by : Hanif Luthfi, Lc., MA
Menyampaikan yang Rajih Saja
“Ustadz, mohon maaf. Kalau bisa, jika kajian disampaikan pendapat yang
rajih saja.” usul salah seorang jamaah, sesaat setelah Saya menyampaikan kajian
tentang sifat shalat berdasarkan madzhab fiqih empat.
“Maksudnya, Pak?” Tanya Saya lebih lanjut.
“Sampaikan saja yang rajih ustadz, sesuai Sunnah yang shahih. Tidak apa-apa
meski jamaahnya berbeda-beda, demi menyampaikan kebenaran”. Saran salah seorang
jamaah tadi.
Dilematis kadang. Jika kajian fiqih disampaikan hanya satu pendapat saja,
ada saja yang bertanya; “bagaimana dengan pendapat lainnya, ustadz?”. Tapi jika
disampaikan beberapa pendapat, ada juga yang bilang, “Ustadz, Saya bingung.
Mana yang paling rajih dan kuat dalilnya dari sekian pendapat itu?”
Di satu sisi memang untuk pembelajar awam, perlu juga disampaikan ilmu
agama itu seperlunya mereka saja. Hanya juga, pembalajar awam perlu dikabari
bahwa dalam masalah ini, para ulama berbeda pendapat.
Kadang masalah muncul, jika ada ustadz penyampai ilmu itu menambah-nambahi
untuk meyakinkan jamaahnya; “Pendapat yang rajih menurut al-Qur’an dan Sunnah
adalah begini... Sifat shalat Nabi yang sesuai hadits shahih adalah begini...”.
Kadang ditambahi juga, “Inilah sifat shalat Nabi, seolah kamu melihat Nabi
sedang shalat”.
Tak jarang, ketika ada pendapat yang berlainan dengan yang disampaikan sang
ustadz tadi, ada beberapa pembelajar awam yang berpikir, pendapat lain tidak
rajih menurut al-Qur’an dan sunnah, sifat shalat lain tak shahih haditsnya.
Rajih Menurut Ustadz Antum
Kadang ada jamaah yang bilang, “Ustadz, kemaren Saya ikut kajian di tempat
lain. Kata ustadznya, yang rajih adalah tangan itu letaknya di dada saat
shalat, karena haditsnya lebih shahih”.
Iya, benar. Bersedekap saat shalat diatas dada itu rajih. Tapi rajih
menurut ustadz tadi.
Adapun yang rajih menurut pendapat yang masyhur dari Malikiyyah adalah tidak
bersedekap. (Ibnu Abdil Barr w. 463 H, at-Tamhid, 20/ 76).
Pendapat yang rajih menurut Madzhab Hanafiyyah dan Hanbaliyyah, termasuk
Imam Ahmad (w. 241 H) yang ahli hadits dan punya kitab Musnad itu, meletakkan
tangannya dibawah pusar. (Alauddin Abu Bakar al-Kasani al-Hanafi w. 587
H, Bada’i as-Shana’i, h. 1/ 201, Ibnu Quddamah al-Maqdisi w. 620
H, al-Mughni, h. 1/ 515).
Bahkan kalo menurut Ibnu Muflih (w. 763 H), meletakkan tangan diatas dada
malah makruh. Padahal hadits yang menunjukkan bahwa tangan diatas dada itu
diriwayatkan oleh Imam Ahmad (w. 241 H) juga.
Imam Ibnu Muflih al-Hanbali (w. 763 H) menyebutkan:
ويكره وضعهما على صدره نص عليه مع أنه رواه أحمد
Makruh meletakkan kedua tangan diatas dada, ini adalah nash dari Imam Ahmad
padahal beliau meriwayatkan hadits itu. (Muhammad bin Muflih al-Hanbali w.
763 H, al-Furu’, h. 2/ 169)
Nah, kalo yang rajih menurut mazhab Syafi’i dan satu riwayat dari Imam
Malik (w. 179 H) ya diantara dada dan pusar. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi w. 676
H, al-Majmu’, h. 3/ 310, Muhammad bin Yusuf al-Gharnathi
al-Maliki w. 897 H, at-Taj wa al-Iklil, h. 2/ 240).
Kalo yang bilang lebih rajih diatas dada itu menurut al-Albani dan
Utsaimin. (al-Albani w. 1420 H, Irwa’ al-Ghalil, h. 2/ 70).
Ketika ulama mazhab memilih suatu pendapat, artinya pendapat itu rajih
menurut ulama mazhab tadi.
Awal Penggunaan Kata Tarjih
Awalnya, kata tarjih digunakan para ahli ushul fiqih dalam kaitan
ber-ta’amul dengan dalil-dalil fiqih. Khususnya ketika terjadi ta’arudh atau
pertentangan dari beberapa dalil secara dzahir. Meski secara asli, dalil yang
sama sumbernya dari wahyu yang shahih, tak mungkin saling bertentangan satu
sama lain, karena sumbernya satu.
Maka, tarjih adalah salah satu metode daf’u ta’arudh al-adillah;
mengkompromikan dalil-dalil syariat yang secara dzahir bertentangan.
Sebagaimana disebutkan oleh al-Amidi (w. 631 H):
فإن الترجيح إنما يطلب عند التعارض لا مع عدمه (الإحكام
في أصول الأحكام، أبو الحسن سيد الدين علي بن أبي علي بن محمد بن سالم الثعلبي
الآمدي (المتوفى: 631هـ) ،4/ 239)
Tarjih itu dibutuhkan ketika terjadi pertentangan antar dalil. Ketika tak
ada pertentangan ya tak perlu tarjih. (al-Amidi w. 631 H, al-Ihkam
fi Ushul al-Ahkam, h. 4/ 239).
Dalam memahami teks syariat yang bertentangan secara dzahir, pertama yang
ditempuh adalah al-jam’u wa at-taufiq; dikumpulkan dan dipakai
semua jika bisa. Jika tidak mungkin dipakai semua dalil itu, dan diketahui
urutan waktu pensyariatannya, maka dipakailah metode an-naskhu;
diganti hukumnya. Jika tak memungkinkan, baru ditempuh dengan jalan tarjih,
itu pun metodenya sangat beragam. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi w. 676 H, Mukaddimah
Syarah Shahih Muslim, h. 1/ 35).
Siapa yang Melakukan Tarjih?
Secara logika sederhana, orang yang bisa mengetahui suatu barang itu lebih
bagus dari barang lain adalah orang yang mengetahui semua item yang akan
dipilih.
Bisakah orang yang tak tahu pesawat, atau orang yang pernah sesekali naik
pesawat disuruh jawab pertanyaan; “Manakah pesawat-pesawat ini yang paling
nyaman? Apakah A: Boeing 737-400, B. B: Airbus A-330, C. C: Hercules C-130.
Tentu tak bisa. Kenapa? Karena belum pernah naik pesawat itu semua.
Jika kita ditanya, “Lebih bagus mana antara Handphone Samsung S8 dengan
iphone 7 plus?”. Jika tak punya semuanya, akan susah me-rajih-kan salah
satunya.
Tapi jika kita mau beli, untuk memilih salah satunya kita bisa mempercayai
hasil review dari para ahli yang sudah ahli di bidangnya. Itulah yang bisa
dilakukan oleh orang awam teknologi. Taklid kepada perkataan orang yang sudah
ahli. Atau kalau tak mau disebut taklid, diperhalus menjadi ittiba'.
Kegiatan tarjih tentu dilakukan oleh orang yang tahu akan kekurangan dan
kelebihan tiap item yang diperbandingkan. Dalam bahasa syariah, orang itu
disebut mujtahid. Sebagai pembelajar awam, kita percaya saja terhadap hasil
review yang telah dilakukan dan dibuktikan oleh para ahli atau para mujtahid
itu.
Rumus sederhana dikemukakan oleh Syaikh Utsaimin (w. 1421 H). Beliau
menyebut bahwa cara yang mudah bagi awam adalah ikuti saja ulama negerinya
sendiri.
أما عامة الناس فإنهم يلزمون بما عليه علماء بلدهم؛ لئلا
ينفلت العامة (لقاء الباب المفتوح، محمد بن صالح بن محمد العثيمين (المتوفى :
1421هـ) ، 49/ 14، بترقيم الشاملة آليا)
Seorang awam itu ikuti saja ulama di negerinya. (Muhammad Shalih
Utsaimin, Liqa’ Bab al-Maftuh, 49/ 12).
Tarjih Mengambil dan Membuang
Kenapa tarjih itu susah, karena ilmu yang dibutuhkan banyak, serta konsekwensinya
cukup berat. Karena merajihkan sesuatu artinya mengambil satu pendapat yang
dianggap kuat, dengan mengetahui bahwa pendapat lain itu ada kelemahannya dan
perlu ditinggalkan. Imam Fakhuddin ar-Razi (w. 606 H) menyebutkan:
الترجيح تقوية أحد الطريقين على الآخر ليعلم الأقوى
فيعمل به ويطرح الآخر. (المحصول، فخر الدين الرازي خطيب الري (المتوفى: 606هـ) ،5/
397)
Tarjih itu menguatkan salah satu metode dari yang lain, agar diketahui mana
yang lebih kuat untuk diamalkan dan mana yang lemah lalu ditinggalkan. (Fachruddin
ar-Razi w. 606 H, al-Mahshul, h. 5/ 397).
Jangan cemas dianggap masih awam. Justru yang harus dikhawatirkan itu belum
punya perangkat tarjih sudah ikut bergaya seperti ulama ahli tarjih.
As-Syathibi (w. 790 H) menyebut bahwa pernyataan seorang mujtahid itu dalil
bagi orang awam:
ثبت أن قول المجتهد دليل العامي. (الموافقات، إبراهيم بن
موسى بن محمد اللخمي الغرناطي الشهير بالشاطبي (المتوفى: 790هـ)، 5/ 337)
Perkataan mujtahid adalah dalil bagi orang awam. (as-Syathibi w.
790 H, al-Muwafaqat, h. 5/ 337).
Kuis Sunnah
Nah, jika sesekali kita ketemu seorang yang sedikit-sedikit me-rajih-kan
dan kadang suka bilang, “Shalat sesuai sunnahnya begini.. itu tidak sesuai
sunnah.. shahihnya begini..” cobalah sampaikan pertanyaan sifat shalat berikut
ini:
Makmum Baca al-Fatihah atau Tidak?
Manakah yang sesuai sunnah; apakah makmum itu wajib baca al-fatihah saat
shalat jahriyyah atau tidak usah baca karena gugur kewajibannya?
Jika jawabnya adalah gugur kewajiban baca al-Fatihahnya, maka itu sesuai
sunnah versi al-Albani (w. 1420 H). (al-Albani, Ashl Sifat Shalat Nabi,
h. 1/ 327).
Jika jawabnya adalah makmum tetap wajib baca al-Fatihah, maka itu sesuai
sunnah versi Bin Baz (w. 1420 H) dan Utsaimin (w. 1421 H). (Bin Baz, Majmu
al-Fatawa, h. 11/ 217, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, as-Syarh
al-Mumti’, h. 3/ 303).
Manakah yang benar-benar sesuai sunnah? Jika jawabnya semua benar sesuai
sunnah, apakah kebenaran itu ada dua? Jika jawabnya ini adalah masalah
khilafiyyah, kenapa jika ulama-ulama madzhab yang diakui keilmuannya berbeda,
tak juga dibilang itu masalah khilafiyyah.
Makmum Membaca “Sami’a Allah liman Hamidah” atau Tidak?
Manakah yang sesuai sunnah; apakah makmum membaca “Sami’a Allah liman
Hamidah” atau tidak?
Jika jawabnya adalah tetap baca, maka itu sesuai sunnah versi al-Albani (w.
1421 H). (Al-Albani, Talkhis Sifat Shalat Nabi, h. 22).
Jika jawabnya adalah tidak usah membaca, maka itu sesuai sunnah versi Bin
Baz (w. 1420 H) dan Utsaimin (w. 1421 H). (Bin Baz, Majmu al-Fatawa,
h. 11/ 10, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, as-Syarh al-Mumti’, h.
3/ 102).
Posisi Tangan Saat I’tidal
Manakah yang sesuai sunnah; tangan saat i’tidal itu lurus atau bersedekap
seperti saat berdiri pertama?
Menurut al-Albani (w. 1421 H) yang benar adalah tangan itu lurus saja,
bahkan bersedekap saat berdiri i’tidal itu bid’ah. (al-Albani, Ashl Sifat
Shalat Nabi, h. 2/ 701).
Menurut Bin Baz dan Utsaimin, yang benar adalah tangan bersedekap saat
i’tidal. (Bin Baz, Majmu al-Fatawa, h. 11/ 10, Muhammad bin
Shalih al-Utsaimin, as-Syarh al-Mumti’, h. 3/ 105)
Sujud; Tangan Dahulu atau Lutut Dahulu?
Manakah yang sesuai sunnah; saat turun sujud tangan dahulu atau kaki
dahulu?
Menurut al-Albani (w. 1421 H), yang sesuai sunnah adalah tangan dahulu.
(al-Albani, Ashl Sifat Shalat Nabi, h. 2/ 714).
Menurut Bin Baz dan Utsaimin, yang sesuai sunnah adalah lutut dahulu. (Bin
Baz, Majmu al-Fatawa, h. 11/ 10, Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin, as-Syarh al-Mumti’, h. 13/ 173).
Posisi Tangan Kanan Saat Duduk Diantara Dua Sujud
Manakah yang sesuai sunnah; tangan kanan seperti saat tahiyyat atau biasa
saja?
Menurut al-Albani (w. 1421 H) dan Bin Baz (w. 1420 H), yang sesuai sunnah
adalah tangan kanan lurus saja diatas lutut. (Al-Albani, Talkhis Sifat Shalat
Nabi, h. 26, (Bin Baz, Majmu al-Fatawa, h. 11/ 11).
Pendapat unik dari Utsaimin bahwa tangan kanan saat duduk diantara dua
sujud itu seperti saat tahiyyah; yaitu jari telunjuk menunjuk saat berdo’a.
(Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, as-Syarh al-Mumti’, h. 13/ 193).
Bangun Raka’at Kedua; Mengepalkan Tangan atau Tidak?
Manakah yang sesuai sunnah; mengepalkan tangan atau tidak saat bangun ke
rakaat berikutnya?
Menurut al-Albani, bangun untuk rakaat berikutnya itu dengan mengepalkan
tangan. (al-Albani, Ashl Sifat Shalat Nabi, h. 3/ 824).
Menurut Bin Baz dan Utsaimin, yang sesuai sunnah adalah bangun dengan
bertumpu kepada paha. (Bin Baz, Majmu al-Fatawa, h. 11/ 12,
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, as-Syarh al-Mumti’, h. 3/ 134).
Kapan Telunjuk Bergerak Saat Tahiyyat
Manakah yang sesuai sunnah; menggerakkan jari telunjuk secara terus menerus
dari awal tasyahhud atau tidak?
Menurut al-Albani, menggerakkan jari secara terus-menerus sejak awal sampai
akhir. (al-Albani, Ashl Sifat Shalat Nabi, h. 3/ 854).
Menurut Bin Baz dan Utsaimin, yang sesuai sunnah adalah menggerakkan jari
telunjuk saat tasyahhud itu ketika berdo’a saja. (Bin Baz, Fatawa Nur
ala ad-Darbi, h. 8/ 358, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, as-Syarh
al-Mumti’, h. 3/ 146).
Tentu kuis sunnah ini untuk tambahan pengetahuan saja, karena jika bisa
jawab dengan benar juga tak ada yang memberi hadiah. Hadiahnya adalah semakin
orang bertambah ilmu, maka semakin bijak dalam menyikapi suatu perbedaan
pilihan. Tentu perbedaan yang masih ditolerir dalam syariah.
Waallahua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar