Berikut adalah dalil dibolehkannya wanita menjadi kepala negara (lanjutan dari Fiqh Wanita menjadi kepala negara bag 1)
2. Wanita boleh menjadi kepala negara
Di antara orang-orang yang mengemukakan pendapat demikian dari kalangan ulama terdahulu adalah kelompok asy-Syubaibiyyah ('Abdul Qahir bin Thahir bin Muhammad Abu Manshur al-Baghdadi, al-Farqu bainal Firaq wa Bayanul Firqah an-Naajiyah (1/89). Sedangkan dari kalangan ulama kontemporer di antaranya Syaikh Mahmud Syaltut (Syaikh Mahmud Syaltut, al-Mar-ah wal Qaanuun (hlm. 7-8), Syaikh Muhammad al-Ghazali (Muhammad al-Ghazali, as-Sunnatun Nabawiyyah baina Ahlil Fiqh wa Ahlil Hadiits (him. 56-62), Dr. Zhafir al-Qasimi (Al-Qasimi, Nizhaamul Hukm fisy Syarii'ah wat Taariikh al-Islaam (hlm. 342), Dr. Fu-ad Ahmad (Dari Abu Hujair, al-Mar-ah wal Huquuq as-Siyaasiyyah fil Islaam (hlm. 69), dan Dr. `Aisyah `Abdurrahman. (Dari Abu Hujair, al-Mar-ah wal Huquuq as-Siyaasiyyah fil Islaam (hlm 69); mengutip dari al-Mafhuumul Islaami li Tahriiril Mar-ah (hlm. 7)
Pihak yang berpendapat demikian berdalil dengan nash-nash umum dari al-Qur-an yang secara lahiriah menunjukkan adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan. Mereka pun berdalil dengan keikutsertaan `Aisyah RA pada Perang Jamal. Mereka juga berdalil dengan peristiwa sejarah yang menceritakan kepemimpinan wanita sebagai kepala negara. Juga, berdalil dengan konsekuensi logika akan persamaan wanita dan laki-laki. Berikut ini penjelasan keempat dalil mereka tersebut, yang disajikan satu per satu.
Pertama, dalil-dalil syari'at yang secara lahiriah menunjukkan persamaan antara laki-laki dan perempuan.
1) Firman Allah SWT :
"Dan, orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya ...." (QS. At-Taubah: 71)
Pihak yang berpendapat demikian memandang bahwa dalam ayat ini Allah menyamakan antara laki-laki dan perempuan pada prinsip dasar yang umum: `Sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain', dan pada pembeban syari'at: Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya.'
Menurut mereka, ayat ini termasuk ayat muhkam. Maksudnya, pria dan wanita memiliki posisi yang sama dalam konteks sosial kemasyarakatan. Dan, bahwasanya kekuatan eksekutif tak lain hanyalah amar ma'ruf dan nahi munkar (memerintahkan kepada yang baik dan melarang dari yang buruk).(Al-Mar-ah wal Wilaayaat al- Aammah fis Siyaasah asy-Syar'iyyah (hlm. 228-229)
2) Firman Allah SWT :
"... dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya ...." (QS. Al-Baqarah: 228)
Mereka berpendapat: "Sesungguhnya al-Qur-an telah menetapkan persamaan pria dan wanita dalam struktur pemerintahan dan tatanan masyarakat; yaitu persamaan yang sederajat. Hanya saja, ada sedikit pengecualian yang berhubungan dengan gender. Ayat ini menetapkan adanya hak bagi wanita seperti hak laki-laki dalam kegiatan sosial, politik, dan pemerintahan dengan berbagai macam bentuk dan jenisnya." (ibid)
3) Sabda Rasulullah "wanita itu serupa dengan pria."
Orang-orang yang berpendapat demikian tidak melihat adanya perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Menurut mereka, pria dan wanita adalah asal mula bagi penciptaan umat manusia. Mereka menduduki posisi yang sama dipandang dari sisi kemanusiaan. Oleh karena itulah mereka memiliki kedudukan yang sama dalam hal menerima pembebanan syari'at.
Dr. `Aisyah `Abdurrahman berkata tentang nash-nash yang telah disebutkan di atas: "Berdasarkan nash-nash ini dapat ditetapkan kesempurnaan sisi kemanusiaan seorang wanita. Juga, dapat ditetapkan pula hak-hak yang berhubungan dengan sisi kemanusiaannya itu, serta kewajiban dan beban yang harus dipikulnya. Dan, bahwa yang menjadi acuan atas diwajibkannya kewajiban ini pada diri seorang perempuan hanyalah satu, yaitu akal." (Fu-ad Ahmad, yang is kutip dari al-Mafhuumul Islaami ii Tahriiril Mar-ah (hlm. 7),
Kedua, peranan `Aisyah RA pada Perang Jamal.
Tatkala `Utsman RA tewas terbunuh, 'Ali RA lalu mengambil alih pimpinan sebagai Amirul Muslimin dan kepala negara; namun kemudian, ketika penyelesaian kasus pembunuhan terhadap `Utsman RA ditunda, terjadilah fitnah di tengah-tengah kaum Muslimin. Pada waktu itu, kaum Muslimin terbagi menjadi dua golongan: satu golongan mendukung 'Ali RA dan satu golongan lainnya mendukung Mu'awiyah RA. `Aisyah Ummul Mukminin RA bergabung dengan golongan kedua. Ketika itu, peran `Aisyah RA adalah sebagai pemimpin kelompok ini.
Al-Hajawi berdalil dengan perbuatan `Aisyah RA yang memimpin kaum Muslimin menuntut keadilan atas terbunuhnya `Utsman RA. Al-Hajawi berkata: "(Ingatlah) posisi `Aisyah ash-Shiddiqah RA pada peristiwa pembunuhan `Utsman RA, keluarnya `Aisyah RA untuk menuntut keadilan atas tertumpahnya darah `Utsman RA, dan kepemimpinan `Aisyah RA dalam Perang Jamal; sementara di dalam pasukannya terdapat beberapa orang Sahabat senior yang mematuhi semua komando `Aisyah RA. Sampai-sampai, sebagian orang berusaha mengambil kesimpulan dalam peristiwa itu, yaitu bahwa `Aisyah berambisi untuk menduduki tampuk kekhilafahan. Kesimpulan ini berdasarkan kedudukan `Aisyah di sisi Nabi tingkat keilmuannya di tengah-tengah umat Islam baik semasa beliau masih hidup maupun setelah beliau wafat, kekuatan akalnya, keteguhan hatinya, juga kedudukan ayahnya sebagai khalifah pertama. Seandai-nya kemenangan diraih pihak `Aisyah pada Perang Jamal itu, mungkin akan terjadi hal menakjubkan yang tiada disangka-sangka.” (Muhammad al-Mandi al-Hajawi, al-Mar-ah bainasy Syar'i wal Qaanuun (hlm 38),
Ath-Thabari menulis: "Aisyah berkhutbah di hadapan orang banyak di Masjidil Haram. Ia mendorong orang-orang agar menuntut keadilan atas peristiwa pembunuhan `Utsman. Ia menyerukan bahwa orang-orang yang membunuh `Utsman itu telah menumpahkan darah yang haram, mengalirkannya di negeri yang haram, mengambil harta yang haram, dan menghalalkan Bulan haram."( Ath-Thabari, Taariikhul Umam wal Muluuk (111/6-7)
Ketiga, catatan sejarah yang menyebutkan bahwa wanita pernah menjadi kepala negara.
a) Kisah Ratu Saba' yang tertera dalam al-Qur-an pada Surat An-Naml. Allah SWT berfirman menirukan perkataan burung hud-hud:
"Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka, lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak mendapat petunjuk. Agar mereka tidak menyembah Allah yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi dan yang mengetahui apa yang kamu sembunyikandan apa yang kamu nyatakan. Allah, tiada ilah yang berhak diibadahi kecuali Dia, Rabb yang mempunyai Arsy yang besar. Sulaiman berkata: `Akan karni lihat, apa kamu benar, ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta. Pergilah dengan (membawa) suratku ini, lalu jatuhkan kepada mereka, kemudian berpalinglah dari mereka, lalu perhatikanlah apa yang mereka bicarakan.' Ia (Balqis) berkata: 'Hai pembesar¬pembesar, sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sebuah surat yang mulia. Sesungguhnya surat itu dari Sulaiman, dan sesungguhnya (isi)nya: Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Bahwa janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.' Dia (Balqis) berkata: 'Hai para pembesar, berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini), aku tidak pernah memutuskan suatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku).' Mereka menjawab: Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan),dan keputusan berada di tanganmu, maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan.' Dia berkata: `Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat. Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu." (QS. An-Naml: 23-35)
Alasan penggunaan dalil dari ayat ini adalah, ayat ini menggambarkan kepada kita secara eksplisit tentang kepemimpinan seorang wanita sebagai kepala negara, serta keputusannya dalam suatu perkara penting yang berkaitan dengan keselamatan wilayahnya atau urusan kerajaannya Syaikh Mahmud Syaltut berkata: "Ratu ini memiliki pikiran yang bijaksana, penuh pertimbangan, dan tidak terprovokasi oleh agitasi yang dikemukakan oleh para pengikut dan sekutunya, yaitu sikap bangga terhadap diri sendiri, terlalu percaya akan kekuatan pihak sendiri, dan menyepelekan golongan lain. Pemahaman mereka tentang situasai yang sedang mereka hadapi saat itu, dapat diketahui dari orang-orang yang memberikan anjuran kepada ratu namun sebenarnya anjurannya ingin diikuti dan kemauannya ingin dituruti, padahal mereka tidak menguasai masalah yang sesungguhnya, dan mereka pun tidak mampu memberikan saran atau nasihat yang baik. Kemampuan ratu untuk mengetahui semua ini menunjukkan bahwa wanita mampu mengatur suatu kerajaan dan memimpin dengan baik." (Syaltut, al-Mar-ah wal Qaanuun (hlm. 311).
Syaikh Muhammad al-Ghazali berkata (as-Sunnatun Nabawiyyah baina Ahlil Fiqh wa Ahlil Hadiits (hlm. 57)): "Dahulu, Ratu Balqis memiliki kerajaan luas yang digambarkan burung hud-hud dengan perkataannya: `Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.' (QS. An-Naml: 23)
Saat itu, Nabi Sulaiman telah menyeru Balqis agar memeluk agama Islam, sekaligus melarangnya berbuat angkuh dan menentang. Ketika menerima surat dari Sulaiman, Balqis tidak langsung membalasnya. Dia bermusyawarah dengan para pejabat tinggi negerinya, di mana mereka kemudian menyerahkan keputusan apapun yang akan diambilnya ketangannya. Mereka berkata: "Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada di tanganmu, maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan." (QS. An-Naml: 33)
Namun, ratu Balqis tidak tertipu oleh kekuatan yang dimilikinya atau oleh loyalitas kaumnya. Sebaliknya, ia berkata: `Kita akan menyelidiki siapakah Sulaiman ini, agar kita mengetahui apakah ia seorang diktator yang menginginkan kekuasaan dan kekayaan, ataukah ia seorang Nabi yang beriman dan berdakwah.'
Tatkala bertemu Sulaiman, Balqis tetap dengan kecerdasannya dan tetap dibimbing oleh kebijaksanaannya. Ia mulai mempelajari keadaan Sulaiman, apa yang diinginkannya dan apa yang dilakukannya. Kemudian, ia melihat dengan jelas bahwa Sulaiman adalah seorang Nabi yang shalih. Maka, ia pun memutuskan untuk tidak lagi menyembah berhalanya yang pertama dan akan memeluk agama Allah. Ia berkata:
"Ya Rabbku, sesungguhnya aku telah berbuat zhalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Rabb semesta alam.' (QS. An-Naml: 44)"
b) Kelompok Asy-Syubaibiyyah, salah satu sempalan Khawarij, membolehkan wanita menjadi kepala negara. Mereka berdalil dengan perbuatan Syubaib. Dahulu, sewaktu datang ke Kufah, Syubaib menaikkan Ghazalah, ibunya, ke atas mimbar Kufah, di dalam masjid jami'. Lalu, ibunya berkhutbah dan menjadi kepala negara, menggantikan Syubaib.
Al-Baghdadi berkata mengenai pendapat asy-Syubaibiyyah yang terkait dengan kepemimpinan wanita: "Mereka membolehkan kepemimpinan wanita yang berasal dari kalangan mereka, apabila wanita itu mampu mengurusi keperluan mereka dan ikut keluar untuk memerangi orang-orang yang menentang mereka. Asy-Syubaibiyyah mengira Ghazalah, ibu Syubaib, adalah Imam setelah terbunuhnya Syubaib; hingga Ghazalah pun tewas terbunuh. Mereka berdalil dengan perbuatan Syubaib yang menaikkan ibunya ke atas mimbar Kufah, saat memasuki kota ini, hingga ibunya berkhutbah." (AI-Baghdadi, al-Farq bainal Firaq wa Bayaanul Firqah an-Naajiyah (1/89)
Perbuatan Syubaib ini juga dijadikan dalil oleh Zhafir al-Qasimi.( Zhafir al-Qasimi, Nizhaamul Hukm fisy Syarii'ah wat Taariikh al-Islaami (1/243-244). Al-Qasimi berpendapat bahwa perbuatan Syubaib merupakan dalil yang memperbolehkan wanita menjadi pemimpin negara.
c) Al-Qasimi juga berdalil dengan pengangkatan Arwa ash-Shulaihiyyah sebagai pemimpin Yaman. Al-Qasimi menukil biografi Arwa dari kitab al-Alaam karya az-Zirikli. Di dalam kitab itu disebutkan: "Arwa binti Ahmad bin Ja'far bin Musa ash-Shulaihi, as-Sayyidah al-Hirrah. Ia bergelar al-Hirrah al-Kamilah dan Balqis ash-Shugra. Ia seorang ratu yang tegar. Ia lahir di Harraz, Yaman, pada tahun 444 H/1052 M. Ia kemudian dinikahi oleh Raja ash-Shulaihi Ahmad bin 'Ali. Setelah itu, wilayah kekuasaannya terbagi dua, maka Ahmad pun menyerahkan beberapa urusan kepada isterinya itu. Ia lalu membuatkan sebuah benteng di Dzu Jabalah untuk Arwa. Di sana, Arwa tinggal selama berbulan-bulan pada setiap tahunnya. Dari sana, Arwa mengatur kerajaan dan menyiapkan peperangan, hingga Raja ash-Shalih, suaminya yang mulia, wafat pada tahun 484 H. Kemudian, is digantikan oleh anak pamannya, Saba' bin Ahmad; sedangkan Arwa masih memegang kekuasaan di sana dan wilayah itu masih dipimpinnya serta para menteri berkumpul di sisinya. Wanita ini memerintah dari balik hijab (tabir). Dahulu, mereka mendo'akannya di atas mimbar Yaman." (ibid, hlm. 347-348)
d. Mereka (orang-orang yang membolehkan wanita menjabat sebagai kepala negara) juga berdalil dengan kepemimpinan Syajarah ad-Durr, sebagai pengganti Raja ash-Shalih, yang memerintah selama delapan bulan. Al-Hajawi berkata: "Walaupun ia tidak dibai'at dengan kekhalifahan, namun ia telah dibai'at sebagai raja. Posisi ini hampir bisa dikatakan sama dengan khalifah. Realitas seperti ini sering dijumpai pada kerajaan-kerajaan Islam di India."
Beberapa orang wanita pun telah menjabat sebagai pemimpin pada zaman modern ini, seperti Margareth Thatcher, Perdana Menteri Inggris; Indira Gandhi (1917-1984), Perdana Menteri India; dan Julida Meyer, Perdana Menteri Israel. Al-Ghazali, dengan fakta-fakta ini, berpendapat: "Inggris telah mencapai masa-masa keemasan mereka pada zaman kepemimpinan Ratu Victoria. Dan, pada saat Inggris dipimpin oleh seorang perdana menteri wanita, Thatcher, Ia begitu diperhitungkan dalam masalah kemajuan ekonomi dan stabilitas politik. Lalu, di manakah kegagalan yang menimpa orang-orang yang memilih wanita-wanita tersebut sebagai pemimpin? Pada kesempatan yang lain, telah dibicarakan perihal bencana-bencana kehancuran yang menimpa kaum Muslimin di Benua India di bawah kepemimpinan Indira Gandhi, bagaimana ia membagi entitas Islam menjadi dua bagian sehingga kaumnya tertimpa bencana sedemikian rupa; hingga akhirnya, Marshal Yahya Khan kembali ke negerinya itu dan berhasil mengakhiri bencana tersebut. Adapun musibah-musibah yang menimpa negeri Arab pada masa Julida Meyer, yang menjadi pemimpin Israel, maka berkatalah sekehendakmu; kita membutuhkan suatu generasi (kelompok manusia) lain yang mampu meninjaunya (secara komprehensif). Sesungguhnya permasalahan ini tidak terletak pada masalah gender, wanita atau laki-laki; tetapi hal ini terkait dengan masalah akhlak dan sifat pembawaan lahir."( Al-Ghazali, as-Sunnah an-Nabawiyyah baina Ahlil Fiqh wa Ahlil Hadiits (hlm. 58-59)
Keempat, dalil secara logika.
Pihak yang berpendapat bolehnya wanita menjadi pemimpin melihat bahwa permasalahan hak wanita dalam bidang politik bukanlah permasalahan agama atau undang-undang, tetapi masalah sosial politik. Berdasarkan hal ini, maka bidang ini tidak berkaitan dengan gender, tetapi berkaitan dengan konteks yang berlaku di suatu tempat serta orang yang sesuai untuk pekerjaan tersebut. Hujjah mereka, tidak ada satu pun dalil syar'i yang melarang wanita untuk memimpin suatu negara atau jabatan lainnya yang termasuk kepemimpinan publik. (al-Mar-ah wal Wilaayaat abAammah fis Siyaasah asy-Syar'iyyah (him. 244)
Al-Anshari mengutip pendapat mereka: "Mereka berpendapat bahwa permasalahan hak wanita dalam bidang politik bukanlah termasuk permasalahan agama atau undang-undang, tetapi permasalahan sosial politik. Maka, aturan yang berlaku padanya mengikuti kondisi masyarakat dan situasi politik dan ekonomi pada suatu tempat dan masa tertentu, dengan tetap memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan undang-undang negara. Mereka juga berpendapat, tidak ada hukum syar'i yang mengharamkan wanita menerima hak-haknya dalam bidang politik pemerintahan. Kesimpulan ini diambil berdasarkan pembahasan dalil-dalil kedua belah pihak, sehingga masalah ini merupakan masalah ijtihadiyah." ('Abdul Hamid al-Anshari, asy-Syuuraa wa Atsaruha fii Diimuqraathiyyah (hlm. 319)
Insya Allah masih berlanjut ke bagian ke 3 (bagian akhir, kesimpulan)
Selasa, 31 Mei 2011
Senin, 30 Mei 2011
Fiqh Wanita Menjadi Kepala Negara bag 1
Assalamu'alaikum wr wb..
Bismillahirrohmaanirrohiimm..
Melanjutkan pembahasan tentang Fiqh Wanita Karir yang sudah lama ditulis beberapa bulan yang lalu, dan juga sesuai janji saya untuk melanjutkan meringkas buku tentang fiqh wanita karir (jenis-jenis pekerjaan yang dilarang dan yang dibolehkan dalam Fiqh Islam), maka Insya Allah saya akan lanjutkan tentang bagian ke 1 tentang Jenis Pekerjaan Wanita sebagai kepala Negara.
Semoga bermanfaat.
Wanita Sebagai Kepala Negara Ri-asah Daulah)
A. Pengertian Kepala Negara
Ri-asah daulah dalam ilmu fiqih Islam dinamakan Khilafah (Khalifah), Imamatul Kubra (pemimpin tertinggi), Imaratul Mukminin (pemimpin kaum Mukmin), dan Sulthanah (Sultan) (Dr. Muhammad 'Abdul Ghaffar asy-Syarif, Buhuuts Fiqhiyyah Mu'aashirah (II/11-16, hlm. 341))
Secara bahasa, kata imamah adalah mashdar yang diambil dari ungkapan ammal Baum [memimpin suatu kaum] dan amma bihim ([menjadi imam mereka]). Imam itu adalah seorang yang diangkat sebagai panutan, sebagaimana firman Allah :
"... maka perangilah pemimpin pemimpin orang-orang kafir itu "(QS. At-Taubah: 12)2
Kata khilafah, secara bahasa, adalah mashdar dari kata khalafa yakhlifu khalfan khilafatan yang berarti datang setelahnya lalu menggantikan tempatnya. Khilafah itu adalah Sulthan A'zham (pemimpin tertinggi negara).(Buhuuts Fiqhiyyah Mu’aashirah hal 78)
Adapun menurut istilah, imamah (khilafah) artinya menuntun manusia untuk melaksanakan syari'at Islam yang mengandung hal-hal yang bermanfaat bagi mereka dalam urusan agama dan dunia. Contoh nyata ke-khilafah-an tersebut adalah kepemimpinan Nabi SAW dalam menjaga urusan agama dan dunia. (Asy Syarif, Buhuuts Fiqhiyyah Mu’aashirah 11/11-16)
Memilih seorang imam atau pemimpin negara Muslim hukumnya wajib berdasarkan al-Qur-an dan as-Sunnah serta ijma' ulama.( Lihat 'Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashri al-Mawardi, al-Ahkaamus Sulthaaniyyah (hlm. 5))
Allah SWT, berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu ...." (QS. An-Nisaa': 59)
Rasulullah SAW bersabda:
"Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang amir yang menangani urusan orang banyak adalah pemimpin, dan ia akan ditanya tentang kepemimpinannya." (HR Muslim, Abu Dawud)
Dari al-Irbadh bin Sariyah RA, dia berkata: "Pada suatu hari, sehabis shalat Zhuhur, Rasulullah SAW member nasihat yang sangat menyentuh kepada kami. Nasihat tersebut membuat air mata berlinang dan hati bergetar. Seorang laki-laki berkata: `Sepertinya ini betul-betul nasihat orang yang hendak berpisah. Apakah kiranya yang hendak engkau sampaikan kepada kami, wahai Rasulullah?" Beliau SAW berkata: "Aku menasihati kalian agar bertakwa kepada Allah, untuk mendengar dan patuh pada pemimpin walaupun ia adalah seorang budak dari Habasyah. Sesungguhnya siapa saja di antara kalian yang masih hidup sepeninggalku pasti akan menyaksikan perselisihan yang banyak. Maka hindarilah perkara-perkara yang baru (dalam agama), karena hal itu adalah kesesatan. Barang siapa di antara kalian yang mendapati zaman itu, maka hendaklah ia berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafa-ur Rasyidin yang diberi petunjuk, dan gigitlah ia dengan gigi gerahammu (peganglah ia erat-erat)." (HR Ahmad dan Tirmidzi)
Adapun dari ijma', umat ini telah sepakat bahwa imamah itu hukumnya wajib, dan keberadaan seorang imam sangat dibutuhkan (Sa'di Abu Habib, Mausuu'atul Ijmaa' fil Fiqh al-Islaami (I/385))
B. Pendapat Ulama tentang Wanita Menjadi Kepala Negara
Kepala negara adalah pemimpin umum yang paling penting bagi rakyat. Keberadaan kepala negara ini merupakan jembatan pelaksana untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, yang dengan perantaraannya seorang hakim (pengadilan) dapat menyelesaikan apa-apa yang tidak mungkin diselesaikan secara
Berdasarkan hal itu, para ahli fiqih telah menetapkan beberapa persyaratan bagi seorang pemimpin yang akan mengepalai kaum Muslimin, di antaranya berjenis kelamin laki-laki (Al-Ahkaamus Sulthaaniyyah (hlm. 6) karya al-Mawardi) Akan tetapi, terjadi perselisihan pendapat mengenai syarat ini. Berikut ini penjelasannya.
1. Wanita tidak boleh menjadi kepala Negara
Jumhur ahli fiqih berpendapat bahwa wanita tidak boleh menjadi kepala negara. Mereka mensyaratkan jenis kelamin laki-laki untuk menjadi kepala negara. Mereka berdalil, untuk menguatkan pendapat ini, dengan al-Qur-an, as-Sunnah, dan ijma'.
a. Dalil dari al-Qur-an:
1) Firman Allah;: :
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka ...." (QS. An-Nisaa': 34)
Alasan penggunaan dari ayat ini adalah Allah SWT memberikan kepemimpinan secara mutlak untuk kaum laki-laki atas kaum wanita, karena mereka yang bertugas mengurusi segala keperluan wanita. Kepemimpinan ini mencakup semua hal, baik yang berskala kecil seperti yang mereka pimpin di dalam rumah, maupun yang berskala besar yang puncaknya adalah kepala negara. Termasuk pula, kepemimpinan pada urusan-urusan umum untuk rakyat, seperti pengadilan, memimpin pasukan, dan sebagainya.
Berikut ini penjelasan beberapa perkataan ulama dalam masalah ini:
Al-Qurthubi berkata (Tafsir Al-Qurthubi, al-Jaami' li Ahkaamil Qur-aan (V/110)): "Firman Allah SWT : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita” merupakan kalimat yang terdiri dari mubtada' (subjek) dan khabar (predikat). Maksud firman Allah ini adalah, kaum laki-laki-lah yang bertugas menafkahi kaum wanita dan menjauhkan gangguan dari mereka, (maka dari itulah kaum laki-laki menjadi pemimpin bagi mereka). Di samping itu, kaum laki-lakilah yang menjadi pemerintah, pemimpin, dan prajurit perang, sementara kaum wanita tidak boleh berada pada posisi tersebut."
Asy-Syaukani berkata:" "Huruf ba pada firman Allah SWT adalah ba sababiyyah (menunjukkan sebab-akibat), sementara dhamir (kata ganti) pada firman Allah SWT : kembali kepada kaum laki-laki dan kaum wanita. Maksudnya, kaum laki-laki berhak atas kelebihan ini, karena Allah telah melebihkan mereka atas kaum wanita, karena sebagian dari mereka ada yang menjadi khalifah, sultan, hakim, amir (pemimpin), dan prajurit perang." (Fa-thul Qadiir 1/460)
As-Sa'di berkata: "Maksud ayat ini adalah (menunjukkan) sebab keutamaan kaum laki-laki atas kaum wanita, yakni karena kelebihan yang Allah berikan kepada mereka dibandingkan dengan kaum wanita. Kelebihan kaum laki-laki atas kaum wanita dapat dilihat dari beberapa sisi, di antaranya dalam masalah kepemimpinan yang dikhususkan bagi kaum laki-laki, serta dalam hal kenabian dan risalah." (Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Tafsiirul Kariim ar Rahmaan fi Tafsiir Kalaamil Mannaan hal 142, Cet.I Mu’assasah ar-Risaalah, Beirut 1420H/1999M)
2) Firman Allah SWT :
“…dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya ...." (QS. Al-Baqarah: 228)
Ketika Allah SWT memberitahukan bahwa para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf, karena masing-masing pihak, baik pria maupun wanita memiliki hak dan kewajiban yang harus ditunaikan kepada pihak yang lain, Allah; memperingatkan suatu perkara yang penting, yaitu mengenai tingginya derajat kaum laki-laki atas kaum wanita. Tujuannya adalah agar jangan ada orang yang mengira bahwa kedudukan wanita sama dengan kedudukan laki-laki, sehingga ia menuntut kedudukan kaum laki-laki itu diberikan kepada kaum wanita. Peringatan Allah SWT itu disampaikan melalui firman-Nya:
“Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya."
Tingkatan bagi kaum laki-laki ini, walaupun ayat tersebut berbicara dalam konteks talak, berlaku umum dalam semua perkara. Karena, hal yang dijadikan pertimbangan dalam penetapan hukum adalah keumuman redaksi nash, bukan kekhususan sebab yang melatarbelakangi turunnya nash tersebut. Ini dari satu sisi. Dari sisi yang lain, kepemimpinan kaum pria atas kaum wanita dalam hal kepemilikan talak itu tidak lebih besar daripada kepemimpinannya dalam masalah pemerintahan. Maka dari itu, dalam bidang pemerintahan ini, kaum pria lebih utama lagi untuk memegang kepemimpinan atas kaum wanita. "(ihat ath-Thabari, Jaami'ul Bayaan fii Tafsiriil Qur-an (11/275); Ibnu Katsir, Tafsiirul Qur-aan (I/337); `Abdurrahman bin al-Kammal Jalaluddin as-Suyuthi, ad-Durul Mantsuur (I/662), asy-Syaukani, Fat-hul Qadiir (I/337); Tafsiirul Khazin (I/160), Ahkaamul Qur-aan (I/188-189))
Sebagian ulama sudah menegaskan hal ini secara gamblang dan jelas. Berikut ini salah satu pendapat mereka.
Ath-Thabari berkata: "Dari Zaid bin Aslam," tentang penafsirannya terhadap ayat: : Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya” yaitu imarah (kepemimpinan)."
Kaum laki-laki memiliki satu tingkatan atau kelebihan di atas kaum wanita, yaitu dalam hal kepemimpinan. Kepemimpinan di sini tidak terbatas pada kehidupan keluarga. Karena, masalah kepemimpinan negara lebih penting daripada kepemimpinan di dalam rumah. Di samping itu, karena nash al-Qur-an juga tidak mengkhususkan kepemimpinan ini di dalam rumah saja. Walaupun ayat ini berbicara dalam konteks talak dan hak-hak suami isteri, namun ayat ini bukanlah dalil bahwa wanita diberi hak dalam masalah kepemimpinan." (Tafsir ath-Thabari, Jaami'ul Bayaan fii Tafsiir Qur-aan (11/275))
3) Firman Allah SWT :
"Dan, janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak daripada sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan ...." (QS. An-Nisaa': 32)
Al-Jashshash berkata mengenai hukum angan-angan ini (berangan-angan mendapat bagian yang lebih besar seperti orang lain): "Di antara angan-angan yang terlarang adalah kita mengangankan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Contohnya, seorang wanita berangan-angan ingin menjadi laki-laki; atau seorang wanita berangan-angan menduduki jabatan khilafah dan imarah serta yang lainnya, yang termasuk perkara-perkara yang telah diketahui bersama bahwa is tidak akan terjadi dan tidak akan terwujud ...." (Ahmad bin 'Ali ar-Razi Abu Bakar al-Jashshah, Ahkaamul Qur-aan (III/14223)
Keumuman nash-nash syari'at pun memerintahkan wanita untuk tetap berdiam di rumahnya, yang akan mengantarkannya kepada keutamaan yang diraih dari sikap tersebut, antara lain :
Pertama, firman Allah SWT :
"Dan, hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah karnu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyyah yang dahulu ...." (QS. Al-Ahzaab: 33)
Ayat ini membimbing kaum wanita agar tetap tinggal di rumahnya; sebagai bentuk penjagaan atas diri mereka, pemeliharaan bagi hak-hak suami mereka dan urusan-urusan anak-anak mereka, serta supaya mereka dapat mengurusi rumah. Rumah adalah tempat yang paling sesuai dengan tabiat wanita. Di dalamnya terdapat kebaikan dan turunnya karunia. Dari rumahnya akan dihasilkan para pemimpin, para ulama, dan pemuka masyarakat, serta para da'i. Oleh karena itu, wanita merupakan pondasi dasar yang menjadi acuan dan titik tolak. Bahkan, ia merupakan akar suatu umat yang mengasuhnya dengan segala sesuatu yang bermanfaat. Atas dasar itu, keluarnya seorang wanita dari rumah sama dengan suatu akar yang putus dan putik buah yang gugur.
Di samping itu, keluarnya wanita dari rumah untuk menjabat kepemimpinan negara telah menyelisihi apa yang Allah SWT perintahkan dalam ayat di atas, yaitu agar ia tetap berdiam di rumahnya, sebagaimana ayat ini juga melarangnya ber-tabarruj. Adapun perkara yang termasuk dalam istilah tabarruj adalah ikhtilath (bercampur baur) dengan kaum laki-laki. Mujahid RA berkata: "Dahulu, wanita keluar dan berjalan di hadapan kaum laki-laki. Itulah yang dimaksud dengan “seperti (tingkah laku) orang-orang Jahiliyyah yang dahulu." (Ibnu Katsir, Tafsiirul Qur-aan al ‘Azhiim (III/636).
Kedua, firman Allah SWT :
"... apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka ...." (QS. Al-Ahzaab: 53)
Pengertian ayat ini sudah jelas secara lahiriah, yaitu pentingnya wanita berhijab dari pandangan laki-laki. Semua itu mengandung pemeliharaan terhadap agama, kehormatan, dan garis keturunan. Sesungguhnya pencampurbauran antara kaum laki-laki dan kaum wanita mengundang tersebarnya perbuatan keji dan buruk lagi hina.
Apabila yang benar adalah seperti di atas (wanita berhijab dari padangan laki-laki), maka wanita menjadi kepala negara jelas menyelisihi makna lahiriah ayat ini. Sebab, seorang imam atau sultan sering berkumpul dengan para laki-laki, para menteri, dan para pemimpin. Terkadang, dalam situasi tertentu, sultan (pemimpin) harus berunding secara empat mata dengan salah seorang dari mereka, sementara perbuatan ini tidak selayaknya dilakukan oleh seorang wanita. (Abu Hujair, al-Mar-ah wal Huquuq as-Siyaasiyyah fil Islaam (hlm. 86).
b. Dalil dari as-Sunnah:
1) Hadits Abu Bakrah
Dari Abu Bakrah RA dia bertutur: "Allah telah memberiku kebaikan melalui kalimat yang pernah kudengar dari Rasulullah SAW ketika terjadi Perang Jamal; setelah sebelumnya hampir saja aku bergabung dengan pasukan unta (`Aisyah dan orang-orang yang bersamanya) , sehingga aku akan berperang bersama mereka."" Abu Bakrah melanjutkan: "Tatkala berita mengenai orang-orang Persia yang mengangkat Puteri Kisra sebagai pemimpin mereka sampai kepada Rasulullah SAW beliau bersabda:
`Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita.'' (HR Bukhari)
Hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa Nabi melarang keras perbuatan mengangkat wanita sebagai pemimpin; karena pengungkapan kalimat dengan menggunakan kata “lan” itu menunjukan bahwa pengertian yang terkandung di dalam kalimat itu abadi, selama-lamanya.
Penggunaan “lan” kata itu sendiri merupakan bentuk mubalaghah (hiperbola) dalam meniadakan keberuntungan dari orang-orang yang dipimpin oleh seorang wanita. Kata itu juga merupakan qarinah (indikator) yang tegas. Dengan demikian, larangan (yang terkandung dalam hadits ini) muncul dengan qarinah yang menunjukkan perintah tegas untuk meninggalkan perbuatan tersebut.
Berikut ini akan kami cantumkan perkataan beberapa imam ahli hadits yang menjelaskan kesepakatan mereka tentang haramnya seorang wanita memimpin negara, berlandaskan pada hadits di atas:
• Al-Khaththabi berkata: "Hadits ini menerangkan bahwa wanita tidak boleh menjadi pemimpin negara dan menjadi seorang qadhi." (Fat-hul Baari (VIII/5035).
• Ibnul 'Arabi berkata setelah menyebutkan hadits ini: "Hadits ini merupakan nash yang menegaskan bahwa wanita tidak boleh menjadi khalifah; tidak ada perselisihan pendapat dalam masalah ini." (Ibnul 'Arabi, Ahkaamul Qur-aan (III/1457)
• Al-Manawi berkata: "(Rasulullah SAW bersabda):
“Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan...”, sedangkan dalam riwayat lain: ‘……. yang menguasakan urusan mereka kepada seorang wanita', dengan nashab karena berstatus sebagai maf’ul (objek). Dalam sebuah riwayat disebutkan: ‘….yang urusan mereka ditangani oleh seorang wanita’ dengan rafa' karena berstatus sebagai fa'il (subjek). Semua itu dikarenakan kekurangan yang ada pada kaum wanita dan pikirannya yang pendek. Ditambah lagi, seorang pemimpin diperintahkan untuk tampil secara langsung mengatur urusan (kaum Muslimin); sedangkan wanita adalah aurat, sehingga ia tidak diperbolehkan melakukan hal ini. Karena itulah, ia tidak boleh menjabat sebagai imam, dan tidak pula sebagai qadhi (hakim).
Berikut ini akan dipaparkan beberapa pendapat ulama kontemporer mengenai masalah ini, yang juga terkait dengan hadits Abu Bakrah di atas:
• Dewan Fatwa al-Azhar (Mesir) menyatakan: "Hukum yang diambil dari hadits Nabi ini adalah wanita dilarang menjadi pemimpin publik, seperti menjadi kepala negara, qadhi, komando pasukan, dan pemimpin umum lainnya. Hukum ini bukanlah hukum yang bersifat ta'abbudi, yang harus dikerjakan tanpa perlu diketahui hikmah pensyari'atannya. Namun, hukum ini termasuk salah satu hukum yang memiliki berbagai alasan dan pertimbangan yang pasti diketahui oleh orang yang mencermati perbedaan karakter di antara dua jenis manusia, pria dan wanita. Sebab, hukum ini hanya disebabkan oleh kewanitaan yang diungkapkan di dalam hadits dengan kata imra-ah (wanita). Jadi, sisi kewanitaanlah satu-satunya alasan hukum dalam hadits ini." (Dari Abu Hujair, al-Mar-ah wal Huquuq as-Siyaasiyyah (hlm. 103), dikutip dari Dewan Fatwa Universitas al-Azhar, mengikuti fatwa sejumlah ulama-ulama besar pada bulan Ramadhan tahun 1952 M yang melarang wanita untuk berperan dalam kancah pemerintahan serta menjabat tugas)
• Dr. Wahbah az-Zuhaili, tatkala menerangkan bahwa salah satu syarat untuk menjadi seorang pemimpin adalah berjenis kelamin laki-laki, berkata: "Alasan mengapa pemimpin harus berjenis kelamin laki-laki adalah karena beban tanggung jawab jabatan ini menuntut kemampuan yang sangat besar, yang biasanya tidak akan mampu dipikul oleh kaum wanita. Wanita tidak akan mampu menangani tuntutan dari tugas yang diembannya dalam bidang ini, baik dalam situasi aman, perang, maupun bahaya. Rasulullah bersabda: “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita.”
Oleh karena itu, para ahli fiqih sepakat bahwa seorang pemimpin negara (imam) harus seorang laki-laki." (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islaam wa Adillatuhu (VI/663 dan VI/693)
2) Rasulullah SAW bersabda:
"Janganlah kalian masuk menemui wanita (tanpa mahram)." (HR Bukhari)
Abu Hujair berkomentar: "Hadits ini secara redaksional menunjukkan bahwa masuknya seorang laki-laki yang bukan mahram untuk menemui seorang wanita termasuk khalwat yang dilarang (oleh syari'at). Sementara jika wanita menjabat posisi menteri atau perdana menteri, niscaya is tidak akan lepas dari khalwat dan ikhtilath yang diharamkan ini. Yang dimaksud dengan khalwat di sini ialah melakukan khalwat dan ikhtilath bersama para penguasa, seperti pemimpin negara, para menteri, dan kaum laki-laki lainnya. Karena itulah, wanita tidak boleh menjabat posisi itu untuk menutup celah terjadinya fitnah dan kerusakan, yang umumnya datang menghampirinya, seperti khalwat yang diharamkan tersebut." (Abu Hujair, al-Mar-ah wal Huquuq as-Siyaasiyyah fil Islaam
Dari penjelasan di atas, kita mengetahui bahwa seorang pemimpin negara tidak lepas dari acara kumpul-kumpul bersama kaum laki-laki, seperti para menteri, wakil dan delegasi, para panglima perang, serta pemimpin-pemimpin negara lain. Terkadang, seorang pemimpin negara perlu berbicara empat mata dengan salah seorang dari mereka karena situasi darurat yang menuntutnya baik dengan perdana menteri, komandan pasukan, menteri luar negeri, menteri dalam negeri, maupun yang lainnya.
Dilihat dari perspektif ini, tabiat profesi semacam ini tidak sesuai untuk wanita yang diibaratkan seperti bunga. Sesungguhnya kita diperintahkan untuk menjaga dan melindungi kaum wanita; salah satunya ialah tidak menjerumuskan wanita kepada sesuatu yang menodai rasa malu dan kesucian dirinya.
c. Dalil dari ijma'
Para ulama sepakat bahwa wanita tidak diperbolehkan menjabat sebagai kepala negara. Ijma' ini tetap bertahan hingga berakhir kurun ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin. Mereka sepakat dalam pendapat yang sama, yaitu wanita dilarang menjabat sebagai kepala negara."
Berikut ini akan dipaparkan beberapa pendapat ulama yang mengutip adanya ijma' dan menyepakatinya:
• Ibnu Hazm berkata: "Seluruh firqah (kelompok-kelompok) ahli kiblat tidak ada yang membolehkan wanita menjadi pemimpin." (Ibnu Hazm, al-Fashl fil Milal wal Ahwaa' wan Nihal (IV/179)
• Ibnul 'Arabi mengomentari hadits Abu Bakrah yang telah disebutkan sebelumnya: "Hadits ini merupakan nash yang menunjukkan bahwa wanita tidak bisa menjadi khalifah; tidak ada perselisihan pendapat dalam masalah ini.(Ibnul 'Arabi (Muhammad bin `Abdullah al-Maliki), Ahkaamul Qur-aan (III/1457)
• Al-Qurthubi berkata: "Para ulama sepakat bahwa seorang wanita tidak boleh menjadi imam.” (Al-Qurthubi, al-Jaami' li Ahkaamil Qur-aan (1/302)
• Al-Ghazali berkata: "Imamah seorang wanita itu tidak jadi (tidak sah), walaupun ia memiliki sifat-sifat yang sempurna dan memiliki kemandirian. Bagaimana mungkin seorang wanita boleh dicalonkan untuk menduduki jabatan imam (kepala negara), sementara ia tidak boleh menjadi qadhi (hakim) dan tidak boleh menjadi saksi di sebagian besar pemerintahan!” (Al-Ghazali, Fadha-ihul Baathiniyyah wa Fadha-ilul Mustazhriyyah an al-Mustazhhiri fir Radd `alai Baathiniyyah (hlm. 182)
• Ibnu Qudamah berkata: "Wanita mana pun tidak boleh menjabat sebagai kepala negara dan tidak pula menjabat sebagai gubernur suatu wilayah. Karena itu, sepanjang pengetahuan kami, Nabi dan para khalifah beliau serta orang-orang setelah mereka tidak pernah memberikan jabatan kepada wanita dalam masalah qadha' (pengadilan) ataupun kepemimpinan atas suatu wilayah. Seandainya hal itu diperbolehkan, pasti hal itu pernah terjadi pada era tertentu, Ini jika berdasarkan pada kebiasaan." (Ibnu Qudamah, al-Mughnii (XI/381).
Dr. Wahbah az-Zuhaili berkata tentang persyaratan jenis kelamin laki-laki: "Alasan mengapa pemimpin itu harus berjenis kelamin laki-laki adalah karena beban tanggung jawab jabatan ini menuntut kemampuan yang sangat besar, yang biasanya tidak akan mampu dipikul oleh kaum wanita. Wanita tidak akan mampu menangani tuntutan dari tugas yang diembannya dalam bidang ini, baik dalam situasi aman, perang, dan bahaya. Rasulullah A bersabda: )) `Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita.'
Oleh karena itu, Para ahli fiqih sepakat bahwa kepala negara (Imam) itu harus seorang laki-laki." (Az-Zuhaili (VI/663).
d. Dalil dari logika
Sesungguhnya akal yang sehat, pikiran yang lurus, dan logika yang benar pasti akan menerima pendapat yang tidak membolehkan wanita menjabat sebagai kepala negara. Hal ini berlandaskan beberapa alasan sebagai berikut.
Wanita tidak sesuai untuk jabatan ini dipandang dari beberapa sisi:
• Tabiat dasar wanita. Tubuh wanita lebih lemah daripada laki-laki. Wanita juga diliputi sifat kelembutan. Selain itu, wanita mudah terpengaruh oleh situasi tertentu yang sedang dialaminya, sehingga hal itu dapat mempengaruhi vitalitas tubuhnya saat menjabat kedudukan ini, seperti kehamilan, menyusui, haidh, dan nifas.
• Tidak ada wanita yang menempati jabatan ini pada masa Rasulullah serta pada masa-masa yang utama setelah beliau.
• Jika wanita memegang jabatan ini, maka ia berhadapan dengan situasi ikhtilath yang merupakan salah satu sebab terjadinya perbuatan-perbuatan keji.
• Beban tanggung jawab posisi ini, yang membutuhkan kemampuan besar, biasanya tidak dapat dipikul oleh wanita. Wanita tidak akan mampu menangani tuntutan yang berasal dari tugas yang diembannya dalam bidang ini, baik dalam situasi aman, perang, maupun bahaya. (Az-Zuhaili, al-Fiqhul Islaam wa Adillatuhu (VI/ 693)
Insya Allah masih bersambung dengan pendapat Kebolehannya Wanita menjadi Kepala Negara (dasar-dasar / dalil-dalil yang mengatakan kebolehannya)
Wallahua'lam
Bismillahirrohmaanirrohiimm..
Melanjutkan pembahasan tentang Fiqh Wanita Karir yang sudah lama ditulis beberapa bulan yang lalu, dan juga sesuai janji saya untuk melanjutkan meringkas buku tentang fiqh wanita karir (jenis-jenis pekerjaan yang dilarang dan yang dibolehkan dalam Fiqh Islam), maka Insya Allah saya akan lanjutkan tentang bagian ke 1 tentang Jenis Pekerjaan Wanita sebagai kepala Negara.
Semoga bermanfaat.
Wanita Sebagai Kepala Negara Ri-asah Daulah)
A. Pengertian Kepala Negara
Ri-asah daulah dalam ilmu fiqih Islam dinamakan Khilafah (Khalifah), Imamatul Kubra (pemimpin tertinggi), Imaratul Mukminin (pemimpin kaum Mukmin), dan Sulthanah (Sultan) (Dr. Muhammad 'Abdul Ghaffar asy-Syarif, Buhuuts Fiqhiyyah Mu'aashirah (II/11-16, hlm. 341))
Secara bahasa, kata imamah adalah mashdar yang diambil dari ungkapan ammal Baum [memimpin suatu kaum] dan amma bihim ([menjadi imam mereka]). Imam itu adalah seorang yang diangkat sebagai panutan, sebagaimana firman Allah :
"... maka perangilah pemimpin pemimpin orang-orang kafir itu "(QS. At-Taubah: 12)2
Kata khilafah, secara bahasa, adalah mashdar dari kata khalafa yakhlifu khalfan khilafatan yang berarti datang setelahnya lalu menggantikan tempatnya. Khilafah itu adalah Sulthan A'zham (pemimpin tertinggi negara).(Buhuuts Fiqhiyyah Mu’aashirah hal 78)
Adapun menurut istilah, imamah (khilafah) artinya menuntun manusia untuk melaksanakan syari'at Islam yang mengandung hal-hal yang bermanfaat bagi mereka dalam urusan agama dan dunia. Contoh nyata ke-khilafah-an tersebut adalah kepemimpinan Nabi SAW dalam menjaga urusan agama dan dunia. (Asy Syarif, Buhuuts Fiqhiyyah Mu’aashirah 11/11-16)
Memilih seorang imam atau pemimpin negara Muslim hukumnya wajib berdasarkan al-Qur-an dan as-Sunnah serta ijma' ulama.( Lihat 'Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashri al-Mawardi, al-Ahkaamus Sulthaaniyyah (hlm. 5))
Allah SWT, berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu ...." (QS. An-Nisaa': 59)
Rasulullah SAW bersabda:
"Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang amir yang menangani urusan orang banyak adalah pemimpin, dan ia akan ditanya tentang kepemimpinannya." (HR Muslim, Abu Dawud)
Dari al-Irbadh bin Sariyah RA, dia berkata: "Pada suatu hari, sehabis shalat Zhuhur, Rasulullah SAW member nasihat yang sangat menyentuh kepada kami. Nasihat tersebut membuat air mata berlinang dan hati bergetar. Seorang laki-laki berkata: `Sepertinya ini betul-betul nasihat orang yang hendak berpisah. Apakah kiranya yang hendak engkau sampaikan kepada kami, wahai Rasulullah?" Beliau SAW berkata: "Aku menasihati kalian agar bertakwa kepada Allah, untuk mendengar dan patuh pada pemimpin walaupun ia adalah seorang budak dari Habasyah. Sesungguhnya siapa saja di antara kalian yang masih hidup sepeninggalku pasti akan menyaksikan perselisihan yang banyak. Maka hindarilah perkara-perkara yang baru (dalam agama), karena hal itu adalah kesesatan. Barang siapa di antara kalian yang mendapati zaman itu, maka hendaklah ia berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafa-ur Rasyidin yang diberi petunjuk, dan gigitlah ia dengan gigi gerahammu (peganglah ia erat-erat)." (HR Ahmad dan Tirmidzi)
Adapun dari ijma', umat ini telah sepakat bahwa imamah itu hukumnya wajib, dan keberadaan seorang imam sangat dibutuhkan (Sa'di Abu Habib, Mausuu'atul Ijmaa' fil Fiqh al-Islaami (I/385))
B. Pendapat Ulama tentang Wanita Menjadi Kepala Negara
Kepala negara adalah pemimpin umum yang paling penting bagi rakyat. Keberadaan kepala negara ini merupakan jembatan pelaksana untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, yang dengan perantaraannya seorang hakim (pengadilan) dapat menyelesaikan apa-apa yang tidak mungkin diselesaikan secara
Berdasarkan hal itu, para ahli fiqih telah menetapkan beberapa persyaratan bagi seorang pemimpin yang akan mengepalai kaum Muslimin, di antaranya berjenis kelamin laki-laki (Al-Ahkaamus Sulthaaniyyah (hlm. 6) karya al-Mawardi) Akan tetapi, terjadi perselisihan pendapat mengenai syarat ini. Berikut ini penjelasannya.
1. Wanita tidak boleh menjadi kepala Negara
Jumhur ahli fiqih berpendapat bahwa wanita tidak boleh menjadi kepala negara. Mereka mensyaratkan jenis kelamin laki-laki untuk menjadi kepala negara. Mereka berdalil, untuk menguatkan pendapat ini, dengan al-Qur-an, as-Sunnah, dan ijma'.
a. Dalil dari al-Qur-an:
1) Firman Allah;: :
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka ...." (QS. An-Nisaa': 34)
Alasan penggunaan dari ayat ini adalah Allah SWT memberikan kepemimpinan secara mutlak untuk kaum laki-laki atas kaum wanita, karena mereka yang bertugas mengurusi segala keperluan wanita. Kepemimpinan ini mencakup semua hal, baik yang berskala kecil seperti yang mereka pimpin di dalam rumah, maupun yang berskala besar yang puncaknya adalah kepala negara. Termasuk pula, kepemimpinan pada urusan-urusan umum untuk rakyat, seperti pengadilan, memimpin pasukan, dan sebagainya.
Berikut ini penjelasan beberapa perkataan ulama dalam masalah ini:
Al-Qurthubi berkata (Tafsir Al-Qurthubi, al-Jaami' li Ahkaamil Qur-aan (V/110)): "Firman Allah SWT : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita” merupakan kalimat yang terdiri dari mubtada' (subjek) dan khabar (predikat). Maksud firman Allah ini adalah, kaum laki-laki-lah yang bertugas menafkahi kaum wanita dan menjauhkan gangguan dari mereka, (maka dari itulah kaum laki-laki menjadi pemimpin bagi mereka). Di samping itu, kaum laki-lakilah yang menjadi pemerintah, pemimpin, dan prajurit perang, sementara kaum wanita tidak boleh berada pada posisi tersebut."
Asy-Syaukani berkata:" "Huruf ba pada firman Allah SWT adalah ba sababiyyah (menunjukkan sebab-akibat), sementara dhamir (kata ganti) pada firman Allah SWT : kembali kepada kaum laki-laki dan kaum wanita. Maksudnya, kaum laki-laki berhak atas kelebihan ini, karena Allah telah melebihkan mereka atas kaum wanita, karena sebagian dari mereka ada yang menjadi khalifah, sultan, hakim, amir (pemimpin), dan prajurit perang." (Fa-thul Qadiir 1/460)
As-Sa'di berkata: "Maksud ayat ini adalah (menunjukkan) sebab keutamaan kaum laki-laki atas kaum wanita, yakni karena kelebihan yang Allah berikan kepada mereka dibandingkan dengan kaum wanita. Kelebihan kaum laki-laki atas kaum wanita dapat dilihat dari beberapa sisi, di antaranya dalam masalah kepemimpinan yang dikhususkan bagi kaum laki-laki, serta dalam hal kenabian dan risalah." (Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Tafsiirul Kariim ar Rahmaan fi Tafsiir Kalaamil Mannaan hal 142, Cet.I Mu’assasah ar-Risaalah, Beirut 1420H/1999M)
2) Firman Allah SWT :
“…dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya ...." (QS. Al-Baqarah: 228)
Ketika Allah SWT memberitahukan bahwa para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf, karena masing-masing pihak, baik pria maupun wanita memiliki hak dan kewajiban yang harus ditunaikan kepada pihak yang lain, Allah; memperingatkan suatu perkara yang penting, yaitu mengenai tingginya derajat kaum laki-laki atas kaum wanita. Tujuannya adalah agar jangan ada orang yang mengira bahwa kedudukan wanita sama dengan kedudukan laki-laki, sehingga ia menuntut kedudukan kaum laki-laki itu diberikan kepada kaum wanita. Peringatan Allah SWT itu disampaikan melalui firman-Nya:
“Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya."
Tingkatan bagi kaum laki-laki ini, walaupun ayat tersebut berbicara dalam konteks talak, berlaku umum dalam semua perkara. Karena, hal yang dijadikan pertimbangan dalam penetapan hukum adalah keumuman redaksi nash, bukan kekhususan sebab yang melatarbelakangi turunnya nash tersebut. Ini dari satu sisi. Dari sisi yang lain, kepemimpinan kaum pria atas kaum wanita dalam hal kepemilikan talak itu tidak lebih besar daripada kepemimpinannya dalam masalah pemerintahan. Maka dari itu, dalam bidang pemerintahan ini, kaum pria lebih utama lagi untuk memegang kepemimpinan atas kaum wanita. "(ihat ath-Thabari, Jaami'ul Bayaan fii Tafsiriil Qur-an (11/275); Ibnu Katsir, Tafsiirul Qur-aan (I/337); `Abdurrahman bin al-Kammal Jalaluddin as-Suyuthi, ad-Durul Mantsuur (I/662), asy-Syaukani, Fat-hul Qadiir (I/337); Tafsiirul Khazin (I/160), Ahkaamul Qur-aan (I/188-189))
Sebagian ulama sudah menegaskan hal ini secara gamblang dan jelas. Berikut ini salah satu pendapat mereka.
Ath-Thabari berkata: "Dari Zaid bin Aslam," tentang penafsirannya terhadap ayat: : Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya” yaitu imarah (kepemimpinan)."
Kaum laki-laki memiliki satu tingkatan atau kelebihan di atas kaum wanita, yaitu dalam hal kepemimpinan. Kepemimpinan di sini tidak terbatas pada kehidupan keluarga. Karena, masalah kepemimpinan negara lebih penting daripada kepemimpinan di dalam rumah. Di samping itu, karena nash al-Qur-an juga tidak mengkhususkan kepemimpinan ini di dalam rumah saja. Walaupun ayat ini berbicara dalam konteks talak dan hak-hak suami isteri, namun ayat ini bukanlah dalil bahwa wanita diberi hak dalam masalah kepemimpinan." (Tafsir ath-Thabari, Jaami'ul Bayaan fii Tafsiir Qur-aan (11/275))
3) Firman Allah SWT :
"Dan, janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak daripada sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan ...." (QS. An-Nisaa': 32)
Al-Jashshash berkata mengenai hukum angan-angan ini (berangan-angan mendapat bagian yang lebih besar seperti orang lain): "Di antara angan-angan yang terlarang adalah kita mengangankan sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Contohnya, seorang wanita berangan-angan ingin menjadi laki-laki; atau seorang wanita berangan-angan menduduki jabatan khilafah dan imarah serta yang lainnya, yang termasuk perkara-perkara yang telah diketahui bersama bahwa is tidak akan terjadi dan tidak akan terwujud ...." (Ahmad bin 'Ali ar-Razi Abu Bakar al-Jashshah, Ahkaamul Qur-aan (III/14223)
Keumuman nash-nash syari'at pun memerintahkan wanita untuk tetap berdiam di rumahnya, yang akan mengantarkannya kepada keutamaan yang diraih dari sikap tersebut, antara lain :
Pertama, firman Allah SWT :
"Dan, hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah karnu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyyah yang dahulu ...." (QS. Al-Ahzaab: 33)
Ayat ini membimbing kaum wanita agar tetap tinggal di rumahnya; sebagai bentuk penjagaan atas diri mereka, pemeliharaan bagi hak-hak suami mereka dan urusan-urusan anak-anak mereka, serta supaya mereka dapat mengurusi rumah. Rumah adalah tempat yang paling sesuai dengan tabiat wanita. Di dalamnya terdapat kebaikan dan turunnya karunia. Dari rumahnya akan dihasilkan para pemimpin, para ulama, dan pemuka masyarakat, serta para da'i. Oleh karena itu, wanita merupakan pondasi dasar yang menjadi acuan dan titik tolak. Bahkan, ia merupakan akar suatu umat yang mengasuhnya dengan segala sesuatu yang bermanfaat. Atas dasar itu, keluarnya seorang wanita dari rumah sama dengan suatu akar yang putus dan putik buah yang gugur.
Di samping itu, keluarnya wanita dari rumah untuk menjabat kepemimpinan negara telah menyelisihi apa yang Allah SWT perintahkan dalam ayat di atas, yaitu agar ia tetap berdiam di rumahnya, sebagaimana ayat ini juga melarangnya ber-tabarruj. Adapun perkara yang termasuk dalam istilah tabarruj adalah ikhtilath (bercampur baur) dengan kaum laki-laki. Mujahid RA berkata: "Dahulu, wanita keluar dan berjalan di hadapan kaum laki-laki. Itulah yang dimaksud dengan “seperti (tingkah laku) orang-orang Jahiliyyah yang dahulu." (Ibnu Katsir, Tafsiirul Qur-aan al ‘Azhiim (III/636).
Kedua, firman Allah SWT :
"... apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka ...." (QS. Al-Ahzaab: 53)
Pengertian ayat ini sudah jelas secara lahiriah, yaitu pentingnya wanita berhijab dari pandangan laki-laki. Semua itu mengandung pemeliharaan terhadap agama, kehormatan, dan garis keturunan. Sesungguhnya pencampurbauran antara kaum laki-laki dan kaum wanita mengundang tersebarnya perbuatan keji dan buruk lagi hina.
Apabila yang benar adalah seperti di atas (wanita berhijab dari padangan laki-laki), maka wanita menjadi kepala negara jelas menyelisihi makna lahiriah ayat ini. Sebab, seorang imam atau sultan sering berkumpul dengan para laki-laki, para menteri, dan para pemimpin. Terkadang, dalam situasi tertentu, sultan (pemimpin) harus berunding secara empat mata dengan salah seorang dari mereka, sementara perbuatan ini tidak selayaknya dilakukan oleh seorang wanita. (Abu Hujair, al-Mar-ah wal Huquuq as-Siyaasiyyah fil Islaam (hlm. 86).
b. Dalil dari as-Sunnah:
1) Hadits Abu Bakrah
Dari Abu Bakrah RA dia bertutur: "Allah telah memberiku kebaikan melalui kalimat yang pernah kudengar dari Rasulullah SAW ketika terjadi Perang Jamal; setelah sebelumnya hampir saja aku bergabung dengan pasukan unta (`Aisyah dan orang-orang yang bersamanya) , sehingga aku akan berperang bersama mereka."" Abu Bakrah melanjutkan: "Tatkala berita mengenai orang-orang Persia yang mengangkat Puteri Kisra sebagai pemimpin mereka sampai kepada Rasulullah SAW beliau bersabda:
`Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita.'' (HR Bukhari)
Hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa Nabi melarang keras perbuatan mengangkat wanita sebagai pemimpin; karena pengungkapan kalimat dengan menggunakan kata “lan” itu menunjukan bahwa pengertian yang terkandung di dalam kalimat itu abadi, selama-lamanya.
Penggunaan “lan” kata itu sendiri merupakan bentuk mubalaghah (hiperbola) dalam meniadakan keberuntungan dari orang-orang yang dipimpin oleh seorang wanita. Kata itu juga merupakan qarinah (indikator) yang tegas. Dengan demikian, larangan (yang terkandung dalam hadits ini) muncul dengan qarinah yang menunjukkan perintah tegas untuk meninggalkan perbuatan tersebut.
Berikut ini akan kami cantumkan perkataan beberapa imam ahli hadits yang menjelaskan kesepakatan mereka tentang haramnya seorang wanita memimpin negara, berlandaskan pada hadits di atas:
• Al-Khaththabi berkata: "Hadits ini menerangkan bahwa wanita tidak boleh menjadi pemimpin negara dan menjadi seorang qadhi." (Fat-hul Baari (VIII/5035).
• Ibnul 'Arabi berkata setelah menyebutkan hadits ini: "Hadits ini merupakan nash yang menegaskan bahwa wanita tidak boleh menjadi khalifah; tidak ada perselisihan pendapat dalam masalah ini." (Ibnul 'Arabi, Ahkaamul Qur-aan (III/1457)
• Al-Manawi berkata: "(Rasulullah SAW bersabda):
“Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan...”, sedangkan dalam riwayat lain: ‘……. yang menguasakan urusan mereka kepada seorang wanita', dengan nashab karena berstatus sebagai maf’ul (objek). Dalam sebuah riwayat disebutkan: ‘….yang urusan mereka ditangani oleh seorang wanita’ dengan rafa' karena berstatus sebagai fa'il (subjek). Semua itu dikarenakan kekurangan yang ada pada kaum wanita dan pikirannya yang pendek. Ditambah lagi, seorang pemimpin diperintahkan untuk tampil secara langsung mengatur urusan (kaum Muslimin); sedangkan wanita adalah aurat, sehingga ia tidak diperbolehkan melakukan hal ini. Karena itulah, ia tidak boleh menjabat sebagai imam, dan tidak pula sebagai qadhi (hakim).
Berikut ini akan dipaparkan beberapa pendapat ulama kontemporer mengenai masalah ini, yang juga terkait dengan hadits Abu Bakrah di atas:
• Dewan Fatwa al-Azhar (Mesir) menyatakan: "Hukum yang diambil dari hadits Nabi ini adalah wanita dilarang menjadi pemimpin publik, seperti menjadi kepala negara, qadhi, komando pasukan, dan pemimpin umum lainnya. Hukum ini bukanlah hukum yang bersifat ta'abbudi, yang harus dikerjakan tanpa perlu diketahui hikmah pensyari'atannya. Namun, hukum ini termasuk salah satu hukum yang memiliki berbagai alasan dan pertimbangan yang pasti diketahui oleh orang yang mencermati perbedaan karakter di antara dua jenis manusia, pria dan wanita. Sebab, hukum ini hanya disebabkan oleh kewanitaan yang diungkapkan di dalam hadits dengan kata imra-ah (wanita). Jadi, sisi kewanitaanlah satu-satunya alasan hukum dalam hadits ini." (Dari Abu Hujair, al-Mar-ah wal Huquuq as-Siyaasiyyah (hlm. 103), dikutip dari Dewan Fatwa Universitas al-Azhar, mengikuti fatwa sejumlah ulama-ulama besar pada bulan Ramadhan tahun 1952 M yang melarang wanita untuk berperan dalam kancah pemerintahan serta menjabat tugas)
• Dr. Wahbah az-Zuhaili, tatkala menerangkan bahwa salah satu syarat untuk menjadi seorang pemimpin adalah berjenis kelamin laki-laki, berkata: "Alasan mengapa pemimpin harus berjenis kelamin laki-laki adalah karena beban tanggung jawab jabatan ini menuntut kemampuan yang sangat besar, yang biasanya tidak akan mampu dipikul oleh kaum wanita. Wanita tidak akan mampu menangani tuntutan dari tugas yang diembannya dalam bidang ini, baik dalam situasi aman, perang, maupun bahaya. Rasulullah bersabda: “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita.”
Oleh karena itu, para ahli fiqih sepakat bahwa seorang pemimpin negara (imam) harus seorang laki-laki." (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islaam wa Adillatuhu (VI/663 dan VI/693)
2) Rasulullah SAW bersabda:
"Janganlah kalian masuk menemui wanita (tanpa mahram)." (HR Bukhari)
Abu Hujair berkomentar: "Hadits ini secara redaksional menunjukkan bahwa masuknya seorang laki-laki yang bukan mahram untuk menemui seorang wanita termasuk khalwat yang dilarang (oleh syari'at). Sementara jika wanita menjabat posisi menteri atau perdana menteri, niscaya is tidak akan lepas dari khalwat dan ikhtilath yang diharamkan ini. Yang dimaksud dengan khalwat di sini ialah melakukan khalwat dan ikhtilath bersama para penguasa, seperti pemimpin negara, para menteri, dan kaum laki-laki lainnya. Karena itulah, wanita tidak boleh menjabat posisi itu untuk menutup celah terjadinya fitnah dan kerusakan, yang umumnya datang menghampirinya, seperti khalwat yang diharamkan tersebut." (Abu Hujair, al-Mar-ah wal Huquuq as-Siyaasiyyah fil Islaam
Dari penjelasan di atas, kita mengetahui bahwa seorang pemimpin negara tidak lepas dari acara kumpul-kumpul bersama kaum laki-laki, seperti para menteri, wakil dan delegasi, para panglima perang, serta pemimpin-pemimpin negara lain. Terkadang, seorang pemimpin negara perlu berbicara empat mata dengan salah seorang dari mereka karena situasi darurat yang menuntutnya baik dengan perdana menteri, komandan pasukan, menteri luar negeri, menteri dalam negeri, maupun yang lainnya.
Dilihat dari perspektif ini, tabiat profesi semacam ini tidak sesuai untuk wanita yang diibaratkan seperti bunga. Sesungguhnya kita diperintahkan untuk menjaga dan melindungi kaum wanita; salah satunya ialah tidak menjerumuskan wanita kepada sesuatu yang menodai rasa malu dan kesucian dirinya.
c. Dalil dari ijma'
Para ulama sepakat bahwa wanita tidak diperbolehkan menjabat sebagai kepala negara. Ijma' ini tetap bertahan hingga berakhir kurun ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin. Mereka sepakat dalam pendapat yang sama, yaitu wanita dilarang menjabat sebagai kepala negara."
Berikut ini akan dipaparkan beberapa pendapat ulama yang mengutip adanya ijma' dan menyepakatinya:
• Ibnu Hazm berkata: "Seluruh firqah (kelompok-kelompok) ahli kiblat tidak ada yang membolehkan wanita menjadi pemimpin." (Ibnu Hazm, al-Fashl fil Milal wal Ahwaa' wan Nihal (IV/179)
• Ibnul 'Arabi mengomentari hadits Abu Bakrah yang telah disebutkan sebelumnya: "Hadits ini merupakan nash yang menunjukkan bahwa wanita tidak bisa menjadi khalifah; tidak ada perselisihan pendapat dalam masalah ini.(Ibnul 'Arabi (Muhammad bin `Abdullah al-Maliki), Ahkaamul Qur-aan (III/1457)
• Al-Qurthubi berkata: "Para ulama sepakat bahwa seorang wanita tidak boleh menjadi imam.” (Al-Qurthubi, al-Jaami' li Ahkaamil Qur-aan (1/302)
• Al-Ghazali berkata: "Imamah seorang wanita itu tidak jadi (tidak sah), walaupun ia memiliki sifat-sifat yang sempurna dan memiliki kemandirian. Bagaimana mungkin seorang wanita boleh dicalonkan untuk menduduki jabatan imam (kepala negara), sementara ia tidak boleh menjadi qadhi (hakim) dan tidak boleh menjadi saksi di sebagian besar pemerintahan!” (Al-Ghazali, Fadha-ihul Baathiniyyah wa Fadha-ilul Mustazhriyyah an al-Mustazhhiri fir Radd `alai Baathiniyyah (hlm. 182)
• Ibnu Qudamah berkata: "Wanita mana pun tidak boleh menjabat sebagai kepala negara dan tidak pula menjabat sebagai gubernur suatu wilayah. Karena itu, sepanjang pengetahuan kami, Nabi dan para khalifah beliau serta orang-orang setelah mereka tidak pernah memberikan jabatan kepada wanita dalam masalah qadha' (pengadilan) ataupun kepemimpinan atas suatu wilayah. Seandainya hal itu diperbolehkan, pasti hal itu pernah terjadi pada era tertentu, Ini jika berdasarkan pada kebiasaan." (Ibnu Qudamah, al-Mughnii (XI/381).
Dr. Wahbah az-Zuhaili berkata tentang persyaratan jenis kelamin laki-laki: "Alasan mengapa pemimpin itu harus berjenis kelamin laki-laki adalah karena beban tanggung jawab jabatan ini menuntut kemampuan yang sangat besar, yang biasanya tidak akan mampu dipikul oleh kaum wanita. Wanita tidak akan mampu menangani tuntutan dari tugas yang diembannya dalam bidang ini, baik dalam situasi aman, perang, dan bahaya. Rasulullah A bersabda: )) `Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita.'
Oleh karena itu, Para ahli fiqih sepakat bahwa kepala negara (Imam) itu harus seorang laki-laki." (Az-Zuhaili (VI/663).
d. Dalil dari logika
Sesungguhnya akal yang sehat, pikiran yang lurus, dan logika yang benar pasti akan menerima pendapat yang tidak membolehkan wanita menjabat sebagai kepala negara. Hal ini berlandaskan beberapa alasan sebagai berikut.
Wanita tidak sesuai untuk jabatan ini dipandang dari beberapa sisi:
• Tabiat dasar wanita. Tubuh wanita lebih lemah daripada laki-laki. Wanita juga diliputi sifat kelembutan. Selain itu, wanita mudah terpengaruh oleh situasi tertentu yang sedang dialaminya, sehingga hal itu dapat mempengaruhi vitalitas tubuhnya saat menjabat kedudukan ini, seperti kehamilan, menyusui, haidh, dan nifas.
• Tidak ada wanita yang menempati jabatan ini pada masa Rasulullah serta pada masa-masa yang utama setelah beliau.
• Jika wanita memegang jabatan ini, maka ia berhadapan dengan situasi ikhtilath yang merupakan salah satu sebab terjadinya perbuatan-perbuatan keji.
• Beban tanggung jawab posisi ini, yang membutuhkan kemampuan besar, biasanya tidak dapat dipikul oleh wanita. Wanita tidak akan mampu menangani tuntutan yang berasal dari tugas yang diembannya dalam bidang ini, baik dalam situasi aman, perang, maupun bahaya. (Az-Zuhaili, al-Fiqhul Islaam wa Adillatuhu (VI/ 693)
Insya Allah masih bersambung dengan pendapat Kebolehannya Wanita menjadi Kepala Negara (dasar-dasar / dalil-dalil yang mengatakan kebolehannya)
Wallahua'lam
Minggu, 15 Mei 2011
Larangan menjelek-jelekan orang yang melakukan suatu dosa.
Assalamu’alaikum wr wb..
Berikuta ada kutipan kitab syarah Bulughul Maram karya Imam Abdullah bin Abdurrahman al Bassam.
Semoga bermanfaat,
Dari Mu'adz bin Jabal RA, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang menjelekkan saudaranya karena dosa yang ia perbuat, tidaklah isa meninggal hingga ia juga melakukan dosa yang sama." (HR. At-Tirmidzi) dan menilainya hasan, tetapi sanad hadits ini munqathi" (terputus).
Peringkat Hadits
Hadits ini hasan dengan adanya dalil-dalil lain yang menguatkannya.
Ibnu Hajar berkata: diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan menilainya hasan, tetapi sanad hadits ini munqathi'
Ash-Shan'ani berkata: At-Tirmidzi menilai hasan hadits ini, karena adanya dalil-dalil lain yang mendukungnya; maka sanad hadits ini yang munqathi tidak berpengaruh terhadap keabsahan dari hadits ini.
Hadits ini, dinilai hasan pula oleh As-Suyuthi di dalam Al Jami' Ash-Shagir Dan Al Manawi menyebutkan beberapa syahid bagi hadits ini, disertai dengan penjelasan akan kelemahan yang terdapat pada sanad hadits At-Tirmidzi. Dan di dalam sanad hadits ini terdapat seorang perawi yang bernama Muhammad bin Al Hasan bin Abu zaid. Abu Daud dan yang lainnya berkata: ia adalah seorang pendusta.
Hal-Hal Penting dari Hadits
1. Hadits ini berisi peringatan terhadap orang-orang yang mencela saudaranya karena sebuah dosa yang ia perbuat; karena seseorang itu tidaklah mencela kecuali terdorong oleh rasa ujub yang ada di dalam hatinya. Sedangkan sifat ujub itu timbul karena prasangka seseorang bahwa ia telah berhasil terhindar dari sebuah kejahatan karena kekuatan dan kehendaknya sendiri; bukan karena pertolongan dari Allah.
2. Barangsiapa yang mencela saudaranya kemudian hal itu menyebabkannya merasa ujub; niscaya ia tidak akan meninggal hingga iapun mengerjakan hal yang serupa. Yang demikian itu disebabkan karena ia tidak bertawakal kepada Allah untuk melindunginya dari kejahatan perbuatan itu, tetapi ia hanyalah semata-mata menyandarkan pada kemampuannya untuk menghindari perbuatan buruk tersebut, maka Allah pun menghinakannya hingga ia melakukan perbuatan yang sebelumnya telah dihina.
3. Diharamkannya mencela aib seseorang, sebagaimana hadits ini pula menunjukkan wajibnya untuk menyembunyikan aib mereka dengan menyibukkan diri terhadap aib sendiri. Maka sungguh beruntunglah orang-orang yang disibukkan oleh aibnya dari mengurusi, aib orang lain.
4. Telah disebutkan beberapa dalil lain yang berisi larangan untuk melakukan perbuatan ini, diantaranya: firman Allah Ta'ala, " Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar berita perbuatan yang amat keji itu tersiar dikalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih didunia dan diakhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui," (Qs. An-Nuur: 19).
Watsilah bin Al Asqa`, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda,
"Janganlah engkau menampakkan kegembiraan di atas kesedihan saudaramu; yang akan menyebabkan Allah merahmatinya dan menimpakan kepadamu kesedihan saudaramu itu."
Hal ini disebabkan, karena menampakkan kegembiraan diatas kesedihan orang lain bukanlah merupakan akhlak dan kaum muslim yang mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.
Wallahua’lam
Berikuta ada kutipan kitab syarah Bulughul Maram karya Imam Abdullah bin Abdurrahman al Bassam.
Semoga bermanfaat,
Dari Mu'adz bin Jabal RA, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang menjelekkan saudaranya karena dosa yang ia perbuat, tidaklah isa meninggal hingga ia juga melakukan dosa yang sama." (HR. At-Tirmidzi) dan menilainya hasan, tetapi sanad hadits ini munqathi" (terputus).
Peringkat Hadits
Hadits ini hasan dengan adanya dalil-dalil lain yang menguatkannya.
Ibnu Hajar berkata: diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan menilainya hasan, tetapi sanad hadits ini munqathi'
Ash-Shan'ani berkata: At-Tirmidzi menilai hasan hadits ini, karena adanya dalil-dalil lain yang mendukungnya; maka sanad hadits ini yang munqathi tidak berpengaruh terhadap keabsahan dari hadits ini.
Hadits ini, dinilai hasan pula oleh As-Suyuthi di dalam Al Jami' Ash-Shagir Dan Al Manawi menyebutkan beberapa syahid bagi hadits ini, disertai dengan penjelasan akan kelemahan yang terdapat pada sanad hadits At-Tirmidzi. Dan di dalam sanad hadits ini terdapat seorang perawi yang bernama Muhammad bin Al Hasan bin Abu zaid. Abu Daud dan yang lainnya berkata: ia adalah seorang pendusta.
Hal-Hal Penting dari Hadits
1. Hadits ini berisi peringatan terhadap orang-orang yang mencela saudaranya karena sebuah dosa yang ia perbuat; karena seseorang itu tidaklah mencela kecuali terdorong oleh rasa ujub yang ada di dalam hatinya. Sedangkan sifat ujub itu timbul karena prasangka seseorang bahwa ia telah berhasil terhindar dari sebuah kejahatan karena kekuatan dan kehendaknya sendiri; bukan karena pertolongan dari Allah.
2. Barangsiapa yang mencela saudaranya kemudian hal itu menyebabkannya merasa ujub; niscaya ia tidak akan meninggal hingga iapun mengerjakan hal yang serupa. Yang demikian itu disebabkan karena ia tidak bertawakal kepada Allah untuk melindunginya dari kejahatan perbuatan itu, tetapi ia hanyalah semata-mata menyandarkan pada kemampuannya untuk menghindari perbuatan buruk tersebut, maka Allah pun menghinakannya hingga ia melakukan perbuatan yang sebelumnya telah dihina.
3. Diharamkannya mencela aib seseorang, sebagaimana hadits ini pula menunjukkan wajibnya untuk menyembunyikan aib mereka dengan menyibukkan diri terhadap aib sendiri. Maka sungguh beruntunglah orang-orang yang disibukkan oleh aibnya dari mengurusi, aib orang lain.
4. Telah disebutkan beberapa dalil lain yang berisi larangan untuk melakukan perbuatan ini, diantaranya: firman Allah Ta'ala, " Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar berita perbuatan yang amat keji itu tersiar dikalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih didunia dan diakhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui," (Qs. An-Nuur: 19).
Watsilah bin Al Asqa`, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda,
"Janganlah engkau menampakkan kegembiraan di atas kesedihan saudaramu; yang akan menyebabkan Allah merahmatinya dan menimpakan kepadamu kesedihan saudaramu itu."
Hal ini disebabkan, karena menampakkan kegembiraan diatas kesedihan orang lain bukanlah merupakan akhlak dan kaum muslim yang mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.
Wallahua’lam
Sabtu, 14 Mei 2011
Penggunaan nama suami dibelakang nama istri
Assalamu’alaikum wr wb..
Telah menjadi suatu kebiasaan dan hal yang “lumrah” di jaman sekarang, seorang istri menggunakan nama suami dibelakang nama dirinya. Hal ini sepertinya untuk menunjukan bahwa wanita ini telah menikah dengan mencantumkan nama suaminya.
Sesungguhnya hal seperti ini tidaklah dikenal dalam budaya dan ajaran Islam. Penisbatan nama suami dibelakang nama istri adalah baru dikenal saat ini dimana kita mulai berinteraksi dengan budaya barat.
Misalnya setelah menikah, seorang wanita yang sebelumnya bernama Santi, namun karena memiliki suami bernama Andi, maka nama wanita itu menjadi Santi Andi. Padahal perbuatan seperti ini sesungguhnya memiliki arti Penisbatan nama wanita tersebut kepada suaminya.
Bagaimanakah hukum Islam tentang penisbatan nama Suami dibelakang nama Istri nya?
Berikut ada paparan dalil dan fatwa ulama tentang “tren” yang banyak terjadi di Negara kita.
Dalam ajaran Islam, Hukum Penamaan adalah hal yang penting. Setiap laki-laki ataupun perempuan hanya diperbolehkan menambahkan “nama ayahnya” di belakang nama dirinya dan mengharamkan menambahkan nama lelaki lain selain ayahnya di belakang namanya, meskipun nama tersebut adalah nama suaminya.
Karena dalam ajaran Islam. Nama lelaki di belakang nama seseorang berarti keturunan atau anak dari lelaki tersebut. Sehingga, tempat tersebut hanya boleh untuk tempat nama ayah kandungnya sebagai penghormatan anak terhadap orang tua kandungnya.
Berbeda dengan budaya barat, seperti istrinya Obama : Michelle Obama yang nama aslinya Michelle LaVaughn Robinson, dan lain-lain.
Hadist mengenai perihal penamaan ini sangat shahih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ أَوْ انْتَمَى إِلَى غَيْرِ مَوَالِيهِ، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ، لاَ يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُ يَوْمَ القِيَامَةِ صَرْفًا وَلاَ عَدْلاً
“Barang siapa yang mengaku sebagai anak kepada selain bapaknya atau menisbatkan dirinya kepada yang bukan walinya, maka baginya laknat ALLAH, malaikat, dan segenap manusia. Pada hari Kiamat nanti, ALLAH tidak akan menerima darinya ibadah yang wajib maupun yang sunnah”
Dikeluarkan oleh Muslim dalam al-Hajj (3327) dan Tirmidzi dalam al-Wala’ wal Habbah bab Ma ja’a fiman tawalla ghoiro mawalihi (2127), Ahmad (616) dari hadits Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu anhu.
Dan dalam riwayat yang lain :
مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيهِ، فَالجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ
“Barang siapa bernasab kepada selain ayahnya dan ia mengetahui bahwa ia bukan ayahnya, maka surga haram baginya.”
Dikeluarkan oleh Bukhori dalam al-Maghozi bab : Ghozwatuth Tho`if (3982), Muslim dalam “al-Iman” (220), Abu Dawud dalam “al-Adab”
Hadist yang juga mendukung hal ini adalah:
لَيْسَ لَهُ فِيهِمْ – أي نسب – فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
Artinya: tidaklah seseorang mendakwakan kepada selain ayahnya sedangkan dia mengetahuinya kecuali dia telah kafir, barangsiapa yang mendakwakan kepada suatu kaum sedangkan dia tidak memiliki nasab dari mereka, maka hendaklah dia memesan tempatnya dalam neraka (Bukhari – 3508)
اللَّهِ وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ ) رواه ابن ماجة (2599) وصححه الألباني في صحيح الجامع (6104
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang menisbatkan dirinya kepada selain ayahnya, maka baginya laknat ALLAH, para malaikat dan manusia seluruhnya”. [HR Ibnu Majah(2599) dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ (6104)]
Pemberlakuan yang dibolehkan ialah dengan memberikan suatu keterangan: misalkan Santi menikah dengan Andi, maka silahkan memperkenalkan diri dengan sebutan: Santi istrinya Andi atau hanya dengan Nyonya Andi atau Ibu Andi.
Hal tersebut di atas tidak berkaitan dengan permasalahan nasab/garis keturunan. Karena di dalam hukum Islam jika Santi menggabungkan namanya menjadi Santi Andi, hal itu berarti Santi anak dari laki-laki yang bernama Andi.
Tidak kita temukan dalam sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan bahwa istri dinisbatkan kepada suaminya, karena para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yaitu para ibu kaum mukminin menikah dengan manusia yang paling mulia nasabnya namun tidak seorang dari mereka yang dinisbatkan kepada nama beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan mereka semua masih dinisbatkan kepada ayah mereka meskipun ayah mereka kafir, demikian pula para istri sahabat radhiallahu anhum dan yang datang setelah mereka tidak pernah mengganti nasab mereka.
Berikut saya kutipkan fatwa para ulama ttg menambahkan nama suami di belakang nama istri
Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta’ (Dewan Fatwa Saudi) juz 20 halaman 379.
Pertanyaan :
Telah umum di sebagian negara, seorang wanita muslimah setelah menikah menisbatkan namanya dengan nama suaminya atau laqobnya. Misalnya: Zainab menikah dengan Zaid, Apakah boleh baginya menuliskan namanya : Zainab Zaid? Ataukah hal tersebut merupakan budaya barat yang harus dijauhi dan berhati-hati dengannya?
Jawab :
Tidak boleh seseorang menisbatkan dirinya kepada selain ayahnya.
Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman:
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah.” [QS al-Ahzab: 5]
Sungguh telah datang ancaman yang keras bagi orang yang menisbatkan kepada selain ayahnya. Maka dari itu tidak boleh seorang wanita menisbatkan dirinya kepada suaminya sebagaimana adat yang berlaku pada kaum kuffar dan yang menyerupai mereka dari kaum muslimin.
وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
al-Lajnah ad-Da’imah lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta’
Ketua : Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Wakil : Abdul Aziz Alu Syaikh
Anggota :
Abdulloh bin ghudayyan
Sholih al-Fauzan
Bakr Abu Zaid
***
Fatwa Syaikh Sholih al-Fauzan hafidzohulloh
Pertanyaan :
Apakah boleh seorang wanita setelah menikah melepaskan nama keluarganya dan mengambil nama suaminya sebagaimana orang barat?
Jawab :
Hal itu tidak diperbolehkan, bernasab kepada selain ayahnya tidak boleh, haram dalam islam.
Haram dalam islam seorang muslim bernasab kepada selain ayahnya baik laki-laki atau wanita. Dan baginya ancaman yang keras dan laknat bagi yang melakukannya yaitu yang bernasab kepada selain ayahnya hal itu tidak boleh selamanya.
***
Kesimpulannya kita sebagai muslim yang memiliki jati diri, yang taat kepada Allah Ta’alaa dan mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hendaklah menghindari hal-hal seperti ini karena adanya larangan tasyabuh dengan mereka apalagi biasanya hal itu hanya ditujukan untuk mencari sensasi.
Wallahu A’lam
Telah menjadi suatu kebiasaan dan hal yang “lumrah” di jaman sekarang, seorang istri menggunakan nama suami dibelakang nama dirinya. Hal ini sepertinya untuk menunjukan bahwa wanita ini telah menikah dengan mencantumkan nama suaminya.
Sesungguhnya hal seperti ini tidaklah dikenal dalam budaya dan ajaran Islam. Penisbatan nama suami dibelakang nama istri adalah baru dikenal saat ini dimana kita mulai berinteraksi dengan budaya barat.
Misalnya setelah menikah, seorang wanita yang sebelumnya bernama Santi, namun karena memiliki suami bernama Andi, maka nama wanita itu menjadi Santi Andi. Padahal perbuatan seperti ini sesungguhnya memiliki arti Penisbatan nama wanita tersebut kepada suaminya.
Bagaimanakah hukum Islam tentang penisbatan nama Suami dibelakang nama Istri nya?
Berikut ada paparan dalil dan fatwa ulama tentang “tren” yang banyak terjadi di Negara kita.
Dalam ajaran Islam, Hukum Penamaan adalah hal yang penting. Setiap laki-laki ataupun perempuan hanya diperbolehkan menambahkan “nama ayahnya” di belakang nama dirinya dan mengharamkan menambahkan nama lelaki lain selain ayahnya di belakang namanya, meskipun nama tersebut adalah nama suaminya.
Karena dalam ajaran Islam. Nama lelaki di belakang nama seseorang berarti keturunan atau anak dari lelaki tersebut. Sehingga, tempat tersebut hanya boleh untuk tempat nama ayah kandungnya sebagai penghormatan anak terhadap orang tua kandungnya.
Berbeda dengan budaya barat, seperti istrinya Obama : Michelle Obama yang nama aslinya Michelle LaVaughn Robinson, dan lain-lain.
Hadist mengenai perihal penamaan ini sangat shahih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ أَوْ انْتَمَى إِلَى غَيْرِ مَوَالِيهِ، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ، لاَ يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُ يَوْمَ القِيَامَةِ صَرْفًا وَلاَ عَدْلاً
“Barang siapa yang mengaku sebagai anak kepada selain bapaknya atau menisbatkan dirinya kepada yang bukan walinya, maka baginya laknat ALLAH, malaikat, dan segenap manusia. Pada hari Kiamat nanti, ALLAH tidak akan menerima darinya ibadah yang wajib maupun yang sunnah”
Dikeluarkan oleh Muslim dalam al-Hajj (3327) dan Tirmidzi dalam al-Wala’ wal Habbah bab Ma ja’a fiman tawalla ghoiro mawalihi (2127), Ahmad (616) dari hadits Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu anhu.
Dan dalam riwayat yang lain :
مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيهِ، فَالجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ
“Barang siapa bernasab kepada selain ayahnya dan ia mengetahui bahwa ia bukan ayahnya, maka surga haram baginya.”
Dikeluarkan oleh Bukhori dalam al-Maghozi bab : Ghozwatuth Tho`if (3982), Muslim dalam “al-Iman” (220), Abu Dawud dalam “al-Adab”
Hadist yang juga mendukung hal ini adalah:
لَيْسَ لَهُ فِيهِمْ – أي نسب – فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
Artinya: tidaklah seseorang mendakwakan kepada selain ayahnya sedangkan dia mengetahuinya kecuali dia telah kafir, barangsiapa yang mendakwakan kepada suatu kaum sedangkan dia tidak memiliki nasab dari mereka, maka hendaklah dia memesan tempatnya dalam neraka (Bukhari – 3508)
اللَّهِ وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ ) رواه ابن ماجة (2599) وصححه الألباني في صحيح الجامع (6104
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang menisbatkan dirinya kepada selain ayahnya, maka baginya laknat ALLAH, para malaikat dan manusia seluruhnya”. [HR Ibnu Majah(2599) dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ (6104)]
Pemberlakuan yang dibolehkan ialah dengan memberikan suatu keterangan: misalkan Santi menikah dengan Andi, maka silahkan memperkenalkan diri dengan sebutan: Santi istrinya Andi atau hanya dengan Nyonya Andi atau Ibu Andi.
Hal tersebut di atas tidak berkaitan dengan permasalahan nasab/garis keturunan. Karena di dalam hukum Islam jika Santi menggabungkan namanya menjadi Santi Andi, hal itu berarti Santi anak dari laki-laki yang bernama Andi.
Tidak kita temukan dalam sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan bahwa istri dinisbatkan kepada suaminya, karena para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yaitu para ibu kaum mukminin menikah dengan manusia yang paling mulia nasabnya namun tidak seorang dari mereka yang dinisbatkan kepada nama beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan mereka semua masih dinisbatkan kepada ayah mereka meskipun ayah mereka kafir, demikian pula para istri sahabat radhiallahu anhum dan yang datang setelah mereka tidak pernah mengganti nasab mereka.
Berikut saya kutipkan fatwa para ulama ttg menambahkan nama suami di belakang nama istri
Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta’ (Dewan Fatwa Saudi) juz 20 halaman 379.
Pertanyaan :
Telah umum di sebagian negara, seorang wanita muslimah setelah menikah menisbatkan namanya dengan nama suaminya atau laqobnya. Misalnya: Zainab menikah dengan Zaid, Apakah boleh baginya menuliskan namanya : Zainab Zaid? Ataukah hal tersebut merupakan budaya barat yang harus dijauhi dan berhati-hati dengannya?
Jawab :
Tidak boleh seseorang menisbatkan dirinya kepada selain ayahnya.
Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman:
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah.” [QS al-Ahzab: 5]
Sungguh telah datang ancaman yang keras bagi orang yang menisbatkan kepada selain ayahnya. Maka dari itu tidak boleh seorang wanita menisbatkan dirinya kepada suaminya sebagaimana adat yang berlaku pada kaum kuffar dan yang menyerupai mereka dari kaum muslimin.
وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
al-Lajnah ad-Da’imah lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta’
Ketua : Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Wakil : Abdul Aziz Alu Syaikh
Anggota :
Abdulloh bin ghudayyan
Sholih al-Fauzan
Bakr Abu Zaid
***
Fatwa Syaikh Sholih al-Fauzan hafidzohulloh
Pertanyaan :
Apakah boleh seorang wanita setelah menikah melepaskan nama keluarganya dan mengambil nama suaminya sebagaimana orang barat?
Jawab :
Hal itu tidak diperbolehkan, bernasab kepada selain ayahnya tidak boleh, haram dalam islam.
Haram dalam islam seorang muslim bernasab kepada selain ayahnya baik laki-laki atau wanita. Dan baginya ancaman yang keras dan laknat bagi yang melakukannya yaitu yang bernasab kepada selain ayahnya hal itu tidak boleh selamanya.
***
Kesimpulannya kita sebagai muslim yang memiliki jati diri, yang taat kepada Allah Ta’alaa dan mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hendaklah menghindari hal-hal seperti ini karena adanya larangan tasyabuh dengan mereka apalagi biasanya hal itu hanya ditujukan untuk mencari sensasi.
Wallahu A’lam
Selasa, 10 Mei 2011
HIKMAH DIBALIK PENCIPTAAN JIN DAN MANUSIA
Assalamu’alaikum wr wb.
Jaman yang kita alami sekarang ini, tidak jauh berbeda dengan jaman Jahiliyah sebelum Rosul diutus. Pada jaman sebelum Rosul diutus, masyarakat Arab Jahiliyah banyak mencari sembahan-sembahan selain Allah (dengan membuat patung-patung berhala). Sedangkan pada jaman sekarang ini, kita lihat betapa banyak manusia “dikarenakan tingginya tuntutan hidup”, berusaha mencari rejeki dengan cara-cara yang tidak diijinkan Allah, seperti pergi ke Paranormal, ke dukun, dan yang serupa seperti itu. Banyak manusia melupakan prinsip qona’ah dalam hidup ini sesuai yang diajarkan oleh Rosul, sehingga banyak diantara kita berusaha “menghalalkan segala cara” sampai dengan melanggar konsep Tauhid, dengan pergi ke dukun, paranormal maupun yang lainnya untuk mengetahui peruntungannya,, juga percaya kepada fengshui, dan yang sejenisnya.
Dahulu pada saat Rosulullah diutus menjadi Rosul, beliau khusus berdakwah tentang pemurnian Tauhid selama 13 Tahun di Mekkah. Maka sudah selayaknya, saat ini di jaman kita sekarang, kita harus kembali mempelajari dan mendalami pemurnian Tauhid, agar kita bisa selamat hidup di dunia ini dan bisa bertemu dengan Allah kelak di Surga…Amiiinnn..
Berikut ada beberapa kutipan ayat dan hadits (ringkasan), penjelasan dari Syarah Kitab Tauhid karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah yang akan dibagi menjadi beberapa artikel… Semoga bisa bermanfaat dan menjaga Tauhid kita agar tidak ternoda dengan syirik-syirik kecil apalagi yang besar…
Hikmah di balik penciptaan jin dan manusia, yakni agar menyembah Allah, serta penolakan terhadap segala objek sesembahan selain Allah.
Allah berfirman:
'Dan Aku tidak menciptakan jin dan Manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rizqi dari mereka sedikit pun dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha pemberi rizqi yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh."(QS. 51: 56-58)
Allah SWT menerangkan kita bahwa Dialah yang menciptakan jin dan manusia, dan tujuan dari penciptaan mereka adalah agar mereka beribadah hanya kepada-Nya saja, dan menjauhi menyembah selain-Nya. Dia tidak menciptakan mereka untuk keuntungan-Nya, melainkan agar menyembah-Nya semata; Dia telah menjamin segala kebutuhan mereka, sesungguhnya Dialah yang Maha Terpercaya dalam menepati janji dan Dia mampu memenuhinya, karena Dialah yang Maha Kuasa.
Seperti dijelaskan di atas, bahwa manusia diciptakan adalah untuk beribadah, maka kemudian yang harus kita ketahui adalah, ibadah yang seperti apa? Apakah ibadah ini adalah yang dimaksud dengan sholat, dzikir, puasa dan ibadah seperti itu saja.
Berikut ada penjelasan yang cukup jelas dari Syaikhul Ibnu Taimiyah Rahimahullah, sbb :
Beliau rahimahullah mengatakan, “Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir). Maka shalat, zakat, puasa, haji, berbicara jujur, menunaikan amanah, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali kekerabatan, menepati janji, memerintahkan yang ma’ruf, melarang dari yang munkar, berjihad melawan orang-orang kafir dan munafiq, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil (orang yang kehabisan bekal di perjalanan), berbuat baik kepada orang atau hewan yang dijadikan sebagai pekerja, memanjatkan do’a, berdzikir, membaca Al Qur’an dan lain sebagainya adalah termasuk bagian dari ibadah. Begitu pula rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, takut kepada Allah, inabah (kembali taat) kepada-Nya, memurnikan agama (amal ketaatan) hanya untuk-Nya, bersabar terhadap keputusan (takdir)-Nya, bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya, merasa ridha terhadap qadha/takdir-Nya, tawakal kepada-Nya, mengharapkan rahmat (kasih sayang)-Nya, merasa takut dari siksa-Nya dan lain sebagainya itu semua juga termasuk bagian dari ibadah kepada Allah.” (Al ‘Ubudiyah, cet. Maktabah Darul Balagh hal. 6).
Dari ayat diatas juga terkandung pengertian bahwa Allah lah satu-satunya pemberi Rizki, bukan manusia maupun yang lain. Maka kita dilarang “meminta-minta” kepada manusia, namun bila kita meminta, haruslah kepada Allah.
Sesuai dengan hadits berikut ini yang diambil dari Dalam Kitab Shahih Al Jami’ disebutkan sebuah hadits dari Rasulullah SAW yang berbunyi: “Sesungguhnya malaikat Jibril menghembuskan ke dalam hatiku bahwasanya jiwa hanya akan mati sampai tiba masanya dan memperoleh rezekinya, maka bertakwalah kepada Allah, carilah nafkah yang baik, jangan bermalas-malasan dalam mencari rezeki, terlebih mencarinya dengan bermaksiat kepada Allah karena sesungguhnya Allah tidak akan memberikan apa yang dicarinya kecuali dengan taat kepadaNya.”(HR Abu Dzar dan HR Hakim)
Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah dan carilah nafkah dengan cara yang baik, karena sesungguhnya seseorang sekali-kali tidak akan meninggal dunia sebelum rezekinya disempurnakan, sekalipun rezekinya terlambat (datang) kepadanya. Maka, bertakwalah kepada Allah dan carilah rezeki dengan cara yang baik, ambillah yang halal dan tinggalkanlah yang haram." (Hadits shahih, Shahih Ibnu Majah no. 1743 dan Ibnu Majah II: 725 no. 214)
Yakinlah sesuai dengan hadits diatas, bahwa Allah lah pemberi rejeki, sementara manusia hanyalah sebagai salah satu jalan sampainya rejeki dari Allah kepada kita.
Marilah kita berusaha untuk Memurnikan Tauhid kita, membersihkan diri kita dari syirik besar maupun kecil, karena sesuai dalam ayat Al Qur’an yang lain yang mengatakan ,” Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (An Nisaa :116)
Wallahua’lam bishowab.
Jaman yang kita alami sekarang ini, tidak jauh berbeda dengan jaman Jahiliyah sebelum Rosul diutus. Pada jaman sebelum Rosul diutus, masyarakat Arab Jahiliyah banyak mencari sembahan-sembahan selain Allah (dengan membuat patung-patung berhala). Sedangkan pada jaman sekarang ini, kita lihat betapa banyak manusia “dikarenakan tingginya tuntutan hidup”, berusaha mencari rejeki dengan cara-cara yang tidak diijinkan Allah, seperti pergi ke Paranormal, ke dukun, dan yang serupa seperti itu. Banyak manusia melupakan prinsip qona’ah dalam hidup ini sesuai yang diajarkan oleh Rosul, sehingga banyak diantara kita berusaha “menghalalkan segala cara” sampai dengan melanggar konsep Tauhid, dengan pergi ke dukun, paranormal maupun yang lainnya untuk mengetahui peruntungannya,, juga percaya kepada fengshui, dan yang sejenisnya.
Dahulu pada saat Rosulullah diutus menjadi Rosul, beliau khusus berdakwah tentang pemurnian Tauhid selama 13 Tahun di Mekkah. Maka sudah selayaknya, saat ini di jaman kita sekarang, kita harus kembali mempelajari dan mendalami pemurnian Tauhid, agar kita bisa selamat hidup di dunia ini dan bisa bertemu dengan Allah kelak di Surga…Amiiinnn..
Berikut ada beberapa kutipan ayat dan hadits (ringkasan), penjelasan dari Syarah Kitab Tauhid karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah yang akan dibagi menjadi beberapa artikel… Semoga bisa bermanfaat dan menjaga Tauhid kita agar tidak ternoda dengan syirik-syirik kecil apalagi yang besar…
Hikmah di balik penciptaan jin dan manusia, yakni agar menyembah Allah, serta penolakan terhadap segala objek sesembahan selain Allah.
Allah berfirman:
'Dan Aku tidak menciptakan jin dan Manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rizqi dari mereka sedikit pun dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha pemberi rizqi yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh."(QS. 51: 56-58)
Allah SWT menerangkan kita bahwa Dialah yang menciptakan jin dan manusia, dan tujuan dari penciptaan mereka adalah agar mereka beribadah hanya kepada-Nya saja, dan menjauhi menyembah selain-Nya. Dia tidak menciptakan mereka untuk keuntungan-Nya, melainkan agar menyembah-Nya semata; Dia telah menjamin segala kebutuhan mereka, sesungguhnya Dialah yang Maha Terpercaya dalam menepati janji dan Dia mampu memenuhinya, karena Dialah yang Maha Kuasa.
Seperti dijelaskan di atas, bahwa manusia diciptakan adalah untuk beribadah, maka kemudian yang harus kita ketahui adalah, ibadah yang seperti apa? Apakah ibadah ini adalah yang dimaksud dengan sholat, dzikir, puasa dan ibadah seperti itu saja.
Berikut ada penjelasan yang cukup jelas dari Syaikhul Ibnu Taimiyah Rahimahullah, sbb :
Beliau rahimahullah mengatakan, “Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir). Maka shalat, zakat, puasa, haji, berbicara jujur, menunaikan amanah, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali kekerabatan, menepati janji, memerintahkan yang ma’ruf, melarang dari yang munkar, berjihad melawan orang-orang kafir dan munafiq, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil (orang yang kehabisan bekal di perjalanan), berbuat baik kepada orang atau hewan yang dijadikan sebagai pekerja, memanjatkan do’a, berdzikir, membaca Al Qur’an dan lain sebagainya adalah termasuk bagian dari ibadah. Begitu pula rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, takut kepada Allah, inabah (kembali taat) kepada-Nya, memurnikan agama (amal ketaatan) hanya untuk-Nya, bersabar terhadap keputusan (takdir)-Nya, bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya, merasa ridha terhadap qadha/takdir-Nya, tawakal kepada-Nya, mengharapkan rahmat (kasih sayang)-Nya, merasa takut dari siksa-Nya dan lain sebagainya itu semua juga termasuk bagian dari ibadah kepada Allah.” (Al ‘Ubudiyah, cet. Maktabah Darul Balagh hal. 6).
Dari ayat diatas juga terkandung pengertian bahwa Allah lah satu-satunya pemberi Rizki, bukan manusia maupun yang lain. Maka kita dilarang “meminta-minta” kepada manusia, namun bila kita meminta, haruslah kepada Allah.
Sesuai dengan hadits berikut ini yang diambil dari Dalam Kitab Shahih Al Jami’ disebutkan sebuah hadits dari Rasulullah SAW yang berbunyi: “Sesungguhnya malaikat Jibril menghembuskan ke dalam hatiku bahwasanya jiwa hanya akan mati sampai tiba masanya dan memperoleh rezekinya, maka bertakwalah kepada Allah, carilah nafkah yang baik, jangan bermalas-malasan dalam mencari rezeki, terlebih mencarinya dengan bermaksiat kepada Allah karena sesungguhnya Allah tidak akan memberikan apa yang dicarinya kecuali dengan taat kepadaNya.”(HR Abu Dzar dan HR Hakim)
Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah dan carilah nafkah dengan cara yang baik, karena sesungguhnya seseorang sekali-kali tidak akan meninggal dunia sebelum rezekinya disempurnakan, sekalipun rezekinya terlambat (datang) kepadanya. Maka, bertakwalah kepada Allah dan carilah rezeki dengan cara yang baik, ambillah yang halal dan tinggalkanlah yang haram." (Hadits shahih, Shahih Ibnu Majah no. 1743 dan Ibnu Majah II: 725 no. 214)
Yakinlah sesuai dengan hadits diatas, bahwa Allah lah pemberi rejeki, sementara manusia hanyalah sebagai salah satu jalan sampainya rejeki dari Allah kepada kita.
Marilah kita berusaha untuk Memurnikan Tauhid kita, membersihkan diri kita dari syirik besar maupun kecil, karena sesuai dalam ayat Al Qur’an yang lain yang mengatakan ,” Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (An Nisaa :116)
Wallahua’lam bishowab.
Sabtu, 07 Mei 2011
Zakat Pada Barang yang tidak produktif?
Oleh: Farid Nu’man Hasan
Pertanyaan:
Assalamu'alaikum Ustadz
Semoga ustadz beserta keluarga selalu dalam lindungan Nya dan dalam kondisi Sehat wal afiat selalu.
Saya mau menanyakan tentang Zakat. Beberapa waktu yang lalu, saya mendengar dari salah satu Ustadz, ditempat saya mengaji, bahwa Zakat Maal itu adalah diambil dari Harta Emas, Perak dan yang sesuai dengan hadits (bila peternakan, nilainya sekian dan bila pertanian, nilainya sekian, tergantung sistem pertaniannya dll).
Ustadz di tempat saya mengaji mengatakan bila harta kita berupa selain yang disebutkan diatas tidak diwajibkan di zakati. Misalnya saya memiliki rumah 3 unit, mobil 5 unit, maka rumah ke 2, mobil ke 2 dst tidak perlu dizakati, walaupun kita dikatakan orang yang lebih dari cukup, (masuk nisab harta bila dihitung).
Mohon penjelasan ustadz, apakah pendapat tersebut benar, karena ustadz yang ditempat saya mengatakan, kalo ada kelebihan harta (selain emas, perak, uang dll) cukup di sedekahkan saja, bukan masuk dari kriteria zakat. (@abu ammar)
Jawaban:
Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah wa ‘ala aalihi wa ashhabihi wa man waalah, wa ba’d:
Jazakallah khairan atas doanya, Alhamdulillah sampai saat ini saya dan keluarga dalam keadaan sehat ..
Ya, tidak ada zakat pada harta yang kita gunakan sendiri seperti rumah, kendaraan, pakaian, walaupun berjumlah banyak kecuali jika itu diperdagangkan . Nah, jika seseorang membeli barang-barang tersebut untuk dijual, maka barang tersebut wajib dikeluarkan zakatnya jika sudah mencapai nishabnya dan jika sudah satu haul (setahun), yaitu dengan cara ditaksir harganya dan dikeluarkan dalam bentuk harganya itu, sebanyak 1/40 harganya. Itu kategori Zakat At Tijarah (zakat perniagaan).
Abu Amr bin Himas menceritakan, bahwa ayahnya menjual kulit dan alat-alat yang terbuat dari kulit, lalu Umar bin Al Khathab berkata kepadanya:
يَا حِمَاسُ ، أَدِّ زَكَاةَ مَالَك ، فَقَالَ : وَاللَّهِ مَا لِي مَالٌ ، إنَّمَا أَبِيعُ الأَدَمَ وَالْجِعَابَ ، فَقَالَ : قَوِّمْهُ وَأَدِّ زَكَاتَهُ.
“Wahai Himas, tunaikanlah zakat hartamu itu.” Beliau menjawab: “Demi Allah, saya tidak punya harta, sesungguhnya saya cuma menjual kulit.” Umar berkata: “Perkirakan harganya, dan keluarkan zakatnya!” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 10557, Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 7099, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 7392)
Ada pun untuk barang-barang yang tidak produktif, baik dipakai sendiri, atau mengendap saja di rumah, seperti perabot, kendaraan, tanah, dan semisalnya tidaklah kena zakat, kecuali produktif, yaitu disewakan, dijual, atau hasil tanahnya dijual, maka itu yang dizakatkan, jika sudah mencapai nishab.
Untuk mempertegasnya akan saya sampaikan beberapa fatwa para ulama dalam hal barang yang tidak produktif.
1. Fatwa Syaikh Abdul Karim bin Abdullah Al Khudhair
السؤال: اشترى رجل أرضاً يريد أن يبني عليها استثماراً بعد سنة من شرائها فهل يجب عليه فيها الزكاة في هذه السنة وما بعدها؟
الجواب:
أرض الاستثمار لا تجب الزكاة في عينها، اللهم إلا إذا اشتريت هذه الأرض بنية التجارة ليبيع هذه الأرض، أي: يُتاجر فيها، أما أن يقيم عليها مشروعاً يستغل فإن الزكاة في نتاجه، في أجرته، فيما يخرجه من غلة وما أشبه ذلك، أما أصل الأرض ليس عليها زكاة، هذا يريد أن يقيم عليها مشروعاً، فإذا أقام المشروع وأخذ المشروع في الإنتاج فالزكاة معروفة، فإذا أقام عليها مشروعاً سكنياً مثلاً وأجّر هذا المشروع فإن الزكاة في الأجرة وليست في الأرض، ولا في العمارة، إنما الزكاة في الأجرة، لو أقام عليها زراعة فالزكاة في ثمرتها، وهكذا، لكن لو أقام عليها محلاً تجارياً وملأه بالبضائع المعدة للتجارة فالزكاة على البضائع، والمبنى لا زكاة عليه، الزكاة على البضائع تُقَوَّم كلما حال عليها الحول وتزكّى.
Pertanyaan:
“Ada seseorang yang memberi tanah dan ia ingin membangun kebun di sana. Setelah satu tahun dari waktu pembeliannya, apakah ia harus mengeluarkan zakat dari tanah tersebut dan begitu pula tahun selanjutnya?”
Jawab,
Tanah yang dijadikan kebun tidak wajib untuk dizakati. Kecuali jika tanah tersebut ingin dibisniskan. Adapun jika di tanah tersebut ditanam sesuatu, maka zakatnya adalah dari tanaman tersebut atau dari penjualannya yang merupakan hasil dari tanah tersebut. Jadi, tanah itu sendiri tidak ada zakatnya. Baru ada zakat, jika tanah tersebut dimanfaatkan. Jika pemanfaatn itu memiliki hasil, itulah yang dikenai zakat. Jika tanah tersebut memiliki bangunan (misalnya), lalu ada keuntungan dari bangunan tersebut, maka zakat ditarik dari keuntungannya dan bukan ditarik dari tanah dan bukan pula ditarik dari kontruksi bangunan. Sekali lagi zakatnya ditarik dari hasil (keuntungan) tadi. Jika tanah tersebut terdapat tanaman, maka zakatnya ditarik dari hasil tanaman (yaitu buah, dll). Demikian seterusnya. Jika di atas tanah tersebut didirikan sesuatu yang diperdagangkan, maka zakatnya diambil dari hasil perdagangan barang tersebut. Sedangkan bangunannya tidak dikenai zakat apa-apa. Zakat hanya diambil dari keuntungan penjualan barang-barang dagangan yang ada. Ketika keuntungan tersebut telah bertahan satu tahun (haul), maka barulah dikeluarkan zakatnya.
(sumber: http://www.khudheir.com/text/4312)
1. Syaikh muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah
أما السؤال الثاني وهو الأرض التي اشتراها ليبني عليها بناء ولكنه لم يتمكن من البناء عليها لعدم وجود ما يبنيها به فإنه ليس فيها زكاة لأن العقارات التي لا تعد في البيع والشراء أي لا يريد التكسب ببيعها وشرائها ليس فيها زكاة لأنها من العروض والعروض لا تجب فيها الزكاة إلا إذا قصد بها الاتجار وعلى هذا فليس عليه زكاة في هذه الأرض ولو بقيت سنوات كما أنه ليس عليها زكاة إذا بناها أيضاً واستغلها لكن إذا استغلها فإن عليه الزكاة في أجرتها.
Adapun pertanyaan kedua, tanah yang dibeli untuk didirikan bangunan di atasnya, maka dia tidak ada zakat karena tanah milik yang tidak dipersiapkan untuk dijualbelikan yaitu yang tidak diambil keuntungan dari jual belinya, tidaklah terkena zakat, karena itu termasuk harta yang ditempati, dan harta seperti itu tidak wajib dizakatkan kecuali jika dimaksudkan untuk dijual, oleh karena itu tidak ada zakat atas tanah itu, walau pun keberadaannya bertahun-tahun lamanya, dan tidak pula ada zakat jika didirikan bangunan dan ditanamkan sesuatu di atasnya, tetapi jika ditanamkan sesuatu maka zakatnya ada pada harga tanaman itu (jika dijual). (Fatawa Nur ‘Alad Darb, Az Zakah wash Shiyam, No. 199)
Dalam fatwanya yang lain:
س ـ أمتلك قطعة أرض ، ولا أستفيد منها ، وأتركها لوقت الحاجة ، فهل يجب علي أن أخرج زكاة عن هذه الأرض ؟ .. وإذا أخرجت الزكاة هل علي أن أقدر ثمنها في كل مرة ؟
ج ـ ليس عليك زكاة في هذه الأرض لأن العروض إنما تجب الزكاة في قيمتها ، إذا أعدت للتجارة ، والأرض والعقارات والسيارات والفرش ونحوها عروض لا تجب الزكاة في عينها ، فإن قصد بها المال أعني الدراهم بحيث تعد للبيع والشراء والاتجار ، وجبت الزكاة في قيمتها . وإن لم تعد كمثل سؤالك فإن هذه ليست فيها زكاة .
Pertanyaan:
Saya mempunyai sebidang tanah, namun tidak menghasilkan apa-apa dan saya biarkan begitu saja. Wajibkah saya mengeluarkan zakat tanah tersebut ? Jika dikeluarkan zakatnya, wajibkah saya memperhitungkan zakatnya ?
JAWAB AN:
Tanah seperti ini tidak wajib dizakati. Semua barang wajib dizakati saat diperdagangkan. Pada dasarnya tanah, berbagai tanah milik (‘aqarat), kendaraan atau barang-barang lainnya, maka semuannya termasuk harta pemilikan dan tidak wajib dizakati kecuali jika dimaksudkan memperoleh uang, yakni diperjualbelikan atau diperdagangkan. (Fatawa Islamiyah, 2/140. Disusun oleh Muhammad bin Abdul Aziz Al Musnad)
2. Syaikh Muhammad Khaathir Rahimahullah (mufti Mesir pada zamannya)
Katanya:
لا تجب فى الأرض المعدة للبناء زكاة إلا إذا نوى التجارة بشأنها
Tanah yang dipersiapkan untuk didirikan bangunan tidak wajib dizakati, kecuali diniatkan untuk dibisniskan dengan mengembangkannya. (Fatawa Al Azhar, 1/157. Fatwa 15 Muharam 1398)
3. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Rahimahullah (Mufti Arab Saudi pada zamannya)
س : إذا كان لدى الإنسان قطعة أرض ولا يستطيع بناءها ولا الاستفادة منها ، فهل تجب فيها الزكاة ؟
ج : إذا أعدها للبيع وجبت فيها الزكاة ، وإن لم يعدها للبيع أو تردد في ذلك ولم يجزم بشيء ، أو أعدها للتأجير فليس عليه عنها زكاة ، كما نص على ذلك أهل العلم ؛ لما روى أبو داود رحمه الله عن سمرة بن جندب -رضي الله عنه- قال : « أمرنا رسول الله -صلى الله عليه وسلم- أن نخرج الصدقة مما نعده للبيع » .
Pertanyaan:
Jika manusia punya sebidang tanah dan dia tidak mampu mendirikan bangunan dan tidak pula bisa memanfaatkannya, apakah tanah itu wajib dizakati?
Jawaban:
Jika dia mempersiapkannya untuk dijual maka wajib dikelurkan zakat, jika tidak untuk dijual atau ragu-ragu dan belum pasti, atau tidak untuk disewa, maka tidak ada kewajiban zakat atasnya. Sebagaimana ulama katakan tentang hal itu, karena telah diriwayatkan oleh Abu Daud Rahimahullah, dari Samurah bin Jundub Radhiallahu ‘Anhu, katanya: “Kami diperintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengeluarkan zakat dari apa-apa yang diperdagangkan.” (Majalah Al Buhuts Al Islamiyah, 56/124)
Selesai. Wallahu A’lam
Pertanyaan:
Assalamu'alaikum Ustadz
Semoga ustadz beserta keluarga selalu dalam lindungan Nya dan dalam kondisi Sehat wal afiat selalu.
Saya mau menanyakan tentang Zakat. Beberapa waktu yang lalu, saya mendengar dari salah satu Ustadz, ditempat saya mengaji, bahwa Zakat Maal itu adalah diambil dari Harta Emas, Perak dan yang sesuai dengan hadits (bila peternakan, nilainya sekian dan bila pertanian, nilainya sekian, tergantung sistem pertaniannya dll).
Ustadz di tempat saya mengaji mengatakan bila harta kita berupa selain yang disebutkan diatas tidak diwajibkan di zakati. Misalnya saya memiliki rumah 3 unit, mobil 5 unit, maka rumah ke 2, mobil ke 2 dst tidak perlu dizakati, walaupun kita dikatakan orang yang lebih dari cukup, (masuk nisab harta bila dihitung).
Mohon penjelasan ustadz, apakah pendapat tersebut benar, karena ustadz yang ditempat saya mengatakan, kalo ada kelebihan harta (selain emas, perak, uang dll) cukup di sedekahkan saja, bukan masuk dari kriteria zakat. (@abu ammar)
Jawaban:
Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah wa ‘ala aalihi wa ashhabihi wa man waalah, wa ba’d:
Jazakallah khairan atas doanya, Alhamdulillah sampai saat ini saya dan keluarga dalam keadaan sehat ..
Ya, tidak ada zakat pada harta yang kita gunakan sendiri seperti rumah, kendaraan, pakaian, walaupun berjumlah banyak kecuali jika itu diperdagangkan . Nah, jika seseorang membeli barang-barang tersebut untuk dijual, maka barang tersebut wajib dikeluarkan zakatnya jika sudah mencapai nishabnya dan jika sudah satu haul (setahun), yaitu dengan cara ditaksir harganya dan dikeluarkan dalam bentuk harganya itu, sebanyak 1/40 harganya. Itu kategori Zakat At Tijarah (zakat perniagaan).
Abu Amr bin Himas menceritakan, bahwa ayahnya menjual kulit dan alat-alat yang terbuat dari kulit, lalu Umar bin Al Khathab berkata kepadanya:
يَا حِمَاسُ ، أَدِّ زَكَاةَ مَالَك ، فَقَالَ : وَاللَّهِ مَا لِي مَالٌ ، إنَّمَا أَبِيعُ الأَدَمَ وَالْجِعَابَ ، فَقَالَ : قَوِّمْهُ وَأَدِّ زَكَاتَهُ.
“Wahai Himas, tunaikanlah zakat hartamu itu.” Beliau menjawab: “Demi Allah, saya tidak punya harta, sesungguhnya saya cuma menjual kulit.” Umar berkata: “Perkirakan harganya, dan keluarkan zakatnya!” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf No. 10557, Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 7099, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 7392)
Ada pun untuk barang-barang yang tidak produktif, baik dipakai sendiri, atau mengendap saja di rumah, seperti perabot, kendaraan, tanah, dan semisalnya tidaklah kena zakat, kecuali produktif, yaitu disewakan, dijual, atau hasil tanahnya dijual, maka itu yang dizakatkan, jika sudah mencapai nishab.
Untuk mempertegasnya akan saya sampaikan beberapa fatwa para ulama dalam hal barang yang tidak produktif.
1. Fatwa Syaikh Abdul Karim bin Abdullah Al Khudhair
السؤال: اشترى رجل أرضاً يريد أن يبني عليها استثماراً بعد سنة من شرائها فهل يجب عليه فيها الزكاة في هذه السنة وما بعدها؟
الجواب:
أرض الاستثمار لا تجب الزكاة في عينها، اللهم إلا إذا اشتريت هذه الأرض بنية التجارة ليبيع هذه الأرض، أي: يُتاجر فيها، أما أن يقيم عليها مشروعاً يستغل فإن الزكاة في نتاجه، في أجرته، فيما يخرجه من غلة وما أشبه ذلك، أما أصل الأرض ليس عليها زكاة، هذا يريد أن يقيم عليها مشروعاً، فإذا أقام المشروع وأخذ المشروع في الإنتاج فالزكاة معروفة، فإذا أقام عليها مشروعاً سكنياً مثلاً وأجّر هذا المشروع فإن الزكاة في الأجرة وليست في الأرض، ولا في العمارة، إنما الزكاة في الأجرة، لو أقام عليها زراعة فالزكاة في ثمرتها، وهكذا، لكن لو أقام عليها محلاً تجارياً وملأه بالبضائع المعدة للتجارة فالزكاة على البضائع، والمبنى لا زكاة عليه، الزكاة على البضائع تُقَوَّم كلما حال عليها الحول وتزكّى.
Pertanyaan:
“Ada seseorang yang memberi tanah dan ia ingin membangun kebun di sana. Setelah satu tahun dari waktu pembeliannya, apakah ia harus mengeluarkan zakat dari tanah tersebut dan begitu pula tahun selanjutnya?”
Jawab,
Tanah yang dijadikan kebun tidak wajib untuk dizakati. Kecuali jika tanah tersebut ingin dibisniskan. Adapun jika di tanah tersebut ditanam sesuatu, maka zakatnya adalah dari tanaman tersebut atau dari penjualannya yang merupakan hasil dari tanah tersebut. Jadi, tanah itu sendiri tidak ada zakatnya. Baru ada zakat, jika tanah tersebut dimanfaatkan. Jika pemanfaatn itu memiliki hasil, itulah yang dikenai zakat. Jika tanah tersebut memiliki bangunan (misalnya), lalu ada keuntungan dari bangunan tersebut, maka zakat ditarik dari keuntungannya dan bukan ditarik dari tanah dan bukan pula ditarik dari kontruksi bangunan. Sekali lagi zakatnya ditarik dari hasil (keuntungan) tadi. Jika tanah tersebut terdapat tanaman, maka zakatnya ditarik dari hasil tanaman (yaitu buah, dll). Demikian seterusnya. Jika di atas tanah tersebut didirikan sesuatu yang diperdagangkan, maka zakatnya diambil dari hasil perdagangan barang tersebut. Sedangkan bangunannya tidak dikenai zakat apa-apa. Zakat hanya diambil dari keuntungan penjualan barang-barang dagangan yang ada. Ketika keuntungan tersebut telah bertahan satu tahun (haul), maka barulah dikeluarkan zakatnya.
(sumber: http://www.khudheir.com/text/4312)
1. Syaikh muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah
أما السؤال الثاني وهو الأرض التي اشتراها ليبني عليها بناء ولكنه لم يتمكن من البناء عليها لعدم وجود ما يبنيها به فإنه ليس فيها زكاة لأن العقارات التي لا تعد في البيع والشراء أي لا يريد التكسب ببيعها وشرائها ليس فيها زكاة لأنها من العروض والعروض لا تجب فيها الزكاة إلا إذا قصد بها الاتجار وعلى هذا فليس عليه زكاة في هذه الأرض ولو بقيت سنوات كما أنه ليس عليها زكاة إذا بناها أيضاً واستغلها لكن إذا استغلها فإن عليه الزكاة في أجرتها.
Adapun pertanyaan kedua, tanah yang dibeli untuk didirikan bangunan di atasnya, maka dia tidak ada zakat karena tanah milik yang tidak dipersiapkan untuk dijualbelikan yaitu yang tidak diambil keuntungan dari jual belinya, tidaklah terkena zakat, karena itu termasuk harta yang ditempati, dan harta seperti itu tidak wajib dizakatkan kecuali jika dimaksudkan untuk dijual, oleh karena itu tidak ada zakat atas tanah itu, walau pun keberadaannya bertahun-tahun lamanya, dan tidak pula ada zakat jika didirikan bangunan dan ditanamkan sesuatu di atasnya, tetapi jika ditanamkan sesuatu maka zakatnya ada pada harga tanaman itu (jika dijual). (Fatawa Nur ‘Alad Darb, Az Zakah wash Shiyam, No. 199)
Dalam fatwanya yang lain:
س ـ أمتلك قطعة أرض ، ولا أستفيد منها ، وأتركها لوقت الحاجة ، فهل يجب علي أن أخرج زكاة عن هذه الأرض ؟ .. وإذا أخرجت الزكاة هل علي أن أقدر ثمنها في كل مرة ؟
ج ـ ليس عليك زكاة في هذه الأرض لأن العروض إنما تجب الزكاة في قيمتها ، إذا أعدت للتجارة ، والأرض والعقارات والسيارات والفرش ونحوها عروض لا تجب الزكاة في عينها ، فإن قصد بها المال أعني الدراهم بحيث تعد للبيع والشراء والاتجار ، وجبت الزكاة في قيمتها . وإن لم تعد كمثل سؤالك فإن هذه ليست فيها زكاة .
Pertanyaan:
Saya mempunyai sebidang tanah, namun tidak menghasilkan apa-apa dan saya biarkan begitu saja. Wajibkah saya mengeluarkan zakat tanah tersebut ? Jika dikeluarkan zakatnya, wajibkah saya memperhitungkan zakatnya ?
JAWAB AN:
Tanah seperti ini tidak wajib dizakati. Semua barang wajib dizakati saat diperdagangkan. Pada dasarnya tanah, berbagai tanah milik (‘aqarat), kendaraan atau barang-barang lainnya, maka semuannya termasuk harta pemilikan dan tidak wajib dizakati kecuali jika dimaksudkan memperoleh uang, yakni diperjualbelikan atau diperdagangkan. (Fatawa Islamiyah, 2/140. Disusun oleh Muhammad bin Abdul Aziz Al Musnad)
2. Syaikh Muhammad Khaathir Rahimahullah (mufti Mesir pada zamannya)
Katanya:
لا تجب فى الأرض المعدة للبناء زكاة إلا إذا نوى التجارة بشأنها
Tanah yang dipersiapkan untuk didirikan bangunan tidak wajib dizakati, kecuali diniatkan untuk dibisniskan dengan mengembangkannya. (Fatawa Al Azhar, 1/157. Fatwa 15 Muharam 1398)
3. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Rahimahullah (Mufti Arab Saudi pada zamannya)
س : إذا كان لدى الإنسان قطعة أرض ولا يستطيع بناءها ولا الاستفادة منها ، فهل تجب فيها الزكاة ؟
ج : إذا أعدها للبيع وجبت فيها الزكاة ، وإن لم يعدها للبيع أو تردد في ذلك ولم يجزم بشيء ، أو أعدها للتأجير فليس عليه عنها زكاة ، كما نص على ذلك أهل العلم ؛ لما روى أبو داود رحمه الله عن سمرة بن جندب -رضي الله عنه- قال : « أمرنا رسول الله -صلى الله عليه وسلم- أن نخرج الصدقة مما نعده للبيع » .
Pertanyaan:
Jika manusia punya sebidang tanah dan dia tidak mampu mendirikan bangunan dan tidak pula bisa memanfaatkannya, apakah tanah itu wajib dizakati?
Jawaban:
Jika dia mempersiapkannya untuk dijual maka wajib dikelurkan zakat, jika tidak untuk dijual atau ragu-ragu dan belum pasti, atau tidak untuk disewa, maka tidak ada kewajiban zakat atasnya. Sebagaimana ulama katakan tentang hal itu, karena telah diriwayatkan oleh Abu Daud Rahimahullah, dari Samurah bin Jundub Radhiallahu ‘Anhu, katanya: “Kami diperintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengeluarkan zakat dari apa-apa yang diperdagangkan.” (Majalah Al Buhuts Al Islamiyah, 56/124)
Selesai. Wallahu A’lam
Minggu, 01 Mei 2011
PERBUATAN MANUSIA DITENTUKAN DI AKHIRNYA
Bismillahirrohmaanirrohiim..
Berikut ada penggalan hadits takdir yang cukup panjang,
Abdurrahman Abdullah bin Mas'ud ra berkata, Rasulullah saw yang jujur dan terpercaya bersabda kepada kami, “………..Demi Allah, Dzat yang tiada tuhan selain Dia, sesungguhnya ada diantara kalian yang melakukan perbuatan-perbuatan penghuni surga hingga jarak antara dia dan dengan surga hanya sehasta (dari siku s/d ke ujung jari), namun suratan takdirnya sudah ditetapkan, lalu ia melakukan perbuatan penghuni neraka, maka ia pun masuk neraka.
Ada juga yang melakukan perbuatan-perbuatan penghuni neraka hingga jarak antara dia dan neraka hanya sehasta. Namun suratan takdirnya sudah ditetapkan, lalu ia melakukan perbuatan penghuni surga maka ia pun masuk surga". (HR Bukhari dan Muslim)
Sejalan juga dengan hadits berikut ini riwayat Bukhori, “Rasulullah saw bersabda,"Sesungguhnya segala perbuatan ditentukan bagian akhirnya." (HR Bukhari).
Bila kita mengacu pada hadits-hadits semakna diatas, maka jelaslah bagi kita, bahwa kita dilarang “menghina” maupun merendahkan perbuatan baik sekecil apapun, juga mencela orang lain yang membuat keburukan. Yang boleh kita lakukan adalah mencela keburukannya (kelakuannya), bukan “orang” nya…
Telah banyak kisah-kisah jaman dahulu dimulai dari jaman Nabi, dimana kita lihat bahwa pembunuh paman nabi, Sayidina Hamzah RA, Wahsy bin Harb, pada akhir hidupnya telah mendapatkan Hidayah dari Allah, begitu pula Hindun binti Utbah, wanita yang menyuruh Wahsy bin Harb untuk membunuh Hamzah RA, dan berusaha memakan jantung/hati beliau, namun tidak sanggup menelannya, hingga memuntahkannya kembali.
Masih ada lagi hadits tentang pembunuh yang telah membunuh 99 orang, yang kemudian datang hidayah kepadanya untuk bertobat, walaupun ia masih menggenapkan untuk membunuh orang lagi menjadi 100 orang, dikarenakan jawaban yang diminta si pembunuh tidak memuaskan pembunuh tersebut, tetapi pada akhirnya tekad tobat tersebut (yang tentunya atas takdir dan hidayah dari Allah) telah membuat tobatnya diterima, dan dia masuk surga (walaupun belum sempat berbuat baik).
Maka berbekal beberapa kisah diatas, marilah kita tidak menilai keburukan seseorang menyebabkan kita “mencaci, mengumpat, mendoakan yang buruk” terhadap orang tersebut. Cukuplah kita mendoakan saja agar orang-orang yang berbuat salah (dikarenakan ketidaktahuannya) mendapatkan hidayah dari Allah, sehingga di akhir hidupnya bisa bertobat.
Sesuai dengan firman Allah dalam surah Al Maidah ayat 8, “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Maka kita disuruh berbuat adil, dalam menilai seseorang. Kita tidak boleh subjektif, melainkan harus objektif, sehingga kita Insya Allah bisa mendekat ke derajat Taqwa.
Mari kita selalu berusaha untuk berbaik sangka, adil dalam menilai, tidak subjektif, serta selalu berdoa kepada Allah, agar kita bisa terus mendapatkan taufik dan hidayah, serta istiqomah dalam beribadah, agar diakhir hayat kita, kita tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang mendapatkan takdir yang buruk, yang mengakibatkan kita bisa masuk kedalam neraka, dan kita termasuk dalam orang-orang yang mendapatkan hidayah (terus) dan ampunan di hari akhir kita meninggalkan dunia ini..amin…
Wallahua’lam
Berikut ada penggalan hadits takdir yang cukup panjang,
Abdurrahman Abdullah bin Mas'ud ra berkata, Rasulullah saw yang jujur dan terpercaya bersabda kepada kami, “………..Demi Allah, Dzat yang tiada tuhan selain Dia, sesungguhnya ada diantara kalian yang melakukan perbuatan-perbuatan penghuni surga hingga jarak antara dia dan dengan surga hanya sehasta (dari siku s/d ke ujung jari), namun suratan takdirnya sudah ditetapkan, lalu ia melakukan perbuatan penghuni neraka, maka ia pun masuk neraka.
Ada juga yang melakukan perbuatan-perbuatan penghuni neraka hingga jarak antara dia dan neraka hanya sehasta. Namun suratan takdirnya sudah ditetapkan, lalu ia melakukan perbuatan penghuni surga maka ia pun masuk surga". (HR Bukhari dan Muslim)
Sejalan juga dengan hadits berikut ini riwayat Bukhori, “Rasulullah saw bersabda,"Sesungguhnya segala perbuatan ditentukan bagian akhirnya." (HR Bukhari).
Bila kita mengacu pada hadits-hadits semakna diatas, maka jelaslah bagi kita, bahwa kita dilarang “menghina” maupun merendahkan perbuatan baik sekecil apapun, juga mencela orang lain yang membuat keburukan. Yang boleh kita lakukan adalah mencela keburukannya (kelakuannya), bukan “orang” nya…
Telah banyak kisah-kisah jaman dahulu dimulai dari jaman Nabi, dimana kita lihat bahwa pembunuh paman nabi, Sayidina Hamzah RA, Wahsy bin Harb, pada akhir hidupnya telah mendapatkan Hidayah dari Allah, begitu pula Hindun binti Utbah, wanita yang menyuruh Wahsy bin Harb untuk membunuh Hamzah RA, dan berusaha memakan jantung/hati beliau, namun tidak sanggup menelannya, hingga memuntahkannya kembali.
Masih ada lagi hadits tentang pembunuh yang telah membunuh 99 orang, yang kemudian datang hidayah kepadanya untuk bertobat, walaupun ia masih menggenapkan untuk membunuh orang lagi menjadi 100 orang, dikarenakan jawaban yang diminta si pembunuh tidak memuaskan pembunuh tersebut, tetapi pada akhirnya tekad tobat tersebut (yang tentunya atas takdir dan hidayah dari Allah) telah membuat tobatnya diterima, dan dia masuk surga (walaupun belum sempat berbuat baik).
Maka berbekal beberapa kisah diatas, marilah kita tidak menilai keburukan seseorang menyebabkan kita “mencaci, mengumpat, mendoakan yang buruk” terhadap orang tersebut. Cukuplah kita mendoakan saja agar orang-orang yang berbuat salah (dikarenakan ketidaktahuannya) mendapatkan hidayah dari Allah, sehingga di akhir hidupnya bisa bertobat.
Sesuai dengan firman Allah dalam surah Al Maidah ayat 8, “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Maka kita disuruh berbuat adil, dalam menilai seseorang. Kita tidak boleh subjektif, melainkan harus objektif, sehingga kita Insya Allah bisa mendekat ke derajat Taqwa.
Mari kita selalu berusaha untuk berbaik sangka, adil dalam menilai, tidak subjektif, serta selalu berdoa kepada Allah, agar kita bisa terus mendapatkan taufik dan hidayah, serta istiqomah dalam beribadah, agar diakhir hayat kita, kita tidak termasuk dalam golongan orang-orang yang mendapatkan takdir yang buruk, yang mengakibatkan kita bisa masuk kedalam neraka, dan kita termasuk dalam orang-orang yang mendapatkan hidayah (terus) dan ampunan di hari akhir kita meninggalkan dunia ini..amin…
Wallahua’lam
Langganan:
Postingan (Atom)