Rabu, 30 Agustus 2017

Apa Itu Qaul Qadim dan Qaul Jadid?


Dalam dunia ilmu fiqih kita mengenal adanya Madzhab-Madzhab ulama salaf yang terkenal dengan keilmuannya. Tentu saja Madzhab para ulama salaf kita banyak sekali jumlahnya. Hanya saja Madzhab yang sampai sekarang masih terus dipelajari dan diikuti ajarannya ada 4 yaitu Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali.
Dari 4 Madzhab tersebut ada salah satu madzhab yang sangat unik sekali untuk dibahas. Dimana madzhab ini terkenal dengan pendirinya yang memiliki dua Qaul (pendapat) yang mungkin secara sekilas terlihat berbeda. Madzhab ini adalah Madzhab Syafi’i yang masyhur dengan adanya istilah Qaul Qadim dan Qaul Jadid.
Qaul Qadim secara bahasa artinya adalah pendapat lama. Adapun Qaul Jadid secara bahasa adalah pendapat baru. Sedangkan menurut istilah, para ulama syafiiyah memberikan definisi yang berbeda-beda mengenai istilah Qaul Qadim dan Qaul Jadid. namun maknanya sebenarnya sama.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H) mengatakan bahwa Qaul Qadim adalah fatwa atau pendapat Imam Syafi’i (w. 204 H) yang beliau ucapkan sebelum pindah ke Mesir. Sedangkan Qaul Jadid adalah fatwa atau pendapat Imam Syafi’i (w. 204 H) yang beliau ucapkan setelah pindah ke Mesir.[1]
Imam asy-Syirbini (w. 977 H) mengatakan bahwa Qaul Qadim adalah fatwa atau pendapat Imam Syafi’i (w. 204 H) yang beliau ucapkan ketika masih berada di Iraq dalam kitabnya al-Hujjah. Sedangkan Qaul Jadid adalah fatwa atau pendapat Imam Syafi’i (w. 204 H) yang beliau ucapkan ketika beliau berada di Mesir.[2]
Imam Romli (w. 1004 H) mengatakan bahwa Qaul Qadim adalah fatwa atau pendapat Imam Syafi’i (w. 204 H) yang beliau ucapkan ketika masih berada di Iraq yang mana Qaul Qadim ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), Imam az-Za’farani (w. 260 H), Imam al-Karabisi (w. 248 H) dan Imam Abu Tsaur (w. 240 H). Sedangkan Qaul Jadid adalah fatwa atau pendapat Imam Syafi’i (w. 204 H) yang beliau ucapkan ketika beliau berada di Mesir yang mana Qaul Jadid ini diriwayatkan oleh Imam al-Buwaiti (w. 231 H), Imam al-Muzani (w. 264 H), Imam Rabi’ al-Muradi (w. 270 H), Imam Rabi al-Jaizi (w. 256 H) dan Imam Harmalah (w. 243 H).[3]
Dari beberapa defini para ulama diatas bisa kita simpulkan bahwa intinya Qaul Qadim adalah pendapat Imam Syafi’i (w. 204 H) ketika beliau berada di Iraq. Sedangkan Qaul Jadid adalah pendapat Imam Syafi’i (w. 204 H) ketika beliau berada di Mesir.
Contoh Qaul Qadim dan Qaul Jadid
Berikut ini adalah beberapa contoh Qaul Qadim dan Qaul Jadidnya Imam Syafi’i (w. 204 H). Penulis kumpulkan semua qaul ini dari kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab karya Imam Nawawi (w. 676 H). Penulis membaginya menjadi 6 bagian yang berbeda.
1. Qaul Jadid yang merevisi Qaul Qadim dan yang dipakai sebagai pendapat madzhab adalah Qaul Jadidnya.
No
Topik
Qaul Qadim
Qaul Jadid
1.
Masalah air yang kurang dari dua qullah dan terkena najis.
Airnya tetap suci kecuali jika berubah warna, bau dan rasanya.
Airnya menjadi najis baik berubah  maupun tidak berubah.
2.
Masalah muwalat dalam wudhu (berkesinambungan).
Wajib muwalat, jika tidak maka wudhunya batal.
Muwalat hukumnya sunnah.
3.
Masalah kesucian kulit bangkai yang disamak.
Suci bagian luarnya saja adapun bagian dalamnya tetap najis.
Suci bagian luar dan dalamnya.
4.
Masalah hukum menjual kulit yang disamak.
Tidak boleh dijual karena kenajisannya masih ada dibagian dalamnya.
Boleh dijual karena kenajisannya sudah hilang dengan disamak.
5.
Masalah kesucian rambut manusia yang sudah meninggal.
Rambut mayit hukumnya najis.
Rambut mayit hukumnya suci.
6.
Masalah menggunakan wadah yang terbuat dari emas dan perak.
Hukumnya makruh tanzih.
Hukumnya makruh tahrim.
7.
Masalah lupa tertib (berurutan) dalam wudhu.
Wudhunya tetap sah.
Wudhunya batal.
8.
masalah batalkah wudhu seseorang jika tertidur dalam keadaan berdiri, ruku’ dan sujud
Wudhunya tidak batal.
Wudhunya batal.
9.
Menyentuh dubur apakah membatalkan wudhu.
Wudhunya tidak batal.
Wudhunya batal.
10.
Masalah hukum membaca al-Quran bagi wanita haid.
Boleh membaca al-Quran bagi wanita haid.
Tidak boleh membaca al-Quran bagi wanita haid.

2. Qaul Jadid yang merevisi Qaul Qadim dan yang dipakai sebagai pendapat madzhab adalah Qaul Qadimnya.
No
Topik
Qaul Qadim
Qaul Jadid
1.
Masalah air dua qullah yang terkena najis kering.
Boleh digunakan selama tidak berubah warna, bau dan rasanya.
Tidak boleh digunakan baik berubah maupun tidak berubah.
2.
Masalah memakan kulit bangkai yang sudah disamak.
Haram hukumnya memakan kulit bangkai walaupun sudah disamak.
Boleh memakan kulit bangkai yang sudah disamak.
3.
Masalah hukum membaca ta’min bagi imam.
Dikeraskan suara ta’min.
Tidak dikeraskan suara ta’min.
4.
Masalah hukum membaca surah-surah al-quran di rakaat ke 3 dan 4.
Tidak disunnahkan membaca surah al-Quran di rakaat ke 3 dan 4.
Disunnahkan membaca surah al-Quran di rakaat ke 3 dan 4.
5.




3. Qaul Jadid yang sama persis dengan Qaul Qadim (tidak ada revisi pendapat).
No
Topik
Qaul Qadim
Qaul Jadid
1.
Masalah air yang telah digunakan untuk bersuci atau air musta’mal.
Tidak mensucikan.
Tidak mensucikan
2.
Masalah lupa membaca basmalah ketika wudhu.
Tetap disunnahkan membaca basmalah ketika ingat sekalipun ditengah-tengah wudhu.
Tetap disunnahkan membaca basmalah ketika ingat sekalipun ditengah-tengah wudhu.
3.
Masalah bersentuhan kulit lawan jenis batal wudhunya orang yang menyentuh, apakah yang disentuh juga batal?
Wudhunya batal.
Wudhunya batal.
4.
Masalah menyentuh mahram.
Wudhunya tidak batal.
Wudhunya tidak batal.
5.
Masalah batas akhir waktu shalat ashar.
Sampai terbenamnya matahari.
Sampai terbenamnya matahari.
6.
Masalah Tatswib dalam shalat shubuh.
Tatswib hukumnya sunnah.
Tatswib hukumnya sunnah.
7.
Masalah kapan sujud sahwi afdhal dilakukan.
Boleh dilakukan sebelum salam dan sesudah salam. Namun yang afdhal sebelum salam.
Boleh dilakukan sebelum salam dan sesudah salam. Namun yang afdhal sebelum salam.
8.
Masalah orang yang sudah shalat secara berjmaah kemudian ikut shalat jamaah lagi.
Disunnahkan ikut shalat lagi secara berjamaah.
Disunnahkan ikut shalat lagi secara berjamaah.
9.
Masalah hukum menghias mushaf dengan perak.
Hukumnya boleh.
Hukumnya boleh.
10.
Masalah hukum shalat jumat bertepatan dengan hari raya.
Shalat jumat tetap wajib bagi ahlul balad. Tidak wajib bagi ahlul quro.
Shalat jumat tetap wajib bagi ahlul balad. Tidak wajib bagi ahlul quro.

4. Qaul Qadim dan Qaul Jadid yang tidak diketahui mana yang rajih dari keduanya.
No
Topik
Qaul Qadim
Qaul Jadid
1.
Masalah hukum tayammum dengan pasir.
Boleh tayammum dengan pasir.
Tidak boleh tayammum dengan pasir.
2.
Masalah tayammum dengan tanah yang bercampur dengan najis yang sudah melebur kering.
Suci dan boleh untuk tayammum.
Najis dan tidak boleh untuk tayammum.
3.
Masalah meniup tanah/debu sebelum bertayammum.
Sunnah dan dianjurkan
Tidak dianjurkan.
4.
Masalah shalat jamaah bagi orang yang tidak berbusana sama sekali.
Sebaiknya shalat sendiri sendiri. Tidak perlu berjamaah.
Boleh secara berjamaah dan boleh secara sendiri-sendiri.
5.
Masalah kesalahan dalam menentukan arah kiblat.
Tidak perlu mengulangi. Sebab dia telah berijtihad dalam menentukan kiblatnya.
Harus mengulangi shalatnya.
6.
Masalah sutrah shalat dengan mengunakan garis.
Sutrah dengan garis hukumnya sunnah.
Tidak perlu sutrah dengan garis.
7.
Masalah hukum mengqadha’ shalat sunnah.
Tidak perlu diqadha’.
Dianjurkan untuk mengqadha’.

5. Qaul Qadim yang tidak ada Qaul Jadidnya.
No
Topik
Qaul Qadim
Qaul Jadid
1.
Masalah hukum mandi untuk thawaf wada’.
Hukumnya sunnah.
Tidak ada nash jadid.
2.
Masalah hukum mandi bagi orang berbekam.
Hukumnya sunnah.
Tidak ada nash jadid.
3.
Masalah muadzin lebih dari dua orang.
Muadzin boleh lebih dari dua orang.
Tidak ada nash jadid.
4.
Masalah hukum menjawab salam dalam shalat.
Disunnahkan menjawab salam dengan isyarat tangan.
Tidak ada nash jadid.
5.




6. Qaul Qadim dan Qaul Jadid terjadi khilafiyah antara mana yang paling rajih dari keduanya.
No
Topik
Qaul Qadim
Qaul Jadid
1.
Masalah batalkah wudhu sebab makan daging unta.
Wudhunya batal. Menurut Imam Nawawi ini pendapat yang paling rajih.
Wudhunya tidak batal. Menurut Ashab ini pendapat yang paling rajih.
2.
Masalah tayammum mengusap tangan sampai siku atau pergelangan tangan saja.
Sunnahnya sampai pergelangan tangan saja. Menurut Imam Nawawi ini pendapat yang paling rajih.
Sunnahnya sampai siku. Menurut Ashab ini pendapat yang paling rajih.
3.
Masalah berniat tayammum dengan debu yang berterbangan ke wajah dan tangan.
Tayammumnya sah. Menurut Imam Ghazali dan al-Isfiroyini ini pendapat yang paling rajih.
Tidak sah tayammumnya. Menurut Imam Nawawi ini pendapat yang paling rajih.
4.
Masalah tayamum namun masih ada air sedikit.
Cukup tayammum saja. Menurut Imam al-Muzani dan Ibnul Mundzir ini pendapat yang paling rajih.
Harus menggunakan air tersebut kemudian tayammum. Menurut Imam Nawawi dan Ashab ini pendapat yang paling rajih.
5.
Masalah cara mensucikan benda yang terkena najis babi.
Dibasuh satu kali saja. Menurut Imam Nawawi ini pendapat yang paling rajih.
Dibasuh 7 kali seperti najis anjing. Menurut Ashab ini pendapat yang paling rajih.
6.
Masalah batas akhir waktu shalat maghrib.
Waktu maghrib ada dua, yaitu ketika matahari terbenam dan sampai hilangnya megah merah. Menurut Imam Nawawi ini pendapat yang paling rajih.
Waktu maghrib hanya satu yaitu ketika terbenam matahari. Menurut Ashab ini pendapat yang paling rajih.
7.
Masalah batas akhir waktu shalat isya’.
Batas akhirnya sampai pertengahan malam. Menurut Abu Ishaq al-Marwazi dan ar-Ruyani ini pendapat yang paling rajih.
Batas akhirnya sampai sepertiga malam yang akhir. Menurut Imam Rofi’i, Nawawi, al-Ghazali dan al-Mawardi ini pendapat yang paling rajih.
8.
Masalah hukum bayar hutang puasa bagi orang yang sudah meninggal dunia.
Walinya berpuasa bagi mayit tersebut. Menurut Imam Nawawi ini pendapat yang paling rajih.
Walinya membayarkan fidyah. Menurut Ashab ini pendapat yang paling rajih.

Apakah Imam Syafi’i Punya Dua Madzhab Yang Berbeda?
Setiap ada dua pendapat Imam Syafii (w. 204 H) dalam satu masalah maka pendapat Qoul Jadid (pendapat baru) adalah pendapat yang dipakai. Sebab Qoul Qodim (pendapat lama) sudah direvisi, maksudnya Qoul Qodim (pendapat lama) yang memang ada Qoul Jadid (pendapat baru) yang merevisinya. Adapun Qoul Qodim (pendapat lama) Imam Syafii (w. 204 H) yang tidak direvisi atau tidak ditemukan Qoul Jadidnya (pendapat baru) maka Qoul Qodim (pendapat lama) yang seperti ini tetap dipakai dan diamalkan.
Para ulama Syafiiyah sering menyebut Qoul Qodim (pendapat lama) Imam Syafii (w. 204 H) telah direvisi dan tidak diamalkan lagi sebab memang kebanyakan seperti itu kecuali beberapa masalah saja. Bahkan ada sebagian ulama Syafiiyah yang berpendapat bahwa ditemukan sekitar 20 masalah dimana Qoul Qodim (pendapat lama) masih bisa diamalkan dan lebih kuat dari pada Qoul Jadidnya (pendapat baru).
Sebagian orang salah paham mengenai Qoul Qodim (pendapat lama) dan Qoul Jadid (pendapat baru) Imam Syafii (w. 204 H). Mereka menganggap kedua Qoul tersebut adalah dua madzhab yang berbeda. Padahal setelah diteliti sebenarnya madzhab Imam Syafii (w. 204 H) itu hanya satu. Dan saya sepakat dengan pendapat Syaikh Ahmad Nahrowi (w. 1420 H) dimana beliau berkata “Sesungguhnya madzhab Imam Syafii (w. 204 H) adalah satu, adapun penyebutan Qoul Qodim (pendapat lama) dan Qoul Jadid (pendapat baru) adalah sebatas kalimat majaz saja”.[4]Penyebutan Qoul Qodim (pendapat lama) dan Qoul Jadid (pendapat baru) hanya karena perbedaan tempat ketika berfatwa.
Ciri Khas Pendapat Madzhab Syafi’i
Ketika kita belajar fiqih perbandingan madzhab khususnya madzhab 4 yang masyhur, maka kita dapati khilafiyah atau perbedaan pendapat diantara madzhab-madzhab tersebut. Setiap madzhab memiliki pendapat khas yang terkadang sangat berbeda dibanding dengan madzhab yang lain.
Sebagai contoh dalam madzhab syafi’i ada beberapa pendapat yang sebagiannya terkadang berbeda dengan pendapat jumhur ulama. Misalnya dalam bab thaharah madzhab syafii memiliki pendapat khas yang agak berbeda dengan madzhab lainnya, diantaranya:
1. Air mani tidak najis.
2. Sucinya kulit bangkai dengan disamak kecuali bangkai anjing dan babi.
3. Babi termasuk najis mughalladzah yang harus dibasuh 7 kali dan salah satu basuhan dicampur dengan tanah.
4. Mengusap sebagian kepala dalam wudhu.
5. Tayammum hingga siku tangan.
6. Batalnya wudhu karena sentuhan kulit antar lawan jenis.
Dalam bab shalat madzhab syafii juga memiliki pendapat yang agak berbeda dengan madzhab lainnya, diantaranya:
1. Melafadzkan niat shalat hukumnya sunnah.
2. Wajib bagi imam dan makmum membaca surat al-Fatihah.
3. Mengeraskan bacaan basmalah ketika membaca al-Fatihah.
4. Adanya kesunnahan shalat qabliyah jum’at.
5. Adanya istilah sunnah hai’at dan sunnah ab’adh.
6. Disunnahkan meletakkan kedua tangan diatas pusar.
7. Disunnahkan doa qunut dalam shalat shubuh.
8. Disunnahkan isyarat telunjuk pada lafadz “illallah”.
Sifat Shalat Nabi Ala Madzhab Syafi’i
Kita tahu bahwa dari masa ke masa seluruh umat islam menggunakan tata cara ibadah shalat dari 4 madzhab yang ada yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafiiy dan Hanbali. Tentu saja masing-masing madzhab ini menuliskan Shifat Shalat Nabi dalam kitab-kitab fiqih mereka dengan versi yang berbeda beda sesuai dengan dalil yang diyakini kebenarannya oleh masing-masing madzhab.
Penulis hanya ingin menyampaikan bahwa sebenarnya Shifat Shalat Nabi memang banyak versinya. Bukan berarti Shifat Shalat Nabi ‘Ala Madzhab Syafi’i ini adalah satu-satunya Shifat Shalat Nabi yang paling shahih. Sebab bisa jadi Shifat Shalat Nabi Versi Madzhab lain juga sesuai dengan dalil-dalil yang shahih.
Bahkan ada juga sebagian golongan yang menganggap bahwa Shifat Shalat Nabi karya Syaikh al-Albani (w. 1420 H) adalah Shifat Shalat Nabi yang paling ter-shahih di dunia. Tentu saja anggapan ini kurang tepat. Sebab banyak ulama yang menyusun tentang Shifat Shalat Nabi selain Syaikh al-Albani seperti Syaikh al-Utsaimin (w. 1421 H) dan ulama lainnya. Dalam kenyataannya masing-masing ulama berbeda dalam menentukan mana Shifat Shalat Nabi yang paling benar sesuai dengan dalil-dalil yang shahih.
Shifat Shalat Nabi Ala Madzhab Syafi’i yang akan penulis susun ini merujuk kepada berbagai macam kitab-kitab madzhab syafiiy yang mu’tamad. Khususnya penulis merujuk kepada kitab ”al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab karya imam Nawawi (w. 676 H) Rahimahullah.
InsyaAllah akan penulis sertakan juga berbagai macam dalil dari al-quran dan hadits-hadits yang shahih dalam setiap pembahasan sifat shalat menurut madzab syafiiy. InsyaAllah pembahasan tentang shifat shalat nabi ala madzhab syafi’i ini bersambung pada tulisan selanjutnya. Wallahu a’lam.

Muhammad Ajib, Lc. MA.


[1] Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj Fii Syarhil Minhaj, (Mesir: Maktabah Tijariyah) jilid 1 halaman 53.
[2] Asy-Syirbini, Mughnil Muhtaj, (Darul Kutub al-Ilmiyah), jilid 1 halaman 107.
[3] Ar-Romli, Nihayatul Muhtaj Ilaa Syarhil Minhaj, (Bairut: Darul Fikr), Jilid 1 halaman 50.

[4] Ahmad Nahrawi, al-Imam asy-Syafii Fii Madzhabaihi al-Qadim wal-Jadid, halaman 443.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar