Berikut adalah dalil dibolehkannya wanita menjadi kepala negara (lanjutan dari Fiqh Wanita menjadi kepala negara bag 1)
2. Wanita boleh menjadi kepala negara
Di antara orang-orang yang mengemukakan pendapat demikian dari kalangan ulama terdahulu adalah kelompok asy-Syubaibiyyah ('Abdul Qahir bin Thahir bin Muhammad Abu Manshur al-Baghdadi, al-Farqu bainal Firaq wa Bayanul Firqah an-Naajiyah (1/89). Sedangkan dari kalangan ulama kontemporer di antaranya Syaikh Mahmud Syaltut (Syaikh Mahmud Syaltut, al-Mar-ah wal Qaanuun (hlm. 7-8), Syaikh Muhammad al-Ghazali (Muhammad al-Ghazali, as-Sunnatun Nabawiyyah baina Ahlil Fiqh wa Ahlil Hadiits (him. 56-62), Dr. Zhafir al-Qasimi (Al-Qasimi, Nizhaamul Hukm fisy Syarii'ah wat Taariikh al-Islaam (hlm. 342), Dr. Fu-ad Ahmad (Dari Abu Hujair, al-Mar-ah wal Huquuq as-Siyaasiyyah fil Islaam (hlm. 69), dan Dr. `Aisyah `Abdurrahman. (Dari Abu Hujair, al-Mar-ah wal Huquuq as-Siyaasiyyah fil Islaam (hlm 69); mengutip dari al-Mafhuumul Islaami li Tahriiril Mar-ah (hlm. 7)
Pihak yang berpendapat demikian berdalil dengan nash-nash umum dari al-Qur-an yang secara lahiriah menunjukkan adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan. Mereka pun berdalil dengan keikutsertaan `Aisyah RA pada Perang Jamal. Mereka juga berdalil dengan peristiwa sejarah yang menceritakan kepemimpinan wanita sebagai kepala negara. Juga, berdalil dengan konsekuensi logika akan persamaan wanita dan laki-laki. Berikut ini penjelasan keempat dalil mereka tersebut, yang disajikan satu per satu.
Pertama, dalil-dalil syari'at yang secara lahiriah menunjukkan persamaan antara laki-laki dan perempuan.
1) Firman Allah SWT :
"Dan, orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya ...." (QS. At-Taubah: 71)
Pihak yang berpendapat demikian memandang bahwa dalam ayat ini Allah menyamakan antara laki-laki dan perempuan pada prinsip dasar yang umum: `Sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain', dan pada pembeban syari'at: Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya.'
Menurut mereka, ayat ini termasuk ayat muhkam. Maksudnya, pria dan wanita memiliki posisi yang sama dalam konteks sosial kemasyarakatan. Dan, bahwasanya kekuatan eksekutif tak lain hanyalah amar ma'ruf dan nahi munkar (memerintahkan kepada yang baik dan melarang dari yang buruk).(Al-Mar-ah wal Wilaayaat al- Aammah fis Siyaasah asy-Syar'iyyah (hlm. 228-229)
2) Firman Allah SWT :
"... dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya ...." (QS. Al-Baqarah: 228)
Mereka berpendapat: "Sesungguhnya al-Qur-an telah menetapkan persamaan pria dan wanita dalam struktur pemerintahan dan tatanan masyarakat; yaitu persamaan yang sederajat. Hanya saja, ada sedikit pengecualian yang berhubungan dengan gender. Ayat ini menetapkan adanya hak bagi wanita seperti hak laki-laki dalam kegiatan sosial, politik, dan pemerintahan dengan berbagai macam bentuk dan jenisnya." (ibid)
3) Sabda Rasulullah "wanita itu serupa dengan pria."
Orang-orang yang berpendapat demikian tidak melihat adanya perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Menurut mereka, pria dan wanita adalah asal mula bagi penciptaan umat manusia. Mereka menduduki posisi yang sama dipandang dari sisi kemanusiaan. Oleh karena itulah mereka memiliki kedudukan yang sama dalam hal menerima pembebanan syari'at.
Dr. `Aisyah `Abdurrahman berkata tentang nash-nash yang telah disebutkan di atas: "Berdasarkan nash-nash ini dapat ditetapkan kesempurnaan sisi kemanusiaan seorang wanita. Juga, dapat ditetapkan pula hak-hak yang berhubungan dengan sisi kemanusiaannya itu, serta kewajiban dan beban yang harus dipikulnya. Dan, bahwa yang menjadi acuan atas diwajibkannya kewajiban ini pada diri seorang perempuan hanyalah satu, yaitu akal." (Fu-ad Ahmad, yang is kutip dari al-Mafhuumul Islaami ii Tahriiril Mar-ah (hlm. 7),
Kedua, peranan `Aisyah RA pada Perang Jamal.
Tatkala `Utsman RA tewas terbunuh, 'Ali RA lalu mengambil alih pimpinan sebagai Amirul Muslimin dan kepala negara; namun kemudian, ketika penyelesaian kasus pembunuhan terhadap `Utsman RA ditunda, terjadilah fitnah di tengah-tengah kaum Muslimin. Pada waktu itu, kaum Muslimin terbagi menjadi dua golongan: satu golongan mendukung 'Ali RA dan satu golongan lainnya mendukung Mu'awiyah RA. `Aisyah Ummul Mukminin RA bergabung dengan golongan kedua. Ketika itu, peran `Aisyah RA adalah sebagai pemimpin kelompok ini.
Al-Hajawi berdalil dengan perbuatan `Aisyah RA yang memimpin kaum Muslimin menuntut keadilan atas terbunuhnya `Utsman RA. Al-Hajawi berkata: "(Ingatlah) posisi `Aisyah ash-Shiddiqah RA pada peristiwa pembunuhan `Utsman RA, keluarnya `Aisyah RA untuk menuntut keadilan atas tertumpahnya darah `Utsman RA, dan kepemimpinan `Aisyah RA dalam Perang Jamal; sementara di dalam pasukannya terdapat beberapa orang Sahabat senior yang mematuhi semua komando `Aisyah RA. Sampai-sampai, sebagian orang berusaha mengambil kesimpulan dalam peristiwa itu, yaitu bahwa `Aisyah berambisi untuk menduduki tampuk kekhilafahan. Kesimpulan ini berdasarkan kedudukan `Aisyah di sisi Nabi tingkat keilmuannya di tengah-tengah umat Islam baik semasa beliau masih hidup maupun setelah beliau wafat, kekuatan akalnya, keteguhan hatinya, juga kedudukan ayahnya sebagai khalifah pertama. Seandai-nya kemenangan diraih pihak `Aisyah pada Perang Jamal itu, mungkin akan terjadi hal menakjubkan yang tiada disangka-sangka.” (Muhammad al-Mandi al-Hajawi, al-Mar-ah bainasy Syar'i wal Qaanuun (hlm 38),
Ath-Thabari menulis: "Aisyah berkhutbah di hadapan orang banyak di Masjidil Haram. Ia mendorong orang-orang agar menuntut keadilan atas peristiwa pembunuhan `Utsman. Ia menyerukan bahwa orang-orang yang membunuh `Utsman itu telah menumpahkan darah yang haram, mengalirkannya di negeri yang haram, mengambil harta yang haram, dan menghalalkan Bulan haram."( Ath-Thabari, Taariikhul Umam wal Muluuk (111/6-7)
Ketiga, catatan sejarah yang menyebutkan bahwa wanita pernah menjadi kepala negara.
a) Kisah Ratu Saba' yang tertera dalam al-Qur-an pada Surat An-Naml. Allah SWT berfirman menirukan perkataan burung hud-hud:
"Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka, lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak mendapat petunjuk. Agar mereka tidak menyembah Allah yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi dan yang mengetahui apa yang kamu sembunyikandan apa yang kamu nyatakan. Allah, tiada ilah yang berhak diibadahi kecuali Dia, Rabb yang mempunyai Arsy yang besar. Sulaiman berkata: `Akan karni lihat, apa kamu benar, ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta. Pergilah dengan (membawa) suratku ini, lalu jatuhkan kepada mereka, kemudian berpalinglah dari mereka, lalu perhatikanlah apa yang mereka bicarakan.' Ia (Balqis) berkata: 'Hai pembesar¬pembesar, sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sebuah surat yang mulia. Sesungguhnya surat itu dari Sulaiman, dan sesungguhnya (isi)nya: Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Bahwa janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.' Dia (Balqis) berkata: 'Hai para pembesar, berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini), aku tidak pernah memutuskan suatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku).' Mereka menjawab: Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan),dan keputusan berada di tanganmu, maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan.' Dia berkata: `Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat. Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu." (QS. An-Naml: 23-35)
Alasan penggunaan dalil dari ayat ini adalah, ayat ini menggambarkan kepada kita secara eksplisit tentang kepemimpinan seorang wanita sebagai kepala negara, serta keputusannya dalam suatu perkara penting yang berkaitan dengan keselamatan wilayahnya atau urusan kerajaannya Syaikh Mahmud Syaltut berkata: "Ratu ini memiliki pikiran yang bijaksana, penuh pertimbangan, dan tidak terprovokasi oleh agitasi yang dikemukakan oleh para pengikut dan sekutunya, yaitu sikap bangga terhadap diri sendiri, terlalu percaya akan kekuatan pihak sendiri, dan menyepelekan golongan lain. Pemahaman mereka tentang situasai yang sedang mereka hadapi saat itu, dapat diketahui dari orang-orang yang memberikan anjuran kepada ratu namun sebenarnya anjurannya ingin diikuti dan kemauannya ingin dituruti, padahal mereka tidak menguasai masalah yang sesungguhnya, dan mereka pun tidak mampu memberikan saran atau nasihat yang baik. Kemampuan ratu untuk mengetahui semua ini menunjukkan bahwa wanita mampu mengatur suatu kerajaan dan memimpin dengan baik." (Syaltut, al-Mar-ah wal Qaanuun (hlm. 311).
Syaikh Muhammad al-Ghazali berkata (as-Sunnatun Nabawiyyah baina Ahlil Fiqh wa Ahlil Hadiits (hlm. 57)): "Dahulu, Ratu Balqis memiliki kerajaan luas yang digambarkan burung hud-hud dengan perkataannya: `Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.' (QS. An-Naml: 23)
Saat itu, Nabi Sulaiman telah menyeru Balqis agar memeluk agama Islam, sekaligus melarangnya berbuat angkuh dan menentang. Ketika menerima surat dari Sulaiman, Balqis tidak langsung membalasnya. Dia bermusyawarah dengan para pejabat tinggi negerinya, di mana mereka kemudian menyerahkan keputusan apapun yang akan diambilnya ketangannya. Mereka berkata: "Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada di tanganmu, maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan." (QS. An-Naml: 33)
Namun, ratu Balqis tidak tertipu oleh kekuatan yang dimilikinya atau oleh loyalitas kaumnya. Sebaliknya, ia berkata: `Kita akan menyelidiki siapakah Sulaiman ini, agar kita mengetahui apakah ia seorang diktator yang menginginkan kekuasaan dan kekayaan, ataukah ia seorang Nabi yang beriman dan berdakwah.'
Tatkala bertemu Sulaiman, Balqis tetap dengan kecerdasannya dan tetap dibimbing oleh kebijaksanaannya. Ia mulai mempelajari keadaan Sulaiman, apa yang diinginkannya dan apa yang dilakukannya. Kemudian, ia melihat dengan jelas bahwa Sulaiman adalah seorang Nabi yang shalih. Maka, ia pun memutuskan untuk tidak lagi menyembah berhalanya yang pertama dan akan memeluk agama Allah. Ia berkata:
"Ya Rabbku, sesungguhnya aku telah berbuat zhalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Rabb semesta alam.' (QS. An-Naml: 44)"
b) Kelompok Asy-Syubaibiyyah, salah satu sempalan Khawarij, membolehkan wanita menjadi kepala negara. Mereka berdalil dengan perbuatan Syubaib. Dahulu, sewaktu datang ke Kufah, Syubaib menaikkan Ghazalah, ibunya, ke atas mimbar Kufah, di dalam masjid jami'. Lalu, ibunya berkhutbah dan menjadi kepala negara, menggantikan Syubaib.
Al-Baghdadi berkata mengenai pendapat asy-Syubaibiyyah yang terkait dengan kepemimpinan wanita: "Mereka membolehkan kepemimpinan wanita yang berasal dari kalangan mereka, apabila wanita itu mampu mengurusi keperluan mereka dan ikut keluar untuk memerangi orang-orang yang menentang mereka. Asy-Syubaibiyyah mengira Ghazalah, ibu Syubaib, adalah Imam setelah terbunuhnya Syubaib; hingga Ghazalah pun tewas terbunuh. Mereka berdalil dengan perbuatan Syubaib yang menaikkan ibunya ke atas mimbar Kufah, saat memasuki kota ini, hingga ibunya berkhutbah." (AI-Baghdadi, al-Farq bainal Firaq wa Bayaanul Firqah an-Naajiyah (1/89)
Perbuatan Syubaib ini juga dijadikan dalil oleh Zhafir al-Qasimi.( Zhafir al-Qasimi, Nizhaamul Hukm fisy Syarii'ah wat Taariikh al-Islaami (1/243-244). Al-Qasimi berpendapat bahwa perbuatan Syubaib merupakan dalil yang memperbolehkan wanita menjadi pemimpin negara.
c) Al-Qasimi juga berdalil dengan pengangkatan Arwa ash-Shulaihiyyah sebagai pemimpin Yaman. Al-Qasimi menukil biografi Arwa dari kitab al-Alaam karya az-Zirikli. Di dalam kitab itu disebutkan: "Arwa binti Ahmad bin Ja'far bin Musa ash-Shulaihi, as-Sayyidah al-Hirrah. Ia bergelar al-Hirrah al-Kamilah dan Balqis ash-Shugra. Ia seorang ratu yang tegar. Ia lahir di Harraz, Yaman, pada tahun 444 H/1052 M. Ia kemudian dinikahi oleh Raja ash-Shulaihi Ahmad bin 'Ali. Setelah itu, wilayah kekuasaannya terbagi dua, maka Ahmad pun menyerahkan beberapa urusan kepada isterinya itu. Ia lalu membuatkan sebuah benteng di Dzu Jabalah untuk Arwa. Di sana, Arwa tinggal selama berbulan-bulan pada setiap tahunnya. Dari sana, Arwa mengatur kerajaan dan menyiapkan peperangan, hingga Raja ash-Shalih, suaminya yang mulia, wafat pada tahun 484 H. Kemudian, is digantikan oleh anak pamannya, Saba' bin Ahmad; sedangkan Arwa masih memegang kekuasaan di sana dan wilayah itu masih dipimpinnya serta para menteri berkumpul di sisinya. Wanita ini memerintah dari balik hijab (tabir). Dahulu, mereka mendo'akannya di atas mimbar Yaman." (ibid, hlm. 347-348)
d. Mereka (orang-orang yang membolehkan wanita menjabat sebagai kepala negara) juga berdalil dengan kepemimpinan Syajarah ad-Durr, sebagai pengganti Raja ash-Shalih, yang memerintah selama delapan bulan. Al-Hajawi berkata: "Walaupun ia tidak dibai'at dengan kekhalifahan, namun ia telah dibai'at sebagai raja. Posisi ini hampir bisa dikatakan sama dengan khalifah. Realitas seperti ini sering dijumpai pada kerajaan-kerajaan Islam di India."
Beberapa orang wanita pun telah menjabat sebagai pemimpin pada zaman modern ini, seperti Margareth Thatcher, Perdana Menteri Inggris; Indira Gandhi (1917-1984), Perdana Menteri India; dan Julida Meyer, Perdana Menteri Israel. Al-Ghazali, dengan fakta-fakta ini, berpendapat: "Inggris telah mencapai masa-masa keemasan mereka pada zaman kepemimpinan Ratu Victoria. Dan, pada saat Inggris dipimpin oleh seorang perdana menteri wanita, Thatcher, Ia begitu diperhitungkan dalam masalah kemajuan ekonomi dan stabilitas politik. Lalu, di manakah kegagalan yang menimpa orang-orang yang memilih wanita-wanita tersebut sebagai pemimpin? Pada kesempatan yang lain, telah dibicarakan perihal bencana-bencana kehancuran yang menimpa kaum Muslimin di Benua India di bawah kepemimpinan Indira Gandhi, bagaimana ia membagi entitas Islam menjadi dua bagian sehingga kaumnya tertimpa bencana sedemikian rupa; hingga akhirnya, Marshal Yahya Khan kembali ke negerinya itu dan berhasil mengakhiri bencana tersebut. Adapun musibah-musibah yang menimpa negeri Arab pada masa Julida Meyer, yang menjadi pemimpin Israel, maka berkatalah sekehendakmu; kita membutuhkan suatu generasi (kelompok manusia) lain yang mampu meninjaunya (secara komprehensif). Sesungguhnya permasalahan ini tidak terletak pada masalah gender, wanita atau laki-laki; tetapi hal ini terkait dengan masalah akhlak dan sifat pembawaan lahir."( Al-Ghazali, as-Sunnah an-Nabawiyyah baina Ahlil Fiqh wa Ahlil Hadiits (hlm. 58-59)
Keempat, dalil secara logika.
Pihak yang berpendapat bolehnya wanita menjadi pemimpin melihat bahwa permasalahan hak wanita dalam bidang politik bukanlah permasalahan agama atau undang-undang, tetapi masalah sosial politik. Berdasarkan hal ini, maka bidang ini tidak berkaitan dengan gender, tetapi berkaitan dengan konteks yang berlaku di suatu tempat serta orang yang sesuai untuk pekerjaan tersebut. Hujjah mereka, tidak ada satu pun dalil syar'i yang melarang wanita untuk memimpin suatu negara atau jabatan lainnya yang termasuk kepemimpinan publik. (al-Mar-ah wal Wilaayaat abAammah fis Siyaasah asy-Syar'iyyah (him. 244)
Al-Anshari mengutip pendapat mereka: "Mereka berpendapat bahwa permasalahan hak wanita dalam bidang politik bukanlah termasuk permasalahan agama atau undang-undang, tetapi permasalahan sosial politik. Maka, aturan yang berlaku padanya mengikuti kondisi masyarakat dan situasi politik dan ekonomi pada suatu tempat dan masa tertentu, dengan tetap memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan undang-undang negara. Mereka juga berpendapat, tidak ada hukum syar'i yang mengharamkan wanita menerima hak-haknya dalam bidang politik pemerintahan. Kesimpulan ini diambil berdasarkan pembahasan dalil-dalil kedua belah pihak, sehingga masalah ini merupakan masalah ijtihadiyah." ('Abdul Hamid al-Anshari, asy-Syuuraa wa Atsaruha fii Diimuqraathiyyah (hlm. 319)
Insya Allah masih berlanjut ke bagian ke 3 (bagian akhir, kesimpulan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar