Kamis, 14 April 2011

Ancaman Berbohong Atas Nama Rasulullah dan cara menyampaikan hadits bila statusnya masih diragukan (shohih atau tidak)

Diringkas dari Kitab Syarah Imam Muslim, karangan Imam Nawawi.


Muhammad bin Ja'far menceritakan kepada kami. Syu'bah menceritakan kepada kami, dari Manshur, dari Rib'i bin Hirasy bahwa Ali radhiyallaahu `anhu berkata dalam khuthbahnya:



“Rasulullah shallallahu 'alaini wa sallam bersabda, "Janganlah kalian berdusta dengan mengatasnarna-kan diriku, karena sesungguhnya barangsiapa yang berdusta dengan mengatasnamakan aku, maka dia akan masuk neraka.1 “



(1). Hadits ini juga sesuai yang disebutkan Imam Bukhari (1/106) dari jalur Manshur, dari Rib'i bin Hirasy, dari Ali. Disebutkan juga oleh At-Tirmidzi (V/2660), An-Nasa'i pada pernbahasan tentang Ilmu dalam Sunan Al Kubra dan juga Ibnu Majah (1/31).



Hal yang menarik tentang periwayat hadits bernama Rib’I bin Hirasy, sbb :



Nasab lengkapnya adalah Rib'i bin Hirasy bin Jahsy Al Absi Al Kufi Abu Maryam. Rib'i adalah seorang tabi'in senior yang tidak pernah berdusta. Dia telah bersumpah untuk tidak tertawa sampai mengetahui dimana tempat kembalinya di akhirat nanti. Sehingga dia pun terbukti tidak pernah tertawa kecuali setelah kematiannya. Saudaranya yang bernama Rabi' juga bersumpah untuk tidak tertawa sampai dia tahu benar akan dimasukkan ke dalam surga atau neraka. Orang yang memandikan jenazahnya sempat berkata, "Jenazahnya senantiasa tersenyum ketika berada di atas persemayamannya. Sehingga kamipun memandikan jenazahnya yang roman mukanya nampak ceria."



Penjelasan Hadits :



Maknanya adalah, "Seperti inilah balasan untuk orang yang berdusta dengan mengatasnamakan Rasulullah." Namun terkadang Allah memberikan ampunan bagi orang yang melakukan hal tersebut. Sehingga Allah tidak selalu memastikan orang yang berdusta atas nama Rasulullah akan dimasukkan ke dalam neraka. Demikianlah seyogyanya sikap yang diambil seorang muslim ketika menanggapi berbagai hadits yang menerangkan tentang bentuk ancaman masuk neraka. Hendaklah dia berpendapat bahwa siapapun yang melakukan dosa besar, maka tidak akan pernah kekal di dalam neraka, kecuali jika yang dia lakukan adalah dosa kufur.



Telah disebutkan dalam beberapa redaksi hadits bahwa neraka adalah ancaman bagi sang pendosa. Allah dapat menghukum seseorang sesuai dengan keterangan dalam hadits, namun terkadang juga memberikan ampunan bagi orang tersebut. Jika sampai orang itu harus menerima hukuman dari Allah di dalam neraka, maka dia tidak akan kekal di dalamnya. Namun pada suatu ketika dia pasti akan dikeluarkan dan tempat penyiksaan tersebut, tentu saja melalui karunia dan rahmat Allah, sebab tidak akan ada seorang pun yang mati membawa tauhid akan kekal di dalam neraka. Demikianlah kaidah Ahlussunnah.



Hadits ini mencakup beberapa faidah dan kaidah:



1. Menurut kaidah Ahlussunnah, yang termasuk dalam kategori berdusta adalah menyampaikan informasi yang tidak sesuai dengan fakta, baik secara sengaja maupun lalai.



2. Besarnya larangan berdusta atas nama Rasulullah. Upaya itu dianggap sebagai perbuatan keji dan mengakibatkan pelakunya mendapatkan dosa benar. Namun perbuatan tersebut tidak sampai mengubah status pelakunya menjadi kafir, kecuali jika dia menghalalkan perbuatannya itu. Demikianlah pendapat yang masyhur di kalangan madzhab mayoritas ulama.



3. Ketiga, tidak ada bedanya antara upaya berdusta atas nama Rasulullah dalam hal yang mengandung hukum atau hal yang tidak mengandung hukum. Misalnya dalam masalah targhiib (anjuran untuk berbuat baik), tarhiib (ancaman untuk melakukan hal yang tidak terpuji), mau'izhah (nasehat) atau lainnya. Semuanya haram hukumnya dan termasuk dosa benar. Bahkan kaum muslimin sepakat menggolongkan perbuatan itu sebagai perbuatan yang paling tercela.



4. Keempat, haram hukumnya meriwayatkan hadits maudhuu' (hadits palsu) bagi mereka yang telah mengetahuinya atau bagi orang yang telah memiliki firasat kalau hadits tersebut adalah maudhuu'. Barangsiapa yang tetap saja meriwayatkan hadits maudhuu', sementara dia telah mengetahui atau curiga sebelumnya, lantas dia tidak menjelaskan kepada orang yang mendengar bahwa hadits yang dia sampaikan adalah maudhuu', maka dia termasuk dalam ancaman hadits ini.



Itulah sebabnya para ulama telah berkata, "Bagi siapa saja yang hendak meriwayatkan atau menyampaikan hadits, seyogianya meneliti terlebih dahulu statusnya. Jika memang hadits itu shahih atau hasan, maka hendaklah dia tidak berkata, "Rasulullah telah bersabda demikian; telah melakukan demikian," atau dengan redaksi yang terkesan pasti. Namun hendaknya dia berkata, "Telah diriwayatkan dan Rasulullah demikian; telah datang kabar dari Rasulullah demikian; telah disebutkan dari Rasulullah demikian; telah diceritakan dan Rasulullah demikian, telah sampai kepada kami berita demikian," atau dalam bentuk redaksi yang sejenis.



Wallahua'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar