetap berada di rumahnya agar ia dapat memelihara rumahnya, mengurusi suami dan anak-anaknya, serta dapat berupaya mendidik mereka berdasarkan metode yang benar. Berdasarkan hal ini, tinggalnya seorang wanita di rumahnya merupakan suatu hal yang sangat penting, demi menjaganya dari berbagai fitnah dan gangguan-gangguan yang bisa menimpa dirinya apabila ia keluar rumah3. Ini merupakan salah satu bentuk usaha untuk mengantisipasi bahaya.
Pendapat kedua, seorang wanita hanya dianjurkan (mustahab) untuk berdiam di rumahnya. Ini pendapat sejumlah Sahabat Nabi di antaranya `Umar dan `Utsman4. Pendapat ini diikuti oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-`Asqalani5. Mereka ber-hujjah dengan dalil-dalil dari al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma' ulama.
Dalil-dalil yang melandasi pendapat ini adalah sebagai berikut.
Pertama, dalil dari al-Qur-an, yakni firman Allah SWT:
"Dan, (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya."6 (QS. An-Nisaa': 15)
Allah memerintahkan kaum Muslimin menahan para wanita yang melakukan perbuatan keji di dalam rumah. Ini merupakan dalil yang menjelaskan bahwa menahan wanita di dalam rumah bukan merupakan hukum asal, tetapi hal tersebut diperintahkan karena adanya suatu penyebab, yakni terjadinya perbuatan keji.
Juga Firman Allah SWT yang lain :
"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.' Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedadanya ....'" (QS. An-Nuur: 30-31)
Pada ayat ini, Allah SWT memerintahkan kaum laki-laki untuk menundukkan pandangan mereka, sebagaimana Dia memerintahkan perintah itu kepada kaum wanita. Dalam ayat ini terdapat dalil bolehnya wanita keluar rumah. Karena, menundukkan pandangan hanya dibutuhkan ketika terjadi pencampurbauran dengan kaum pria dan ada kemungkinan wanita itu melihat mereka7.
Kedua, dalil dari as-Sunnah, yakni sabda Nabi SAW
"Wanita adalah aurat, apabila ia keluar rumah maka syaitan akan menyambutnya dengan sukacita."8
Redaksi hadits tersebut secara gamblang memotivasi wanita agar tidak keluar rumah dan menganjurkan mereka untuk tinggal di rumah.
Sabda Nabi SAW
"Janganlah kalian menghalangi hamba-hamba Allah yang wanita untuk pergi ke masjid-Nya."9
Hadits ini jelas menunjukkan bahwa kaum laki-laki dilarang menghalangi para wanita untuk pergi ke masjid jika mereka hendak ke sana. Karena itulah, hukum tinggalnya wanita di rumah menjadi mustahab (sunnah). Seandainya perintah berdiam di rumah itu hukumnya wajib, niscaya mereka tidak diizinkan pergi ke masjid. Sebab, shalat seorang wanita di rumahnya lebih afdhal daripada shalat di masjid.
Kalangan ulama yang mengemukakan pendapat ini juga berdalil dengan (riwayat yang mengisahkan kepergian `Aisyah Radhiallohu’anhuma ke Iraq untuk mendamaikan kaum muslimin yang berselisih waktu perang Jamal10.
Ketiga, dalil dari ijma'. Terdapat riwayat yang menyebutkan bahwasanya `Umar RA mengizinkan isteri-isteri Rasulullah SAW untuk pergi haji dan umrah setelah sebelumnya ia bersikap tawaqquf (tidak menentukan pendapat) dalam masalah ini. Pendapat ini diikuti oleh 'Utsman, `Abdurrahman bin `Auf, al-Mughirah bin Syu'bah, Mu'awiyah, dan para Sahabat lain yang semasa dengan mereka; tanpa ada seorang pun yang mengingkarinya11. Keluarnya isteri-isteri Nabi SAW untuk pergi haji dan umrah tanpa ada pengingkaran dari para Sahabat ini merupakan ijma' sukuti (persetujuan dengan cara diam).
Pendapat yang rajih menurut Penulis kitab ini: setelah membaca pendapat para ahli fiqih dan meneliti dalil-dalil mereka, saya menilai bahwa pendapat yang kuat adalah pendapat yang kedua, yakni pendapat yang menyatakan bahwa perintah tinggal di dalam rumah yang ditujukan kepada kaum wanita hukumnya hanyalah mustahab (anjuran). Pendapat ini dibangun berdasarkan sebuah kaidah ushul: "Kalimat perintah itu menunjukkan suatu kewajiban, selama tidak ada qarinah (petunjuk) yang memalingkannya dari hukum wajib ke hukum yang lain."12. Sementara perintah berdiam diri di rumah yang terdapat dalam bahasan ini diiringi dengan qarinah yang memalingkannya dari hukum wajib ke hukum yang lain. Dalil yang memalingkan perintah tersebut telah dikemukakan oleh pihak kedua pada uraian sebelumnya, yakni dalil yang membolehkan wanita keluar rumah untuk melaksanakan shalat, menuntut ilmu, dan lainnya.
Bersambung Insya Allah,.. tentang Tujuan dari Berdiamnya Wanita di Rumah…
Wallahua’lam.
Catatan Kaki:
1. Al-Qurthubi, al-Jaami' li Ahkaamil Qur-an (XIV/116); Ibnu Katsir, Tafsiirul Qur-aan al-Azhiim (III/631); asy-Syaukani, Fat-hul Qadiir (IV/277).
2. Lihat asv-Syaukani. Fat-hul Oadiir (IV/277).
3. Muhammad Nu'man Umaimah Qaraqi', Ahkaam Qaraaril Mar-ah fii Baitiha wa Khuruujiba minim fil Fiqh al-Islaami, tesis magister, di bawah bimbingan Dr. Jamal Ahmad Zaid al-Kailani, Universitas an-Najaah al-Wathaniyyah, Fakultas Syari'ah, Jurusan Fiqih dan Tasyri', Nablis, tahun 1419 H/1998 M (hlm. 25).
4. Ibnu Hajar, Fat-hul Baari (IV/2413-2414)..
5. Ibid. (IV/2414-2415).
6. Perlu diketahui di sini bahwa Allah SWT sudah menghapus hukum habs (mengurung di dalam rumah) dan menggantinya dengan hukuman rajam bagi wanita yang berzina dan telah menikah, serta hukuman cambuk untuk wanita yang berzina dan belum menikah.
7. " Qaraqi', Ahkaam Qaraaril Mar-ah fii Baitiha wa Khuruujiha minbu fil Fiqh al-Islaami (hlm. 26).
8. Ibnu Abi Syaibah (Abu Bakar `Abdullah bin Muhammad), af-Mushannaf fil Ahaadiits wal Aatsaar (II/157), cetakan pertama, dengan tahqiq Kamal al-Hut, terbitan Maktabah ar-Rusyd, Riyadh, tahun 1409 H; at-Tirmidzi, as-Sunan (no. 1173), Kitab "ar-Radhaa'", Bab XVIII; Ibnu Khuzaimah (Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah Abu Bakar as-Sulami an-Naisaburi), Shahiih Ibni Khuzaimah (no. 1675), dengan tahqiq Dr. Mushthafa al-A'zhami, terbitan al-Maktab al-Islaami, Beirut, tahun 1390 H/1970 M; Ibnu Hibban dalam Shahiih-nya (no. 5598—al-Ihsaan); Ibnu `Adi (`Abdullah bin `Adi bin 'Abdullah bin Muhammad Abu Ahmad al-Jurjani), al-Kaamil fii Dhu'afaa-ir Rijaal (III/423), cetakan ketiga, dengan tahqiq Yahya Mukhtar Ghazawi, terbitan Daar al-Fikr, Beirut, tahun 1409 H/1988 M; al- Khathib al-Baghdadi dalam Taariikh Baghdaad (VIII/451), dari `Abdullah bin Mas'ud RA dengan sanad shahih.
9. HR. Al-Bukhari dalam Shahiih-nya (no. 900), Kitab "al-Jumu'ah", Bab ke-8; Muslim dalam Shahiih-nya (no. 42), Kitab "ash-Shalaah", Bab "Khuruujun Nisaa' ilal Masaajid idzaa lam Yatarattab `alaihi Fitnah wa annaha laa Takhruju Muthayyab dari Ibnu `Umar, RA.
10. Ibnu Hajar, Fat-hul Baari’ (IV/2414).
11. " Ibid. (IV/2413).
12. Lihat Najmuddin Abu ar-Rabi' Sulairnan bin 'Abdul Qawi ath-Thufi, Syarh Mukh¬tasharir Raudhah (11/365), cetakan pertama, dengan tahqiq Dr. `Abdullah at-Turki, terbitan Mu-assasah ar-Risaalah, Beirut, tahun 1410 H.
Bagian 1.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum berdiamnya wanita di rumahnya. Ada dua pendapat dalam hal ini.
Pendapat pertama, wanita wajib berdiam diri di rumah-nya. Ini adalah pendapat jumhur ulama ahli tafsir1. Dalil-dalil yang dijadikan dasar pendapat ini adalah sebagai berikut.
Pertama, dalil dari al-Qur-an, yakni firman Allah SWT :
"Dan, hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah yang dahulu ...." (QS. Al-Ahzaab: 33)
Kata qarna merupakan fi'il ‘amr (kata kerja perintah) dari kata qarar yang menunjukkan suatu kewajiban. Dengan demikian, ayat tersebut menunjukkan wajibnya seorang wanita berdiam di dalam rumahnya.
Jadi, pengertian ayat al-Qur-an di atas adalah perintah kepada para wanita untuk tetap tinggal dan menetap di rumah serta tidak keluar darinya kecuali untuk suatu keperluan atau hal yang darurat2.
Kedua, dalil akal. Menurut akal sehat, seorang wanita harus tetap berada di rumahnya agar ia dapat memelihara rumahnya, mengurusi suami dan anak-anaknya, serta dapat berupaya mendidik mereka berdasarkan metode yang benar. Berdasarkan hal ini, tinggalnya seorang wanita di rumahnya merupakan suatu hal yang sangat penting, demi menjaganya dari berbagai fitnah dan gangguan-gangguan yang bisa menimpa dirinya apabila ia keluar rumah3. Ini merupakan salah satu bentuk usaha untuk mengantisipasi bahaya.
Pendapat kedua, seorang wanita hanya dianjurkan (mustahab) untuk berdiam di rumahnya. Ini pendapat sejumlah Sahabat Nabi di antaranya `Umar dan `Utsman4. Pendapat ini diikuti oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-`Asqalani5. Mereka ber-hujjah dengan dalil-dalil dari al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma' ulama.
Dalil-dalil yang melandasi pendapat ini adalah sebagai berikut.
Pertama, dalil dari al-Qur-an, yakni firman Allah SWT:
"Dan, (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya."6 (QS. An-Nisaa': 15)
Allah memerintahkan kaum Muslimin menahan para wanita yang melakukan perbuatan keji di dalam rumah. Ini merupakan dalil yang menjelaskan bahwa menahan wanita di dalam rumah bukan merupakan hukum asal, tetapi hal tersebut diperintahkan karena adanya suatu penyebab, yakni terjadinya perbuatan keji.
Juga Firman Allah SWT yang lain :
"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.' Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedadanya ....'" (QS. An-Nuur: 30-31)
Pada ayat ini, Allah SWT memerintahkan kaum laki-laki untuk menundukkan pandangan mereka, sebagaimana Dia memerintahkan perintah itu kepada kaum wanita. Dalam ayat ini terdapat dalil bolehnya wanita keluar rumah. Karena, menundukkan pandangan hanya dibutuhkan ketika terjadi pencampurbauran dengan kaum pria dan ada kemungkinan wanita itu melihat mereka7.
Kedua, dalil dari as-Sunnah, yakni sabda Nabi SAW
"Wanita adalah aurat, apabila ia keluar rumah maka syaitan akan menyambutnya dengan sukacita."8
Redaksi hadits tersebut secara gamblang memotivasi wanita agar tidak keluar rumah dan menganjurkan mereka untuk tinggal di rumah.
Sabda Nabi SAW
"Janganlah kalian menghalangi hamba-hamba Allah yang wanita untuk pergi ke masjid-Nya."9
Hadits ini jelas menunjukkan bahwa kaum laki-laki dilarang menghalangi para wanita untuk pergi ke masjid jika mereka hendak ke sana. Karena itulah, hukum tinggalnya wanita di rumah menjadi mustahab (sunnah). Seandainya perintah berdiam di rumah itu hukumnya wajib, niscaya mereka tidak diizinkan pergi ke masjid. Sebab, shalat seorang wanita di rumahnya lebih afdhal daripada shalat di masjid.
Kalangan ulama yang mengemukakan pendapat ini juga berdalil dengan (riwayat yang mengisahkan kepergian `Aisyah Radhiallohu’anhuma ke Iraq untuk mendamaikan kaum muslimin yang berselisih waktu perang Jamal10.
Ketiga, dalil dari ijma'. Terdapat riwayat yang menyebutkan bahwasanya `Umar RA mengizinkan isteri-isteri Rasulullah SAW untuk pergi haji dan umrah setelah sebelumnya ia bersikap tawaqquf (tidak menentukan pendapat) dalam masalah ini. Pendapat ini diikuti oleh 'Utsman, `Abdurrahman bin `Auf, al-Mughirah bin Syu'bah, Mu'awiyah, dan para Sahabat lain yang semasa dengan mereka; tanpa ada seorang pun yang mengingkarinya11. Keluarnya isteri-isteri Nabi SAW untuk pergi haji dan umrah tanpa ada pengingkaran dari para Sahabat ini merupakan ijma' sukuti (persetujuan dengan cara diam).
Pendapat yang rajih menurut Penulis kitab ini: setelah membaca pendapat para ahli fiqih dan meneliti dalil-dalil mereka, saya menilai bahwa pendapat yang kuat adalah pendapat yang kedua, yakni pendapat yang menyatakan bahwa perintah tinggal di dalam rumah yang ditujukan kepada kaum wanita hukumnya hanyalah mustahab (anjuran). Pendapat ini dibangun berdasarkan sebuah kaidah ushul: "Kalimat perintah itu menunjukkan suatu kewajiban, selama tidak ada qarinah (petunjuk) yang memalingkannya dari hukum wajib ke hukum yang lain."12. Sementara perintah berdiam diri di rumah yang terdapat dalam bahasan ini diiringi dengan qarinah yang memalingkannya dari hukum wajib ke hukum yang lain. Dalil yang memalingkan perintah tersebut telah dikemukakan oleh pihak kedua pada uraian sebelumnya, yakni dalil yang membolehkan wanita keluar rumah untuk melaksanakan shalat, menuntut ilmu, dan lainnya.
Bersambung Insya Allah,.. tentang Tujuan dari Berdiamnya Wanita di Rumah…
Wallahua’lam.
Catatan Kaki:
1. Al-Qurthubi, al-Jaami' li Ahkaamil Qur-an (XIV/116); Ibnu Katsir, Tafsiirul Qur-aan al-Azhiim (III/631); asy-Syaukani, Fat-hul Qadiir (IV/277).
2. Lihat asv-Syaukani. Fat-hul Oadiir (IV/277).
3. Muhammad Nu'man Umaimah Qaraqi', Ahkaam Qaraaril Mar-ah fii Baitiha wa Khuruujiba minim fil Fiqh al-Islaami, tesis magister, di bawah bimbingan Dr. Jamal Ahmad Zaid al-Kailani, Universitas an-Najaah al-Wathaniyyah, Fakultas Syari'ah, Jurusan Fiqih dan Tasyri', Nablis, tahun 1419 H/1998 M (hlm. 25).
4. Ibnu Hajar, Fat-hul Baari (IV/2413-2414)..
5. Ibid. (IV/2414-2415).
6. Perlu diketahui di sini bahwa Allah SWT sudah menghapus hukum habs (mengurung di dalam rumah) dan menggantinya dengan hukuman rajam bagi wanita yang berzina dan telah menikah, serta hukuman cambuk untuk wanita yang berzina dan belum menikah.
7. " Qaraqi', Ahkaam Qaraaril Mar-ah fii Baitiha wa Khuruujiha minbu fil Fiqh al-Islaami (hlm. 26).
8. Ibnu Abi Syaibah (Abu Bakar `Abdullah bin Muhammad), af-Mushannaf fil Ahaadiits wal Aatsaar (II/157), cetakan pertama, dengan tahqiq Kamal al-Hut, terbitan Maktabah ar-Rusyd, Riyadh, tahun 1409 H; at-Tirmidzi, as-Sunan (no. 1173), Kitab "ar-Radhaa'", Bab XVIII; Ibnu Khuzaimah (Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah Abu Bakar as-Sulami an-Naisaburi), Shahiih Ibni Khuzaimah (no. 1675), dengan tahqiq Dr. Mushthafa al-A'zhami, terbitan al-Maktab al-Islaami, Beirut, tahun 1390 H/1970 M; Ibnu Hibban dalam Shahiih-nya (no. 5598—al-Ihsaan); Ibnu `Adi (`Abdullah bin `Adi bin 'Abdullah bin Muhammad Abu Ahmad al-Jurjani), al-Kaamil fii Dhu'afaa-ir Rijaal (III/423), cetakan ketiga, dengan tahqiq Yahya Mukhtar Ghazawi, terbitan Daar al-Fikr, Beirut, tahun 1409 H/1988 M; al- Khathib al-Baghdadi dalam Taariikh Baghdaad (VIII/451), dari `Abdullah bin Mas'ud RA dengan sanad shahih.
9. HR. Al-Bukhari dalam Shahiih-nya (no. 900), Kitab "al-Jumu'ah", Bab ke-8; Muslim dalam Shahiih-nya (no. 42), Kitab "ash-Shalaah", Bab "Khuruujun Nisaa' ilal Masaajid idzaa lam Yatarattab `alaihi Fitnah wa annaha laa Takhruju Muthayyab dari Ibnu `Umar, RA.
10. Ibnu Hajar, Fat-hul Baari’ (IV/2414).
11. " Ibid. (IV/2413).
12. Lihat Najmuddin Abu ar-Rabi' Sulairnan bin 'Abdul Qawi ath-Thufi, Syarh Mukh¬tasharir Raudhah (11/365), cetakan pertama, dengan tahqiq Dr. `Abdullah at-Turki, terbitan Mu-assasah ar-Risaalah, Beirut, tahun 1410 H.
Kamis, 09 Desember 2010
KAJIAN FIQH, CARA SUJUD DAN CARA TURUNYA
Diambil dari Kitab Kumpulan Hadits-hadits Hukum, karya T.M.Hasbi.Ash Shiddieqy.
Dari lbnu Abbas RA, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda, Aku diperintahkan untuk bersujud di atas tujuh tulang: (yaitu) Dahi —seraya beliau menunjuk hidungnya dengan tangannya—, kedua tangan, kedua lutut dan ujung-ujung jari kedua kaki." (HR. Muttafaq Alaih)
Wa-il ibn Hujr r.a. berkata: " Saya lihat Rasul apabila bersujud, meletakkan kedua lututnya sebelum meletakkan kedua tangannya dan apabila beliau berdiri, mengangkat kedua tangannya sebelum mengangkat kedua lututnya". (HR. Abu Daud, An-Nasa'i: At-Turmudzi dan Ibnu Majah; Al Muntaqa I : 424).
Abu Hurairah r.a berkata: "Rasul SAW. bersabda: "Apabila seseorang kamu bersujud, janganlah dia menderum seperti unta menderum. Hendaklah ia letakkan dua tangannya sebelum lututnya. (HR. Ahmad, An-Nasa'i dan Abu Daud: Al Muntaqa I : 425).
Abdullah ibn Buhainah r.a. berkata: "Rasul s.a.w. apabila bersujud merenggangkan tangannya dari lambungnya hingga dapat dilihat putih ketiaknya". (HR. Al-Bukhari dan Muslim: Al Muntaqa 1 : 425).
Anas ibn Malik r.a. berkata: "Rasul bersabda: "Berlaku sederhanalah kamu dalam bersujud. Janganlah seseorang kamu menghamparkan lengannya sebagai anjing menghamparkan lengan". (HR. Al-Jama’ah : Al Muntaqa I :426).
Abu Humaid As-Sa’idi r.a. berkata: "Nabi SAW. apabila bersujud merenggangkan pahanya dan tidak melengketkan perutnya ke pahanya". (HR. Abu Dawud; Al muntaqa 1 : 426).
Abu Humaid As-Sa'idi menerangkan: "Bahwasanya Rasul s.a.w. apabila bersujud melekatkan dahinya dan hidungnya ke tempat sujud dan merenggangkan tangan dari lambung serta meletakkan kedua telapak tangannya setentang pundak-nya". (HR. Abu Daud dan Al-Turmudzi; Al Muntaqa I: 426).
Penjelasan dari Hadits diatas berdasarkan Ulama-ulama terdahulu
Hadits ini menunjukkan wajibnya sujud dalam shalat dengan tujuh anggota sujud, yaitu: dahi dan termasuk hidung, kedua telapak tangan, kedua lutut dan kedua kaki (ujung kaki).
Jumhur ulama berpendapat bahwa lutut diletakkan sebelum tangan di kala bersujud. Menurut riwayat Al-Qadhi Abuth Thayyib, bahwa seluruh ulama berpendapat demikian. Diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir, bahwa Umar, An-Nakha'i,
Muslim ibn Yassar, Sufyan Ats-Tsauri, Asy-Syafi'i, Ahmad, Ishaq dan seluruh ulama Kufah berpendapat demikian. Kata Ibnu Mundzir: "Demikianlah fatwaku".
Menurut pendapat Malik, Ibnu Hazm dan Al-Itrah, hendaklah kita meletakkan tangan lebih dahulu sebelum kita meletakkan lutut. Pendapat ini ada juga diterima dari Ahmad.
Kata Al-Hazimi berkata: "saya dapati para ulama besar semuanya meletakkan dua tangan sebelum lutut".
Kata Ibnu Abu Daud: "itulah pendapat Ash-habul Hadis".
Kata Al-Qurthubi: "Hikmah Nabi merenggangkan tangan dari lambungnya dan bertelekan alas tangannya, supaya tidak seberapa berat muka memikul, dan tidak menyebabkan hidung, dahi terasa sakit lantaran terlalu tertekan ke tempat sujud.
"Bersujud dengan cara meletakkan hasta ke tempat sujud, adalah makruh. Tidak ada khilaf' pada masalah ini".
Kata Asy-Syaukani: "Yang dikehendaki dengan "berlaku sederhanalah kamu dalam mengerjakan sujud", ialah: tidak meletakkan hasta ke tempat sujud dan tidak pula terlalu meninggikannya. Yakni: jangan sampai hasta berdiri tegak.
Penjelasan Hadits dengan mengkompromikan pendapat-pendapat ulama, (dari Penulis, T.M.Hasbi. Ash Shiddieqy)
Masalah meletakkan lutut sebelum tangan di ketika sujud, telah ditahqiqkan oleh Muhaqqiq Ibnul Qayyim dalam kitab Ash-Shalah "Nabi s.a.w. meletakkan lututnya sebelum tangan-nya. Demikianlah menurut berita yang disampaikan oleh Wa-il ibn Hujur. Anas ibn Malik dan Ibnu Umar juga menerangkan, bahwa Nabi s.a.w. meletakkan lututnya sebelum tangannya. Dari Abu Hurairah terdapat riwayat yang berbeda. Disebut dalam As-Sunan, bahwa Nabi bersabda : "Apabila bersujud seseorang kamu, janganlah berderum sebagai deruman unta. Hendaklah dia letakkan tangannya sebelum lututnya". "Menurut riwayat Al-Maqbari dari Abu Hurairah, bahwa Nabi meletakkan dua lututnya sebelum tangannya". Maka dengan demikian ini nyatalah bahwa riwayat-riwayat dari Abu Hurairah dalam soal ini berlain-lainan. Juga berlawanan hadis Wa-il Ibn Hujur dengan hadis yang diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni dari Ibnu Umar. Segolongan ulama yang mentarjihkan hadis yang lain berpendapat, bahwa hadis Ibnu Umar telah dimansukhkan.
Memang pada mula-mulanya, meletakkan tangan didahulukan daripada lutut. Akan tetapi kemudian dimansukhkan, yaitu: disuruh meletakkan lutut sebelum tangan. Inilah thariqat Ibnu Khuzaimah. Dengan panjang lebar Ibnu Khuzaimah menerangkan hal ini dalam shahihnya. Kata Al-Khathabi: "Hadis Wa-il lebih tsabit dari hadis Abu Hurairah; karena itulah At-Turmudzi tidak menghasankannya, bahkan memandangnya sebagai hadis yang gharib". Sedang hadis Wa-il dipandang hasan. Pangkal hadits ialah: "jangan dia menderum sebagai deruman unta", menyatakan, bahwa tidak boleh kita mendahulukan tangan atas lutut, karena demikianlah deruman unta. Lantaran itu, nyatalah bahwa perkataan: "Dan hendaklah dia mendahulukan tangan atas lututnya" tertolak. Mungkin sekali para perawi telah salah menyebut. Para ulama telah mentarjihkan hadis Wa-il dengan dua jalan:
1. Menurut riwayat Abu Daud dari Ibnu Umar, bahwa Nabi mencegah para mushalli bertelekan atas dua tangan di dalam shalat. Dalam satu lafazh: "Nabi mencegah para mushalli bertelekan atas tangannya apabila berada di dalam shalat". Tidak dapat diragui, bahwa apabila kita meletakkan tangan sebelum lutut berartilah kita bertelekan atasnya.
2. Para mushalli turun kepada sujud dengan mendahulukan anggota yang dekat kepada tempat sujud, kemudian yang sesudahnya, kemudian yang sesudahnya lagi, demikianlah seterusnya dan pada akhirnya barulah anggota yang terjauh, yakni muka.
Dan apabila dia bangun dari sujud tentulah anggota yang terjauh yang terlebih dahulu diangkat, sesudah itu yang sesudahnya, demikianlah seterusnya sampai akhirnya yang dekat ke tempat sujud, yaitu lutut.
Mengingat bahwa hadis Wa-il lebih tsabit daripada hadis Abu-Hurairah dalam soal ini, nyatalah bahwa yang kita dahulukan diketika sujud, ialah lutut. Sesudah itu barulah kita letakkan tangan. Sesudah itu barulah kita letakkan dahi dan hidung.
Wallahua’lam bishowab.
Dari lbnu Abbas RA, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda, Aku diperintahkan untuk bersujud di atas tujuh tulang: (yaitu) Dahi —seraya beliau menunjuk hidungnya dengan tangannya—, kedua tangan, kedua lutut dan ujung-ujung jari kedua kaki." (HR. Muttafaq Alaih)
Wa-il ibn Hujr r.a. berkata: " Saya lihat Rasul apabila bersujud, meletakkan kedua lututnya sebelum meletakkan kedua tangannya dan apabila beliau berdiri, mengangkat kedua tangannya sebelum mengangkat kedua lututnya". (HR. Abu Daud, An-Nasa'i: At-Turmudzi dan Ibnu Majah; Al Muntaqa I : 424).
Abu Hurairah r.a berkata: "Rasul SAW. bersabda: "Apabila seseorang kamu bersujud, janganlah dia menderum seperti unta menderum. Hendaklah ia letakkan dua tangannya sebelum lututnya. (HR. Ahmad, An-Nasa'i dan Abu Daud: Al Muntaqa I : 425).
Abdullah ibn Buhainah r.a. berkata: "Rasul s.a.w. apabila bersujud merenggangkan tangannya dari lambungnya hingga dapat dilihat putih ketiaknya". (HR. Al-Bukhari dan Muslim: Al Muntaqa 1 : 425).
Anas ibn Malik r.a. berkata: "Rasul bersabda: "Berlaku sederhanalah kamu dalam bersujud. Janganlah seseorang kamu menghamparkan lengannya sebagai anjing menghamparkan lengan". (HR. Al-Jama’ah : Al Muntaqa I :426).
Abu Humaid As-Sa’idi r.a. berkata: "Nabi SAW. apabila bersujud merenggangkan pahanya dan tidak melengketkan perutnya ke pahanya". (HR. Abu Dawud; Al muntaqa 1 : 426).
Abu Humaid As-Sa'idi menerangkan: "Bahwasanya Rasul s.a.w. apabila bersujud melekatkan dahinya dan hidungnya ke tempat sujud dan merenggangkan tangan dari lambung serta meletakkan kedua telapak tangannya setentang pundak-nya". (HR. Abu Daud dan Al-Turmudzi; Al Muntaqa I: 426).
Penjelasan dari Hadits diatas berdasarkan Ulama-ulama terdahulu
Hadits ini menunjukkan wajibnya sujud dalam shalat dengan tujuh anggota sujud, yaitu: dahi dan termasuk hidung, kedua telapak tangan, kedua lutut dan kedua kaki (ujung kaki).
Jumhur ulama berpendapat bahwa lutut diletakkan sebelum tangan di kala bersujud. Menurut riwayat Al-Qadhi Abuth Thayyib, bahwa seluruh ulama berpendapat demikian. Diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir, bahwa Umar, An-Nakha'i,
Muslim ibn Yassar, Sufyan Ats-Tsauri, Asy-Syafi'i, Ahmad, Ishaq dan seluruh ulama Kufah berpendapat demikian. Kata Ibnu Mundzir: "Demikianlah fatwaku".
Menurut pendapat Malik, Ibnu Hazm dan Al-Itrah, hendaklah kita meletakkan tangan lebih dahulu sebelum kita meletakkan lutut. Pendapat ini ada juga diterima dari Ahmad.
Kata Al-Hazimi berkata: "saya dapati para ulama besar semuanya meletakkan dua tangan sebelum lutut".
Kata Ibnu Abu Daud: "itulah pendapat Ash-habul Hadis".
Kata Al-Qurthubi: "Hikmah Nabi merenggangkan tangan dari lambungnya dan bertelekan alas tangannya, supaya tidak seberapa berat muka memikul, dan tidak menyebabkan hidung, dahi terasa sakit lantaran terlalu tertekan ke tempat sujud.
"Bersujud dengan cara meletakkan hasta ke tempat sujud, adalah makruh. Tidak ada khilaf' pada masalah ini".
Kata Asy-Syaukani: "Yang dikehendaki dengan "berlaku sederhanalah kamu dalam mengerjakan sujud", ialah: tidak meletakkan hasta ke tempat sujud dan tidak pula terlalu meninggikannya. Yakni: jangan sampai hasta berdiri tegak.
Penjelasan Hadits dengan mengkompromikan pendapat-pendapat ulama, (dari Penulis, T.M.Hasbi. Ash Shiddieqy)
Masalah meletakkan lutut sebelum tangan di ketika sujud, telah ditahqiqkan oleh Muhaqqiq Ibnul Qayyim dalam kitab Ash-Shalah "Nabi s.a.w. meletakkan lututnya sebelum tangan-nya. Demikianlah menurut berita yang disampaikan oleh Wa-il ibn Hujur. Anas ibn Malik dan Ibnu Umar juga menerangkan, bahwa Nabi s.a.w. meletakkan lututnya sebelum tangannya. Dari Abu Hurairah terdapat riwayat yang berbeda. Disebut dalam As-Sunan, bahwa Nabi bersabda : "Apabila bersujud seseorang kamu, janganlah berderum sebagai deruman unta. Hendaklah dia letakkan tangannya sebelum lututnya". "Menurut riwayat Al-Maqbari dari Abu Hurairah, bahwa Nabi meletakkan dua lututnya sebelum tangannya". Maka dengan demikian ini nyatalah bahwa riwayat-riwayat dari Abu Hurairah dalam soal ini berlain-lainan. Juga berlawanan hadis Wa-il Ibn Hujur dengan hadis yang diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni dari Ibnu Umar. Segolongan ulama yang mentarjihkan hadis yang lain berpendapat, bahwa hadis Ibnu Umar telah dimansukhkan.
Memang pada mula-mulanya, meletakkan tangan didahulukan daripada lutut. Akan tetapi kemudian dimansukhkan, yaitu: disuruh meletakkan lutut sebelum tangan. Inilah thariqat Ibnu Khuzaimah. Dengan panjang lebar Ibnu Khuzaimah menerangkan hal ini dalam shahihnya. Kata Al-Khathabi: "Hadis Wa-il lebih tsabit dari hadis Abu Hurairah; karena itulah At-Turmudzi tidak menghasankannya, bahkan memandangnya sebagai hadis yang gharib". Sedang hadis Wa-il dipandang hasan. Pangkal hadits ialah: "jangan dia menderum sebagai deruman unta", menyatakan, bahwa tidak boleh kita mendahulukan tangan atas lutut, karena demikianlah deruman unta. Lantaran itu, nyatalah bahwa perkataan: "Dan hendaklah dia mendahulukan tangan atas lututnya" tertolak. Mungkin sekali para perawi telah salah menyebut. Para ulama telah mentarjihkan hadis Wa-il dengan dua jalan:
1. Menurut riwayat Abu Daud dari Ibnu Umar, bahwa Nabi mencegah para mushalli bertelekan atas dua tangan di dalam shalat. Dalam satu lafazh: "Nabi mencegah para mushalli bertelekan atas tangannya apabila berada di dalam shalat". Tidak dapat diragui, bahwa apabila kita meletakkan tangan sebelum lutut berartilah kita bertelekan atasnya.
2. Para mushalli turun kepada sujud dengan mendahulukan anggota yang dekat kepada tempat sujud, kemudian yang sesudahnya, kemudian yang sesudahnya lagi, demikianlah seterusnya dan pada akhirnya barulah anggota yang terjauh, yakni muka.
Dan apabila dia bangun dari sujud tentulah anggota yang terjauh yang terlebih dahulu diangkat, sesudah itu yang sesudahnya, demikianlah seterusnya sampai akhirnya yang dekat ke tempat sujud, yaitu lutut.
Mengingat bahwa hadis Wa-il lebih tsabit daripada hadis Abu-Hurairah dalam soal ini, nyatalah bahwa yang kita dahulukan diketika sujud, ialah lutut. Sesudah itu barulah kita letakkan tangan. Sesudah itu barulah kita letakkan dahi dan hidung.
Wallahua’lam bishowab.
Hadis-hadis janggal dari sudut logika dan norma-norma agama.
Sesiapa akhir ucapannya La ilaha illaLlah akan masuk syurga
Sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam:
Barangsiapa akhir perkataannya adalah “La ilaha illallah” dia masuk syurga.[1]
Kejanggalan:
Adalah sukar untuk diterima bahwa semata-mata dengan ucapan “La ilaha illallah” seseorang itu akan masuk syurga. Bukankah dibalik ucapan tersebut ia wajib diikuti dengan hati yang menetapkannya, lisan yang membenarkannya dan perbuatan yang membuktikannya? Bagaimana dengan seseorang yang mengucapkan kalimah tersebut tetapi dia mengingkari/belum melaksanakan kewajiban sholat, puasa dan berbagai macam hukum syari‘at yang lain?
Penjelasannya:
Hadis di atas sebenarnya disabdakan oleh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam di zaman awal Islam di Kota Makkah. Berkata Ibn Syihab al-Zuhri (124H), seorang tokoh generasi tabi‘in: Hadis sebegini hanya ada pada permulaan Islam sebelum turunnya kewajiban-kewajiban dan larangan.[2] Yakni di zaman permulaan Islam di mana belum disyari‘atkan berbagai macam ibadah, kewajiban, larangan dan hukuman kecuali sekadar mentauhidkan Allah ‘Azza wa Jalla dan meninggalkan segala amalan syirik yang mereka praktikkan sebelum itu. Pada waktu itu mereka yang baru memeluk Islam diugut dan dipaksa agar meninggalkan Islam dan siapa saja yang enggan – mereka disiksa hingga ke tahap dibunuh dengan kejam. Ketika sedang diugut, disiksa dan sesaat sebelum dibunuh, tiada yang diucapkan oleh mereka kecuali “La ilaha illaLlah” – Tiada Tuhan selain Allah – secara berulang-ulang sehinggalah mereka dibebaskan atau sehingga maut menemui mereka.
Terhadap umat Islam inilah Rasulullah Shallallahu-alaihi-wasallam bersabda: Barangsiapa yang akhir perkataannya adalah “La ilaha illaLlah” maka dia masuk syurga dan memang benar bagi mereka adalah ganjaran syurga karena menegakkan ketauhidan Allah ‘Azza wa Jalla hingga akhir hayat mereka. Senada dengan hadis ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat berikut yang juga diturunkan di Kota Makkah:
Sesungguhnya orang-orang yang menegaskan keyakinannya dengan berkata: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap teguh di atasnya, maka tidak ada kebimbangan (dari sesuatu yang tidak baik) terhadap mereka, dan mereka pula tidak akan berdukacita. Merekalah ahli Syurga, tetap kekal mereka di dalamnya, sebagai balasan bagi amal-amal soleh yang mereka telah kerjakan. [al-Ahqaf 46:13-14]
Adapun kedudukan hadis ini pada masa kini, maka berkata para ahli ilmu/ulama bahwa ia tetap sah diperlakukan. Siapa saja yang mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala secara yakin dan benar sehingga ke akhir hayatnya, syurgalah balasannya. Mentauhidkan Allah bukanlah sekadar perkataan tetapi adalah disertai hati yang menetapkannya, lisan yang membenarkannya dan perbuatan yang membuktikannya. Seandainya ada dosa-dosa besar, maka mereka akan diazab setimpal dengan kadar dosa masing-masing dan akhirnya tetap akan dimasukkan ke dalam syurga oleh Allah Tabaraka wa Ta’ala.[3]
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Sahih: Hadis dari Muadz bin Jabal radiallahu ‘anhu, dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Daud, al-Bazzar, al-Thabarani (al-Mu’jam al-Kabir), al-Baihaqi (Syu‘abu al-Iman) dan al-Hakim, dinukil dan dinilai sahih oleh al-Suyuti dalam al-Jamii’ al-Sagheir – no: 8965 dan dipersetujui sahih oleh Nasr al-Din al-Albani dalam Sahih al-Jamii’ al-Sagheir – no: 6479.
[2] -----: Dikeluarkan oleh Muhammad bin Isa al-Tirmizi dalam Sunan al-Tirmizi, jld 4, ms 449 tanpa isnad. Saya berkata isnad athar ini telah diisyaratkan kedha‘ifan atau ketidak pastiannya memandangkan al-Tirmizi telah mendahuluinya dengan kata-kata: Dan sesungguhnya diriwayatkan dari al-Zuhri.... Qadi Iyadh dalam Ikmal al-Mu’lim bi-Fawa’idi Muslim (Dar al-Wafa’, Kaherah 1998), jld 1, ms 254 berkata bahawa ini adalah juga merupakan pendapat majoriti generasi salaf (yakni mereka yang hidup sebelum tahun 300H), di antaranya ialah Sa‘id ibn Musayab (94H), namun Qadi Iyadh juga tidak mengemukakan isnadnya. Oleh itu status riwayat ini penulis biarkan terbuka sehingga dapat ditemui isnadnya. Perbandingkan juga dengan Syarah Sahih Muslim al-Nawawi (Dar Ihia al-Turath al-Arabi, Beirut 2000), jld 1, ms 63.
[3] al-Tirmizi – Sunan al-Tirmizi, jld 4, ms 449. Antara sumber bacaan yang disyorkan dalam bab ini ialah buku Muhammad bin ‘Abdul Aziz al-Sulaimani yang berjudul Cara Mudah Memahami Tauhid (terj: Abu Ihsan al-Maidani; Pustaka al-Tibyan, Solo 2000).
Sabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam:
Barangsiapa akhir perkataannya adalah “La ilaha illallah” dia masuk syurga.[1]
Kejanggalan:
Adalah sukar untuk diterima bahwa semata-mata dengan ucapan “La ilaha illallah” seseorang itu akan masuk syurga. Bukankah dibalik ucapan tersebut ia wajib diikuti dengan hati yang menetapkannya, lisan yang membenarkannya dan perbuatan yang membuktikannya? Bagaimana dengan seseorang yang mengucapkan kalimah tersebut tetapi dia mengingkari/belum melaksanakan kewajiban sholat, puasa dan berbagai macam hukum syari‘at yang lain?
Penjelasannya:
Hadis di atas sebenarnya disabdakan oleh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam di zaman awal Islam di Kota Makkah. Berkata Ibn Syihab al-Zuhri (124H), seorang tokoh generasi tabi‘in: Hadis sebegini hanya ada pada permulaan Islam sebelum turunnya kewajiban-kewajiban dan larangan.[2] Yakni di zaman permulaan Islam di mana belum disyari‘atkan berbagai macam ibadah, kewajiban, larangan dan hukuman kecuali sekadar mentauhidkan Allah ‘Azza wa Jalla dan meninggalkan segala amalan syirik yang mereka praktikkan sebelum itu. Pada waktu itu mereka yang baru memeluk Islam diugut dan dipaksa agar meninggalkan Islam dan siapa saja yang enggan – mereka disiksa hingga ke tahap dibunuh dengan kejam. Ketika sedang diugut, disiksa dan sesaat sebelum dibunuh, tiada yang diucapkan oleh mereka kecuali “La ilaha illaLlah” – Tiada Tuhan selain Allah – secara berulang-ulang sehinggalah mereka dibebaskan atau sehingga maut menemui mereka.
Terhadap umat Islam inilah Rasulullah Shallallahu-alaihi-wasallam bersabda: Barangsiapa yang akhir perkataannya adalah “La ilaha illaLlah” maka dia masuk syurga dan memang benar bagi mereka adalah ganjaran syurga karena menegakkan ketauhidan Allah ‘Azza wa Jalla hingga akhir hayat mereka. Senada dengan hadis ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat berikut yang juga diturunkan di Kota Makkah:
Sesungguhnya orang-orang yang menegaskan keyakinannya dengan berkata: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap teguh di atasnya, maka tidak ada kebimbangan (dari sesuatu yang tidak baik) terhadap mereka, dan mereka pula tidak akan berdukacita. Merekalah ahli Syurga, tetap kekal mereka di dalamnya, sebagai balasan bagi amal-amal soleh yang mereka telah kerjakan. [al-Ahqaf 46:13-14]
Adapun kedudukan hadis ini pada masa kini, maka berkata para ahli ilmu/ulama bahwa ia tetap sah diperlakukan. Siapa saja yang mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala secara yakin dan benar sehingga ke akhir hayatnya, syurgalah balasannya. Mentauhidkan Allah bukanlah sekadar perkataan tetapi adalah disertai hati yang menetapkannya, lisan yang membenarkannya dan perbuatan yang membuktikannya. Seandainya ada dosa-dosa besar, maka mereka akan diazab setimpal dengan kadar dosa masing-masing dan akhirnya tetap akan dimasukkan ke dalam syurga oleh Allah Tabaraka wa Ta’ala.[3]
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Sahih: Hadis dari Muadz bin Jabal radiallahu ‘anhu, dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Daud, al-Bazzar, al-Thabarani (al-Mu’jam al-Kabir), al-Baihaqi (Syu‘abu al-Iman) dan al-Hakim, dinukil dan dinilai sahih oleh al-Suyuti dalam al-Jamii’ al-Sagheir – no: 8965 dan dipersetujui sahih oleh Nasr al-Din al-Albani dalam Sahih al-Jamii’ al-Sagheir – no: 6479.
[2] -----: Dikeluarkan oleh Muhammad bin Isa al-Tirmizi dalam Sunan al-Tirmizi, jld 4, ms 449 tanpa isnad. Saya berkata isnad athar ini telah diisyaratkan kedha‘ifan atau ketidak pastiannya memandangkan al-Tirmizi telah mendahuluinya dengan kata-kata: Dan sesungguhnya diriwayatkan dari al-Zuhri.... Qadi Iyadh dalam Ikmal al-Mu’lim bi-Fawa’idi Muslim (Dar al-Wafa’, Kaherah 1998), jld 1, ms 254 berkata bahawa ini adalah juga merupakan pendapat majoriti generasi salaf (yakni mereka yang hidup sebelum tahun 300H), di antaranya ialah Sa‘id ibn Musayab (94H), namun Qadi Iyadh juga tidak mengemukakan isnadnya. Oleh itu status riwayat ini penulis biarkan terbuka sehingga dapat ditemui isnadnya. Perbandingkan juga dengan Syarah Sahih Muslim al-Nawawi (Dar Ihia al-Turath al-Arabi, Beirut 2000), jld 1, ms 63.
[3] al-Tirmizi – Sunan al-Tirmizi, jld 4, ms 449. Antara sumber bacaan yang disyorkan dalam bab ini ialah buku Muhammad bin ‘Abdul Aziz al-Sulaimani yang berjudul Cara Mudah Memahami Tauhid (terj: Abu Ihsan al-Maidani; Pustaka al-Tibyan, Solo 2000).
Selasa, 07 Desember 2010
Agama itu mudah
Diringkas dari kitab Fathul Baari
دَّثَنَا عَبْدُ السَّلَامِ بْنُ مُطَهَّرٍ قَالَ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ مَعْنِ بْنِ مُحَمَّدٍ الْغِفَارِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنْ الدُّلْجَةِ
(BUKHARI - 38) :Dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan (semakin berat dan sulit). Maka berlakulah lurus kalian, mendekatlah (kepada yang benar) dan berilah kabar gembira dan minta tolonglah dengan Al Ghadwah (berangkat di awal pagi) dan ar-ruhah (berangkat setelah zhuhur) dan sesuatu dari ad-duljah ((berangkat di waktu malam) ".
Penjelasan dari Kitab Fathul Baari.
Maksudnya agama Islam adalah agama yang memiliki kemudahan, atau disebut dengan agama yang mudah karena berbeda dengan agama-agama lainnya, dimana Allah telah menghilangkan kesulitan-kesulitan seperti yang dibebankan kepada umat-umat terdahulu, sebagai contoh cara taubat umat terdahulu adalah dengan jalan bunuh diri, sedangkan taubat umat ini hanya dengan meninggalkan perbuatan tersebut dan menyesalinya serta bertekad untuk tidak mengulangi lagi.
Yang paling disukai Allah adalah yang paling mudah. Hal ini diperkuat oleh hadits Ahmad, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Yang paling baik dari agamamu adalah yang paling mudah"
Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT sbb, "Dia sekali-kali tidak menjadikan untukmu dalam agama sesuatu kesempitan. (ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim" (Al Hajj:78)
Seseorang yang terlalu tenggelam dalam amalan-amalan agama (spiritual) dan tidak memperhatikan aspek kemudahan dalam agama, maka ia tidak akan mampu melakukannya dengan sempurna.
Dalam hadits Mahjan bin Al Adra' dari AHmad, "Kalian tidak akan mendapatkan perkara ini dengan berlebih-lebihan, karena sebaik-baiknya agama kalian adalah yang mudah"
Hadits ini merupakan anjuran untuk melaksanakan rukhsah (keringanan atau dispensasi) yang diberikan dalam agama, karena melaksanakan Azimah (hukum asal) pada waktu dibolehkan melakukan rukhsah adalah perbuatan yang memberatkan. Sebagai contoh, orang yang tidak melaksanakan tayammum pada saat tidak mampu menggunakan air, maka akan membahayakan dan memberatkan dirinya.
Kerjakanlah ibadah ini dengan baik dan benar (tidak berlebihan dan tidak menguranginya). Jika kamu tidak dapat mengerjakannya dengan sempuran, maka kerjakanlah yang mendekati kesempurnaan.
Kesimpulan, bahwa pada hadits ini, Imam Bukhari ingin menjelaskan bahwa dalam melakukan perbuatan-perbuatan (amalan-amalan) tersebut sebaiknya tidak berlebihan, akan tetapi sebaiknya dilakukan secara bertahap dan perlahan-lahan sehingga dapat melaksanakannya secara terus menerus.
Wallahua'lam
دَّثَنَا عَبْدُ السَّلَامِ بْنُ مُطَهَّرٍ قَالَ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ مَعْنِ بْنِ مُحَمَّدٍ الْغِفَارِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنْ الدُّلْجَةِ
(BUKHARI - 38) :Dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan (semakin berat dan sulit). Maka berlakulah lurus kalian, mendekatlah (kepada yang benar) dan berilah kabar gembira dan minta tolonglah dengan Al Ghadwah (berangkat di awal pagi) dan ar-ruhah (berangkat setelah zhuhur) dan sesuatu dari ad-duljah ((berangkat di waktu malam) ".
Penjelasan dari Kitab Fathul Baari.
Maksudnya agama Islam adalah agama yang memiliki kemudahan, atau disebut dengan agama yang mudah karena berbeda dengan agama-agama lainnya, dimana Allah telah menghilangkan kesulitan-kesulitan seperti yang dibebankan kepada umat-umat terdahulu, sebagai contoh cara taubat umat terdahulu adalah dengan jalan bunuh diri, sedangkan taubat umat ini hanya dengan meninggalkan perbuatan tersebut dan menyesalinya serta bertekad untuk tidak mengulangi lagi.
Yang paling disukai Allah adalah yang paling mudah. Hal ini diperkuat oleh hadits Ahmad, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Yang paling baik dari agamamu adalah yang paling mudah"
Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT sbb, "Dia sekali-kali tidak menjadikan untukmu dalam agama sesuatu kesempitan. (ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim" (Al Hajj:78)
Seseorang yang terlalu tenggelam dalam amalan-amalan agama (spiritual) dan tidak memperhatikan aspek kemudahan dalam agama, maka ia tidak akan mampu melakukannya dengan sempurna.
Dalam hadits Mahjan bin Al Adra' dari AHmad, "Kalian tidak akan mendapatkan perkara ini dengan berlebih-lebihan, karena sebaik-baiknya agama kalian adalah yang mudah"
Hadits ini merupakan anjuran untuk melaksanakan rukhsah (keringanan atau dispensasi) yang diberikan dalam agama, karena melaksanakan Azimah (hukum asal) pada waktu dibolehkan melakukan rukhsah adalah perbuatan yang memberatkan. Sebagai contoh, orang yang tidak melaksanakan tayammum pada saat tidak mampu menggunakan air, maka akan membahayakan dan memberatkan dirinya.
Kerjakanlah ibadah ini dengan baik dan benar (tidak berlebihan dan tidak menguranginya). Jika kamu tidak dapat mengerjakannya dengan sempuran, maka kerjakanlah yang mendekati kesempurnaan.
Kesimpulan, bahwa pada hadits ini, Imam Bukhari ingin menjelaskan bahwa dalam melakukan perbuatan-perbuatan (amalan-amalan) tersebut sebaiknya tidak berlebihan, akan tetapi sebaiknya dilakukan secara bertahap dan perlahan-lahan sehingga dapat melaksanakannya secara terus menerus.
Wallahua'lam
Ringkasan Tafsir Al Israa ayat 36 Tentang segala sesuatu yang ada dalam diri kita dan yang kita lakukan akan dimintai pertanggung jawaban
Surah Al Isra:36
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (Al Isra:36)
Penjelasan
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya......."
Maksudnya, jangan mengikuti apa yang tidak kamu ketahui dan tidak penting bagimu. Jika kita memiliki pengetahuan, maka manusia boleh menetapkan suatu hukum berdasarkan pengetahuannya itu. (Tafsir Imam Qurthubi)
".......Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya"
Maksudnya masing-masing dari semua itu ditanya tentang apa yang dilakukannya. Hati ditanya tentang apa yang dia pikirkan dan dia yakini. Pendengaran dan penglihatan ditanya tentang apa yang dia lihat, dan pendengaran ditanya tentang apa yang ia dengar. Semua anggota tubuh akan diminta pertanggungjawaban di hari kiamat. (Tafsir Imam Qurthubi, Ibnu Katsir.)
Allah SWT melarang mengatakan sesuatu tanpa pengetahuan, bahkan melarang pula mengatakan sesuatu berdasarkan zan (dugaan) yang bersumber dari sangkaan dan ilusi (Tafsir Ibnu Katsir)
"Dan janganlah kamu mengikuti (Al-qafwu, maknanya adalah al-ittiba' yaitu mengikuti) apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang..."
Hikmah dari ayat ini adalah memberikan batasan-batasan hukuman, karena banyak kerusakan yang disebabkan oleh perkataan yang tanpa dasar. Janganlah kamu mengikuti perkataan dan perbuatan yang tidak kamu ketahui ilmunya, dan janganlah kamu mengucapkan aku melihat ini padahal aku mendengar ini padahal kamu tidak mendengarnya. Firmannya ,"Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabnya"
Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui ilmunya, karena Allah Ta'ala akan menanyakan anggota badan ini pada hari Kiamat tentang apa yang telah di ucapkan oleh pemiliknya atau yang dikerjakannya maka dia akan bersaksi dengan apa yang dia ucapkan atau yang dikerjakan dari perkataan dan perbuatan yang dilarang.
Haram berkata atau berbuat tanpa didasari oleh ilmu, karena dapat menyebabkan kerusakan. Dan Allah Ta'ala akan menanyakan seluruh anggota badan dan meminta persaksiannya pada hari Kiamat. (Tafsir Al Aisar)
Wallahua'lam
Rabu, 01 Desember 2010
Ringkasan tafsir Surah An Nisaa 59, tentang ketaatan kepada Ulil Amri, diambil dari penjelasan tafsir Surah Annisa ayat 59.
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An Nisaa ; 59)
Berikut adalah ringkasan tafsir ayat diatas diambil dari beberapa Muffassirun (beberapa kitab tafsir para ulama tafsir)
Tafsir Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di
Allah memerintahkan untuk taat kepada Nya dan rasul Nya dengan melaksanakan perintah keduanya yang wajib dan yang sunnah serta menjauhi larangan keduanya. Allah juga memerintahkan untuk taat kepada para pemimpin, mereka itu adalah orang-orang yang memegang kekuasaan atas manusia, yaitu para penguasa, para hakim dan para ahli fatwa (mufti), sesungguhnya tidaklah akan berjalan baik urusan agama dan dunia manusia kecuali dengan taat dan tunduk kepada mereka, sebagai suatu tindakan ketaatan kepada Allah dan mengharap apa yang ada di sisiNya, akan tetapi dengan syarat bila mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiatan kepada Allah, dan bila mereka memerintahkan kepada kemaksiatan kepada Allah, maka tidak ada ketaatan kepada mahluk dalam kemaksiatan kepada Allah. Dan bisa jadi inilah rahasia dari dihilangkannya kata kerja "taat" pada perintah taat kepada mereka dan penyebutannya bersama dengan taat kepada Rasul, karena sesungguhnya Rasul tidaklah memerintahkan kecuali ketaatan kepada Allah, dan barang siapa yang taat kepadanya sesungguhnya ia telah taat kepada Allah, adapun para pemimpin maka syarat taat kepada mereka adalah bahwa apa yang diperintahkan bukanlah suatu kemaksiatan..
Kemudian Allah memerintahkan agar mengembalikan segala perkara yang diperselisihkan oleh manusia dari perkara-perkara yang merupakan dasar-dasar agama ataupun cabang-cabangnya kepada Allah dan RasulNya, maksudnya kepada kitabullah dan sunnah RasulNya, karena pada kedua hal itu ada keputusan yang adil bagi seluruh masalah yang diperselisihkan, yaitu dengan pengukapannya secara jelas oleh keduanya atau secara umum atau isyarat atau peringatan atau pemahaman atau keumuman makna yang dapat diqiyaskan dengannya segala hal yang sejenis dengan keumuman makna tersebut, karena sesungguhnya diatas kitabullah dan sunnah RasulNya agama tegak berdiri, dan tidaklah akan lurus iman seseorang kecuali dengan mengimani keduanya.
".....taatilah Allah, dan taatilah RasulNya dan ulil amri diantara kamu....", maksudnya adalah ulama ahli fikih dan ahli agama (Tafsir Ibnu Abbas)
Ayat dalam surah Annisa ;59 ini juga tentang dalil dilakukannya qiyas, bila hukum dari sesuatu hal masih diperselisihkan, dan belum diketahui dari satu nashpun kepada nash-nash yang ada, hanya dapat dilakukannya dengan cara menyamakan keduanya. Dan Firman Allah "...Kemudian jika kamu berselisih pendapat.." ..Penjelasan ayat ini adalah, bahwa ketika tidak ada perselisihan (diantara para ulama), maka seorang muslim harus mengamalkan hukum yang telah disepakati. Inilah yang dimaksud dengan ijma', seperti yang dijelaskan oleh Al-Alusi dalam kitab tafsirnya ...(Tafsir Adhwa'ul Bayan, Syaikh Asy-Syanqithi)
Tafsir Al Qurthubi..
Penjelasan ayat "...Taatilah Allah, dan taatilah RasulNya dan ulil amri diantara kamu...."
Ayat diatas membahas perihal pemimpin dan perintah bagi mereka untuk menunaikan amanat, begitu juga menetapkan hukum diantara manusia dengan adil. Ayat ini ditujukan untuk rakyat, pertama-tama diperintah untuk taat kepada Allah SWT yaitu dengan mengerjakan perintah-perintah Nya dan menjauhi segala larangan Nya, lalu taat kepada Rasul Nya dengan apa-apa yang diperintah dan dilarang, kemudian taat kepada ulil amri, sesuai penapat mayoritas ulama, seperti Abu Hurairah, Ibnu Abbas dan selain mereka.
Al Qurthubi berkata, Diriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib RA, bahwa ia berkata, "Kewajiban seorang pemimpin adalah berhukum dengan adil dan menunaikan amanat, jika itu dilakukan, maka wajib bagi kaum muslimin untuk menaatinya karena Allah SWT memerintahkan kita untuk menunaikan amanat dan berlaku adil, lalu memerintahkan kita untuk taat kepada mereka"
Mujahid dan Jabir bin Abdullah berkata, "Ulil amri (pemerintah) adalah ahli Al Qur'an dan ilmu" ini merupakan yang dipilih oleh Malik Rahimahullah.
Adapun perkataan kedua sesuai dengan firman Allah SWT, "Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnahnya)", dan tidaklah selain ulama mengetahui bagaimana mengembalikan kepada Al Qur'an dan sunnah, hal ini menunjukkan bahwa wajib bertanya kepada para ulama, serta wajib melaksanakan fatwa mereka.
Sahl bin Abdullah rahimahullah berkata, "Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mengagungkan pemimpin dan ulama, maka jika mereka mengagungkan keduanya, Allah akan menjadikan baik kehidupan dunia dan akhirat merkea dan jikaa mengabaikan keduanya dunia dan akhirat mereka akan rusak.
Tafsir Al Aisar, Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi
Salah satu kesimpulan dari ayat ini menurut tafsir Al Aisar adalah, Wajib taat kepada Allah dan Rasul Nya serta para penguasa muslim, baik para hakim atau ulama fikih, karena taat kepada Rasul adalah termasuk taat kepada Allah, dan taat kepada penguasa termasuk taat kepada Rasul SAW, berdasarkan hadits, "Barangsiapa yang menaatiku maka dia telah taat kepada Allah, dan barangsiapa yang taat kepada waliku maka telah taat kepadaku, dan barangsiapa bermaksiat kepadaku maka ia telah bermaksiat kepada Allah, dan barangsiapa yang bermaksiat terhadap waliku maka ia telah bermaksiat kepadaku (HR Asy Syaikhan)
Tafsir Ibnu Katsir
Sesuai dengan hadits riwayat Imam Bukhari, Dari Abu Hurairah RA, "Kekasihku (Nabi SAW) telah mewasiatkan kepadaku agar aku tunduk dan patuh (kepada pemimpin), sekalipun dia (si pemimpin) adalah budak Habsyi yang cacat anggota tubuhnya (tuna daksa)
Dari Ummul Husain, "Seandainya seorang budak memimpin kalian dengan memakai pedoman Kitabullah, maka tunduk dan patuhlah kalian kepadanya" (HR Muslim) (sesuai dengan penjelasan sebelumnya, bahwa ulil amri adalah pemimpin, ahli fikih, hakim, ulama yang menggunakan kitabullah dalam mengambil istimbath hukum)
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda, "Barang siapa yang melihat dari pemimpinnya sesuatu hal yang tidak disukainya, hendaklah ia bersabar. Karena sesungguhnya tidak sekali-kali seseorang memisahkan diri dari jamaah sejauh sejengkal, lalu ia mati, melainkan ia mati dalam keadaan mati jahiliah" (HR Bukhari, Muslim)
Makna dzahir ayat "ulil amri" adalah umum mencakup semua ulil amri dari kalangan pemerintah, juga para ulama..(Mujahid, Ata, Al Hasan Al Basri, dan Abul Aliyah)
Wallahua'lam
Berikut adalah ringkasan tafsir ayat diatas diambil dari beberapa Muffassirun (beberapa kitab tafsir para ulama tafsir)
Tafsir Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di
Allah memerintahkan untuk taat kepada Nya dan rasul Nya dengan melaksanakan perintah keduanya yang wajib dan yang sunnah serta menjauhi larangan keduanya. Allah juga memerintahkan untuk taat kepada para pemimpin, mereka itu adalah orang-orang yang memegang kekuasaan atas manusia, yaitu para penguasa, para hakim dan para ahli fatwa (mufti), sesungguhnya tidaklah akan berjalan baik urusan agama dan dunia manusia kecuali dengan taat dan tunduk kepada mereka, sebagai suatu tindakan ketaatan kepada Allah dan mengharap apa yang ada di sisiNya, akan tetapi dengan syarat bila mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiatan kepada Allah, dan bila mereka memerintahkan kepada kemaksiatan kepada Allah, maka tidak ada ketaatan kepada mahluk dalam kemaksiatan kepada Allah. Dan bisa jadi inilah rahasia dari dihilangkannya kata kerja "taat" pada perintah taat kepada mereka dan penyebutannya bersama dengan taat kepada Rasul, karena sesungguhnya Rasul tidaklah memerintahkan kecuali ketaatan kepada Allah, dan barang siapa yang taat kepadanya sesungguhnya ia telah taat kepada Allah, adapun para pemimpin maka syarat taat kepada mereka adalah bahwa apa yang diperintahkan bukanlah suatu kemaksiatan..
Kemudian Allah memerintahkan agar mengembalikan segala perkara yang diperselisihkan oleh manusia dari perkara-perkara yang merupakan dasar-dasar agama ataupun cabang-cabangnya kepada Allah dan RasulNya, maksudnya kepada kitabullah dan sunnah RasulNya, karena pada kedua hal itu ada keputusan yang adil bagi seluruh masalah yang diperselisihkan, yaitu dengan pengukapannya secara jelas oleh keduanya atau secara umum atau isyarat atau peringatan atau pemahaman atau keumuman makna yang dapat diqiyaskan dengannya segala hal yang sejenis dengan keumuman makna tersebut, karena sesungguhnya diatas kitabullah dan sunnah RasulNya agama tegak berdiri, dan tidaklah akan lurus iman seseorang kecuali dengan mengimani keduanya.
".....taatilah Allah, dan taatilah RasulNya dan ulil amri diantara kamu....", maksudnya adalah ulama ahli fikih dan ahli agama (Tafsir Ibnu Abbas)
Ayat dalam surah Annisa ;59 ini juga tentang dalil dilakukannya qiyas, bila hukum dari sesuatu hal masih diperselisihkan, dan belum diketahui dari satu nashpun kepada nash-nash yang ada, hanya dapat dilakukannya dengan cara menyamakan keduanya. Dan Firman Allah "...Kemudian jika kamu berselisih pendapat.." ..Penjelasan ayat ini adalah, bahwa ketika tidak ada perselisihan (diantara para ulama), maka seorang muslim harus mengamalkan hukum yang telah disepakati. Inilah yang dimaksud dengan ijma', seperti yang dijelaskan oleh Al-Alusi dalam kitab tafsirnya ...(Tafsir Adhwa'ul Bayan, Syaikh Asy-Syanqithi)
Tafsir Al Qurthubi..
Penjelasan ayat "...Taatilah Allah, dan taatilah RasulNya dan ulil amri diantara kamu...."
Ayat diatas membahas perihal pemimpin dan perintah bagi mereka untuk menunaikan amanat, begitu juga menetapkan hukum diantara manusia dengan adil. Ayat ini ditujukan untuk rakyat, pertama-tama diperintah untuk taat kepada Allah SWT yaitu dengan mengerjakan perintah-perintah Nya dan menjauhi segala larangan Nya, lalu taat kepada Rasul Nya dengan apa-apa yang diperintah dan dilarang, kemudian taat kepada ulil amri, sesuai penapat mayoritas ulama, seperti Abu Hurairah, Ibnu Abbas dan selain mereka.
Al Qurthubi berkata, Diriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib RA, bahwa ia berkata, "Kewajiban seorang pemimpin adalah berhukum dengan adil dan menunaikan amanat, jika itu dilakukan, maka wajib bagi kaum muslimin untuk menaatinya karena Allah SWT memerintahkan kita untuk menunaikan amanat dan berlaku adil, lalu memerintahkan kita untuk taat kepada mereka"
Mujahid dan Jabir bin Abdullah berkata, "Ulil amri (pemerintah) adalah ahli Al Qur'an dan ilmu" ini merupakan yang dipilih oleh Malik Rahimahullah.
Adapun perkataan kedua sesuai dengan firman Allah SWT, "Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (Sunnahnya)", dan tidaklah selain ulama mengetahui bagaimana mengembalikan kepada Al Qur'an dan sunnah, hal ini menunjukkan bahwa wajib bertanya kepada para ulama, serta wajib melaksanakan fatwa mereka.
Sahl bin Abdullah rahimahullah berkata, "Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mengagungkan pemimpin dan ulama, maka jika mereka mengagungkan keduanya, Allah akan menjadikan baik kehidupan dunia dan akhirat merkea dan jikaa mengabaikan keduanya dunia dan akhirat mereka akan rusak.
Tafsir Al Aisar, Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi
Salah satu kesimpulan dari ayat ini menurut tafsir Al Aisar adalah, Wajib taat kepada Allah dan Rasul Nya serta para penguasa muslim, baik para hakim atau ulama fikih, karena taat kepada Rasul adalah termasuk taat kepada Allah, dan taat kepada penguasa termasuk taat kepada Rasul SAW, berdasarkan hadits, "Barangsiapa yang menaatiku maka dia telah taat kepada Allah, dan barangsiapa yang taat kepada waliku maka telah taat kepadaku, dan barangsiapa bermaksiat kepadaku maka ia telah bermaksiat kepada Allah, dan barangsiapa yang bermaksiat terhadap waliku maka ia telah bermaksiat kepadaku (HR Asy Syaikhan)
Tafsir Ibnu Katsir
Sesuai dengan hadits riwayat Imam Bukhari, Dari Abu Hurairah RA, "Kekasihku (Nabi SAW) telah mewasiatkan kepadaku agar aku tunduk dan patuh (kepada pemimpin), sekalipun dia (si pemimpin) adalah budak Habsyi yang cacat anggota tubuhnya (tuna daksa)
Dari Ummul Husain, "Seandainya seorang budak memimpin kalian dengan memakai pedoman Kitabullah, maka tunduk dan patuhlah kalian kepadanya" (HR Muslim) (sesuai dengan penjelasan sebelumnya, bahwa ulil amri adalah pemimpin, ahli fikih, hakim, ulama yang menggunakan kitabullah dalam mengambil istimbath hukum)
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda, "Barang siapa yang melihat dari pemimpinnya sesuatu hal yang tidak disukainya, hendaklah ia bersabar. Karena sesungguhnya tidak sekali-kali seseorang memisahkan diri dari jamaah sejauh sejengkal, lalu ia mati, melainkan ia mati dalam keadaan mati jahiliah" (HR Bukhari, Muslim)
Makna dzahir ayat "ulil amri" adalah umum mencakup semua ulil amri dari kalangan pemerintah, juga para ulama..(Mujahid, Ata, Al Hasan Al Basri, dan Abul Aliyah)
Wallahua'lam
LELAKI YANG SENANTIASA BERLAPANG DADA
Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW, bahwasanya beliau berdabda, “Sesungguhnya ada seorang laki-laki yang tidak pernah sekalipun berbuat baik, hanya saja dia biasa member pinjaman hutang kepada orang lain. Suatu hari dia berkata kepada pesuruhnya, “Ambillah berapapun yang disetorkan, jangan mempersulit orang dan sering-seringlah member maaf, mudah-mudahan Allah berkenan mengampuni kita”
Setelah laki-laki itu meninggal dunia Allah SWT bertanya, Apakah kamu pernah berbuat baik” Laki-laki itu dengan jujur menjawab, “TIdak, hanya saja aku mempunyai seorang pembantu dan aku biasa memberikan pinjaman kepada orang lain, ketika aku meminta pembantuku untuk menagih, selalu saja aku berpesan kepadanya, “Ambillah berapapun yang dia berikan, jangan mempersulit orang dan sering-seringlah member maaf, mudah-mudahan Allah mengampuni kita”
Kemudian Allah berkata, “Cukup, aku telah mengampunimu” (Hadits Shohih, Riwayat An-Nasai, Ahmad, Bukhori, Muslim, At Tirmidzi, Ibnu Abi Syaibah dan Hakim)
Pelajaran/Hikmah dari hadits diatas... :
1. Keutamaan berlapang dada dan member maaf kepada orang lain, dan berlaku baik saat mengadakan transaksi (jual beli)
2. Menerangkan betapa luasnya rahmat dan Ampunan Allah SWT. Bisa saja suatu amalan yang kecil / sepele (menurut kita) namun mendatangkan pahala yang besar (bernilai besar disisi Allah)
3. Perlakuan Allah terhadap seorang hamba sangat tergantung dan sesuai dengan bagaimana hamba tersebut bermuamalah kepada sesama hamba Allah. Seseorang yang berhati Kasar dan Kaku, maka demikian juga Allah memperlakukan hamba tersebut dengan kasar dan kaku. Dan barangsiapa berlemah lembut, sayang serta memberi kemudahan kepada sesama manusia, maka Allah pun akan berlembah lembut dan sayang kepadanya.
4. Anjuran untuk bergaul dan bermasyarakat, jika dapat memberikan manfaat maupun meringankan beban sesamanya.
Wallahua'lam bishowab..
Diringkas dari buku berjudul 61 Kisah Pengantar Tidur, Karangan Muhammad bin Hamid Abdul Wahab, penerbit Darul Haq
Setelah laki-laki itu meninggal dunia Allah SWT bertanya, Apakah kamu pernah berbuat baik” Laki-laki itu dengan jujur menjawab, “TIdak, hanya saja aku mempunyai seorang pembantu dan aku biasa memberikan pinjaman kepada orang lain, ketika aku meminta pembantuku untuk menagih, selalu saja aku berpesan kepadanya, “Ambillah berapapun yang dia berikan, jangan mempersulit orang dan sering-seringlah member maaf, mudah-mudahan Allah mengampuni kita”
Kemudian Allah berkata, “Cukup, aku telah mengampunimu” (Hadits Shohih, Riwayat An-Nasai, Ahmad, Bukhori, Muslim, At Tirmidzi, Ibnu Abi Syaibah dan Hakim)
Pelajaran/Hikmah dari hadits diatas... :
1. Keutamaan berlapang dada dan member maaf kepada orang lain, dan berlaku baik saat mengadakan transaksi (jual beli)
2. Menerangkan betapa luasnya rahmat dan Ampunan Allah SWT. Bisa saja suatu amalan yang kecil / sepele (menurut kita) namun mendatangkan pahala yang besar (bernilai besar disisi Allah)
3. Perlakuan Allah terhadap seorang hamba sangat tergantung dan sesuai dengan bagaimana hamba tersebut bermuamalah kepada sesama hamba Allah. Seseorang yang berhati Kasar dan Kaku, maka demikian juga Allah memperlakukan hamba tersebut dengan kasar dan kaku. Dan barangsiapa berlemah lembut, sayang serta memberi kemudahan kepada sesama manusia, maka Allah pun akan berlembah lembut dan sayang kepadanya.
4. Anjuran untuk bergaul dan bermasyarakat, jika dapat memberikan manfaat maupun meringankan beban sesamanya.
Wallahua'lam bishowab..
Diringkas dari buku berjudul 61 Kisah Pengantar Tidur, Karangan Muhammad bin Hamid Abdul Wahab, penerbit Darul Haq
PUASA ARAFAH IKUT SAUDI?
Ustadz, kita puasa Arafah hari ini apa besok? Antum ikut Saudi apa ikut pemerintah? Hari ini kan wukuf di Arafah, kok kita puasanya besok? Kalau puasanya besok, lalu namanya puasa apa? Dan begitulah pertanyaan sampai ke saya bertubi-tubi, baik lewat sms, hp, email bahkan selesai ceramah di beberapa tempat, saya dikerubuti orang-orang yang kebingungan dan ingin minta penjelasan.
Saya mafhum dengan semua pertanyaan itu, meski pertanyaan model ini sudah berulang-ulang tiap tahun, khususnya bila keputusan pemerintah RI cq. Kementerian Agama berbeda keputusan pemerintah Saudi Arabia. Saya jawab insya Allah nanti saya tulis penjelasan yang agak lebih panjang biar lebih puas.
Namun sebelum menjawab semua pertanyaan di atas, ada baiknya saya tulis dulu dasar-dasar ketentuan syariah yang perlu kita pahami, sebagai basic knowledge dalam memahami masalah ini.
Lebaran : 100% Otoritas Pemerintah
Banyak orang kurang mengerti bahwa sebenarnya dalam syariah Islam, penetapan tanggal dalam syariah 100 persen adalah keputusan politik, dimana peran penguasa menjadi sangat mutlak. Dan rakyat yang ada di wilayah negeri itu terikat secara syariah dan hukum atas ketetapan pemerintahnya.
Dasarnya adalah apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para shahabat serta perilaku umat Islam sepanjang 14 abad ini. Sehingga hal itu sudah menjadi ijma` di kalangan ulama.
1. Masa Rasulullah SAW
Di masa Rasulullah SAW, meski ada banyak laporan tentang penampakan hilal (bulan sabit) yang masuk dan berbeda-beda, namun yang berwenang menetapkan jatuhnya tanggal 1 awal bulan Ramadhan, 1 Syawwal atau 1 Dzulhijjah adalah Rasulullah SAW, bukan sebagai Nabi melainkan dalam kapasitasnya sebagai kepala negara.
Boleh dibilang beliau adalah satu-satunya otoritas tunggal yang berwenang untuk menetapkan kata akhir dari sekian banyak hujjah, ijtihad dan pendapat dalam penetapan tanggal. Tidak boleh ada pihak yang memutuskan jatuhnya pergantian bulan sebelum kepala negara menetapkannya. Dan kalau ketetapan itu sudah dijatuhkan, seluruh rakyat harus ikut.
2. Masa Abu Bakar
Sepeninggal Rasulullah SAW, Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahuanhu menjadi khalifah (pengganti) beliau dalam kapasitas sebagai kepala negara. Maka semua laporan hasil rukyat hilal disampaikan kepada beliau, untuk beliau putuskan mana dari berbagai ijtihad itu yang dipilih dan ditetapkan. Sekali seorang kepala negara menetapkan, maka keputusan itu mengikat mutlak kepada rakyatnya.
3. Masa Umar
Ketika Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu menjadi Amirul Mukminin, tiap menjelang bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah selalu masuk berbagai laporan hasil rukyat hilal. Dan tentunya isinya berbeda-beda. Namun kata akhir ada di lidah Umar. Beliau adalah satu-satunya pihak yang berwenang untuk menetapkannya.
4. Praktek Semua Khilafah Islam Selama 14 Abad
Dan begitulah, sepanjang 14 abad di seluruh dunia Islam, penetapan tanggal itu tidak menjadi domain rakyat, baik sebagai individu atau pun kelompok, melainkan menjadi domain penguasa. Intinya, penguasa adalah otoritas tunggal dalam penetapan tanggal.
Dalam kenyataannya, di masa Nabi dan para khalifah penggantinya itu, kalau seandainya ada seseorang yang dengan mata kepalanya sendiri telah melihat hilal, maka dia wajib berpegang teguh dengan apa yang dilihatnya, meski berbeda dengan ketentuan penguasa.
Dasarnya adalah firman Allah SWT :
Bila kamu melihat bulan itu maka puasalah (QS. Al-Baqarah : 185)
Tetapi kalau dirinya tidak melihat hilal secara langsung, hanya katanya dan katanya, sebenarnya itu sudah termasuk taqlid. Dan karena hanya taqlid dari orang yang mengaku melihat hilal, dirinya tidak wajib menerimanya. Sebaliknya dalam hal ini, justru dia wajib untuk ikut ketetapan khalifah sebagai pemerintah yang sah, ketimbang mengikuti kata satu atau dua orang lain.
Dasarnya adalah firman Allah :
Hai orang-orang yang beriman, ta''atilah Allah dan ta''atilah Rasul , dan ulil amri di antara kamu. (QS. Am-Nisa`: 59)
Sampai sekarang, meski negeri-negeri Islam telah terpecah menjadi kecil-kecil dengan wilayah-wilayah yang sempit, tetapi di dalam negeri masing-masing, penetapan tanggal itu tetap menjadi domain pemerintahnya. Kalau pemerintah itu sudah ketuk palu, maka siapa pun tidak boleh mengeluarkan fatwa sendiri. Tindakan nekat seperti itu dianggap menyalahi aturan syariat, karena itu wajib diperangi.
Meski barangkali ijtihad pihak itu benar, tetapi karena penetapan tanggal itu domain pemerintah, tetap saja tindakan mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan apa yang sudah ditetapkan oleh otoritas penguasa dianggap sebagai bughat, atau pembangkangan dan penentangan.
Keanehan Indonesia
Pemandangan seperti di negeri kita, dimana ketika Pemerintah telah menetapkan tanggal, lalu ada saja pihak-pihak yang menetapkan sendiri, adalah pemandangan yang aneh kalau kita bandingkan di dunia arab saat ini. Aneh, karena sedemikian lemahnya kedudukan pemerintah dan sedemikian nekatnya ormas-ormas itu telah menerobos keluar dari batas wilayah yang menjadi kewenangannya.
Pemandangan ini amat kontras kalau kita perhatikan dengan apa yang terjadi di berbagai negeri Islam yang lain. Jangan coba-coba rakyat membuat keputusan sendiri tentang penanggalan.
Di Mesir memang ada ribuan kelompok umat Islam yang sering bertikai dan sering saling melecehkan satu sama lain. Tetapi ketika mufti Mesir sebagai representasi dari pemerintah yang sah telah menetapkan kapan lebaran, semua pihak bersatu, kompak, dan tunduk serta taat kepada ketetapan itu.
Di Saudi Arabia demikian juga, meski ada banyak ulama dengan masing-masing alirannya, kadang mereka pun berbeda pendapat dalam penetapan awal bulan, tetapi ketika pihak mufti kerajaan sudah ketuk palu, semua ikut dan patuh pada ketetapan resmi itu.
Wukuf di Arafah itu asalnya mungkin saja bukan cuma satu kata, dan ada banyak ijtihad yang menetapkan wukuf itu hari Ahad, Senin atau Selasa. Tetapi ketika mufti menetapkan hari Senin, ya sudah. Semua tunduk dan patuh.
Hal yang sama kita saksikan juga di berbagai negeri Islam, bahwa ketetapan kapan jatuhnya awal Ramadhan, awal Syawwal, awal Dzulhijjah, sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah yang sah. Yang bukan pemerintah, dilarang mengeluarkan fatwa sendiri, apalagi bila bertentangan. Karena tindakan itu dianggap makar yang ingin mengacaukan bangsa.
Beda Pemerintahan Beda Otoritas
Dalam perkembangannya, ketika Islam sudah meluaskan wilayah ke berbagai penjuru dunia, maka wilayah yang luas itu mengalami perbedaan waktu terbit bulan dan matahari. Siang di suatu wilayah akan menjadi pagi atau sore di wilayah yang lain.
Sehingga perbedaan itu pun ikut berpengaruh pada wewenang dalam penetapan tanggal juga, selama di tiap wilayah itu ada otoritas pemerintahan juga. Bahkan meski pemerintahan itu masih bagian dari pemerintahan induk, namun dimungkinkan terjadinya perbedaan dalam penetapan tanggal.
Hal itu terjadi di masa para shahabat, ketika Muawiyah bin Abu Sufyan yang tinggal di Syam, dimana beliau berstatus sebagai khalifah, telah menetapkan awal Ramadhan yang jatuh pada hari Jumat, namun otoritas pemerintah di Madinah menetapkan bahwa 1 Ramadhan jatuh pada hari Sabtu.
Dari Kuraib : Sesungguhnya Ummu Fadl binti Al-Haarits telah mengutusnya menemui Mu`awiyah di Syam. Berkata Kuraib : Lalu aku datang ke Syam, terus aku selesaikan semua keperluannya. Dan tampaklah olehku (bulan) Ramadlan, sedang aku masih di Syam, dan aku melihat hilal (Ramadlan) pada malam Jum`at. Kemudian aku datang ke Madinah pada akhir bulan (Ramadlan), lalu Abdullah bin Abbas bertanya ke padaku (tentang beberapa hal), kemudian ia menyebutkan tentang hilal, lalu ia bertanya ; "Kapan kamu melihat hilal (Ramadlan) ? Jawabku : "Kami melihatnya pada malam Jum`at". Ia bertanya lagi : "Engkau melihatnya (sendiri) ?" Jawabku : "Ya ! Dan orang banyak juga melihatnya, lalu mereka puasa dan Mu`awiyah Puasa". Ia berkata : "Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka senantiasa kami berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari, atau sampai kami melihat hilal (bulan Syawwal) ". Aku bertanya : "Apakah tidak cukup bagimu rukyah (penglihatan) dan puasanya Mu`awiyah ? Jawabnya : "Tidak ! Begitulah Rasulullah SAW telah memerintahkan kepada kami". (HR. Muslim)
Jadi ada perbedaan penetapan tanggal 1 Ramadhan antara Syam sebagai pusat pemerintahan dengan Madinah Al-Munawwarah sebagai wilayah. Padahal secara de facto dan de jure, Madinah merupakan wilayah sah dan bagian dari Khilafah Bani Umayyah yang beribukota di Damaskus.
Satu hal yang menarik, kalau kita tarik garis lurus antara Damaskus dengan Madinah di Google Earth, jaraknya hanya sekitar 1000-an Km saja. Artinya jarak itu kalau di Indonesia hanya seperti Jakarta Bali. Artinya, jarak antara keduanya tidak terlalu jauh, tidak dipisahkan dengan siang atau malam.
Perbedaan atau pemisahan otoritas ini dimungkinkan dengan dua syarat. Pertama, wilayah itu terpisah jauh. Al-Imam Asy-Syafi`i menetapkan minimal 24 farsakh. Dengan hitungan meter, 1 farsakh adalah 5.544 meter. Jadi 24 farsakh sama dengan 5.544 x 24 = 133,057 km.
Kedua, di kedua wilayah itu memang ada otoritas pemerintahan yang sah, dimana ketetapan itu ditetapkan oleh pemerintahan masing-masing.
Karena hadits di atas itulah maka kita saksikan di zaman sekarang ini, masing-masing pemerintah negeri Islam kadang berbeda dalam menetapkan kapan jatuhnya awal Ramadhan, awal Syawaal atau awal Dzulhijjah. Pemerintah Mesir sering berbeda dengan pemerintah Saudi. Pemerintah Sudan sering berbeda dengan Libiya, Tunis, Turki, Syria, Jordan, Libanon, Iran atau Iraq.
Secara syar`i, perbedaan itu dimungkinkan, lantaran masing-masing pemerintahan itu berjauhan secara geografis, dan juga independen secara hukum. Pemerintah yang satu tidak mengikat pemerintahan yang lain. Semua berdiri sendiri-sendiri dengan otoritas penuh atas rakyat yang tinggal di masing-masing negeri.
Puasa Arafah Saat Wukuf?
Yang sekarang menjadi pertanyaan adalah bila kebetulan satu pemerintahan menetapkan tanggal yang berbeda dengan ketetapan pemerintah Saudi Arabia dalam masalah wukuf di Arafah, lalu apakah rakyat yang tinggal di negeri itu ikut puasa dengan tanggal yang ditetapkan pemerintah Saudi, ataukah tetap dengan tanggal yang telah ditetapkan oleh pemerintah negerinya sendiri?
Pertanyaan ini menjadi amat penting, mengingat banyak orang yang mengaitkan puasa tanggal 9 Arafah dengan hari wukuf di Arafah.
Contohnya saat ini, Pemerintah Saudi menetapkan wukuf pada hari Senin, karena tanggal 10 Dzhulhijjah ditetapkan jatuh pada hari Selasa, 16 Nopember 2010. Sementara pemerintah Indonesia menetapkan bahwa 10 Dzulhijjah jatuh pada hari Rabu, 17 Nopember 2010. Berarti tanggal 9 Dzhuhijjah menurut penanggalan Indonesia, jatuh pada hari Selasa.
Lalu yang bikin bingung, umat Islam Indonesia puasa sunnah 9 Dzulhijjah kapan? Hari Senin-kah atau hari Selasa? Ikut Saudi kan atau ikut Indonesia?
Saya sendiri kebanjiran pertanyaan seperti ini dan agak kewalahan menjelaskannya. Karena itu saya serahan kepada mufti Saudi Arabia sendiri yang barangkali lebih punya otoritas untuk menjelaskannya. Beliau adalah ulama besar yang bernama Syeikh Al-Utsaimin. Dalam hal ini beliau punya jawaban yang semoga bisa menjadi jalan tengah atas perbedaan ini. Berikut kutipannya :
Syeikh Al-Utsaimin : Puasa Arafah Tidak Perlu Ikut Wukuf Arafah
Pandangan yang rajih adalah berbeda berdasar perbedaan mathla’ (dimana hilal itu dilihat di berbagai tempat). Misalnya, jika hilal sudah dapat terlihat di Mekah, dan hari ini adalah hari kesembilan. Kemudian di negeri lain hilal dapat dilihat sehari sebelum nampak di Mekah, maka hari arafah di Mekah adalah hari kesepuluh bagi mereka, maka ini tidak diperbolehkan bagi mereka untuk berpuasa di hari ini, karena hari tersebut adalah hari idul adha bagi mereka.
Atau sebaliknya jika hal ini terjadi dimana mereka melihat bulan sehari setelah Mekah, maka hari kesembilan (Dzulhijah) adalah tanggal 8 Djulhijjah bagi mereka, maka mereka harus berpuasa di tanggal 9 menurut mereka (walaupun bertepatan tanggal 10 bagi Mekah).I nilah pandangan yang rajih karena Nabi shalallahu alaihi wassalam mengatakan :
Apabila kamu melihat (hilal) berpuasalah, dan (juga) jika kamu melihatnya maka berbukalah.
Maka mereka yang tidak melihat hilal di negerinya maka dia belum melihatnya (sebagaimana hadist diatas). Sebagaimana manusia telah sepakat (ijma) menganggap terbitnya fajar atau terbenamnya matahari itu sesuai daerahnya. Dengan demikian penentuan waktu masuknya bulan sebagaimana penentuan waktu harian (yang berbeda tiap daerah). Ini adalah ijma’ para ulama.
Oleh karenanya, penduduk Asia Timur memulai puasa sebelum penduduk bagian barat. Dan berbuka sebelum mereka. Demikian juga matahari yang terbit dan tenggelam saling berbeda. Untuk yang seperti puasa harian ini berbeda maka begitu juga untuk puasa bulanan maka tentu sama.
Akan tetapi jika dua wilayah dalam satu pemerintahan, maka keputusan penguasa untuk berbuka dan berpuasa harus diikuti. Karena ini masalah khilafiyah sedangkan keputusan hakim itu mengankat khilaf. (Hukmul hakim yarfa’ul khilaf).
Berdasar ini maka berpuasa dan berbukalah bersama penduduk dimana kalian sekarang tinggal, entah sama dengan negeri asal kalian atau tidak. Demikian juga shaum Arafah, ikuti di negeri dimana kalian tinggal. (Majmu’ fatawa 20)
Ibnu Taimiyah : Puasa Arafah Ikut Tanggal Negeri Masing-masing
Selain pendapat Syeikh Al-Utsaimin di atas, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pun memandang masalah lebaran dan wukuf yang berbeda ini sesuai dengan tanggal yang ditetapkan oleh pemerintah masing-masing negeri.
Secara jelas dan tegas Ibnu Taimiyah mensahkan ru’yah penduduk Madinah dan tidak sedikitpun menyarankan untuk menunggu keputusan penduduk Mekkah.
Hal ini berarti Ibnu Taimiyah memandang bahwa Iedul Adha itu sesuai dengan terlihatnya hilal dinegeri masing-masing.
Nabi Puasa Arafah Tidak Ikut Wukuf
Dalam kenyataannya, ini yang kurang disadari oleh banyak orang, ternyata Rasulullah SAW tiap tahun berpuasa Arafah, tetapi di Arafah tidak ada orang yang wukuf.
Lho, kok bisa?
Ya, memang bisa. Sebab sebagaimana kita ketahui puasa Arafah itu disyariatkan jauh sebelum Rasulullah SAW melaksanakan ibadah haji. Ibadah puasa Arafah telah disyariatkan sejak awal beliau hijrah ke Madinah. Sedangkan ibadah haji baru dikerjakan di tahun kesepuluh dari hijrah beliau ke Madinah. Artinya, selama bertahun-tahun beliau berpuasa Arafah, di Arafah tidak ada orang yang wukuf.
Kita tahu bahwa wukuf di Arafah itu tidak ada dalam manasik haji orang-orang jahiliyah, mereka hanya mengenal manasik berbentuk tawaf saja, itu pun arah putarannya keliru. Mereka mengerjakannya searah dengan jaruh jam kalau dilihat dari atas. Padahal manasik haji Rasulullah SAW menetapkan bahwa tawaf di seputar ka`bah itu berlawanan dengan arah jarum jam kalau di lihat dari atas.
So, Nabi SAW berpuasa Arafah di Madinah selama bertahun-tahun tanpa mengacu kepada ada atau tidak adanya wukuf di Arafah. Pokoknya, kalau di Madinah sudah masuk tanggal 9 Dzulhijjah menurut hitungan mereka, maka beliau SAW dan para shahabat berpuasa. Urusan Mekkah ya urusan Mekkah, tapi urusan Madinah ya diurus oleh Madinah sendiri. Masing-masing mengatur urusan sendiri-sendiri.
Keanehan Berikutnya
Ada keanehan lagi mengikuti keanehan yang sudah ada, yaitu meski banyak yang puasa Arafah ikut ketetapan Pemerintah Saudi Arabia, yaitu hari Senin, ternyata ketika shalat Idul Adha tidak ikut. Sebaliknya, giliran shalat Idul Adha malah ikut ketetapan Pemerintah Indonesia, yaitu hari Rabu. Hehe, ternyata ada ketidak-konsistenan dalam bertaqlid.
Padahal seharusnya kalau taqlidnya ikut Pemerintah Saudi Arabia, yaitu puasa Arafah hari Senin, maka shalat Idul Adha-nya harus hari Selasa, sesuai taqlidnya. Sebab kalau shalatnya hari Rabu, sama saja shalat tanggal 11 Dzulhijjah.
Dan kalau mau jujur, sebenarnya dengan cara begitu justru merupakan bid`ah yang nyata, karena sepanjang sejarah Rasulullah SAW tidak pernah shalat Idul Adha tanggal 11 Dzulhijjah.
Kalau pun beliau pernah mengqadha` shalat Ied, karena memang beliau baru tahu setelah waktu shalat Ied terlewat. Sedangkan yang satu ini, sejak awal sudah niat mau puasa Arafah hari Senin ikut Saudi, tapi mau shalat Ied hari Rabu.
Padahal kan harusnya kalau mau shalat Ied hari Rabu, harus yakin bahwa hari Rabu adalah tanggal 10 Dzulhijjah, berarti puasa sunnahnya hari Selasa tanggal 9 Dzulhijjah.
Tapi ya inilah keanehan bangsaku, kelakuannya sering bertaqlid separo-separo. Orang Jawa bilang,"Ngono yo ngono ming ojo ngono".
Tapi menghadapi teman-teman yang model begini, saya sering jawab sambil ngejoke, prinsinya seperti hafalan si zaman SD dulu, Men Sana In Corpore Sano. Lu mau kesana gue mau kesono.
Maksudnya? Ya, terserah lah. Namanya juga taqlid. Sesama tukang taqlid dilarang saling mendahului. Toh puasa Arafah cuma sunnah bukan wajib. Nggak puasa juga kagak nape-nape.
Wallahu a`lam bishshsawab,
Saya mafhum dengan semua pertanyaan itu, meski pertanyaan model ini sudah berulang-ulang tiap tahun, khususnya bila keputusan pemerintah RI cq. Kementerian Agama berbeda keputusan pemerintah Saudi Arabia. Saya jawab insya Allah nanti saya tulis penjelasan yang agak lebih panjang biar lebih puas.
Namun sebelum menjawab semua pertanyaan di atas, ada baiknya saya tulis dulu dasar-dasar ketentuan syariah yang perlu kita pahami, sebagai basic knowledge dalam memahami masalah ini.
Lebaran : 100% Otoritas Pemerintah
Banyak orang kurang mengerti bahwa sebenarnya dalam syariah Islam, penetapan tanggal dalam syariah 100 persen adalah keputusan politik, dimana peran penguasa menjadi sangat mutlak. Dan rakyat yang ada di wilayah negeri itu terikat secara syariah dan hukum atas ketetapan pemerintahnya.
Dasarnya adalah apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para shahabat serta perilaku umat Islam sepanjang 14 abad ini. Sehingga hal itu sudah menjadi ijma` di kalangan ulama.
1. Masa Rasulullah SAW
Di masa Rasulullah SAW, meski ada banyak laporan tentang penampakan hilal (bulan sabit) yang masuk dan berbeda-beda, namun yang berwenang menetapkan jatuhnya tanggal 1 awal bulan Ramadhan, 1 Syawwal atau 1 Dzulhijjah adalah Rasulullah SAW, bukan sebagai Nabi melainkan dalam kapasitasnya sebagai kepala negara.
Boleh dibilang beliau adalah satu-satunya otoritas tunggal yang berwenang untuk menetapkan kata akhir dari sekian banyak hujjah, ijtihad dan pendapat dalam penetapan tanggal. Tidak boleh ada pihak yang memutuskan jatuhnya pergantian bulan sebelum kepala negara menetapkannya. Dan kalau ketetapan itu sudah dijatuhkan, seluruh rakyat harus ikut.
2. Masa Abu Bakar
Sepeninggal Rasulullah SAW, Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahuanhu menjadi khalifah (pengganti) beliau dalam kapasitas sebagai kepala negara. Maka semua laporan hasil rukyat hilal disampaikan kepada beliau, untuk beliau putuskan mana dari berbagai ijtihad itu yang dipilih dan ditetapkan. Sekali seorang kepala negara menetapkan, maka keputusan itu mengikat mutlak kepada rakyatnya.
3. Masa Umar
Ketika Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu menjadi Amirul Mukminin, tiap menjelang bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah selalu masuk berbagai laporan hasil rukyat hilal. Dan tentunya isinya berbeda-beda. Namun kata akhir ada di lidah Umar. Beliau adalah satu-satunya pihak yang berwenang untuk menetapkannya.
4. Praktek Semua Khilafah Islam Selama 14 Abad
Dan begitulah, sepanjang 14 abad di seluruh dunia Islam, penetapan tanggal itu tidak menjadi domain rakyat, baik sebagai individu atau pun kelompok, melainkan menjadi domain penguasa. Intinya, penguasa adalah otoritas tunggal dalam penetapan tanggal.
Dalam kenyataannya, di masa Nabi dan para khalifah penggantinya itu, kalau seandainya ada seseorang yang dengan mata kepalanya sendiri telah melihat hilal, maka dia wajib berpegang teguh dengan apa yang dilihatnya, meski berbeda dengan ketentuan penguasa.
Dasarnya adalah firman Allah SWT :
Bila kamu melihat bulan itu maka puasalah (QS. Al-Baqarah : 185)
Tetapi kalau dirinya tidak melihat hilal secara langsung, hanya katanya dan katanya, sebenarnya itu sudah termasuk taqlid. Dan karena hanya taqlid dari orang yang mengaku melihat hilal, dirinya tidak wajib menerimanya. Sebaliknya dalam hal ini, justru dia wajib untuk ikut ketetapan khalifah sebagai pemerintah yang sah, ketimbang mengikuti kata satu atau dua orang lain.
Dasarnya adalah firman Allah :
Hai orang-orang yang beriman, ta''atilah Allah dan ta''atilah Rasul , dan ulil amri di antara kamu. (QS. Am-Nisa`: 59)
Sampai sekarang, meski negeri-negeri Islam telah terpecah menjadi kecil-kecil dengan wilayah-wilayah yang sempit, tetapi di dalam negeri masing-masing, penetapan tanggal itu tetap menjadi domain pemerintahnya. Kalau pemerintah itu sudah ketuk palu, maka siapa pun tidak boleh mengeluarkan fatwa sendiri. Tindakan nekat seperti itu dianggap menyalahi aturan syariat, karena itu wajib diperangi.
Meski barangkali ijtihad pihak itu benar, tetapi karena penetapan tanggal itu domain pemerintah, tetap saja tindakan mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan apa yang sudah ditetapkan oleh otoritas penguasa dianggap sebagai bughat, atau pembangkangan dan penentangan.
Keanehan Indonesia
Pemandangan seperti di negeri kita, dimana ketika Pemerintah telah menetapkan tanggal, lalu ada saja pihak-pihak yang menetapkan sendiri, adalah pemandangan yang aneh kalau kita bandingkan di dunia arab saat ini. Aneh, karena sedemikian lemahnya kedudukan pemerintah dan sedemikian nekatnya ormas-ormas itu telah menerobos keluar dari batas wilayah yang menjadi kewenangannya.
Pemandangan ini amat kontras kalau kita perhatikan dengan apa yang terjadi di berbagai negeri Islam yang lain. Jangan coba-coba rakyat membuat keputusan sendiri tentang penanggalan.
Di Mesir memang ada ribuan kelompok umat Islam yang sering bertikai dan sering saling melecehkan satu sama lain. Tetapi ketika mufti Mesir sebagai representasi dari pemerintah yang sah telah menetapkan kapan lebaran, semua pihak bersatu, kompak, dan tunduk serta taat kepada ketetapan itu.
Di Saudi Arabia demikian juga, meski ada banyak ulama dengan masing-masing alirannya, kadang mereka pun berbeda pendapat dalam penetapan awal bulan, tetapi ketika pihak mufti kerajaan sudah ketuk palu, semua ikut dan patuh pada ketetapan resmi itu.
Wukuf di Arafah itu asalnya mungkin saja bukan cuma satu kata, dan ada banyak ijtihad yang menetapkan wukuf itu hari Ahad, Senin atau Selasa. Tetapi ketika mufti menetapkan hari Senin, ya sudah. Semua tunduk dan patuh.
Hal yang sama kita saksikan juga di berbagai negeri Islam, bahwa ketetapan kapan jatuhnya awal Ramadhan, awal Syawwal, awal Dzulhijjah, sepenuhnya menjadi wewenang pemerintah yang sah. Yang bukan pemerintah, dilarang mengeluarkan fatwa sendiri, apalagi bila bertentangan. Karena tindakan itu dianggap makar yang ingin mengacaukan bangsa.
Beda Pemerintahan Beda Otoritas
Dalam perkembangannya, ketika Islam sudah meluaskan wilayah ke berbagai penjuru dunia, maka wilayah yang luas itu mengalami perbedaan waktu terbit bulan dan matahari. Siang di suatu wilayah akan menjadi pagi atau sore di wilayah yang lain.
Sehingga perbedaan itu pun ikut berpengaruh pada wewenang dalam penetapan tanggal juga, selama di tiap wilayah itu ada otoritas pemerintahan juga. Bahkan meski pemerintahan itu masih bagian dari pemerintahan induk, namun dimungkinkan terjadinya perbedaan dalam penetapan tanggal.
Hal itu terjadi di masa para shahabat, ketika Muawiyah bin Abu Sufyan yang tinggal di Syam, dimana beliau berstatus sebagai khalifah, telah menetapkan awal Ramadhan yang jatuh pada hari Jumat, namun otoritas pemerintah di Madinah menetapkan bahwa 1 Ramadhan jatuh pada hari Sabtu.
Dari Kuraib : Sesungguhnya Ummu Fadl binti Al-Haarits telah mengutusnya menemui Mu`awiyah di Syam. Berkata Kuraib : Lalu aku datang ke Syam, terus aku selesaikan semua keperluannya. Dan tampaklah olehku (bulan) Ramadlan, sedang aku masih di Syam, dan aku melihat hilal (Ramadlan) pada malam Jum`at. Kemudian aku datang ke Madinah pada akhir bulan (Ramadlan), lalu Abdullah bin Abbas bertanya ke padaku (tentang beberapa hal), kemudian ia menyebutkan tentang hilal, lalu ia bertanya ; "Kapan kamu melihat hilal (Ramadlan) ? Jawabku : "Kami melihatnya pada malam Jum`at". Ia bertanya lagi : "Engkau melihatnya (sendiri) ?" Jawabku : "Ya ! Dan orang banyak juga melihatnya, lalu mereka puasa dan Mu`awiyah Puasa". Ia berkata : "Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka senantiasa kami berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari, atau sampai kami melihat hilal (bulan Syawwal) ". Aku bertanya : "Apakah tidak cukup bagimu rukyah (penglihatan) dan puasanya Mu`awiyah ? Jawabnya : "Tidak ! Begitulah Rasulullah SAW telah memerintahkan kepada kami". (HR. Muslim)
Jadi ada perbedaan penetapan tanggal 1 Ramadhan antara Syam sebagai pusat pemerintahan dengan Madinah Al-Munawwarah sebagai wilayah. Padahal secara de facto dan de jure, Madinah merupakan wilayah sah dan bagian dari Khilafah Bani Umayyah yang beribukota di Damaskus.
Satu hal yang menarik, kalau kita tarik garis lurus antara Damaskus dengan Madinah di Google Earth, jaraknya hanya sekitar 1000-an Km saja. Artinya jarak itu kalau di Indonesia hanya seperti Jakarta Bali. Artinya, jarak antara keduanya tidak terlalu jauh, tidak dipisahkan dengan siang atau malam.
Perbedaan atau pemisahan otoritas ini dimungkinkan dengan dua syarat. Pertama, wilayah itu terpisah jauh. Al-Imam Asy-Syafi`i menetapkan minimal 24 farsakh. Dengan hitungan meter, 1 farsakh adalah 5.544 meter. Jadi 24 farsakh sama dengan 5.544 x 24 = 133,057 km.
Kedua, di kedua wilayah itu memang ada otoritas pemerintahan yang sah, dimana ketetapan itu ditetapkan oleh pemerintahan masing-masing.
Karena hadits di atas itulah maka kita saksikan di zaman sekarang ini, masing-masing pemerintah negeri Islam kadang berbeda dalam menetapkan kapan jatuhnya awal Ramadhan, awal Syawaal atau awal Dzulhijjah. Pemerintah Mesir sering berbeda dengan pemerintah Saudi. Pemerintah Sudan sering berbeda dengan Libiya, Tunis, Turki, Syria, Jordan, Libanon, Iran atau Iraq.
Secara syar`i, perbedaan itu dimungkinkan, lantaran masing-masing pemerintahan itu berjauhan secara geografis, dan juga independen secara hukum. Pemerintah yang satu tidak mengikat pemerintahan yang lain. Semua berdiri sendiri-sendiri dengan otoritas penuh atas rakyat yang tinggal di masing-masing negeri.
Puasa Arafah Saat Wukuf?
Yang sekarang menjadi pertanyaan adalah bila kebetulan satu pemerintahan menetapkan tanggal yang berbeda dengan ketetapan pemerintah Saudi Arabia dalam masalah wukuf di Arafah, lalu apakah rakyat yang tinggal di negeri itu ikut puasa dengan tanggal yang ditetapkan pemerintah Saudi, ataukah tetap dengan tanggal yang telah ditetapkan oleh pemerintah negerinya sendiri?
Pertanyaan ini menjadi amat penting, mengingat banyak orang yang mengaitkan puasa tanggal 9 Arafah dengan hari wukuf di Arafah.
Contohnya saat ini, Pemerintah Saudi menetapkan wukuf pada hari Senin, karena tanggal 10 Dzhulhijjah ditetapkan jatuh pada hari Selasa, 16 Nopember 2010. Sementara pemerintah Indonesia menetapkan bahwa 10 Dzulhijjah jatuh pada hari Rabu, 17 Nopember 2010. Berarti tanggal 9 Dzhuhijjah menurut penanggalan Indonesia, jatuh pada hari Selasa.
Lalu yang bikin bingung, umat Islam Indonesia puasa sunnah 9 Dzulhijjah kapan? Hari Senin-kah atau hari Selasa? Ikut Saudi kan atau ikut Indonesia?
Saya sendiri kebanjiran pertanyaan seperti ini dan agak kewalahan menjelaskannya. Karena itu saya serahan kepada mufti Saudi Arabia sendiri yang barangkali lebih punya otoritas untuk menjelaskannya. Beliau adalah ulama besar yang bernama Syeikh Al-Utsaimin. Dalam hal ini beliau punya jawaban yang semoga bisa menjadi jalan tengah atas perbedaan ini. Berikut kutipannya :
Syeikh Al-Utsaimin : Puasa Arafah Tidak Perlu Ikut Wukuf Arafah
Pandangan yang rajih adalah berbeda berdasar perbedaan mathla’ (dimana hilal itu dilihat di berbagai tempat). Misalnya, jika hilal sudah dapat terlihat di Mekah, dan hari ini adalah hari kesembilan. Kemudian di negeri lain hilal dapat dilihat sehari sebelum nampak di Mekah, maka hari arafah di Mekah adalah hari kesepuluh bagi mereka, maka ini tidak diperbolehkan bagi mereka untuk berpuasa di hari ini, karena hari tersebut adalah hari idul adha bagi mereka.
Atau sebaliknya jika hal ini terjadi dimana mereka melihat bulan sehari setelah Mekah, maka hari kesembilan (Dzulhijah) adalah tanggal 8 Djulhijjah bagi mereka, maka mereka harus berpuasa di tanggal 9 menurut mereka (walaupun bertepatan tanggal 10 bagi Mekah).I nilah pandangan yang rajih karena Nabi shalallahu alaihi wassalam mengatakan :
Apabila kamu melihat (hilal) berpuasalah, dan (juga) jika kamu melihatnya maka berbukalah.
Maka mereka yang tidak melihat hilal di negerinya maka dia belum melihatnya (sebagaimana hadist diatas). Sebagaimana manusia telah sepakat (ijma) menganggap terbitnya fajar atau terbenamnya matahari itu sesuai daerahnya. Dengan demikian penentuan waktu masuknya bulan sebagaimana penentuan waktu harian (yang berbeda tiap daerah). Ini adalah ijma’ para ulama.
Oleh karenanya, penduduk Asia Timur memulai puasa sebelum penduduk bagian barat. Dan berbuka sebelum mereka. Demikian juga matahari yang terbit dan tenggelam saling berbeda. Untuk yang seperti puasa harian ini berbeda maka begitu juga untuk puasa bulanan maka tentu sama.
Akan tetapi jika dua wilayah dalam satu pemerintahan, maka keputusan penguasa untuk berbuka dan berpuasa harus diikuti. Karena ini masalah khilafiyah sedangkan keputusan hakim itu mengankat khilaf. (Hukmul hakim yarfa’ul khilaf).
Berdasar ini maka berpuasa dan berbukalah bersama penduduk dimana kalian sekarang tinggal, entah sama dengan negeri asal kalian atau tidak. Demikian juga shaum Arafah, ikuti di negeri dimana kalian tinggal. (Majmu’ fatawa 20)
Ibnu Taimiyah : Puasa Arafah Ikut Tanggal Negeri Masing-masing
Selain pendapat Syeikh Al-Utsaimin di atas, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pun memandang masalah lebaran dan wukuf yang berbeda ini sesuai dengan tanggal yang ditetapkan oleh pemerintah masing-masing negeri.
Secara jelas dan tegas Ibnu Taimiyah mensahkan ru’yah penduduk Madinah dan tidak sedikitpun menyarankan untuk menunggu keputusan penduduk Mekkah.
Hal ini berarti Ibnu Taimiyah memandang bahwa Iedul Adha itu sesuai dengan terlihatnya hilal dinegeri masing-masing.
Nabi Puasa Arafah Tidak Ikut Wukuf
Dalam kenyataannya, ini yang kurang disadari oleh banyak orang, ternyata Rasulullah SAW tiap tahun berpuasa Arafah, tetapi di Arafah tidak ada orang yang wukuf.
Lho, kok bisa?
Ya, memang bisa. Sebab sebagaimana kita ketahui puasa Arafah itu disyariatkan jauh sebelum Rasulullah SAW melaksanakan ibadah haji. Ibadah puasa Arafah telah disyariatkan sejak awal beliau hijrah ke Madinah. Sedangkan ibadah haji baru dikerjakan di tahun kesepuluh dari hijrah beliau ke Madinah. Artinya, selama bertahun-tahun beliau berpuasa Arafah, di Arafah tidak ada orang yang wukuf.
Kita tahu bahwa wukuf di Arafah itu tidak ada dalam manasik haji orang-orang jahiliyah, mereka hanya mengenal manasik berbentuk tawaf saja, itu pun arah putarannya keliru. Mereka mengerjakannya searah dengan jaruh jam kalau dilihat dari atas. Padahal manasik haji Rasulullah SAW menetapkan bahwa tawaf di seputar ka`bah itu berlawanan dengan arah jarum jam kalau di lihat dari atas.
So, Nabi SAW berpuasa Arafah di Madinah selama bertahun-tahun tanpa mengacu kepada ada atau tidak adanya wukuf di Arafah. Pokoknya, kalau di Madinah sudah masuk tanggal 9 Dzulhijjah menurut hitungan mereka, maka beliau SAW dan para shahabat berpuasa. Urusan Mekkah ya urusan Mekkah, tapi urusan Madinah ya diurus oleh Madinah sendiri. Masing-masing mengatur urusan sendiri-sendiri.
Keanehan Berikutnya
Ada keanehan lagi mengikuti keanehan yang sudah ada, yaitu meski banyak yang puasa Arafah ikut ketetapan Pemerintah Saudi Arabia, yaitu hari Senin, ternyata ketika shalat Idul Adha tidak ikut. Sebaliknya, giliran shalat Idul Adha malah ikut ketetapan Pemerintah Indonesia, yaitu hari Rabu. Hehe, ternyata ada ketidak-konsistenan dalam bertaqlid.
Padahal seharusnya kalau taqlidnya ikut Pemerintah Saudi Arabia, yaitu puasa Arafah hari Senin, maka shalat Idul Adha-nya harus hari Selasa, sesuai taqlidnya. Sebab kalau shalatnya hari Rabu, sama saja shalat tanggal 11 Dzulhijjah.
Dan kalau mau jujur, sebenarnya dengan cara begitu justru merupakan bid`ah yang nyata, karena sepanjang sejarah Rasulullah SAW tidak pernah shalat Idul Adha tanggal 11 Dzulhijjah.
Kalau pun beliau pernah mengqadha` shalat Ied, karena memang beliau baru tahu setelah waktu shalat Ied terlewat. Sedangkan yang satu ini, sejak awal sudah niat mau puasa Arafah hari Senin ikut Saudi, tapi mau shalat Ied hari Rabu.
Padahal kan harusnya kalau mau shalat Ied hari Rabu, harus yakin bahwa hari Rabu adalah tanggal 10 Dzulhijjah, berarti puasa sunnahnya hari Selasa tanggal 9 Dzulhijjah.
Tapi ya inilah keanehan bangsaku, kelakuannya sering bertaqlid separo-separo. Orang Jawa bilang,"Ngono yo ngono ming ojo ngono".
Tapi menghadapi teman-teman yang model begini, saya sering jawab sambil ngejoke, prinsinya seperti hafalan si zaman SD dulu, Men Sana In Corpore Sano. Lu mau kesana gue mau kesono.
Maksudnya? Ya, terserah lah. Namanya juga taqlid. Sesama tukang taqlid dilarang saling mendahului. Toh puasa Arafah cuma sunnah bukan wajib. Nggak puasa juga kagak nape-nape.
Wallahu a`lam bishshsawab,
Ahli Taat dan Ahli maksiat
Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Pada zaman Bani Israil dahulu, hidup 2 orang laki-laki yang berbeda karakternya. Yang satu suka berbuat dosa, dan yang lainnya rajin beribadah. Setiap kali orang yang ahli beribadah ini melihat temannya berbuat dosa, ia menyarankan untuk berhenti dari perbuatan dosanya.
Suatu kali orang yang ahli ibadah berkata lagi, “Berhentilah dari berbuat dosa”. Dia menjawab, “Jangan perdulikan aku, terserah Allah akan memperlakukan aku bagaimana. Memangnya engkau diutus Allah untuk mengawasi apa yang aku lakukan” Laki-laki ahli ibadah itu menimpali, “Demi Allah, dosamu tidak akan diampuni olehNya atau kamu tidak mungkin dimasukkan ke dalam surga Allah”.
Kemudian Allah mencabut nyawa kedua orang itu dan mengumpulkan keduanya di hadapan Allah Rabbul ‘Alamin. Allah SWT berfirman kepada lelaki Ahli ibadah, “Apakah kamu lebih mengetahui daripada Aku? Ataukah kamu dapat merubah apa yang telah berada dalam kekuasaan tanganKu. Kemudian kepada ahli maksiat Allah berfirman, “Masuklah kamu kedalam surga berkat rahmatKu” Sementara kepada ahli ibadah dikatakan, “Masukkan orang ini ke neraka” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnul Mubarak, Ibnu Abi Duniya, Al Baghawi, Shohih)
Pelajaran yang dapat kita ambil
1. Anjuran untuk senantiasa ber amar ma’ruf dan nahi munkar.
2. Hendaknya seseorang segera berhenti dari kemungkaran dan berlepas diri darinya saat diingatkan dan dilarang, dan hendaknya tidak meneruskan dosa itu dengan keras kepala dan sombong.
3. Larangan berputus asa dari ampunan Allah yang Maha Penyayang.
4. Beratnya sanksi mengucapkan sesuatu atas nama Allah tanpa didasari Ilmu
5. Luasnya rahmat Allah, Rabb seluruh alam.
6. Seseorang dapat Masuk Surga, semata-mata bukanlah karena amal ibadahnya, namun adalah karena Rahmat Allah SWT.
7. Seseorang yang memastikan orang lain masuk surga atau neraka, berarti ia telah mengakui memiiliki sifat ketuhanan.(Artinya, seseorangn tidak dapat memastikan apakah seseorang tsb ahli surga/ahli neraka, selama tidak ada dalil shohih dari Al Qur'an / Hadits/perkataan Rosulullah SAW)
8. Celaan kepada seseorang yang mengkalim dirinya sendiri sebagai hakim kebenaran.
9. Surga tidak menerima orang-orang yang memiliki sifat sombong.
Diambil dari buku berjudul 61 Kisah Pengantar Tidur, Karangan Muhammad bin Hamid Abdul Wahab, penerbit Darul Haq.
Suatu kali orang yang ahli ibadah berkata lagi, “Berhentilah dari berbuat dosa”. Dia menjawab, “Jangan perdulikan aku, terserah Allah akan memperlakukan aku bagaimana. Memangnya engkau diutus Allah untuk mengawasi apa yang aku lakukan” Laki-laki ahli ibadah itu menimpali, “Demi Allah, dosamu tidak akan diampuni olehNya atau kamu tidak mungkin dimasukkan ke dalam surga Allah”.
Kemudian Allah mencabut nyawa kedua orang itu dan mengumpulkan keduanya di hadapan Allah Rabbul ‘Alamin. Allah SWT berfirman kepada lelaki Ahli ibadah, “Apakah kamu lebih mengetahui daripada Aku? Ataukah kamu dapat merubah apa yang telah berada dalam kekuasaan tanganKu. Kemudian kepada ahli maksiat Allah berfirman, “Masuklah kamu kedalam surga berkat rahmatKu” Sementara kepada ahli ibadah dikatakan, “Masukkan orang ini ke neraka” (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnul Mubarak, Ibnu Abi Duniya, Al Baghawi, Shohih)
Pelajaran yang dapat kita ambil
1. Anjuran untuk senantiasa ber amar ma’ruf dan nahi munkar.
2. Hendaknya seseorang segera berhenti dari kemungkaran dan berlepas diri darinya saat diingatkan dan dilarang, dan hendaknya tidak meneruskan dosa itu dengan keras kepala dan sombong.
3. Larangan berputus asa dari ampunan Allah yang Maha Penyayang.
4. Beratnya sanksi mengucapkan sesuatu atas nama Allah tanpa didasari Ilmu
5. Luasnya rahmat Allah, Rabb seluruh alam.
6. Seseorang dapat Masuk Surga, semata-mata bukanlah karena amal ibadahnya, namun adalah karena Rahmat Allah SWT.
7. Seseorang yang memastikan orang lain masuk surga atau neraka, berarti ia telah mengakui memiiliki sifat ketuhanan.(Artinya, seseorangn tidak dapat memastikan apakah seseorang tsb ahli surga/ahli neraka, selama tidak ada dalil shohih dari Al Qur'an / Hadits/perkataan Rosulullah SAW)
8. Celaan kepada seseorang yang mengkalim dirinya sendiri sebagai hakim kebenaran.
9. Surga tidak menerima orang-orang yang memiliki sifat sombong.
Diambil dari buku berjudul 61 Kisah Pengantar Tidur, Karangan Muhammad bin Hamid Abdul Wahab, penerbit Darul Haq.
INGAT MATI DAN PENDEK ANGAN-ANGAN
Allah SWT berfirman,
"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari Kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan" (Ali Imran: 185).
Dalam bab ini penyusun Rahimahullah menyebutkan bahwa orang yang berakal wajib selalu ingat kematian dan memendekkan angan-angannya di dunia ini.
Yang dimaksud adalah bahwa kita tidak berpanjang angan‑angan di dunia ini. Berapa banyak orang yang berpanjang angan-angan, namun ajal terlalu cepat menjemputnya. Banyak pula orang yang berpikir bahwa ia akan melakukan ini, melakukan itu, namun ternyata waktunya dengan cepat habis sehingga ia terpaksa meninggalkan apa-apa yang ia angan-angankan, putuslah tali waktunya, dan tibalah ajal kepada dirinya.
Sesuatu yang menjadi keharusan bagi seorang yang berakal adalah bahwa setiap kali dirinya melihat adanya keinginan-keinginan kepada dunia dan mulai disibukkan olehnya agar segera ingat kematian dan menghayati keadaan di akhirat. Karena inilah tempat kembali yang bisa diyakini. Semua apa yang diangan-angankan oleh manusia di dunia kadang-kadang tercapai dan kadang-kadang tidak tercapai.
Allah berfirman, “"Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki...."(Al-Isra': 18)
Bukan yang ia kehendaki, namun yang Allah Azza wa Jalla kehendaki. Allah SWT berfirman,
"... Yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya Neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang usahanya dibalas dengan baik. " (Al-Isra': 18-19)
Kemudian Penyusun Rahimahullah menyebutkan ayat-ayat yang di antaranya adalah firman Allah Ta'ala,
"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari Kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. " (Ali lmran: 18)
Maka setiap jiwa yang bernapas, pasti akan merasakan kematian. Hal itu diungkapkan dengan kata-kata “yang merasakan” karena kematian memiliki rasa pahit yang sama sekali tidak disukai oleh setiap manusia.
Akan tetapi, seorang mukmin ketika ajalnya tiba, jika diberi informasi tentang apa-apa yang ada di sisi Allah Azza wa Jalla, maka ia akan merasa senang bertemu dengan Allah dan ketika itu ia tidak membenci kematian. Allah Ta’ala berfirman,
"Dan sesungguhnya pada hari Kiamat sajalah disempurnakan pahala kamu. "(Ali Imran: 185) .
Yakni, akan diberikan dengan seutuhnya nanti di hari Kiamat.
"Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan kedalam surga, maka sungguh ia telah beruntung", karena ia telah selamat dari suatu yang makruh dan tercapai apa-apa yang diharapkan. Selamat dari sesuatu yang dibenci adalah masuk ke dalam neraka dan tercapai apa-apa yang diharapkan, yakni: masuk surga dan inilah kemenangan terbesar yang tiada kemenangan yang lain yang lebih besar daripadanya.
Ketika dunia sudah demikian melimpah dan manusia lebih banyak bergantung kepadanya maka ia menjadi lebih jauh kepada akhirat. Oleh sebab itu, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Demi Allah, bukanlah kefakiran yang paling kutakutkan pada kalian semua, tetapi aku sangat takutkan ditaklukkannya dunia untuk kalian semua, sebagaimana telah ditaklukkan untuk kaum sebelum kalian semua, kalian berlomba mendapatkannya, sebagaimana mereka telah berlomba mendapatkannya sehingga menghancurkan kalian semua sebagaimana telah menghancurkan mereka."
Oleh sebab itu, kita sering melihat bahwa seseorang dalam keadaan kekurangan atau sedang-sedang saja, tetapi malah menjadikannya lebih baik daripada jika dalam keadaan kaya. Karena kekayaan menjadikannya tertipu dan menjadikannya keras kepala, na'udzu billah.
Oleh sebab itu, Allah berfirman,
"Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”
"Yakni, jangan terperdaya olehnya dan hendaknya kita selalu penuh perhatian akan akhirat yang jika di dalamnya seseorang dijauhkan dari api neraka lalu dimasukkan ke dalam surga, maka sesungguhnya dengan demikian, ia telah mendapatkan keuntungan dan kemenangan tidak pernah ada kemenangan seperti itu sebelumnya.
Allah Ta'ala juga berfirman,
"Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati." (Luqman:34)
Ini adalah salah satu kunci keghaiban yang tak seorang pun mengetahuinya selain Allah Azza wa Jalla.
Allah Ta'ala berfirman,
"Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri."(Al-An'am: 59)
Kunci keghaiban adalah lima hal yang termuat di dalam firman Allah Ta’ala,
"Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia mati." (Luqman: 34)
Lima perkara tersebut tak seorang pun yang mengetahuinya Allah Azza wa Jolla. Pengetahuan tentang hari Kiamat tidak ada mengetahuinya, sekalipun Jibril yang merupakan malaikat yang paling mulia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam karena beliau adalah manusia yang paling banyak tahu, dengan berkata,
“Sampaikan kepadaku tentang hari Kiamat?" Beliau menjawab, “Tidaklah orang yang ditanya tentang hal itu lebih tahu daripada yang bertanya."
Jadi tak seorang pun mengetahuinya selain Allah Azza wa Jalla.
“…..Dan Dialah Yang menurunkan hujan", Dzat yang menurunkan hujan pasti mengetahui kapan hujan akan turun. Dia adalah Dzat Yang mengetahui kapan hujan akan turun karena Dialah Yang menurunkannya. Al-ghaits adalah hujan yang menyebabkan tumbuhnya semua macam tumbuh-tumbuhan dan musnahnya kekerasan di muka bumi.
Tidak semua macam hujan disebut ghaits. Karena kadang-kadang dengan hujan Allah tidak menurunkan berkah sehingga dengannya tidak tumbuh segala macam tumbuh-tumbuhan di muka bumi. Sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
“Bukanlah ketandusan itu karena tidak ada hujan, tetapi ketandusan itu adalah ada hujan, namun bumi tidak menumbuhkan sesuatu apapun” (HR Muslim)
Kadang-kadang yang demikian ini terjadi. Kadang-kadang banyak turun hujan, namun Allah Ta'ala tidak menurunkan berkah dengan hujan-hujan itu. Sehingga bumi tidak menumbuhkan sesuatu apa pun dan tidak menjadi hidup.
“Akan tetapi, ketandusan itu adalah ada hujan, namun bumi tidak menumbuhkan sesuatu apa pun."
Dzat yang menurunkan hujan adalah Allah. Dzat Yang menurunkannya pasti mengetahui kapan hujan itu akan turun. Sedangkan apa apa yang kita dengar dalam siaran-siaran bahwa akan turun hujan ditempat fulan dan lain sebagainya, adalah sekedar perkiraan yang dikaitkan dengan fenomena yang mungkin berkaitan dengan turunnya hujan. Itulah ukuran-ukuran yang teliti yang dengannya diketahui apakah cuaca siap menurunkan hujan atau tidak, namun demikian mereka banyak melakukan kesalahan. Maka tak seorang pun yang mengetahui kapan hujan akan turun selain Allah Azza wa Jalla.
"... Dan mengetahui apa yang ada dalam rahim." Tidak ada yang mengetahui apa-apa dalam rahim selain Allah. Janin yang ada di dalam rahim memiliki beberapa keadaan. Di antaranya adalah yang bisa diketahui jika telah ada, sekalipun manusia itu masih dalam perut ibunya. Dan di antaranya lagi yang tidak diketahui selama-lamanya. Keadaan apakah dia laki-laki atau perempuan dapat diketahui, sekalipun bayi iitu masih dalam kandungan ibunya. Akan tetapi, hal itu tidak akan diketahi melainkan jika Allah Ta'ala menjadikan tanda-tanda laki-laki atau perempuan.
Sedangkan kapan seorang bayi akan dilahirkan, apakah dia dilahirkan dalam keadaan hidup atau mati, apakah ia akan tinggal di muka bumi dalam waktu yang lama atau hanya dalam masa yang sangat singkat, apakah amalannya shalih atau buruk, apakah berakhir dengan bahagia atau sengsara, apakah akan diluaskan rezekinya atau pas-pasan saja, semua ini tidak ada yang mengetahuinya selain Allah.
"Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok." Yakni, apa yang akan dia lakukan di masa mendatang? Setiap orang tidak ada yang mengetahui apa yang bakal ia lakukan, apakah melakukan perbuatan baik atau perbuatan buruk. Atau akan mati sebelum besok, atau besok masih akan ada namun tidak bisa berbuat apa-apa, dan lain sebagainya? Manusia kadang-kadang mengatakan, "Aku akan lakukan demikian dan akan lakukan demikian", namun kenyataannya ia tidak melakukan demikian-demikian itu. Maka ia tidak mengetahui secara yakin apa-apa yang akan dilakukan keesokan harinya. la hanya mengira-ngira, tetapi kadang terjadi yang berbeda.
Semua manusia tidak mengetahui di bumi mana ia akan mati Apakah dirinya akan mati di tanahnya sendiri, atau di bumi yang jauh darinya, atau di bumi yang dekat dengannya. Atau dirinya akan mati dilautan atau akan mati di udara? Tidak seorang pun tahu akan semua ini selain Allah.
Jika kita tidak mengetahui di bumi mana akan mati, maka ada kemungkinan bagi kita untuk pergi ke kanan atau ke kiri. Juga kita tidak mengetahui kapan akan mati. Kita tidak tahu kapan waktunya akan mati. Apakah akan mati di pagi hari, siang hari, sore hari, atau malam hari, di bulan yang dekat, atau pada bulan-bulan yang masih jauh. Kita tidak mengetahui kapan dan di bumi mana kita akan mati.
Jika demikian kondisi kita, maka pendekkan angan-angan jangan lepaskan angan-angan secara sangat jauh. Jangan kita mengatakan, "Aku adalah seorang pemuda dan akan tetap dalam waktu yang sangat panjang." Berapa banyak pemuda yang mati di masa mudanya. Dan berapa banyak orang tua yang dipanjangkan umurnya. Jangan kita mengatakan, "Aku berbadan sehat dan sangat jauh dari kematian. "berapa banyak orang yang menderita sakit yang menghancurkannya dengan sangat cepat dan berapa banyak orang yang mengalami kecelakaan, Berapa banyak orang mengalami mati mendadak. Oleh sebab itu, setiap manusia tidak perlu panjang angan-angan, tetapi ia harus berbuat. Untuk dunia ada amalannya dan untuk akhirat ada amalannya pula. Maka harus berusaha untuk kepentingan di akhirat dengan upaya-apaya yang dibarengi dengan iman kepada Allah Azza wa Jalla serta seialu bersandar kepada-Nya.
Allah Ta'ala telah berfirman,
"Maka apabila telah tiba waktu (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukannya." (An-Nahl: 61)
Jika ajal seorang manusia telah tiba, maka tidak ada lagi kemungkinan untuk diundur barang satu detik atau disegerakan. Akan tetapi, tetap dengan ajal yang terhitung dan tertentu. Tidak bisa dimajukan dan tidak bisa pula diakhirkan, maka kenapa Anda memanjangkan angan-angan?
Demikianlan ringkasan Ingat Mati dan Pendek angan-angan, jilid 2, diringkas dari kitab Syarh Riyadush Shalihin, Pensyarah Syaikh Abdul Aziz bin Baz,
Wallahua'lam
"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari Kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan" (Ali Imran: 185).
Dalam bab ini penyusun Rahimahullah menyebutkan bahwa orang yang berakal wajib selalu ingat kematian dan memendekkan angan-angannya di dunia ini.
Yang dimaksud adalah bahwa kita tidak berpanjang angan‑angan di dunia ini. Berapa banyak orang yang berpanjang angan-angan, namun ajal terlalu cepat menjemputnya. Banyak pula orang yang berpikir bahwa ia akan melakukan ini, melakukan itu, namun ternyata waktunya dengan cepat habis sehingga ia terpaksa meninggalkan apa-apa yang ia angan-angankan, putuslah tali waktunya, dan tibalah ajal kepada dirinya.
Sesuatu yang menjadi keharusan bagi seorang yang berakal adalah bahwa setiap kali dirinya melihat adanya keinginan-keinginan kepada dunia dan mulai disibukkan olehnya agar segera ingat kematian dan menghayati keadaan di akhirat. Karena inilah tempat kembali yang bisa diyakini. Semua apa yang diangan-angankan oleh manusia di dunia kadang-kadang tercapai dan kadang-kadang tidak tercapai.
Allah berfirman, “"Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki...."(Al-Isra': 18)
Bukan yang ia kehendaki, namun yang Allah Azza wa Jalla kehendaki. Allah SWT berfirman,
"... Yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya Neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang usahanya dibalas dengan baik. " (Al-Isra': 18-19)
Kemudian Penyusun Rahimahullah menyebutkan ayat-ayat yang di antaranya adalah firman Allah Ta'ala,
"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari Kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. " (Ali lmran: 18)
Maka setiap jiwa yang bernapas, pasti akan merasakan kematian. Hal itu diungkapkan dengan kata-kata “yang merasakan” karena kematian memiliki rasa pahit yang sama sekali tidak disukai oleh setiap manusia.
Akan tetapi, seorang mukmin ketika ajalnya tiba, jika diberi informasi tentang apa-apa yang ada di sisi Allah Azza wa Jalla, maka ia akan merasa senang bertemu dengan Allah dan ketika itu ia tidak membenci kematian. Allah Ta’ala berfirman,
"Dan sesungguhnya pada hari Kiamat sajalah disempurnakan pahala kamu. "(Ali Imran: 185) .
Yakni, akan diberikan dengan seutuhnya nanti di hari Kiamat.
"Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan kedalam surga, maka sungguh ia telah beruntung", karena ia telah selamat dari suatu yang makruh dan tercapai apa-apa yang diharapkan. Selamat dari sesuatu yang dibenci adalah masuk ke dalam neraka dan tercapai apa-apa yang diharapkan, yakni: masuk surga dan inilah kemenangan terbesar yang tiada kemenangan yang lain yang lebih besar daripadanya.
Ketika dunia sudah demikian melimpah dan manusia lebih banyak bergantung kepadanya maka ia menjadi lebih jauh kepada akhirat. Oleh sebab itu, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Demi Allah, bukanlah kefakiran yang paling kutakutkan pada kalian semua, tetapi aku sangat takutkan ditaklukkannya dunia untuk kalian semua, sebagaimana telah ditaklukkan untuk kaum sebelum kalian semua, kalian berlomba mendapatkannya, sebagaimana mereka telah berlomba mendapatkannya sehingga menghancurkan kalian semua sebagaimana telah menghancurkan mereka."
Oleh sebab itu, kita sering melihat bahwa seseorang dalam keadaan kekurangan atau sedang-sedang saja, tetapi malah menjadikannya lebih baik daripada jika dalam keadaan kaya. Karena kekayaan menjadikannya tertipu dan menjadikannya keras kepala, na'udzu billah.
Oleh sebab itu, Allah berfirman,
"Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”
"Yakni, jangan terperdaya olehnya dan hendaknya kita selalu penuh perhatian akan akhirat yang jika di dalamnya seseorang dijauhkan dari api neraka lalu dimasukkan ke dalam surga, maka sesungguhnya dengan demikian, ia telah mendapatkan keuntungan dan kemenangan tidak pernah ada kemenangan seperti itu sebelumnya.
Allah Ta'ala juga berfirman,
"Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati." (Luqman:34)
Ini adalah salah satu kunci keghaiban yang tak seorang pun mengetahuinya selain Allah Azza wa Jalla.
Allah Ta'ala berfirman,
"Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri."(Al-An'am: 59)
Kunci keghaiban adalah lima hal yang termuat di dalam firman Allah Ta’ala,
"Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia mati." (Luqman: 34)
Lima perkara tersebut tak seorang pun yang mengetahuinya Allah Azza wa Jolla. Pengetahuan tentang hari Kiamat tidak ada mengetahuinya, sekalipun Jibril yang merupakan malaikat yang paling mulia bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam karena beliau adalah manusia yang paling banyak tahu, dengan berkata,
“Sampaikan kepadaku tentang hari Kiamat?" Beliau menjawab, “Tidaklah orang yang ditanya tentang hal itu lebih tahu daripada yang bertanya."
Jadi tak seorang pun mengetahuinya selain Allah Azza wa Jalla.
“…..Dan Dialah Yang menurunkan hujan", Dzat yang menurunkan hujan pasti mengetahui kapan hujan akan turun. Dia adalah Dzat Yang mengetahui kapan hujan akan turun karena Dialah Yang menurunkannya. Al-ghaits adalah hujan yang menyebabkan tumbuhnya semua macam tumbuh-tumbuhan dan musnahnya kekerasan di muka bumi.
Tidak semua macam hujan disebut ghaits. Karena kadang-kadang dengan hujan Allah tidak menurunkan berkah sehingga dengannya tidak tumbuh segala macam tumbuh-tumbuhan di muka bumi. Sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
“Bukanlah ketandusan itu karena tidak ada hujan, tetapi ketandusan itu adalah ada hujan, namun bumi tidak menumbuhkan sesuatu apapun” (HR Muslim)
Kadang-kadang yang demikian ini terjadi. Kadang-kadang banyak turun hujan, namun Allah Ta'ala tidak menurunkan berkah dengan hujan-hujan itu. Sehingga bumi tidak menumbuhkan sesuatu apa pun dan tidak menjadi hidup.
“Akan tetapi, ketandusan itu adalah ada hujan, namun bumi tidak menumbuhkan sesuatu apa pun."
Dzat yang menurunkan hujan adalah Allah. Dzat Yang menurunkannya pasti mengetahui kapan hujan itu akan turun. Sedangkan apa apa yang kita dengar dalam siaran-siaran bahwa akan turun hujan ditempat fulan dan lain sebagainya, adalah sekedar perkiraan yang dikaitkan dengan fenomena yang mungkin berkaitan dengan turunnya hujan. Itulah ukuran-ukuran yang teliti yang dengannya diketahui apakah cuaca siap menurunkan hujan atau tidak, namun demikian mereka banyak melakukan kesalahan. Maka tak seorang pun yang mengetahui kapan hujan akan turun selain Allah Azza wa Jalla.
"... Dan mengetahui apa yang ada dalam rahim." Tidak ada yang mengetahui apa-apa dalam rahim selain Allah. Janin yang ada di dalam rahim memiliki beberapa keadaan. Di antaranya adalah yang bisa diketahui jika telah ada, sekalipun manusia itu masih dalam perut ibunya. Dan di antaranya lagi yang tidak diketahui selama-lamanya. Keadaan apakah dia laki-laki atau perempuan dapat diketahui, sekalipun bayi iitu masih dalam kandungan ibunya. Akan tetapi, hal itu tidak akan diketahi melainkan jika Allah Ta'ala menjadikan tanda-tanda laki-laki atau perempuan.
Sedangkan kapan seorang bayi akan dilahirkan, apakah dia dilahirkan dalam keadaan hidup atau mati, apakah ia akan tinggal di muka bumi dalam waktu yang lama atau hanya dalam masa yang sangat singkat, apakah amalannya shalih atau buruk, apakah berakhir dengan bahagia atau sengsara, apakah akan diluaskan rezekinya atau pas-pasan saja, semua ini tidak ada yang mengetahuinya selain Allah.
"Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok." Yakni, apa yang akan dia lakukan di masa mendatang? Setiap orang tidak ada yang mengetahui apa yang bakal ia lakukan, apakah melakukan perbuatan baik atau perbuatan buruk. Atau akan mati sebelum besok, atau besok masih akan ada namun tidak bisa berbuat apa-apa, dan lain sebagainya? Manusia kadang-kadang mengatakan, "Aku akan lakukan demikian dan akan lakukan demikian", namun kenyataannya ia tidak melakukan demikian-demikian itu. Maka ia tidak mengetahui secara yakin apa-apa yang akan dilakukan keesokan harinya. la hanya mengira-ngira, tetapi kadang terjadi yang berbeda.
Semua manusia tidak mengetahui di bumi mana ia akan mati Apakah dirinya akan mati di tanahnya sendiri, atau di bumi yang jauh darinya, atau di bumi yang dekat dengannya. Atau dirinya akan mati dilautan atau akan mati di udara? Tidak seorang pun tahu akan semua ini selain Allah.
Jika kita tidak mengetahui di bumi mana akan mati, maka ada kemungkinan bagi kita untuk pergi ke kanan atau ke kiri. Juga kita tidak mengetahui kapan akan mati. Kita tidak tahu kapan waktunya akan mati. Apakah akan mati di pagi hari, siang hari, sore hari, atau malam hari, di bulan yang dekat, atau pada bulan-bulan yang masih jauh. Kita tidak mengetahui kapan dan di bumi mana kita akan mati.
Jika demikian kondisi kita, maka pendekkan angan-angan jangan lepaskan angan-angan secara sangat jauh. Jangan kita mengatakan, "Aku adalah seorang pemuda dan akan tetap dalam waktu yang sangat panjang." Berapa banyak pemuda yang mati di masa mudanya. Dan berapa banyak orang tua yang dipanjangkan umurnya. Jangan kita mengatakan, "Aku berbadan sehat dan sangat jauh dari kematian. "berapa banyak orang yang menderita sakit yang menghancurkannya dengan sangat cepat dan berapa banyak orang yang mengalami kecelakaan, Berapa banyak orang mengalami mati mendadak. Oleh sebab itu, setiap manusia tidak perlu panjang angan-angan, tetapi ia harus berbuat. Untuk dunia ada amalannya dan untuk akhirat ada amalannya pula. Maka harus berusaha untuk kepentingan di akhirat dengan upaya-apaya yang dibarengi dengan iman kepada Allah Azza wa Jalla serta seialu bersandar kepada-Nya.
Allah Ta'ala telah berfirman,
"Maka apabila telah tiba waktu (yang ditentukan) bagi mereka, tidaklah mereka dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukannya." (An-Nahl: 61)
Jika ajal seorang manusia telah tiba, maka tidak ada lagi kemungkinan untuk diundur barang satu detik atau disegerakan. Akan tetapi, tetap dengan ajal yang terhitung dan tertentu. Tidak bisa dimajukan dan tidak bisa pula diakhirkan, maka kenapa Anda memanjangkan angan-angan?
Demikianlan ringkasan Ingat Mati dan Pendek angan-angan, jilid 2, diringkas dari kitab Syarh Riyadush Shalihin, Pensyarah Syaikh Abdul Aziz bin Baz,
Wallahua'lam
Tanda hitam di dahi, apakah sunnah?
Oleh Dafid Fuadi (Alumnus Pesantren)
Dalam Surat Al-Fath ayat 29 dinyatakan, yang artinya, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud” (QS al Fath:29).
Banyak orang yang salah paham dengan maksud ayat ini. Ada yang mengira bahwa dahi yang hitam karena sujud itulah yang dimaksudkan dengan ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’. Padahal bukan demikian yang dimaksudkan. Diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang hasan dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksudkan dengan ‘tanda mereka…” adalah perilaku yang baik. Diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang kuat dari Mujahid bahwa yang dimaksudkan adalah kekhusyuan. Juga diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang hasan dari Qatadah, beliau berkata, “Ciri mereka adalah shalat” (Tafsir Mukhtashar Shahih hal 546).
Dari Salim Abu Nadhr, ada seorang yang datang menemui Ibnu Umar. Setelah orang tersebut mengucapkan salam, Ibnu Umar bertanya kepadanya, “Siapakah anda?”. “Aku adalah anak asuhmu”, jawab orang tersebut. Ibnu Umar melihat ada bekas sujud yang berwarna hitam di antara kedua matanya. Beliau berkata kepadanya, “Bekas apa yang ada di antara kedua matamu? Sungguh aku telah lama bershahabat dengan Rasulullah, Abu Bakr, Umar dan Utsman. Apakah kau lihat ada bekas tersebut pada dahiku?” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3698)
Dari Ibnu Umar, beliau melihat ada seorang yang pada dahinya terdapat bekas sujud. Ibnu Umar berkata, “Wahai hamba Allah, sesungguhnya penampilan seseorang itu terletak pada wajahnya. Janganlah kau jelekkan penampilanmu!” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3699).
Dari Abi Aun, Abu Darda’ melihat seorang perempuan yang pada wajahnya terdapat ‘kapal’ semisal ‘kapal’ yang ada pada seekor kambing. Beliau lantas berkata, ‘Seandainya bekas itu tidak ada pada dirimu tentu lebih baik” (Riwayat Bahaqi dalam Sunan Kubro no 3700).
Dari Humaid bin Abdirrahman, aku berada di dekat as Saib bin Yazid ketika seorang yang bernama az Zubair bin Suhail bin Abdirrahman bin Auf datang. Melihat kedatangannya, as Saib berkata, “Sungguh dia telah merusak wajahnya. Demi Allah bekas di dahi itu bukanlah bekas sujud. Demi Allah aku telah shalat dengan menggunakan wajahku ini selama sekian waktu lamanya namun sujud tidaklah memberi bekas sedikitpun pada wajahku” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3701).
Dari Manshur, Aku bertanya kepada Mujahid tentang maksud dari firman Allah, ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’ apakah yang dimaksudkan adalah bekas di wajah? Jawaban beliau, “Bukan, bahkan ada orang yang ‘kapal’ yang ada di antara kedua matanya itu bagaikan ‘kapal’ yang ada pada lutut onta namun dia adalah orang bejat. Tanda yang dimaksudkan adalah kekhusyu’an” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3702). Bahkan Ahmad ash Showi mengatakan, “Bukanlah yang dimaksudkan oleh ayat adalah sebagaimana perbuatan orang-orang bodoh dan tukang riya’ yaitu tanda hitam yang ada di dahi karena hal itu adalah ciri khas khawarij (baca: ahli bid’ah)” (Hasyiah ash Shawi 4/134, Dar al Fikr). Dari al Azroq bin Qois, Syarik bin Syihab berkata, “Aku berharap bisa bertemu dengan salah seorang shahabat Muhammad yang bisa menceritakan hadits tentang Khawarij kepadaku. Suatu hari aku berjumpa dengan Abu Barzah yang berada bersama satu rombongan para shahabat. Aku berkata kepadanya, “Ceritakanlah kepadaku hadits yang kau dengar dari Rasulullah tentang Khawarij!”. Beliau berkata, “Akan kuceritakan kepada kalian suatu hadits yang didengar sendiri oleh kedua telingaku dan dilihat oleh kedua mataku. Sejumlah uang dinar diserahkan kepada Rasulullah lalu beliau membaginya. Ada seorang yang plontos kepalanya dan ada hitam-hitam bekas sujud di antara kedua matanya. Dia mengenakan dua lembar kain berwarna putih. Dia mendatangi Nabi dari arah sebelah kanan dengan harapan agar Nabi memberikan dinar kepadanya namun beliau tidak memberinya. Dia lantas berkata, “Hai Muhammad hari ini engkau tidak membagi dengan adil”. Mendengar ucapannya, Nabi marah besar. Beliau bersabda, “Demi Allah, setelah aku meninggal dunia kalian tidak akan menemukan orang yang lebih adil dibandingkan diriku”. Demikian beliau ulangi sebanyak tiga kali. Kemudian beliau bersabda,
“Akan keluar dari arah timur orang-orang yang seperti itu penampilan mereka. Dia adalah bagian dari mereka. Mereka membaca al Qur’an namun alQur’an tidaklah melewati tenggorokan mereka. Mereka melesat dari agama sebagaimana anak panah melesat dari binatang sasarannya setelah menembusnya kemudia mereka tidak akan kembali kepada agama. Ciri khas mereka adalah plontos kepala. Mereka akan selalul muncul” (HR Ahmad no 19798, dinilai shahih li gharihi oleh Syeikh Syu’aib al Arnauth). Oleh karena itu, ketika kita sujud hendaknya proporsonal jangan terlalu berlebih-lebihan sehingga hampir seperti orang yang telungkup. Tindakan inilah yang sering menjadi sebab timbulnya bekas hitam di dahi.?
Wallahua'lam
Dalam Surat Al-Fath ayat 29 dinyatakan, yang artinya, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud” (QS al Fath:29).
Banyak orang yang salah paham dengan maksud ayat ini. Ada yang mengira bahwa dahi yang hitam karena sujud itulah yang dimaksudkan dengan ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’. Padahal bukan demikian yang dimaksudkan. Diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang hasan dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksudkan dengan ‘tanda mereka…” adalah perilaku yang baik. Diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang kuat dari Mujahid bahwa yang dimaksudkan adalah kekhusyuan. Juga diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang hasan dari Qatadah, beliau berkata, “Ciri mereka adalah shalat” (Tafsir Mukhtashar Shahih hal 546).
Dari Salim Abu Nadhr, ada seorang yang datang menemui Ibnu Umar. Setelah orang tersebut mengucapkan salam, Ibnu Umar bertanya kepadanya, “Siapakah anda?”. “Aku adalah anak asuhmu”, jawab orang tersebut. Ibnu Umar melihat ada bekas sujud yang berwarna hitam di antara kedua matanya. Beliau berkata kepadanya, “Bekas apa yang ada di antara kedua matamu? Sungguh aku telah lama bershahabat dengan Rasulullah, Abu Bakr, Umar dan Utsman. Apakah kau lihat ada bekas tersebut pada dahiku?” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3698)
Dari Ibnu Umar, beliau melihat ada seorang yang pada dahinya terdapat bekas sujud. Ibnu Umar berkata, “Wahai hamba Allah, sesungguhnya penampilan seseorang itu terletak pada wajahnya. Janganlah kau jelekkan penampilanmu!” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3699).
Dari Abi Aun, Abu Darda’ melihat seorang perempuan yang pada wajahnya terdapat ‘kapal’ semisal ‘kapal’ yang ada pada seekor kambing. Beliau lantas berkata, ‘Seandainya bekas itu tidak ada pada dirimu tentu lebih baik” (Riwayat Bahaqi dalam Sunan Kubro no 3700).
Dari Humaid bin Abdirrahman, aku berada di dekat as Saib bin Yazid ketika seorang yang bernama az Zubair bin Suhail bin Abdirrahman bin Auf datang. Melihat kedatangannya, as Saib berkata, “Sungguh dia telah merusak wajahnya. Demi Allah bekas di dahi itu bukanlah bekas sujud. Demi Allah aku telah shalat dengan menggunakan wajahku ini selama sekian waktu lamanya namun sujud tidaklah memberi bekas sedikitpun pada wajahku” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3701).
Dari Manshur, Aku bertanya kepada Mujahid tentang maksud dari firman Allah, ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’ apakah yang dimaksudkan adalah bekas di wajah? Jawaban beliau, “Bukan, bahkan ada orang yang ‘kapal’ yang ada di antara kedua matanya itu bagaikan ‘kapal’ yang ada pada lutut onta namun dia adalah orang bejat. Tanda yang dimaksudkan adalah kekhusyu’an” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3702). Bahkan Ahmad ash Showi mengatakan, “Bukanlah yang dimaksudkan oleh ayat adalah sebagaimana perbuatan orang-orang bodoh dan tukang riya’ yaitu tanda hitam yang ada di dahi karena hal itu adalah ciri khas khawarij (baca: ahli bid’ah)” (Hasyiah ash Shawi 4/134, Dar al Fikr). Dari al Azroq bin Qois, Syarik bin Syihab berkata, “Aku berharap bisa bertemu dengan salah seorang shahabat Muhammad yang bisa menceritakan hadits tentang Khawarij kepadaku. Suatu hari aku berjumpa dengan Abu Barzah yang berada bersama satu rombongan para shahabat. Aku berkata kepadanya, “Ceritakanlah kepadaku hadits yang kau dengar dari Rasulullah tentang Khawarij!”. Beliau berkata, “Akan kuceritakan kepada kalian suatu hadits yang didengar sendiri oleh kedua telingaku dan dilihat oleh kedua mataku. Sejumlah uang dinar diserahkan kepada Rasulullah lalu beliau membaginya. Ada seorang yang plontos kepalanya dan ada hitam-hitam bekas sujud di antara kedua matanya. Dia mengenakan dua lembar kain berwarna putih. Dia mendatangi Nabi dari arah sebelah kanan dengan harapan agar Nabi memberikan dinar kepadanya namun beliau tidak memberinya. Dia lantas berkata, “Hai Muhammad hari ini engkau tidak membagi dengan adil”. Mendengar ucapannya, Nabi marah besar. Beliau bersabda, “Demi Allah, setelah aku meninggal dunia kalian tidak akan menemukan orang yang lebih adil dibandingkan diriku”. Demikian beliau ulangi sebanyak tiga kali. Kemudian beliau bersabda,
“Akan keluar dari arah timur orang-orang yang seperti itu penampilan mereka. Dia adalah bagian dari mereka. Mereka membaca al Qur’an namun alQur’an tidaklah melewati tenggorokan mereka. Mereka melesat dari agama sebagaimana anak panah melesat dari binatang sasarannya setelah menembusnya kemudia mereka tidak akan kembali kepada agama. Ciri khas mereka adalah plontos kepala. Mereka akan selalul muncul” (HR Ahmad no 19798, dinilai shahih li gharihi oleh Syeikh Syu’aib al Arnauth). Oleh karena itu, ketika kita sujud hendaknya proporsonal jangan terlalu berlebih-lebihan sehingga hampir seperti orang yang telungkup. Tindakan inilah yang sering menjadi sebab timbulnya bekas hitam di dahi.?
Wallahua'lam
Langganan:
Postingan (Atom)