Rabu, 01 Juni 2011

Fiqh Wanita Menjadi Kepala Negara bag 3

3. Sanggahan bahwa wanita boleh menjadi kepala Negara

Pertama, sanggahan atas hujjah mereka yang menggunakan dalil-dalil syari'at.

Sesungguhnya hujjah yang dikemukakan oleh pihak yang membolehkan wanita menjadi kepala negara itu tidak ada kaitannya dengan bidang hukum dan pemerintahan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Akan tetapi, dalil-dalil yang mereka kemukakan itu hanya menggambarkan kepada kita tentang asal penciptaan manusia, yaitu berasal dari seorang pria dan seorang wanita, yang memiliki kedudukan yang setara. Masing-masing dari keduanya dibebani dengan berbagai kewajiban, apabila mereka sudah mencapai usia baligh. Salah satu kewajiban yang disebutkan dalam dalil-dalil tersebut adalah amar ma'ruf nahi munkar (memerintahkan kepada yang makruf dan melarang dari yang munkar).

Adapun memerintahkan kepada yang makruf dan melarang dari yang munkar, perbuatan ini merupakan perkara yang dituntut dari setiap Muslim, sesuai dengan kadar kesanggupan tiap-tiap individu, sebagaimana yang disabdakan Nabi SAW

"Barang siapa di antara kalian yang melihat kemunkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Apabila ia tidak mampu, maka hendaklah ia mengubahnya dengan perkataannya. Apabila ia tidak mampu, maka hendaklah ia mengubahnya dengan hatinya, dan itulah tingkat keimanan yang paling lemah." (HR Muslim I/69, no 49)

Alangkah indah kritik yang dikemukakan Dr. Fuad Ahmad ketika dia berkata: "Kita bisa membahas argumentasi yang menggunakan ayat ini dengan mengatakan bahwa, meskipun ayat ini memang menetapkan adanya persamaan secara umum antara pria dan wanita, tetapi ayat ini tidak ada kaitannya dengan hak-hak politik. Ayat ini juga tidak secara gamblang menjelaskan perihal pemerintahan. Justru, ayat ini hanya menerangkan masalah beban kewajiban yang berkaitan dengan kesempurnaan akal. Dengan demikian, dapat ditetapkan bahwa hakikat umat manusia adalah makhluk yang asalnya sama, namun hal ini tidak berarti adanya kesamaan mutlak antara laki-laki dan wanita dalam hal boleh menjabat kepemimpinan publik." (Fu-ad Ahmad, Mabda-ul Musaawaah fil Islaam (hlm. 230)

Kedua, sanggahan atas dalil kedua, yaitu peranan `Aisyah RA

Orang-orang yang membolehkan wanita menjadi pemimpin berdalil dengan peranan Sayyidah `Aisyah RA pada Perang Jamal. Maka, di sini, kami mengatakan seperti yang dikatakan oleh 'Ammar bin Yasir : "Sungguh, aku benar-enar tahu bahwa dia (Aisyah RA) adalah isterinya—yakni isteri Rasulullah SAW dunia dan akhirat. Namun, Allah hendak menguji kalian, apakah kalian mengikuti beliau SAW atau mengikuti dia RA.” (Al-Bukhari, ash-Shahih (III/1357, no. 1375)

Ibunda kita, `Aisyah RA , sebetulnya tidak membenarkan apa yang dilakukannya (memimpin pasukan dalam perang Jamal), ketika muncul tanda-tanda yang menjelaskan bahwa kebenaran berpihak kepada 'Ali RA . Di antara tanda-tanda itu adalah:

Dari Qais bin Abu Hazim," dia bercerita: "Tatkala `Aisyah RA tiba di daerah Bani `Amir, tiba-tiba sekawanan anjing menyalak ke arahnya. `Aisyah RA bertanya: `Oase milik siapakah ini?' Orang-orang menjawab: `Hau-ab’. ‘Aisyah RA berkata : `Menurutku, aku harus kembali pulang.' Az-Zubair RA berkata: `Tidak, (engkau tidak boleh pulang) setelah (tiba di sini). Majulah dan orang-orang akan melihatmu, sehingga Allah SWT mendamaikan pertikaian di antara mereka." ‘Aisyah RA berkata: `Menurutku, aku harus kembali pulang, karena aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: `Bagaimanakah mungkin salah seorang di antara kalian (berada di pihak yang benar), jika ia digonggongi oleh anjing-anjing Hau-ab.'' (Ahmad, al-Musnad (VI/52, no. 24299); Ibnu Hibban, ash-Shahiih (XV/126, no. 6732); al-Hakim, al-Mustadrak (III/129, no. 4613); Abu Ya'la, al-Musnad (VIII/282, no. 4868); `Abdurrazzaq, al-Mushannaf (XI/365, no. 20753); Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf (VII/536), dan hadits ini shahih)

Dari Abu Rafi', dia bercerita: "Rasulullah SAW berkata kepada 'Ali bin Abi Thalib RA:

`Sesungguhnya akan terjadi suatu perkara antara dirimu dan `Aisyah.' `Ali RA bertanya: `Apakah aku berada di pihak yang celaka, wahai Rasulullah?' Beliau SAW menjawab: `Tidak. Jika hal itu sudah terjadi, maka kembalikanlah ia (Aisyah RA) ke tempat yang aman. (HR Ath-Thabrani, al-Mu’jamul Kabiir (I/332, no. 995); Nuruddin bin Abu Bakar al-Haitsami, Majma'uz Zawaa-id wa Manba'ul Fawaa-id (VII/474), terbitan Daar al-Fikr, Beirut, tahun 1412 H, dan ia berkata: "Para perawinya tsiqah.)

Subbanallah, hadits ini merupakan salah satu mukjizat Nabi SAW. Dalam hadits ini Nabi SAW, mengabarkan kejadian yang akan terjadi di masa yang akan datang, dan peristiwa yang terjadi itu tepat seperti yang beliau kabarkan: ibunda kita, `Aisyah RA, menunggang unta adbab (unta yang bulu wajahnya lebat-Pent), lalu anjing-anjing Hau-ab menyalakinya, dan saat itu ia tengah bertikai dengan 'Ali RA.

Berdasarkan penjelasan ini, kita dapat melihat bahwa pada asalnya perbuatan `Aisyah RA tidak sesuai dengan syari'at. Bahkan, para Sahabat RA menyelisihinya.

Dari 'Ammar bin Yasir RA, bahwasanya dia berkata kepada `Aisyah RA sekembalinya dari Perang Jamal: "Alangkah jauhnya perjalanan ini dari perintah yang telah disampaikan kepada kalian (kaum wanita)." Dengan perkataannya ini, Ammar RA mengisyaratkan firman Allah SWT :

"Dan, bendaklah kamu tetap di rumabmu ...." (QS. Al-Ahzaab: 33) `Aisyah RA bertanya: "Abul Yaqzhan?" 'Ammar RA menjawab: "Benar." `Aisyah RA berkata: "Demi Allah, sesungguhnya sepengetahuanku, kamu sering mengatakan hal yang benar." `Ammar RA menjawab: "Segala puji bagi Allah yang telah memberi keputusan untukku melalui ucapanmu." (Ibnu Hajar, Fat-hul Baari (XIII/58).

Sekarang, Anda tahu bahwa `Aisyah RA telah menyadari perbuatannya dan mengakui kesalahannya. Jika demikian, bagaimana mungkin seseorang berdalil—tentang bolehnya wanita menjadi pemimpin—dengan perbuatan Aisyah RA yang salah itu, yang kemudian disadari oleh `Aisyah RA, hingga ia pun kembali kepada kebenaran dan mengakui bahwasanya dulu berada di pihak yang salah?

Salah satu kritik paling menohok yang dikemukakan kepada orang-orang yang berdalil dengan perbuatan `Aisyah RA untuk membolehkan wanita menjadi kepala negara adalah bantahan Lajnah Ulama Al Azhar (Lihat Dandel, al-Mar-ah wal Wilaayaat al- Aammah fis Siyaasah asy-Syar'iyyah (hlm 235-236) (Mesir) yang mengatakan:

"Meriwayatkan peristiwa tersebut dengan cara seperti ini bukanlah cara yang adil dalam menyikapi kenyataan dan sejarah. Sungguh, tidaklah Sayyidah `Aisyah RA keluar untuk berperang ataupun memimpin pasukan perang, melainkan ia keluar sebagai wanita yang menyerukan tuntutan persidangan atas pembunuhan `Utsman RA. Perbuatannya ini didorong oleh perasaan tidak senang, sebagaimana yang dirasakan juga oleh kalangan keluarga dan rekan-rekan `Utsman RA. Maksudnya, mereka tidak setuju terhadap (keputusan 'Ali RA yang) menunda, menangguhkan dan tidak segera mencari pembunuh `Utsman RA dan meng-qishash mereka, sebelum melakukan apapun.

Peristiwa ini tidak ada kaitannya dengan kepemimpinan publik sama sekali, sebagaimana telah kami jelaskan. Meskipun demikian, perbuatan Sayyidah `Aisyah RA ini tidak mengandung dalil syar'i yang dapat dijadikan sandaran. Apabila perbuatan ini merupakan ijtihad dari `Aisyah RA, maka ijtihadnya dianggap keliru. Keluarnya `Aisyah RA telah diingkari oleh sebagian Sahabat RA. `Aisyah RA sendiri telah mengakui kesalahannya. Ia menyesali perbuatannya. Diriwayatkan bahwa `Aisyah RA mengirim utusan kepada Abu Bakrah RA untuk mengajaknya keluar pada Perang Jamal bersamanya, lalu Abu Bakrah RA berkata: `Sesungguhnya engkau adalah seorang ibu, dan kedudukanmu sungguh mulia. Tetapi, aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:

Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang urusan mereka dikuasai oleh seorang wanita." (Al-Hakim, al-Mustadrak (IV/570, no. 8599)

Hal ini dikuatkan dengan perkataan Ibnul 'Arabi: "Ulama kami berkata: `Jika ia (Aisyah RA) tidak melibatkan diri pada tragedi ini, niscaya kebenaran berpihak kepadanya." (Ibnul 'Arabi, Ahkaamul Qur-aan (111/1536)

Ibnu Taimiyyah berkata: "Aisyah RA mengira bahwa keluarnya ia (ke Perang Jamal) mengandung kebaikan bagi kaum Muslimin. Namun kemudian, ia menyadari bahwa tidak keluar rumah adalah lebih utama baginya. Dahulu, setiap kali mengingat peristiwa keluarnya ia ke medan perang, `Aisyah RA pun menangis hingga kerudungnya basah." (Al-Hafizh Abu `Abdullah Muhammad bin `Utsman adz-Dzahabi, al-Muntaqaa min Minhaajil I'tidaal fii Nafdhi Kalaam Ahlir Rafdh wal I'tizaal (hlm. 222-223), ringkasan dari kitab Minhaajus Sunnah karya Ibnu Taimiyyah)

Ketiga, sanggahan atas dalil ketiga (catatan sejarah yang menyebutkan bahwa wanita menduduki posisi pemimpin negeri) yang mereka gunakan.

1) Tidak ada dalil yang bisa diambil dari kisah Ratu Saba' yang disebutkan di dalam al-Qur-an untuk membolehkan seorang wanita memimpin negara, karena beberapa alasan berikut:

Pertama, al-Qur-an hanya menyebutkan kisah nyata yang terjadi pada kaum tersebut, sementara disebutkannya kisah nyata itu tidak mengandung suatu dalil pensyari'atan. Di samping itu, penyebutan ini sendiri datang dengan pengingkaran. Dalil pengingkaran ini disebutkan melalui lisan burung hud-hud:

"Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba' suatu berita penting yang diyakini. Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar." (QS. An-Naml: 22-23)

Kedua, seandainya kita mengatakan bahwa ayat ini mengandung dalil pensyari'atan, maka syari'at ini berlaku untuk umat sebelum kita. Syari'at ini tidaklah berlaku untuk kita, kecuali jika ada dalil yang menunjukkannya untuk kita. Faktanya, dalil tersebut tidak ada. (Dr. 'Abdul Hamid Isma'il al-Anshari, asy-Syuuraa wa Atsaruha fi Diimuqraathiyyah (hlm. 311).

Ketiga, ayat ini bukanlah dalil tentang pemberian hak-hak politik kepada kaum wanita, karena ayat ini termasuk Makkiyah yang berkaitan dengan masalah tauhid, bukan berkaitan dengan pensyari'atan. Ayat ini juga merupakan penguatan tambahan untuk meneguhkan Nabi SAW dalam menghadapi gangguan dari kaumnya, cacian mereka, sikap keras kepala mereka dalam kekafiran, dan berpalingnya mereka dari beliau. Ayat ini memberitahukan kepada Rasulullah SAW, bahwa keadaan umat-umat terdahulu dengan Nabi-Nabi mereka adalah mirip dengan keadaan yang beliau alami. Karena itu, dalil yang bisa diambil darinya adalah penjelasan bahwa Ratu Saba' telah beriman kepada Allah SWT dan keesaan-Nya, sama sekali tidak berkaitan dengan hak-hak politik. (Dandel Jabar, al-Mar-ah wal Wilaayaat al- Aammah fis Siyaasah asy-Syar'iyyah (hlm. 228).

2) Sesungguhnya berdalil dengan pendapat kelompok asy-Syubaibiyyah—yang termasuk kelompok sesat—tidak cukup kuat untuk dipertentangkan dengan ijma' umat Islam. Ini juga jika mereka memiliki sesuatu yang terkesan sebagai dalil padahal bukan. Bagaimana jika mereka sama sekali tidak memiliki hal itu? Sebab, yang mereka gunakan sebagai dalil tak lain hanyalah perbuatan Syubaib yang membiarkan ibunya naik mimbar dan berkhutbah. Tidak samar lagi bagi orang yang memiliki pikiran waras bahwa penetapan hal ini sebagai dalil merupakan suatu hal yang konyol. Sebab, perbuatan `Aisyah RA saja diingkari oleh mereka, apalagi hanya perbuatan ibu Syubaib
Alangkah indah apa yang dikatakan al-Baghdadi saat mengemukakan sanggahan terhadap kelompok yang sesat ini. Al-Baghdadi berkata (kepada mereka): "Kalian mengingkari keberangkatan `Aisyah RA Ummul Mukminin ke Bashrah bersama pasukannya, yang semuanya merupakan mahramnya, sebab di dalam al-Qur-an dinyatakan bahwa `Aisyah RA adalah ibu bagi kaum laki-laki yang beriman. Kalian juga mengira bahwa `Aisyah RA telah kafir karena perbuatannya itu, kemudian kalian membacakan firman Allah SWT : "Dan, hendaklah kamu tetap di rumahmu," (QS. Al-Ahzaab: 33) kepadanya. Mengapa kalian tidak membacakan ayat ini kepada Ghazalah, ibunya Syubaib? Tidakkah kalian menghukuminya kafir? Juga menghukumi kafir wanita-wanita Khawarij yang ikut keluar bersamanya untuk memerangi pasukan al-Hajjaj?
Apabila kalian memperbolehkan perbuatan ini bagi wanita-wanita Khawarij hanya karena mereka didampingi oleh suami-suami mereka, putera-putera mereka, atau saudara¬saudara mereka, maka sesungguhnya `Aisyah RA keluar bersama saudara kandungnya, yaitu `Abdurrahman RA, dan putera saudarinya, yaitu `Abdullah bin az-Zubair RA. Kedua orang ini adalah mahram bagi `Aisyah SAW. Di lain pihak, seluruh kaum Muslimin seperti anak bagi `Aisyah, sehingga setiap orang Mukmin adalah mahram baginya. Maka, mengapa kalian tidak membolehkan `Aisyah melakukan itu?
Seandainya di antara kalian masih ada yang membolehkan kepemimpinan Ghazalah, maka kepemimpinan Ghazalah itu memang pantas baginya dan bagi agamanya. Segala puji bagi Allah yang telah menjaga kita dari perkara bid'ah." (Al-Baghdadi, al-Farq bainal Firaq (1/92).

3) Adapun berdalil dengan cacatan sejarah yang menyatakan wanita memegang tampuk pimpinan hukum, sesungguhnya di dalamnya tidak ada dalil yang membolehkan wanita memegang kepemimpinan negara. Akan tetapi, hal itu hanya sebatas penyebutan peristiwa yang pernah terjadi. Dan, tidak semua peristiwa yang terekam dalam sejarah kehidupan manusia dapat dijadikan dalil syar'i. Yang menjadi patokan di sini hanya dalil syari'at dari al-Qur-an, as-Sunnah, ijma', qiyas, serta dalil-dalil syar'i lain yang berkaitan dengannya. Dalil-dalil syar'i ini tidak samar lagi atas setiap Muslim, terlebih lagi bagi para ulama.

Apabila kita lebih perhatikan persoalan ini, niscaya akan kita dapati bahwa peristiwa ini (wanita memegang tampuk kepemimpinan hukum) merupakan peristiwa yang jarang terjadi, bila dibandingkan laki-laki yang memegang tampuk kepemimpinan di bidang hukum. Lalu, bagaimana mungkin mereka berdalil dengan sesuatu yang jarang terjadi, dan meninggalkan sesuatu yang umum dan biasa terjadi? Yang lebih utama di sini adalah berdalil dengan perbuatan para khalifah Rasulullah dan fakta yang terjadi pada kurun tiga generasi pertama Islam, agar sesuai antara sunatullah syar'iyyah (aturan syari'at) dan sunnatullah kauniyyah (aturan alam raya). Karena itu, pahamilah.

Keempat, sanggahan atas dalil keempat (logika) yang mereka gunakan.

Tidaklah mungkin menjauhkan suatu masalah yang tentangnya muncul berbagai nash syari'at dari ruang lingkup syari'at Islam, kemudian dikatakan bahwa masalah itu bukanlah urusan agama. Bagaimana mungkin perkataan ini dapat terucap, sementara Nabi SAW telah memasukkan masalah itu ke dalam urusan syari'at, yaitu ketika beliau SAW bersabda:

"Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita."

Di tambah lagi, para ahli fiqih kaum Muslimin di sepanjang waktu telah membahas masalah itu secara mendalam. Tidak hanya itu, bahkan Nabi SAW juga tidak akan meninggalkan suatu perkara melainkan beliau SAW mengajarkannya kepada kita. Hal ini dikuatkan dengan firman Allah SWT :

"... tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al Kitab ….” (Al-An'aam: 38)

Maka dari itu, bagaimana mungkin dapat dikatakan bahwa masalah kepemimpinan wanita bukan urusan agama?
Alangkah indah pernyataan yang dikemukakan Dr. `Abdul Hamid al-Anshari ketika dia berkata: "Meskipun dapat disetujui bahwa masalah (kepemimpinan wanita) ini merupakan masalah sosial, politik dan akhlak; namun jika kita berusaha mencari solusi untuk mengatasi permasalahan ini, maka hal itu tidak akan terlepas dari kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip Islam yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan, pemerintahan, dan perekonomian.

Adalah tidak cukup bila kita mengatakan bahwa solusi yang dituntut dalam mengatasi permasalahan ini harus sesuai dengan kondisi sosial, politik dan ekonomi suatu tempat, serta kecenderungan opini publik yang ada. Kita tidak mungkin mengatakan pernyataan tersebut begitu saja, tanpa mengaitkannya dengan ketentuan-ketentuan agama dalam bidang ini.

Karena itu, kami tegaskan bahwa masalah kepemimpinan wanita ini merupakan masalah sosial dan politik, sehingga kita harus mencari solusi untuknya sesuai prinsip-prinsip dasar Islam dalam bidang sosial, moral, politik dan ekonomi.

Namun, jangan lupa bahwa menurut Islam, kewajiban dasar seorang isteri adalah mengurusi rumah. Menurut Islam, hubungan antara suami dan isteri adalah hubungan saling menolong dan melengkapi satu sama lain, bukan saling persaingan sebagaimana yang terjadi pada kebudayaan Barat." (" Al-Anshari, asy-Syuuraa wa Atsaruha fii Diirnuqraathiyyah (hlm. 320).
Menurut kami, bahkan pekerjaan isteri ini—maksudnya mengurusi rumah—tidak boleh digantikan dengan orang lain. Sementara bolehnya isteri bekerja di bidang yang lain sangat terbatas, tergantung pada pembolehan syari'at untuknya dan harus sesuai dengan tabiat dasar penciptaannya. Lalu, sampai kapankah keangkuhan seperti ini terus dipertahankan?
Kenyataan ini sudah sangat jelas bagi setiap orang. Semua orang pasti mengakui bahwa kemampuan wanita itu lebih lemah daripada laki-laki. Semuanya juga mengakui bahwa wanita tidak akan mampu mengerjakan semua hal.

Pendapat yang rajih

Setelah memaparkan dalil-dalil dari kedua belah pihak, menurut kami, pendapat yang paling kuat adalah pendapat jumhur ulama yang memutuskan bahwa wanita tidak di perbolehkan menjabat sebagai kepala negara. Hal ini berdasarkan dalil-dalilnya yang kuat, di samping memang tidak ada dalil lain yang bertentangan dengannya, serta kritik yang terarah terhadap dalil-dalil pihak yang membolehkan, sekaligus membatalkan argumentasi mereka dengannya.

Selesai.

Wallahua’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar