Oleh : Galih Maulana, Lc
Lafadz kullu selalu menjadi perbincangan menarik di kalangan umat Islam
Indonesia bak seorang selebriti, itu lantaran penafsiran lafadz kullu dalam
sebuah hadits Nabi menjadi titik krusial dalam menilai sebagian amalan-amalan
umat Islam Indonesia, apakah amalan-amalan tersebut masuk kategori sesat atau
tidak.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda dalam muqodimah
khutbahnya:
فإن خير الحديث كتاب الله، وخير الهدى هدى
محمد، وشر الأمور محدثاتها، و"كل" بدعة ضلالة[1]
“Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah, sebaik-baiknya
petunjuk adalah petunjuk Muhammad, seburuk-buruk perkara adalah perkara yang
baru, dan setiap bid’ah (hal baru) adalah sesat”
Juga dalam riwayat lain:
“Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang baru, dan setiap bid’ah (hal
baru) adalah sesat, dan setiap kesesatan akan masuk neraka”
Memahami hadits butuh ilmu
Untuk memahami kandungan sebuah hadits, apalagi yang berkaitan dengan
hukum, seseorang tidak bisa seenaknya saja mengartikan maksud hadits dan
menarik kesimpulan hukum tanpa dasar ilmu,
Ibnu Uyainah (w 198 H) berkata :
الحديث مضلة إلاّ للفقهاء
“hadits itu menyesatkan kecuali bagi fuqoha”
Ibnu hajar al-Haitamiy (w 974 H) menjalaskan, maksud perkataan tesebut
adalah, karena hadits-hadits Nabi itu seperti al-Qur’an, ada lafadz-lafadz yang
umum tetapi maksudnya khusus, atau sebaliknya, ada juga lafadz-lafadz yang
sudah di mansukh dan lain-lain, yang mana semua itu tidak diketahui kecuali
oleh para fuqoha, adapun orang awam yang tidak mengetahui hal-hal ini, akan
salah dalam memahami maksud sebuah hadits, sehingga tersesat[3].
Al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) dalam kitabnya, Nashihatu Ahli al-Hadits
bercerita[4]:
Suatu ketika al-A’masy (w. 148 H) seorang muhadits, duduk bersama Imam Abu
Hanifah (w. 150 H) seorang Imam ahli fiqih. Datanglah seorang laki-laki
bertanya suatu hukum kepada al-A’masy. Al-‘Amasy berkata: “wahai nu’man (Imam
Abu Hanifah), jawablah pertanyaan itu ” Akhirnya Imam Abu Hanifah menjawab
pertanyaan itu dengan baik. Al-A’masy kaget dan bertanya; “dari mana kamu dapat
jawaban itu wahai Abu Hanifah?” Imam Abu Hanifah menjawab; “dari hadits yang
engkau bacakan kepada kami”. Al-A’masy (w. 148 h) menimpali:
نعم نحن صيادلة وأنتم أطباء
“Benar, kami ini apoteker dan kalian adalah dokternya”
Imam Ahmad (w 241 H) berkata :
لا يستغنى صاحب الحديث من كتب الشافعى
وقال: ما كان أصحاب الحديث يعرفون معانى أحاديث رسول الله ﷺ فبينها لهم
“Para ahli hadits tidak bisa terlepas dari kitab-kitab Imam Syafi’i, beliau
berkata : para ahli hadits dahulu tidak paham makna-makna hadits, maka Imam
Syafi’i menjelaskan maksudnya”[5]
Begitulah, para ulama dahulu sangat paham bagaimana menerima, menyampaikan,
memahami dan mengamalkan sebuah hadits. Para periwayat hadits kadang tidak
begitu paham apa maksud dari hadits yang diriwayatkannya, mereka hanya
menyampaikan apa yang didengar sebagaimana adanya, ini karena mereka
mengamalkan hadits Rosulullah ﷺ :
نضر الله امرأ سمع منا حديثا، فحفظه حتى
يبلغه، فرب حامل فقه إلى من هو أفقه منه، ورب حامل فقه ليس بفقيه[6]
“Semoga Allah mencerahkan (mengelokkan rupa) orang yang mendengar hadits
dariku, lalu dia menghafalnya kemudian dia menyampaikannya (kepada orang lain),
terkadang orang yang membawa ilmu menyampaikannya kepada orang yang lebih paham
darinya, dan terkadang orang yang membawa ilmu tidak memahaminya”
Untuk memahami maksud dari sebuah hadits atau fiqh al-Hadits, kita
harus bertanya kepada fuqoha (ahli fiqih), sebagaimana sudah disebutkan oleh
Ibnu Hajar al-Haitamiy diatas. Kenapa bertanya kepada fuqoha, karena merekalah
yang mampu meng-istinbath (menarik kesimpulan hukum) dari teks-teks syar’i baik
itu al-Qur’an ataupun haduts Nabi.
Kembai ke lafadz “kullu”, untuk memahami lafadz kullu yang ada dalam hadits
Nabi diatas kita harus merujuk kepada penjelasan para fuqoha, apa yang
dikatakan mereka tentang maksud dari lafadz kullu ini.
Penjelasan ahli ilmu tentang “kullu bid’atin dlolalah”
Imam Nawawi (w 676 H) berkata :
“Setiap bid’ah adalah sesat, lafadz setiap (kullu) disini adalah lafadz
umum yang bermaksud khusus, yaitu maksudya sebagian besar bid’ah”[7]
Ibnu Hajar al-Asqolani (w 852 H) berkata :
والمراد بقوله كل بدعة ضلالة ما أحدث ولا
دليل له من الشرع بطريق خاص ولا عام
“yang dimaksud dengan ucapan baginda Nabi ﷺ;
“setiap bid’ah adalah sesat” adalah sesuatu yang baru yang tidak punya dalil
dari syari’at, baik dalil itu secara umum atau secara khusus”[8]
Ibnu Taimiyah (w 728) berkata :
والبدع المكروهة ما لم تكن مستحبة في
الشريعة. وهي أن يشرع ما لم يأذن به الله فمن جعل شيئا دينا وقربة بلا شرع من الله
فهو مبتدع ضال. وهو الذي عناه النبي صلى الله عليه وسلم بقوله: كل بدعة ضلالة
فالبدعة ضد الشرعة والشرعة ما أمر الله به ورسوله أمر إيجاب أو أمر استحباب وإن لم
يفعل على عهده كالاجتماع في التراويح على إمام واحد وجمع القرآن في المصحف. وقتل
أهل الردة والخوارج ونحو ذلك. وما لم يشرعه الله ورسوله فهو بدعة وضلالة
“Dan bid’ah yang dibenci adalah apa-apa yang tidak dianjurkan oleh
syari’at, yaitu membuat syariat baru yang tidak diperintahkan Allah. Barangsiapa
membuat sesuatu sebagai agama dan cara mendekatkan diri kepada Allah tanpa
syariat dari Allah, maka dia seorang ahli bid’ah. Itulah bid’ah yang dimaksud
dalam ucapan baginda Nabi ﷺ; “setiap bid’ah adalah sesat”.
Jadi, bid’ah itu adalah lawan dari syari’at, syari’at itu adalah apa yang
diperintah oleh Allah dan Rosul-Nya, baik itu perintah wajib atau anjuran,
walaupun perkara itu belum pernah terjadi di masa Nabi, seperti tarawih
berjama’ah, mengumpulkan al-Qur’an dalam mushaf, membunuh orang-orang murtad
atau khowarij dan sebagainya. Apa yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan
Rosul-Nya maka itu adalah bid’ah dan kesesatan”[9]
Jelas sudah dari kesimpulan penjelasan para ulama diatas, bahwa maksud dari
hadits Nabi “kullu bid’atin dlolalah” adalah sebagian
bid’ah; bid’ah yang sesat adalah bid’ah yang bertentangan dengan syari’at Islam
dan tidak mempunyai landasan dalil, baik dalil itu sifatnya umum atau khusus,
adapun bid’ah (hal baru) yang tidak bertentangan dengan syariat (karena
memiliki substansi ajaran Islam) serta memiliki landasan dalil maka itu bukan
bid’ah yang sesat.
Inilah kesimpulan yang dijelaskan oleh Mujtahid mutlak al-Imam Syafi’i -rodhiyallahu
‘anhu- (w 204 H) yang dinukil oleh Ibnu Hajar al-Asqolani:
البدعة بدعتان محمودة ومذمومة. فما وافق
السنة فهو محمود وما خالفها فهو مذموم
“Bid’ah itu ada dua; mahmudah (terpuji) dan madzmumah (tercela), apa yang
sesuai dengan sunah adalah bid’ah terpuji sedang yang bertentangan dengan sunah
adalah bid’ah tercela”
Ada juga riwayat dari imam al-Baihaqi (w 458 H):
المحدثات ضربان ما أحدث يخالف كتابا أو
سنة أو أثرا أو إجماعا فهذه بدعة الضلال. وما أحدث من الخير لا يخالف شيئا من ذلك
فهذه محدثة غير مذمومة
“Perkara baru ada dua, yang pertama yang menyelisishi al-Qur’an dan sunah
Nabi atau atsar sahabat atau Ijma’, maka perkara baru ini adalah bid’ah yang
sesat. Yang kedua adalah perkara baru yang tidak menyelisishi hal-hal di atas,
maka ini adalah bid’ah yang tidak tercela”[10]
Mengapa para ulama bisa berkesimpulan seperti ini? Jelas karena mereka
mamiliki ilmu yang luas dan perangkat untuk ber-istinbath. Dengan
keluasan ilmu dan pemahaman yang dalam tentang cara menarik kesimpulan hukum
inilah para ulama mampu melihat dengan jernih maksud dari teks-teks syar’i.
Lalu, Kullu itu maksudnya setiap atau sebagian ?
Mungkin ada yang bertanya, kalau makna dari kullu adalah sebagian, berarti
ada sebagian kesesatan yang tidak di neraka alias di surga ? karena hadits Nabi
berbunyi :”kullu dlolalatin fi an-Nar; setiap kesesatan di neraka”.
Pertanyaan tersebut bisa dijawab baik secara naqli (teks syar’i), aqli (logika)
ataupun bahasa.
Secara naqli, dalam memahami suatu teks syar’i baik itu al-Qur’an atau
hadits Nabi, yang pertama dilakukan adalah mencari teks-teks sejenis atau yang
berkaitan dengan teks yang akan dibahas tersebut.
Dalam hadits kullu bid’atin dlolalah, untuk memahami maksudnya adalah
dengan mencari hadits-hadits lain yang serupa atau yang berkaitan, kemudian
setelah terkumpul semua hadits yang sejenis diambil benang merahnya atau bahasa
lainnya dikompromikan, istilah ini dalam ushul fiqih disebut al-jam’u
wa at-taufiq.
Salah satu metode mengkompromi dalil-dalil apabila terlihat bertentangan
adalah takhsis al-‘am, yaitu membawa makna hadits yang bersifat ‘am
atau umum kepada hadits yang bersifat khos atau khusus. Tentang mengkhususkan
dalil yang bersifat umum ini, Ibnu Qudamah al-Maqdisi berkata:
في الأدلة التي يخص بها العموم لا نعلم
اختلافًا في جواز تخصيص العموم
“tentang dalil-dalil yang mengkhusukan dalil umum, kami tidak tau ada
perselisihan ulama tentang bolehnya menkhususkan yang umum”[11]
Pertanyaannya adalah; ada tidak hadits lain yang serupa dengan hadits ini?
Ternyata ada, yaitu hadits Nabi yang berbunyi:
من سن في الإسلام سنة حسنة، فله أجرها،
وأجر من عمل بها بعده، من غير أن ينقص من أجورهم شيء[12]
“Barangsiapa membuat sunah yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya
dan pahala orang yang mengikuti perbuatan itu setelahnya tanpa dikurangi pahala
mereka (yang mengikuti) sedikitpun”
Sanna sendiri berarti melakukan sesuatu yang baru kemudian diikuti oleh
orang lain, dalam Mu’jam al-Wasith disebutkan:
وكل من ابتدأ أمرا عمل به قوم من بعده فهو
الذي سنه
“setiap orang yang memulai suatu hal kemudian diikuti oleh orang lain maka
dia sudah membuat sunah”[13]
Tentu penilaian apakah perbuatan yang dia lakukan menjadi sunah yang baik
atau tidak dilihat dengan kacamata syari’at.
Hadits lain yang serupa yaitu sabda Nabi ﷺ :
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد[14]
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama)
yang tidak berasal darinya, maka perkara tersebut tertolak”
Hadits di atas mafhumnya adalah, bahwa apabila perkara baru tidak berasal
dari agama maka tertolak, tetapi apabila perkara baru tersebut ada asalnya dari
agama maka tidak tertolak.
Hadits kullu bid’atin dlolalah adalah hadits umum, kenapa? Karena salah
satu lafadz yang menunjukan keumuman adalah “kullu”, sebagaimana disenutkan
para ulama ushul[15]. Sedangkan hadits “man sanna fi al-Islam”
juga hadits “man ahdatsa” bersifat khusus, karena memberi informasi
spesifik. Inilah yang dikatakan oleh Imam Nawawi:
هذا عام مخصوص والمراد غالب البدع
“hadits ini hadits umum yang dikhususkan, maksudnya adalah sebagian bid’ah”
Dua hadits yang seolah bertentangan ini dikompromi dengan cara takhsis
al-‘am alias mengkususkan yang umum, hasilnya adalah sebuah
kesimpulan, bahwa tidak setiap hal baru (bid’ah) bersifat sesat, karena Nabi
mengatakan ada hal baru yang bersifat baik.
Jadi, mengartikan lafadz kullu itu bukan masalah “semua” atau “sebagian”,
tetapi ada tidak dalil takhsis (yang mengkhususkannya)? Apabila ada, maka
maknanya sebagian, apabila tidak ada maka maknanya setiap atau semua, seperti “kullu
dlolalatin fi an-nar”( setiap kesesatan akan masuk neraka), lafadz kullu
disini tidak ada dalil lain untuk men-takhsisnya (mengkhsusukan maksudnya)
sehingga maknanya “semua” atau “setiap”.
Secara aqli atau logika, apabila mengartikan kullu dalam hadits Nabi itu
dengan “setiap” atau “semua” maka akan berakibat fatal, karena semua hal baru,
baik bersifat keduniaan atau bersifat keagamaan, akan mendapat sifat bid’ah,
dan segala sesuatu yang bid’ah akan masuk neraka. Kenapa ? karena redaksi
hadits Nabi jelas mengatakan “setiap hal baru adalah bid’ah” tanpa
membedakan antara masalah duniawi atau masalah agama;
وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
“Setiap hal baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat”
Jadi, kalau mau konsisten mengartikan kullu bermakna semua dan tidak mau
menerima dalil takhsis, maka mobil, HP, laptop dan semua hal baru yang belum
ada di zaman Nabi adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah di Neraka. Tentunya
syari’at Islam tidak bermaksud seperti itu.
Secara bahasa, kullu juga bisa bermakna semua juga bisa bermakna sebagian,
imam al-Fairuz Abadi (w 817 M) seorang Imam ahli lughoh dalam mu’jamnya
berkata:
الكل، بالضم: اسم لجميع الأجزاء، للذكر
والأنثى، أو يقال: كل رجل، وكلة امرأة، وكلهن منطلق ومنطلقة، وقد جاء بمعنى بعض[16]
“Kullu dengan kaf dhomah, adalah nama bagi semua bagian, baik bagi kata
maskulin atau feminim. Ada pula yang mengatakan bagi maskulin kullu bagi
feminim kullatu. (dikatakan) Kulluhunna muntholiq atau muntholiqoh. Dan kullu
juga bisa bermakna sebagian”
Begitu juga Murtadho az-Zabidi (w 1205 H) mengatakan dalam kitabnya:
قال ابن الأثير: موضع كل، الإحاطة
بالجميع، وقد جاء استعماله بمعنى بعض[17]
“Berkata Ibnu al-Atsir (w 606 H)[18] : topik dari lafadz kullu adalah
makna yang mencangkup kesuluruhan, dan lafadz kullu juga digunakan untuk makna
sebagian”
Para ulama, baik ulama fiqih, ulama ushul maupun ulama lughoh (bahasa) bisa
memahami bahwa kullu bisa bermakna sebagian karena mempunyai bukti dari
al-Qur’an, mereka sangat memahami keluasan bahasa dan keindahan sastra dalam
al-Qur’an.
Diantara hujah dalam al-Qur’an bahwa lafadz kullu bisa bermakna sebagian
adalah ayat-ayat berikut:
وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ
سَفِينَةٍ غَصْبًا [19]
“Dan di hadapan mereka ada raja yang akan merampas “setiap perahu””
Lafadz kullu dalam ayat di atas bermakna sebagian, yaitu raja hanya akan
mengambil setiap perahu yang bagus saja, tidak semua perahu, karena perahu yang
ditumpangi oleh Nabi Musa tidak diambil oleh raja karena sudah dirusak oleh
Nabi Khidir, dan memang seperti itu fakta yang terjadi dalam kisah Nabi Musa
dan Nabi Khidir”
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا
فَأَصْبَحُوا لَا يُرَى إِلَّا مَسَاكِنُهُمْ كَذَلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ
الْمُجْرِمِينَ [20]
“(angin) yang menghancurkan “segala sesuatu” dengan perintah Tuhannya,
sehingga mereka (kaum ‘Ad) menjadi tidak tampak lagi (di bumi) kecuali hanya
(bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada
kaum yang berdosa”
Allah katakan bahwa angin yang dikirim kepada kaum ‘Ad menghancurkan segala
sesuatu, padahal kenyataannya bekas-bekas bangunan mereka masih ada, tanah,
pepohonan dan gunung-gunung masih ada dan tidak hancur, jelas sudah bahwa
maksud kullu dalam ayat di atas adalah sebagian, bukan semua.
إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ
وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ [21]
“Sungguh kudapati ada seorang perempuan yang memerintah mereka, dan dia
dianugrahi “segala sesuatu” serta memiliki singgasana yang besar”
Dalam ayat di atas Allah menghikayatkan ucapan burung Hudhud yang
mengatakan bahwa ratu Bilqis dianugrahi segala sesuatu, padahal kenyataanya
tidak seperti itu, karena ratu Bilqis tidak dianugrahi kerajaan Nabi Sulaiman.
Jelas bahwa lafadz kullu dalam ayat bukan bermakna “semua” tetapi sebagian.
Masih banyak lagi ayat-ayat dalam al-Qur’an yang menjadi hujjah bahwa
lafadz kullu tidak selamanya bermakna “setiap” atau “semua” atau “segala”,
lafadz kullu bisa bermakna “sebagian” tergantung konteks dan ada tidaknya dalil
yang mentakhsis maknanya.
Terakhir, penulis ingin menyampaikan, agar cara beragama kita benar, cara
memahami dalil-dalil juga benar, maka kembalilah kepada manhaj para ulama,
itulah jalan yang lebih selamat.
[1] HR.
Muslim
[2] HR.
an-Nasa’i
[3] Fatawa
alhaditsiyah, hal. 283
[4] Abu
Bakar al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H), Nashihatu Ahli al-Hadits, (Maktabah
al-Manar, 1408), hal. 44
[5] Tahdzib
al-Asma wa al-Lughot (1/61)
[6] HR.
Abu Daud
[7] Al-Minhaj
syarh shohih Muslim bin al-Hajaj (6/154)
[8] Fathu
al-Bari syarh shohih al-Bukhori (13/254)
[9] Majmu’
al-Fatawa (23/133)
[10] Fathu
al-Bari syarh shohih al-Bukhori (13/253)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar