Faktor yang membuat muamalat atau transaksi keuangan
tertentu menjadi haram atau diharamkan yaitu terkait tentang riba. Hal yang
menjadi sebab diharamkanya sebuah muamalat adalah salah satunya riba.
Yang menjadi pertanyaan menarik itu bukan masalah riba itu
apa tapi apakah kita bisa menghindarinya?
Ada 3 istilah yang hampir sama yaitu ada riba, ada bunga dan
ada bank. Apakah riba itu bunga, apakah bunga itu riba? Terus kalau bunga kan
ada di bank. Apakah semua bank itu pasti berbunga? Yang mana orang yang bekerja
di bank itu apakah pasti haram atau tidak.
Pertama ada istilah at takhobbun. At takhobbun itu orang
yang memakan riba. Di hari kiamat ia akan berdiri, tidak akan berdiri kecuali
ia berdirinya seolah-olah berdirinya orang yang sedang kerasukan setan yang
akan sempoyongan. Makanya beberapa ahli menyebutkan suatu ekonomi yang dibangun
dari asas riba itu kaya orang mabuk. Pasti akan mudah terombang-ambing/akan
goncang karena dalam nash al qur’an juga dia tidak berdiri. Berdirinya tidak
kokoh/tegak. Dia seperti orang kerasukan. Maka system ekonomi yang dibangun
atas riba akan sangat mudah/rentan untuk jatuh/collapse. Karena ayatnya bilang
at takhobbun. Yaitu istilah yang dipakai al qur’an, yang pertama kali untuk
orang yang memakan riba. Yaitu pasti dia berdirinya itu tidak benar. Yang kedua
adalah al mahku. Al mahku itu dihapus.
Allah menghapus riba,
dan meningkatkan sadaqah. Ini al qur’an memberikan solusi. Orang itu
bermuamalah dengan riba, itu biasanya untuk menggandakan uang maka riba dihapus
oleh Allah, dan dikasih solusi kalau mau menggandakan uang adalah dengan cara
sadaqah. Al mahku atau dihapus ini adalah kata yang dipakai dalam al qur’an.
Jadi riba itu dihapus. Jadi sudah tidak ada. Ini adalah redaksi yang dipakai
didalam al qur’an ketika melabeli riba itu sendiri.
Dari sisi definisi secara sederhana bisa kita pahami bahwa
yang namanya gharar itu adalah jual beli ketidakjelasan karena yang
dijualbelikan adalah ketidakjelasan itu sendiri. Wa bil misal yattadihul maqal. Kalau dengan
contoh-contoh nanti akan jelas ‘Oh ini gharar..’ Selanjutnya urgensi
mempelajari atau mengetahui
gharar.
Suatu jual beli itu harus jelas dari banyak sisinya. Pertama
adalah akadnya jelas,kedua adalah barangnya jelas, ketiga harganya jelas,
keempat waktu mendapatkan juga jelas. Imam Nawawi dalam kitabnya, Al Majmu’,
beliau menjelaskan :
An nahyu
‘an bai il gharar aslun ‘adhimun min usuli kitabil buyu’. Fa yadkhulu fihi
masaail katsiirah ghairumun hasrah.
“Larangan
jual beli sesuatu yang gharar itu masuk ke dalam sesuatu yang besar yang memang
masuk di hampir semua kitab jual beli. Gharar hampir masuk di setiap akad-akad
jual beli, yang mana (Imam Nawawi sendiri) tidak mampu menghitung satu
persatunya.”
Ketika kita mau membahas fikih muamalah, bicara tentang
gharar itu penting. Kenapa? Karena nanti ada konsekuensi hukum. Kalau ada
gharar yang memang itu berpengaruh pada akad maka jual belinya itu tidak sah,
atau batal. Maka belajar fikih gharar ini, fikih tentang jual beli yang ada
ghararnya, itu sangat penting. Karena hampir masuk di setiap bab-bab jual beli
dalam kitab muamalah ini.
Pengetahuan akan gharar dalam fikih muamalah itu aslun
‘adhim. Karena pondasi ini akan masuk dan bersebaran di setiap bab transaksi
muamalat. Ada gharar di dalam ijarah, sewa. Gharar dalam utang piutang, gharar
dalam akad sosial. Karena konsekuensinya cukup serius. Ketika jual beli
itu terdapat gharar, yang gharar itu
berpengaruh kepada akad, maka jual beli itu tidak sah, yang sama dengan batal.
Makanya kalau kita katakan bahwa sebuah akad itu terdapat gharar, dan
menjadikan akad itu tidak sah, itu berarti batal . Ini menjadikan akad itu
tidak jadi. Kalau akad tersebut tidak jadi. Hal ini nanti sedikit bersinggungan
dengan bab ibadah. Maksudnya, dalam hal ibadah kan shalat kalau belum wudhu
shalatnya tidak sah, berarti kan harus mengulang. Kalau tidak sah dalam jual
beli apakah berarti dosa?
Sah tidaknya suatu akad. Ada akad di dalamnya ada sesuatu
yang haram, konsekuensinya tidak sah atau batal. Batal ini bukan berarti
langsung dia wudhu lagi. Maka dari itu, dalam ibadah kalau disebut tidak sah
ketika
maa am kan
an yatarattab fiihil khodo`,
“Disebut
batal atau tidak sah di dalam ibadah itu sesuatu yang dia itu belum tercatat
sehingga dia wajib mengulangi.”
Walaupun
tidak ada konsekuensi dosa disitu. Dosanya adalah ketika dia tidak mengulangi
sedang dia tahu dia batal. Contohnya, dia shalat terus kentut, berarti kan dia
dosa nggak? Nggak, cuma shalatnya tidak sah atau batal, kalau batal berarti
harus diulangi. Tapi, kalau dalam akad muamalah, disebut tidak sah atau batal
itu
kullu
aktin lam yatarattab atsaruhul ma’sud minhu syar`an alaihi,
“Setiap
akad yang tidak tersampaikan maksud dari suatu akad itu.”
Contohnya, maksud dari jual beli adalah
perpindahan suatu barang dari satu orang ke orang lain yang mana orang yang
menjual itu dapat imbal balik berupa harta dari jual beli itu. Ini namanya
perpindahan barang. Kalau jual beli itu tidak sah, berarti perpindahan itu
belum sah. Tapi belum tentu dosa. Misal : si A jual beli dengan B ternyata ada
ghararnya, berarti barang itu belum A miliki. Itu namanya belum sah. A belum
berdosa gara-gara jual belinya tidak sah. Berdosanya kapan? Ketika A
menggunakan barang itu tapi A tahu ini jual belinya belum sah. Maka berdosanya
bukan dari jual beli tapi karena menggunakan barang orang lain yang mana barang
itu belum dimiliki secara sempurna.
Berbicara tentang konsekuensi ketika ada suatu muamalah
terdapat gharar, maka konsekuensinya adalah tidak sah. Tidak sah dalam sebuah
muamalat itu berbeda dengan tidak sahnya ibadah. Kalau tidak sah di dalam
ibadah, ketika ibadah itu tidak sah maka kita berkewajiban untuk mengulanginya.
Kalau belum mengulangi maka kita masih punya tanggungan, hutang, yang kalau
tidak dibayar, berdosa.
Berbeda
dengan tidak sah yang ada dalam muamalat. Ketika muamalat itu tidak sah maka
tidak berkonsekuensi kepada dosa. Kecuali jika muamalah yang tidak sah itu
kemudian tetap seolah-olah dianggap sah. Perpindahannya ada, mereka
masing-masing mendapatkan kentungan dan seterusnya, padahal sudah dihukumi
tidak sah. Disini ada dosanya..
Kalau dosanya di akad muamalah, belum ada barang tapi kok
udah dijual lagi. Maka, disebut tidak sah itu ketika sebenarnya barangnya belum
berpindah tapi sudah dipakai. Ini tidak sah dalam akad muamalat, sedikit beda dalam ibadah.
Tidak sah di dalam ibadah sedikit berbeda dengan tidak sah dalam muamalat.
Ketika muamalah mengandung gharar itu kemudian sangat penting
sekali kita mengetahui mana yang gharar dan mana yang bukan gharar. Karena bisa
jadi dalam jual beli, jual belinya belum sah, lalu barang itu sudah kita miliki
tapi tidak sah kita memilikinya maka secara otomatis ketika kita memanfaatkan
barang tersebut, sama saja memanfaatkan
yang bukan miliknya, kalau bukan miliknya maka bisa jadi berdosa ketika yang
memiliki itu tidak ridho. Itulah konsekuensinya. Bahkan ketika saling ridho pun
atas ketidaksahannya itu pun tetap tidak sah. Tetap berdosa. Kalau berkaitan
dengan haqqullah. Larangan itu bukan haq adami tapi haqqullah.
Contohnya
ketika maishir. Maishir sama-sama ridho. Orang judi akan selalu ridho semua.
Dari datang di awal sudah ridho semua, ‘Udah lah.. saya ikhlas buat kamu aja..’
Ya... itu bukan seperti itu juga.. Walaupun kalahnya bermilyar asal ikhlas
itu.. bukan ridho juga namanya.. Kalau menang, ‘Alhamdulillah....’ Kalau kalah,
‘Astaghfirullah..... besok lagi dilakukan. Bukan seperti itu. Kalau haq adami
memang masalahnya kepada orang-orang itu. Antaradhin, saling ridho. Tapi, kalau
sudah haqqullah itu bicaranya bukan masalah saling ridho lagi. Agar semakin
mendalam, karena pentingnya mengetahui tentang konsep gharar di dalam muamalat,
ada istilah/nama lain yang mirip dengan gharar.
Pada artikel sebelumnya telah dibahas mengenai
ancaman-ancaman yang sangat mengerikan, yakni tentang ayat-ayat Al Qur’an atau
hadits-hadits Nabi Muhammmad saw yang mengancam orang yang melakukan
transaksi-transaksi yang mengandung unsur riba. Ada yang diperangi oleh Allah
SWT. Dosanya lebih besar dari sekadar berzina dengan 36 wanita pezina walaupun
hanya dengan 1 dirham saja. Bahkan yang paling ringan di dalam 73 pintu riba
adalah orang yang berzina dengan ibu kandungnya sendiri.
Setelah mengetahui ancaman riba yang begitu berat dan
mengerikan, maka perlu diketahui gambaran seperti apa riba itu. Nah, ternyata
riba tidak diharamkan oleh Allah SWT seberat itu. Masih diharamkan secara
bertahap. Terdapat urutan dan proses pengharaman riba. Seperti apa prosesnya?
Berikut
adalah penjelasannya.
Ketika berbicara tentang pengharaman sesuatu, memang ada
yang sifatnya langsung diharamkan dan ada pula yang sifatnya takrijiyyat
(berkala) dalam proses pengharamannya. Hanya saja berkalanya itu unik. Al
Qur’an diibaratkan seperti sebuah ruangan. Di ruangan tersebut awalnya sandal
boleh masuk. Berarti ditulis ‘sandal boleh masuk’. Kemudian ternyata ada hukum
baru, sandal tidak boleh masuk. Kalau ada hukum baru, apakah tulisan awal
dihapus dulu atau langsung ditempelin di atasnya atau ditempelin di sebelahnya?
Hal ini adalah masalah teknis. Yang penting jangan di sebelahnya karena akan
menyebabkan kebingungan.
Begitu juga di dalam pensyariatan suatu hukum. Al Quran
kadang-kadang ketika takrijiyyat mengenai penetapan suatu hukum ternyata semua
teksnya (nash Al Quran) masih ada. Makanya di dalam membahas ilmu Al Quran
(ilmu tafsir) tidak bisa hanya berdasarkan teksnya. Yang mana semua teks harus
dilihat. Bagaimana diturunkan? Kapan diturunkan? Dalam keadaan seperti apa?
Hanya dalam urutan penulisan Al Quran tidak serta-merta yang di akhir ayat itu
berarti yang lebih akhir.
Seperti pengharaman riba juga ada urutannya. Dalam
pengharaman riba, ayat pertama yang membahas tentang riba adalah QS. Ar-Rum
ayat 39.
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah
pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang
kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk keridhaan Allah, maka (yang
berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipay gandakan (pahalanya)”( QS.
Ar-Rum : 39)
Artinya, apa yang diberikan (harta) untuk ditingkatkan
(digandakan) dengan jalan riba tidak mungkin akan meningkat. Yang meningkat
itu, kalau diberikan dengan jalan zakat. Zakat ikhlas lillahi ta‘ala. Maka
orang-orang yang seperti itu termasuk orang-orang yang meningkatkan harta. QS.
Ar-Rum ayat 39 memberikan solusi kalau ingin menggandakan (harta), jangan
memakai riba. Pakailah zakat.
Riba dan zakat memiliki arti yang hampir mirip. Riba itu
ayyiyadah, az zakah juga ayyiyadah. Hanya saja bahasa yang digunakan
mempengaruhi hukum. Riba tidak diperbolehkan, sedang zakat diperbolehkan.
Padahal sama-sama menggandakan.
Kemudian di dalam surat An-Nisa ayat 160 dikatakan,
“karena kedzaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan bagi
mereka makanan yang baik-baik yang (dahulu) pernah dihalalkan; dan karena
mereka sering menghalangi (orang lain) dari jalan Allah”
Ayat tersebut memberikan pengertian bahwa sebenarnya riba
dilarang tidak hanya sekarang. Sudah sejak zaman dulu. Tidak hanya kamu tapi
orang-orang terdahulu juga telah dilarang melakukan riba. Ayat tersebut menyatakan keharaman riba
dengan sangat jelas.
Kemudian di dalam surat Ali Imran ayat 130 dikatakan,
”wahai orang-orang beriman, janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan”
Berdasarkan ayat ini, beberapa ulama menyimpulkan bahwa
kalau tidak bertingkat itu tidak termasuk riba. Berarti boleh. Yang tidak boleh
jika bertingkat. Contohnya seseorang mempunyai uang seribu kemudian menjadi dua
ribu. Itu bertingkat karena berlipat-lipat. Kalau dari seribu menjadi seribu
dua ratus, ini belum bertingkat. Karena baru bertambah saja. Berarti kalau
bertambah belum termasuk riba. Karena Al Qurannya mengatakan adl’afan mudla
affah (yang berlipat-lipat). Makanya, jangan heran ketika ada ulama yang
berdalil ayat ini memang tidak mengharamkan riba secara umum! Yang haram adalah
yang memang itu sangat-sangat rentan untuk dzalim.
Apakah berarti ulama dengan dalil ayat ini membolehkan riba
yang masih sedikit?
Bukan membolehkan riba. Membolehkan suatu akad yang lebih. Yang bentuknya seperti riba
tapi tidak bertingkat. Yang nantinya disebut dengan bunga. Makanya ketika
membahas tentang bunga beberapa ulama ada yang berpandangan bahwasanya bunga
itu tidak mutlak riba, ketika tidak bertingkat dan memang Al Quran mengatakan
seperti itu.
Hanya saja memang yang terakhir, di dalam surat Al Baqarah
ayat 275-279 sangat lengkap membahas riba.
“orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu
karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barangsiapa mendapat peringatan
dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang diperolehnya dahulu menjadi
miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulangi, maka
mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya(275). Allah memusnahkan
riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai orang yang tetap dalam
kekafiran dan bergelimang dosa(276). Sungguh, orang-orang yang beriman,
mengerjakan kebajikan, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat, mereka
mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka
tidak bersedih hati(277).
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada
Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu beriman(278).
Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan
Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertaubat, maka kamu berhak atas pokok hartamu.
Kamu tidak berbuat zhalim (merugikan) dan tidak dizhalimia (dirugikan)(279).
(QS. Al baqarah : 275-279)
Dalam ayat 278 di atas diperintahkan kepada orang yang
beriman untuk meninggalkan sisa riba. Para ulama belakangan menyebutkan sisa-sisa
riba tersebut diperintahkan untuk ditinggalkan semuanya.
Artinya yang tadi adl’afan mudla affah memang tidak boleh.
Lantas, bagaimana dengan yang sedikit? Ya, sisanya ditinggalkan. Nah, nanti ada
juga pemaknaan, sisa ini berarti apa? Nanti ada pemaknaan lain. Yang mengatakan
riba yang haram itu adalah yang adl’afan mudla affah. Mengenai masalah tersebut
akan dibahas dalam pembahasan tentang bermuamalah dengan bank konvensional.
Akan tetapi, pada intinya ayat tersebut mengatakan bahwasanya yang sisa-sisa
pun sudah tidak boleh. Kalau bertaubat, bukan berarti rugi. Kalian akan
mendapatkan modal yang kalian tanamkan. Kalian tidak akan mendzalimi orang lain
dan kalian tidak akan terdzalimi.
Oleh karena itu, di dalam akad syariah harus melihat dua
pihak. Antara mendzalimi orang lain atau terdzalimi. Ketika diharamkan lantas
tidak boleh bermuamalah sama sekali tidak seperti itu juga. Kalau uang sudah
masuk dalam riba, uang tersebut boleh diambil kembali. Berarti tidak akan
mendzalimi orang yang berhutang, tapi juga tidak akan terdzalimi ketika uang
tersebut tidak bisa diambil. Makanya, dalam konteks syariah semua pihak
diperhatikan. Tidak boleh mendzalimi, apalagi terdzalimi.
Dalam hal riba, baik orang yang memberikan riba atau orang
yang menerima riba, bisa jadi memang saling ridha. Walaupun nanti ketika
membayar hutang tersebut dengan tambahan banyak. Karena menganggap biasa dalam
tekanan. Sangat membutuhkan. Tapi sebenarnya perbuatan tersebut merupakan
kedzaliman. Lah, ketika orang sangat membutuhkan kemudian malah dimanfaatkan
momentnya untuk mendzalimi orang lain. Makanya, beberapa ulama menyebutkan bisa
jadi pahala orang memberi hutang kepada orang lain dengan tanpa bunga (riba)
itu lebih besar daripada bersadaqah kepada orang itu. Pendapat tersebut memunculkan
pertanyaan unik. Bukankah sadaqah itu uang yang diberikan tidak kembali, sedang
hutang masih kembali?
Pada
intinya karena orang yang berhutang berarti sedang membutuhkan. Orang yang
tiba-tiba diberi sadaqah, bisa jadi tidak sedang membutuhkan. Tapi kalau
berhutang berarti memang membutuhkan. Menolong kepada orang yang membutuhkan
pertolongan pahalanya besar. Maka dari itu, hutang-piutang termasuk akad
sosial. Memanfaatkan sesuatu yang sifatnya akad sosial sangat-sangat dilarang.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa dalam proses pengharaman riba terdapat empat tahapan. Proses tersebut
melalui wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT dalam Al Quran pada surat yang
berbeda. Yaitu surat Ar-Rum ayat 39, An-Nisa ayat 160, Ali Imran ayat 130, dan
Al Baqarah ayat 275-279.
RIBA
Tadi kita sudah membahas tentang proses pengharaman riba
yang ternyata tidak sekali cara atau sekali turun langsung haram tetapi ada
proses yang dilaluinya sampai ada empat ayat atau empat tahapan. Setelah kita
mengetahui prosesnya, selanjutnya kita mempelajari lebih detail tentang
sebenarnya yang namanya riba itu seperti apa? Definisinya apa? Konsepnya
seperti apa? Sehingga kita tidak secara kasar menghukumi orang telah melakukan
riba. Atau ternyata kita sendiri pernah melakukan riba karena kita tidak tahu,
dst. Maka kita harus tahu definisinya
Orang tau riba=haram, dari segi bahasanya riba itu dari kata
raba-yarbu-rabwan waraban-warabaan aziyaddah, aziyaddah itu artinya nambah.
makannya banyak akad itu sesuatu yang haram itu artinya bagus, riba maisir yang
dari kata al-yusru, dari sesuatu yang mudah, riba dari suatu yang nambah. Dalam
bahasan Allah SWT memperbandingkan riba dengan zakat yang artinya al-barakah
aziyaddah juga hampir sama. Ini dari segi bahasa. Hanya kebanyakan riba (bukan
nama sebenarnya) atau bunga (bukan nama sebenarnya), ini secara bahasa artinya
bagus. Kalau secara istilah ada beberapa pengertian dari beberapa kitab fiqih
empat madzhab, yang boleh dibaca satu-satu mungkin dari Al-Hanfiyah dari kitab ilmu abdin beliau menyebutkan riba
itu fadlun khaalin ‘an iwadin bima yar’in syar’iyin masyrutin li ahadil
muta’akidaini fil ma’awadhah
Apa makna dari definisi ilmu abdin ?
Fadlun khaalin sebuah tambahan yang dia itu tidak
berdasarkan ‘an iwadin bima yar’in syar’iyin tidak berdasarkan suatu imbalan.
Imbalan tapi tidak berdasarkan suatu ganti yang mana disyaratkan li ahadil
muta’akidaini oleh salah satu orang yang berakad fil ma’awadhah dalam akad
komersi. Tapi ini ni pengertian dalam madzhab Hanafi ini kurang jami’.
Dari Syafi’i paling tidak nanti dalam kitab muhdin muhtaj
dikatakan abdun ala iwadun makhsusin ghairu ma’lumin attamasul wa ghairu
ma’lumin aw ma attaakhirin aw ahadihima. sebenarnya ini pengertian tentang
bagian, kadang-kadang pengertian itu ada yang had dan ada yang ta’rif, kalau
yang ini termasuk ke dalam yang bagian. Disebutkan riba itu ada akad dari iwad
dari sesuatu yang sifatnya itu komersil makhsus ghairuu ma’lumin attamasul yang
tidak diketahui sama atau tidaknya fii ma’i ya’i syar’i ini ada riba fadl di
sini. Kemudian dalam tataran syari’ah halaka ta’dili ketika akad auma takhirin
aw ahadihima ini ketika salah satu badalnya atau transaksiya tidak di on the spot atau satu tempat, ini nanti ada
riba nasiah jadi ini pake pengertian jenis-jenis riba
Contoh riba dalam muhni mumtaj, walaupun dalam kitab kashab kinaah atau matan ulun
niha dikatakan tafaadhul fii asya wa nasyi fi asya’ mustas fi asya’ wara
tasyara bi tahrimiha nasshan fil ba’di wa qiyasan fil ba’qiminha. Tafaadhul fii
asya’ (ada riba fadl, ada kelebihan dari sesuatu) wa nasyi fi asya’ ( dan
bayarnya telat dalam sesuatu )
Kemudian dalam madzhab Malikiyah itu qulu nau’in min ‘anwain
riba ‘ala hiddah dalam kifayatun tharib itu malah riba itu segala sesuatu yang
ada ribanya. Lalu riba apa? Pengertian ini memang susah kalau tidak ada
macam-macamnya
Macam atau ragam dari riba
Riba akan terbagi menjadi dua segmen besar, yang pertama
riba dalam akad jual-beli, yang kedua dalam akad utang piutang. Berdasarkan
dimana riba itu berada dalam dua hal, ada riba al-buyu’ dan riba dain ,riba
buyu’ atau jual-beli nanti bisa dibagi menjadi dua, yang pertama riba fadl yang
kedua riba nasiah atau riba nasa’. Kalau dalam riba dain nanti juga dibagi
menjadi dua riba qard dan riba jahiliyah yang hampir mirip dengan riba nasa’.
Riba dalam jual-beli.
Ada hadits yang bunyinya seperti ini
“Jika
emas dijual dengan emas, perak dijual dengan perak, gandum dijual dengan
gandum, sya’ir (salah satu jenis gandum) dijual dengan sya’ir, kurma dijual dengan
kurma, dan garam dijual dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan)
harus sama dan dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta
tambahan, maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan tersebut
dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1584)
Zaman dulu, jual-beli belum tentu dengan uang dengan barang,
kadang-kadang barang dengan barang yang kita kenal dengan barter tukar tambah.
Tukar tambah itu nanti ada komoditi riba yang disebutkan secara nas dalam
hadits, yang tidak semua tukar tambah itu nantinya haram. Tapi ada enam
komoditi yang termasuk riba (yang dikatakan dalam hadits di atas).
Hanya hadits ini nanti akan ada perdebatan. Dalam emas dan
perak itu dalam rangka barangnya atau dalam rangka nilai dalam mata uang.
Kenapa ada empat komoditi lain yang disebutkan? Apakah dalam rangka barang atau
sudah dalam bentuk makanan. Tapi intinya ketika hal itu dipertukarkan maka
harus sama sekilo dengan sekilo, seliter dengan seliter. Ataupun tidak sama,
misalnya kurma dengan gandum itu boleh asalkan kontan tidak boleh kurmanya
sekarang sedangkan gandumnya besok.
Kemudian dalam riwayat lain kalau enam hal di atas berbeda
maka boleh diperjual belikan assalkan memang kontan. Sehingga jika kita
perhatikan riba itu dibagi menjadi dua, pertama riba fadl yang artinya riba
lebih. Riba nambah fadl lebih, nambah lebih kan gitu.. maka riba fadl ini
memang pertukaran antar barang dengan barang sejenisnya dengan kadar atau
takaran yang berbeda dan barang yang dipertukarkan termasuk dalam jenis barang
yang ribawi. Riba fadl ini dilarang, hanya saja pertanyaannya kenapa dilarang?
Kalau riba fadl itu komoditi barangnya riba, ditukarkan keduanya ternyata kok
beda kuantitasnya, ini namanya riba fadl. Kalau beda dalam penyerahannya itu
namaya riba nasiah. Untuk menghindari riba fadl itu harus ada tamatsul. Untuk
menghindari riba nasiah harus ada kontan.
Riba bisa dibagi menjadi 2 tergantung posisinya dimana,
kalau riba ada didalam jual beli maka disebut riba fadl. Ada juga riba nasiah,
kalau ribanya dalam hutang atau riba adduyun maka ada yang namanya riba qard dan riba jahiliyyah.
nah tadi sudah kita bahas tentang riba dalam
perdagangan atau dalam jual beli riba al buyu’ yaitu riba al fadl yaitu
ketika tidak ada kesepadanan antara barang yang dibarterkan atau ditukarkan
atau riba nasiahnya ketika tidak terjadi secara kontan, penyerahan antara kedua
barang tersebut, ini riba dalam jual beli baik riba fadl atau nasiah
Muncul pertanyaan “kalau sekarang nih, orang beli emas atau
tuker-tuker emas, kan gak mungkin emas dengan kuantitas kualitas sama
ditukarkan kan gak mungkin” atau contoh yang paling mudah “beras”, beras rajalele yang mahal sama
beras raskin yang murah, kalau ditukarkan masak gak boleh, yang ini satu liter
yang satunya setengah masak gak boleh, kalau dalam teks hadistnya kan begitu,
harus mislan bi mislin, Cuma ternyata kenapa alasannya kok tidak boleh?
Walaupun diteksnya gak ada beras. ya gampangnya tamr, para ulama mengambil
persamaanya dengan tamr, tamr itu salah satu contoh yang ada dijaman nabi yang
mana hadist shahih bukhari itu menjelaskan kenapa tidak boleh riba fadl ini?
memang disebutkan “jaabilalun ila rasulillah SAW Bittamrin radi” bittamrin
burni, disitu dikatakan “bittamrin burni “
Suatu ketika bilal datang kepada nabi, “tamrnya itu bagus”
kemudian nabi nanya “tumben antum kok bawa bagus nih” ya kita tahu bilal kan
mantan budak, terus qoola bilal, bilal jawab “saya punya tamr yang agak jelek,
saya jual 2 sok dengan 1 sok yang bagus untuk saya berikan kepada engkau,
makanya bilal ini kalau ingin memberi nabi itu yang jelek ditukar dulu yang
bagus, karena yang dia punya hanya yang jelek, makanya kan gak enak kalau mau
ngasih nabi, maka ditukarkan 2 sok dengan 1 sok, nabi bilang “oh gitu ya, ini
riba!” trus nabi mengatakan laa taf al, nabi mengatakan “kalau kamu mau jangan
begitu caranya, jangan 2 sok langsung 1 sok, tapi 2 sok itu dijual dulu
kemudian dihargain, harganya berapa baru dibelikan yang bagus, nanti dapatnya
berapa. Artinya dijaman itu, dijaman nabi ketika mata uang itu standarnya masih
pakai dinar dirham, nabi sudah memberiakn solusi-solusi bahwasanya kalau mau
seperti itu, biar tidak terjadi dzalim, kamu harus nilai dulu yang jelek ini
berapa kemudian ditukarkan sehingga diketahui nilainya berapa, baru nanti kalau
diberikan ini, ini nilainya berapa?
Jadi agar tidak terjadi kedzaliman, ada yang dirugikan salah
satu dari kedua pihak itu maka jangan langsung ditukarkan yang jelek dan yang
bagus itu, tetapi yang jelek ini harus
diberikan penilaian, harganya berapa, ketika sudah dilakukan penilaian, maka
dari harga sekian ini bisa dapat harga yang bagus berapa.
Maka dalam ayat tadi laa tutlimuna wala tutlamun, tidak ada
yang didzalimi dalam riba, ketika orang tukarkan begitu saja ternyata harga yang
jelek itu 2 sok sepadan dengan 20ribu ketika 1 sok 10 ribu maka berarti pas, tetapi itu kalau
kebetulan pas, nah kalau harganya 15 ribu? Harusnya kan kembali 5 ribu, makanya riba fadl itu tidak bolehnya
ketika memang terjadi dzalim, ketika ditukarkan kok gak tau nih. bukan berarti
tukar tambah itu tidak boleh, tukar motor honda dengan motor yang lain yaa
boleh lah, asalkan tahu ini harganya berapa. Ini riba fadl.
Riba nasiah ketika
berkaitan dengan emas, emas ini apakah sama dengan uang? Apakah boleh orang
beli emas dengan cara kredit, Ketika dikatakan emas adalah uang. Padahal
didalam hadist tadi secara jelas rasul mengatakan tidak boleh terjadi
pembayarannya tidak kontan, walaupun berbeda komoditti. Boleh berbeda tapi ya
harus 05.33...tetapi nanti kita akan bahas lebih detail karena banyak muamalah
modern yang berbicara jual beli emas secara kredit, nanti ada gadai emas
syariah, itu kan sebenarnya intinya kan kredit. Nanti kita akan bahas lebih
detail perbedaan pendapat para ulama terkait dengan ini. Ini ni tentang riba
jual beli.
Kedua adalah riba dalam utang piutang. Utang piutang dalam
bahasa arab memang ada 2 istilah, istolah dain dan qardun. Apakah sama atau
berbeda? Lah kalau dari maknanya memang sama, sama-sama utang, Cuma ulama
menyebutkan dain itu lebih umum daripada al qardi, dan itu lebih kepada
tanggungan kepada orang lain, itu namanya dain, tapi kalau al qardu itu lebih
kepada utang harta, makanya ada istilah al wa’du dainun “janji adalah utang”,
janji itu bukan uang. Dia pakai kata2 dain, lebih umum, bukan al wa’du qardun.
Dalam riba utang piutang itu sendiri dibagi menjadi 2
Riba qardun
Yaitu riba utang piutang, maksudnya suatu manfaat atau
tingkat kelebihan tertentu yang mana disyaratkan terhadap orang yang berhutang
atau mu’tariq. Yang mana utang satu juta diawal akad, “oke saya beri utang 1
juta, nanti lebih yaa”. Ketika disyaratkan diawal itulah namanya riba qardun,
riba utang piutang. Kelebihan dari utang piutang itu namanya riba. Walau nanti
ada beberapa hadist yang menyebutkan “setiap ada hutang piutang yang
mendatangkan manfaat bagi yang memberi hutang, itu disebut riba, walaupun nanti
ulama masih berikhtilaf, ada yang bilang hadistnya dhaif, tapi itu sudah
menjadi kaidah yang disepakati bahwasanya setiap hutang piutang kok ada lebihan
yang disyaratkan diawal ketika akad itu namanya riba, yang mana namanya riba
qardun.
Walaupun mau disebut dengan apapun namanya/ bisa jaddi, “oh
ini bukan riba, tetapi bonus atau uang jasa, kalau disyaratkan diawal memang
itu menjadi riba karena ada tambahan itu tadi. Jadi misalnya “kamu boleh minjam
ke saya tapi nanti saya dikasih bonus, uang jasa kalau disepakati diawal itu
riba. Dan ini bukan nama apapun, kalau memang didasarkan dengan jumlah utangan
itu, itu namanya riba, walaupun namanya lain. Kecuali kalau habis hutang,
diakhirtanpa kesepakatan diawal, atas kesadaran sendiri orang yang berhutang,
“ini sebagai balas jasa, saya tambahkan sedikit” itu bukan riba ketika tidak
disyariatkan diawal.
Riba jahiliyyah
Yang mana riba ini sejak jaman jahiliyyah sudah ada, yaitu
utang dibayar lebih dari pokoknya karena si pengutang tidak mampu membayar
sesuai dengan wkatu yang ditentukan, hampir sama dengan nasiah, nasiah itu
andzirni adzidka, “oke kamu gak bayar sekarang, tapi nanti lebih ya?” namanya
nasiah. Bisa jadi ini denda, denda diantara pembayaran utang disebut dengan
riba nasih/riba jahiliyyah. Bahkan riba jahiliyyah masih ada sampai sekarang,
bahkan mungkin lebih jahiliyyah lagi. Jahiliyyah itu kan nama untuk
menggambarkan bahwa dijaman itu sudah ada, walaupun sekarang sebenarnya orang
sudah pintar tapi itu masih produk jahiliyyah yang mana bisa jadi ini masih ada
sampai sekarang
Itulah macam2 riba. Ada riba buyu’ (jual beli) dan riba
addain. Yang mana tadi bagiannya masing-masing ada 2. Ini konsep riba secara
umum. Nanti kita akan lebih detail berbicara mengenai transaksi2 khusus yang
ada indikasi riba, contohnya tadi utang kredit, terus nanti kalau bermuamalah
dengan bank itu bagaimana. Nanti kita akan semakin detail ketika membahas satu
persatu dari masalah itu.
Wallahua’lam
Ust Hanif Lutfi Lc.MA