Senin, 30 Mei 2011

Fiqh Wanita Menjadi Kepala Negara bag 1

Assalamu'alaikum wr wb..

Bismillahirrohmaanirrohiimm..

Melanjutkan pembahasan tentang Fiqh Wanita Karir yang sudah lama ditulis beberapa bulan yang lalu, dan juga sesuai janji saya untuk melanjutkan meringkas buku tentang fiqh wanita karir (jenis-jenis pekerjaan yang dilarang dan yang dibolehkan dalam Fiqh Islam), maka Insya Allah saya akan lanjutkan tentang bagian ke 1 tentang Jenis Pekerjaan Wanita sebagai kepala Negara.

Semoga bermanfaat.

Wanita Sebagai Kepala Negara Ri-asah Daulah)

A. Pengertian Kepala Negara

Ri-asah daulah dalam ilmu fiqih Islam dinamakan Khilafah (Khalifah), Imamatul Kubra (pemimpin tertinggi), Imaratul Mukminin (pemimpin kaum Mukmin), dan Sulthanah (Sultan) (Dr. Muhammad 'Abdul Ghaffar asy-Syarif, Buhuuts Fiqhiyyah Mu'aashirah (II/11-16, hlm. 341))

Secara bahasa, kata imamah adalah mashdar yang diambil dari ungkapan ammal Baum [memimpin suatu kaum] dan amma bihim ([menjadi imam mereka]). Imam itu adalah seorang yang diangkat sebagai panutan, sebagaimana firman Allah :

"... maka perangilah pemimpin pemimpin orang-orang kafir itu "(QS. At-Taubah: 12)2

Kata khilafah, secara bahasa, adalah mashdar dari kata khalafa yakhlifu khalfan khilafatan yang berarti datang setelahnya lalu menggantikan tempatnya. Khilafah itu adalah Sulthan A'zham (pemimpin tertinggi negara).(Buhuuts Fiqhiyyah Mu’aashirah hal 78)

Adapun menurut istilah, imamah (khilafah) artinya menuntun manusia untuk melaksanakan syari'at Islam yang mengandung hal-hal yang bermanfaat bagi mereka dalam urusan agama dan dunia. Contoh nyata ke-khilafah-an tersebut adalah kepemimpinan Nabi SAW dalam menjaga urusan agama dan dunia. (Asy Syarif, Buhuuts Fiqhiyyah Mu’aashirah 11/11-16)

Memilih seorang imam atau pemimpin negara Muslim hukumnya wajib berdasarkan al-Qur-an dan as-Sunnah serta ijma' ulama.( Lihat 'Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashri al-Mawardi, al-Ahkaamus Sulthaaniyyah (hlm. 5))

Allah SWT, berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu ...." (QS. An-Nisaa': 59)

Rasulullah SAW bersabda:

"Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang amir yang menangani urusan orang banyak adalah pemimpin, dan ia akan ditanya tentang kepemimpinannya." (HR Muslim, Abu Dawud)

Dari al-Irbadh bin Sariyah RA, dia berkata: "Pada suatu hari, sehabis shalat Zhuhur, Rasulullah SAW member nasihat yang sangat menyentuh kepada kami. Nasihat tersebut membuat air mata berlinang dan hati bergetar. Seorang laki-laki berkata: `Sepertinya ini betul-betul nasihat orang yang hendak berpisah. Apakah kiranya yang hendak engkau sampaikan kepada kami, wahai Rasulullah?" Beliau SAW berkata: "Aku menasihati kalian agar bertakwa kepada Allah, untuk mendengar dan patuh pada pemimpin walaupun ia adalah seorang budak dari Habasyah. Sesungguhnya siapa saja di antara kalian yang masih hidup sepeninggalku pasti akan menyaksikan perselisihan yang banyak. Maka hindarilah perkara-perkara yang baru (dalam agama), karena hal itu adalah kesesatan. Barang siapa di antara kalian yang mendapati zaman itu, maka hendaklah ia berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafa-ur Rasyidin yang diberi petunjuk, dan gigitlah ia dengan gigi gerahammu (peganglah ia erat-erat)." (HR Ahmad dan Tirmidzi)

Adapun dari ijma', umat ini telah sepakat bahwa imamah itu hukumnya wajib, dan keberadaan seorang imam sangat dibutuhkan (Sa'di Abu Habib, Mausuu'atul Ijmaa' fil Fiqh al-Islaami (I/385))

B. Pendapat Ulama tentang Wanita Menjadi Kepala Negara

Kepala negara adalah pemimpin umum yang paling penting bagi rakyat. Keberadaan kepala negara ini merupakan jembatan pelaksana untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, yang dengan perantaraannya seorang hakim (pengadilan) dapat menyelesaikan apa-apa yang tidak mungkin diselesaikan secara

Berdasarkan hal itu, para ahli fiqih telah menetapkan beberapa persyaratan bagi seorang pemimpin yang akan mengepalai kaum Muslimin, di antaranya berjenis kelamin laki-laki (Al-Ahkaamus Sulthaaniyyah (hlm. 6) karya al-Mawardi) Akan tetapi, terjadi perselisihan pendapat mengenai syarat ini. Berikut ini penjelasannya.

1. Wanita tidak boleh menjadi kepala Negara

Jumhur ahli fiqih berpendapat bahwa wanita tidak boleh menjadi kepala negara. Mereka mensyaratkan jenis kelamin laki-laki untuk menjadi kepala negara. Mereka berdalil, untuk menguatkan pendapat ini, dengan al-Qur-an, as-Sunnah, dan ijma'.

a. Dalil dari al-Qur-an:

1) Firman Allah;: :

"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka ...." (QS. An-Nisaa': 34)

Alasan penggunaan dari ayat ini adalah Allah SWT memberikan kepemimpinan secara mutlak untuk kaum laki-laki atas kaum wanita, karena mereka yang bertugas mengurusi segala keperluan wanita. Kepemimpinan ini mencakup semua hal, baik yang berskala kecil seperti yang mereka pimpin di dalam rumah, maupun yang berskala besar yang puncaknya adalah kepala negara. Termasuk pula, kepemimpinan pada urusan-urusan umum untuk rakyat, seperti pengadilan, memimpin pasukan, dan sebagainya.

Berikut ini penjelasan beberapa perkataan ulama dalam masalah ini:

Al-Qurthubi berkata (Tafsir Al-Qurthubi, al-Jaami' li Ahkaamil Qur-aan (V/110)): "Firman Allah SWT : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita” merupakan kalimat yang terdiri dari mubtada' (subjek) dan khabar (predikat). Maksud firman Allah ini adalah, kaum laki-laki-lah yang bertugas menafkahi kaum wanita dan menjauhkan gangguan dari mereka, (maka dari itulah kaum laki-laki menjadi pemimpin bagi mereka). Di samping itu, kaum laki-lakilah yang menjadi pemerintah, pemimpin, dan prajurit perang, sementara kaum wanita tidak boleh berada pada posisi tersebut."

Asy-Syaukani berkata:" "Huruf ba pada firman Allah SWT adalah ba sababiyyah (menunjukkan sebab-akibat), sementara dhamir (kata ganti) pada firman Allah SWT : kembali kepada kaum laki-laki dan kaum wanita. Maksudnya, kaum laki-laki berhak atas kelebihan ini, karena Allah telah melebihkan mereka atas kaum wanita, karena sebagian dari mereka ada yang menjadi khalifah, sultan, hakim, amir (pemimpin), dan prajurit perang." (Fa-thul Qadiir 1/460)

As-Sa'di berkata: "Maksud ayat ini adalah (menunjukkan) sebab keutamaan kaum laki-laki atas kaum wanita, yakni karena kelebihan yang Allah berikan kepada mereka dibandingkan dengan kaum wanita. Kelebihan kaum laki-laki atas kaum wanita dapat dilihat dari beberapa sisi, di antaranya dalam masalah kepemimpinan yang dikhususkan bagi kaum laki-laki, serta dalam hal kenabian dan risalah." (Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Tafsiirul Kariim ar Rahmaan fi Tafsiir Kalaamil Mannaan hal 142, Cet.I Mu’assasah ar-Risaalah, Beirut 1420H/1999M)

2) Firman Allah SWT :

“…dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya ...." (QS. Al-Baqarah: 228)

Ketika Allah SWT memberitahukan bahwa para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf, karena masing-masing pihak, baik pria maupun wanita memiliki hak dan kewajiban yang harus ditunaikan kepada pihak yang lain, Allah; memperingatkan suatu perkara yang penting, yaitu mengenai tingginya derajat kaum laki-laki atas kaum wanita. Tujuannya adalah agar jangan ada orang yang mengira bahwa kedudukan wanita sama dengan kedudukan laki-laki, sehingga ia menuntut kedudukan kaum laki-laki itu diberikan kepada kaum wanita. Peringatan Allah SWT itu disampaikan melalui firman-Nya:

“Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya."

Tingkatan bagi kaum laki-laki ini, walaupun ayat tersebut berbicara dalam konteks talak, berlaku umum dalam semua perkara. Karena, hal yang dijadikan pertimbangan dalam penetapan hukum adalah keumuman redaksi nash, bukan kekhususan sebab yang melatarbelakangi turunnya nash tersebut. Ini dari satu sisi. Dari sisi yang lain, kepemimpinan kaum pria atas kaum wanita dalam hal kepemilikan talak itu tidak lebih besar daripada kepemimpinannya dalam masalah pemerintahan. Maka dari itu, dalam bidang pemerintahan ini, kaum pria lebih utama lagi untuk memegang kepemimpinan atas kaum wanita. "(ihat ath-Thabari, Jaami'ul Bayaan fii Tafsiriil Qur-an (11/275); Ibnu Katsir, Tafsiirul Qur-aan (I/337); `Abdurrahman bin al-Kammal Jalaluddin as-Suyuthi, ad-Durul Mantsuur (I/662), asy-Syaukani, Fat-hul Qadiir (I/337); Tafsiirul Khazin (I/160), Ahkaamul Qur-aan (I/188-189))

Sebagian ulama sudah menegaskan hal ini secara gamblang dan jelas. Berikut ini salah satu pendapat mereka.

Ath-Thabari berkata: "Dari Zaid bin Aslam," tentang penafsirannya terhadap ayat: : Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya” yaitu imarah (kepemimpinan)."

Kaum laki-laki memiliki satu tingkatan atau kelebihan di atas kaum wanita, yaitu dalam hal kepemimpinan. Kepemimpinan di sini tidak terbatas pada kehidupan keluarga. Karena, masalah kepemimpinan negara lebih penting daripada kepemimpinan di dalam rumah. Di samping itu, karena nash al-Qur-an juga tidak mengkhususkan kepemimpinan ini di dalam rumah saja. Walaupun ayat ini berbicara dalam konteks talak dan hak-hak suami isteri, namun ayat ini bukanlah dalil bahwa wanita diberi hak dalam masalah kepemimpinan." (Tafsir ath-Thabari, Jaami'ul Bayaan fii Tafsiir Qur-aan (11/275))

3) Firman Allah SWT :

"Dan, janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak daripada sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan ...." (QS. An-Nisaa': 32)

Al-Jashshash berkata mengenai hukum angan-angan ini (berangan-angan mendapat bagian yang lebih besar seperti orang lain): "Di antara angan-angan yang terlarang adalah kita mengangankan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Contohnya, seorang wanita berangan-angan ingin menjadi laki-laki; atau seorang wanita berangan-angan menduduki jabatan khilafah dan imarah serta yang lainnya, yang termasuk perkara-perkara yang telah diketahui bersama bahwa is tidak akan terjadi dan tidak akan terwujud ...." (Ahmad bin 'Ali ar-Razi Abu Bakar al-Jashshah, Ahkaamul Qur-aan (III/14223)

Keumuman nash-nash syari'at pun memerintahkan wanita untuk tetap berdiam di rumahnya, yang akan mengantarkannya kepada keutamaan yang diraih dari sikap tersebut, antara lain :

Pertama, firman Allah SWT :

"Dan, hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah karnu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyyah yang dahulu ...." (QS. Al-Ahzaab: 33)

Ayat ini membimbing kaum wanita agar tetap tinggal di rumahnya; sebagai bentuk penjagaan atas diri mereka, pemeliharaan bagi hak-hak suami mereka dan urusan-urusan anak-anak mereka, serta supaya mereka dapat mengurusi rumah. Rumah adalah tempat yang paling sesuai dengan tabiat wanita. Di dalamnya terdapat kebaikan dan turunnya karunia. Dari rumahnya akan dihasilkan para pemimpin, para ulama, dan pemuka masyarakat, serta para da'i. Oleh karena itu, wanita merupakan pondasi dasar yang menjadi acuan dan titik tolak. Bahkan, ia merupakan akar suatu umat yang mengasuhnya dengan segala sesuatu yang bermanfaat. Atas dasar itu, keluarnya seorang wanita dari rumah sama dengan suatu akar yang putus dan putik buah yang gugur.

Di samping itu, keluarnya wanita dari rumah untuk menjabat kepemimpinan negara telah menyelisihi apa yang Allah SWT perintahkan dalam ayat di atas, yaitu agar ia tetap berdiam di rumahnya, sebagaimana ayat ini juga melarangnya ber-tabarruj. Adapun perkara yang termasuk dalam istilah tabarruj adalah ikhtilath (bercampur baur) dengan kaum laki-laki. Mujahid RA berkata: "Dahulu, wanita keluar dan berjalan di hadapan kaum laki-laki. Itulah yang dimaksud dengan “seperti (tingkah laku) orang-orang Jahiliyyah yang dahulu." (Ibnu Katsir, Tafsiirul Qur-aan al ‘Azhiim (III/636).

Kedua, firman Allah SWT :

"... apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka ...." (QS. Al-Ahzaab: 53)

Pengertian ayat ini sudah jelas secara lahiriah, yaitu pentingnya wanita berhijab dari pandangan laki-laki. Semua itu mengandung pemeliharaan terhadap agama, kehormatan, dan garis keturunan. Sesungguhnya pencampurbauran antara kaum laki-laki dan kaum wanita mengundang tersebarnya perbuatan keji dan buruk lagi hina.

Apabila yang benar adalah seperti di atas (wanita berhijab dari padangan laki-laki), maka wanita menjadi kepala negara jelas menyelisihi makna lahiriah ayat ini. Sebab, seorang imam atau sultan sering berkumpul dengan para laki-laki, para menteri, dan para pemimpin. Terkadang, dalam situasi tertentu, sultan (pemimpin) harus berunding secara empat mata dengan salah seorang dari mereka, sementara perbuatan ini tidak selayaknya dilakukan oleh seorang wanita. (Abu Hujair, al-Mar-ah wal Huquuq as-Siyaasiyyah fil Islaam (hlm. 86).

b. Dalil dari as-Sunnah:

1) Hadits Abu Bakrah

Dari Abu Bakrah RA dia bertutur: "Allah telah memberiku kebaikan melalui kalimat yang pernah kudengar dari Rasulullah SAW ketika terjadi Perang Jamal; setelah sebelumnya hampir saja aku bergabung dengan pasukan unta (`Aisyah dan orang-orang yang bersamanya) , sehingga aku akan berperang bersama mereka."" Abu Bakrah melanjutkan: "Tatkala berita mengenai orang-orang Persia yang mengangkat Puteri Kisra sebagai pemimpin mereka sampai kepada Rasulullah SAW beliau bersabda:

`Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita.'' (HR Bukhari)

Hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa Nabi melarang keras perbuatan mengangkat wanita sebagai pemimpin; karena pengungkapan kalimat dengan menggunakan kata “lan” itu menunjukan bahwa pengertian yang terkandung di dalam kalimat itu abadi, selama-lamanya.

Penggunaan “lan” kata itu sendiri merupakan bentuk mubalaghah (hiperbola) dalam meniadakan keberuntungan dari orang-orang yang dipimpin oleh seorang wanita. Kata itu juga merupakan qarinah (indikator) yang tegas. Dengan demikian, larangan (yang terkandung dalam hadits ini) muncul dengan qarinah yang menunjukkan perintah tegas untuk meninggalkan perbuatan tersebut.

Berikut ini akan kami cantumkan perkataan beberapa imam ahli hadits yang menjelaskan kesepakatan mereka tentang haramnya seorang wanita memimpin negara, berlandaskan pada hadits di atas:

• Al-Khaththabi berkata: "Hadits ini menerangkan bahwa wanita tidak boleh menjadi pemimpin negara dan menjadi seorang qadhi." (Fat-hul Baari (VIII/5035).

• Ibnul 'Arabi berkata setelah menyebutkan hadits ini: "Hadits ini merupakan nash yang menegaskan bahwa wanita tidak boleh menjadi khalifah; tidak ada perselisihan pendapat dalam masalah ini." (Ibnul 'Arabi, Ahkaamul Qur-aan (III/1457)

• Al-Manawi berkata: "(Rasulullah SAW bersabda):

“Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan...”, sedangkan dalam riwayat lain: ‘……. yang menguasakan urusan mereka kepada seorang wanita', dengan nashab karena berstatus sebagai maf’ul (objek). Dalam sebuah riwayat disebutkan: ‘….yang urusan mereka ditangani oleh seorang wanita’ dengan rafa' karena berstatus sebagai fa'il (subjek). Semua itu dikarenakan kekurangan yang ada pada kaum wanita dan pikirannya yang pendek. Ditambah lagi, seorang pemimpin diperintahkan untuk tampil secara langsung mengatur urusan (kaum Muslimin); sedangkan wanita adalah aurat, sehingga ia tidak diperbolehkan melakukan hal ini. Karena itulah, ia tidak boleh menjabat sebagai imam, dan tidak pula sebagai qadhi (hakim).

Berikut ini akan dipaparkan beberapa pendapat ulama kontemporer mengenai masalah ini, yang juga terkait dengan hadits Abu Bakrah di atas:

• Dewan Fatwa al-Azhar (Mesir) menyatakan: "Hukum yang diambil dari hadits Nabi ini adalah wanita dilarang menjadi pemimpin publik, seperti menjadi kepala negara, qadhi, komando pasukan, dan pemimpin umum lainnya. Hukum ini bukanlah hukum yang bersifat ta'abbudi, yang harus dikerjakan tanpa perlu diketahui hikmah pensyari'atannya. Namun, hukum ini termasuk salah satu hukum yang memiliki berbagai alasan dan pertimbangan yang pasti diketahui oleh orang yang mencermati perbedaan karakter di antara dua jenis manusia, pria dan wanita. Sebab, hukum ini hanya disebabkan oleh kewanitaan yang diungkapkan di dalam hadits dengan kata imra-ah (wanita). Jadi, sisi kewanitaanlah satu-satunya alasan hukum dalam hadits ini." (Dari Abu Hujair, al-Mar-ah wal Huquuq as-Siyaasiyyah (hlm. 103), dikutip dari Dewan Fatwa Universitas al-Azhar, mengikuti fatwa sejumlah ulama-ulama besar pada bulan Ramadhan tahun 1952 M yang melarang wanita untuk berperan dalam kancah pemerintahan serta menjabat tugas)

• Dr. Wahbah az-Zuhaili, tatkala menerangkan bahwa salah satu syarat untuk menjadi seorang pemimpin adalah berjenis kelamin laki-laki, berkata: "Alasan mengapa pemimpin harus berjenis kelamin laki-laki adalah karena beban tanggung jawab jabatan ini menuntut kemampuan yang sangat besar, yang biasanya tidak akan mampu dipikul oleh kaum wanita. Wanita tidak akan mampu menangani tuntutan dari tugas yang diembannya dalam bidang ini, baik dalam situasi aman, perang, maupun bahaya. Rasulullah bersabda: “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita.”

Oleh karena itu, para ahli fiqih sepakat bahwa seorang pemimpin negara (imam) harus seorang laki-laki." (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islaam wa Adillatuhu (VI/663 dan VI/693)

2) Rasulullah SAW bersabda:

"Janganlah kalian masuk menemui wanita (tanpa mahram)." (HR Bukhari)

Abu Hujair berkomentar: "Hadits ini secara redaksional menunjukkan bahwa masuknya seorang laki-laki yang bukan mahram untuk menemui seorang wanita termasuk khalwat yang dilarang (oleh syari'at). Sementara jika wanita menjabat posisi menteri atau perdana menteri, niscaya is tidak akan lepas dari khalwat dan ikhtilath yang diharamkan ini. Yang dimaksud dengan khalwat di sini ialah melakukan khalwat dan ikhtilath bersama para penguasa, seperti pemimpin negara, para menteri, dan kaum laki-laki lainnya. Karena itulah, wanita tidak boleh menjabat posisi itu untuk menutup celah terjadinya fitnah dan kerusakan, yang umumnya datang menghampirinya, seperti khalwat yang diharamkan tersebut." (Abu Hujair, al-Mar-ah wal Huquuq as-Siyaasiyyah fil Islaam

Dari penjelasan di atas, kita mengetahui bahwa seorang pemimpin negara tidak lepas dari acara kumpul-kumpul bersama kaum laki-laki, seperti para menteri, wakil dan delegasi, para panglima perang, serta pemimpin-pemimpin negara lain. Terkadang, seorang pemimpin negara perlu berbicara empat mata dengan salah seorang dari mereka karena situasi darurat yang menuntutnya baik dengan perdana menteri, komandan pasukan, menteri luar negeri, menteri dalam negeri, maupun yang lainnya.

Dilihat dari perspektif ini, tabiat profesi semacam ini tidak sesuai untuk wanita yang diibaratkan seperti bunga. Sesungguhnya kita diperintahkan untuk menjaga dan melindungi kaum wanita; salah satunya ialah tidak menjerumuskan wanita kepada sesuatu yang menodai rasa malu dan kesucian dirinya.

c. Dalil dari ijma'

Para ulama sepakat bahwa wanita tidak diperbolehkan menjabat sebagai kepala negara. Ijma' ini tetap bertahan hingga berakhir kurun ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin. Mereka sepakat dalam pendapat yang sama, yaitu wanita dilarang menjabat sebagai kepala negara."

Berikut ini akan dipaparkan beberapa pendapat ulama yang mengutip adanya ijma' dan menyepakatinya:

• Ibnu Hazm berkata: "Seluruh firqah (kelompok-kelompok) ahli kiblat tidak ada yang membolehkan wanita menjadi pemimpin." (Ibnu Hazm, al-Fashl fil Milal wal Ahwaa' wan Nihal (IV/179)

• Ibnul 'Arabi mengomentari hadits Abu Bakrah yang telah disebutkan sebelumnya: "Hadits ini merupakan nash yang menunjukkan bahwa wanita tidak bisa menjadi khalifah; tidak ada perselisihan pendapat dalam masalah ini.(Ibnul 'Arabi (Muhammad bin `Abdullah al-Maliki), Ahkaamul Qur-aan (III/1457)

• Al-Qurthubi berkata: "Para ulama sepakat bahwa seorang wanita tidak boleh menjadi imam.” (Al-Qurthubi, al-Jaami' li Ahkaamil Qur-aan (1/302)

• Al-Ghazali berkata: "Imamah seorang wanita itu tidak jadi (tidak sah), walaupun ia memiliki sifat-sifat yang sempurna dan memiliki kemandirian. Bagaimana mungkin seorang wanita boleh dicalonkan untuk menduduki jabatan imam (kepala negara), sementara ia tidak boleh menjadi qadhi (hakim) dan tidak boleh menjadi saksi di sebagian besar pemerintahan!” (Al-Ghazali, Fadha-ihul Baathiniyyah wa Fadha-ilul Mustazhriyyah an al-Mustazhhiri fir Radd `alai Baathiniyyah (hlm. 182)

• Ibnu Qudamah berkata: "Wanita mana pun tidak boleh menjabat sebagai kepala negara dan tidak pula menjabat sebagai gubernur suatu wilayah. Karena itu, sepanjang pengetahuan kami, Nabi dan para khalifah beliau serta orang-orang setelah mereka tidak pernah memberikan jabatan kepada wanita dalam masalah qadha' (pengadilan) ataupun kepemimpinan atas suatu wilayah. Seandainya hal itu diperbolehkan, pasti hal itu pernah terjadi pada era tertentu, Ini jika berdasarkan pada kebiasaan." (Ibnu Qudamah, al-Mughnii (XI/381).

Dr. Wahbah az-Zuhaili berkata tentang persyaratan jenis kelamin laki-laki: "Alasan mengapa pemimpin itu harus berjenis kelamin laki-laki adalah karena beban tanggung jawab jabatan ini menuntut kemampuan yang sangat besar, yang biasanya tidak akan mampu dipikul oleh kaum wanita. Wanita tidak akan mampu menangani tuntutan dari tugas yang diembannya dalam bidang ini, baik dalam situasi aman, perang, dan bahaya. Rasulullah A bersabda: )) `Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita.'

Oleh karena itu, Para ahli fiqih sepakat bahwa kepala negara (Imam) itu harus seorang laki-laki." (Az-Zuhaili (VI/663).

d. Dalil dari logika

Sesungguhnya akal yang sehat, pikiran yang lurus, dan logika yang benar pasti akan menerima pendapat yang tidak membolehkan wanita menjabat sebagai kepala negara. Hal ini berlandaskan beberapa alasan sebagai berikut.

Wanita tidak sesuai untuk jabatan ini dipandang dari beberapa sisi:

• Tabiat dasar wanita. Tubuh wanita lebih lemah daripada laki-laki. Wanita juga diliputi sifat kelembutan. Selain itu, wanita mudah terpengaruh oleh situasi tertentu yang sedang dialaminya, sehingga hal itu dapat mempengaruhi vitalitas tubuhnya saat menjabat kedudukan ini, seperti kehamilan, menyusui, haidh, dan nifas.

• Tidak ada wanita yang menempati jabatan ini pada masa Rasulullah serta pada masa-masa yang utama setelah beliau.

• Jika wanita memegang jabatan ini, maka ia berhadapan dengan situasi ikhtilath yang merupakan salah satu sebab terjadinya perbuatan-perbuatan keji.

• Beban tanggung jawab posisi ini, yang membutuhkan kemampuan besar, biasanya tidak dapat dipikul oleh wanita. Wanita tidak akan mampu menangani tuntutan yang berasal dari tugas yang diembannya dalam bidang ini, baik dalam situasi aman, perang, maupun bahaya. (Az-Zuhaili, al-Fiqhul Islaam wa Adillatuhu (VI/ 693)
Insya Allah masih bersambung dengan pendapat Kebolehannya Wanita menjadi Kepala Negara (dasar-dasar / dalil-dalil yang mengatakan kebolehannya)

Wallahua'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar