Oleh : Galih Maulana, Lc
Sebagai seorang Muslim tentu saja harus menyandarkan segala gerak-gerik
perbuatan dalam hidupnya kepada al-Qur’an dan sunah- sunah Nabi yang
merupakan undang-undang dan sumber hukum dalam agama Islam.
Dalam sebuah hadits, Nabi berpesan agar kita, sebagai umatnya senantiasa
berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-Sunnah agar tidak tersesat dalam
kehidupan ini, beliau ﷺbersabda:
تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما:
كتاب الله وسنة نبيه[1]
“Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat
selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, al-Qur’an dan as-Sunnah”
Berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-Sunnah maksudnya melaksanakan
segala sesuatu dalam hidup ini berdasarkan kepada aturan dan ketentuan yang
ditetapkan dan dijelaskn oleh al-Qur’an dan as-Sunnah.
Namun, dalam aplikasinya ternyata tidak semudah yang kita bayangkan, karena
walaupun kebenaran al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai petunjuk bagi manusia
bersifat absolut, tetapi petunjuk atau maksud yang ingin disampaikan terkadang
berbeda dengan teks dhohirnya. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab
terjadi banyak perbedaan pendapat dikalangan ulama dalam satu masalah, padahal
semuanya merujuk kepada ayat atau hadits yang sama.
Apabila semua orang dibiarkan mengambil hukum langsung kepada al-Qur’an dan
as-Sunnah tentu ini akan menyebabkan kekacauan dan kesemerawutan dalam
beragama, setiap orang bebas menafsirkan al-Qur’an sekehendak hati dan sebatas
pengetahuannya saja, hingga nanti pada puncaknya, setiap orang punya kebenaran
versi masing-masing.
Lalu pertanyaannya, siapa yang berhak dan punya otoritas untuk menggali
hukum langsung dari al-Qur’an dan as-Sunnah?
Mujtahid Mutlak
Orang yang berhak menggali hukum langsung dari al-Qur’an dan as-Sunnah
adalah orang yang sudah menguasai semua pengetahuan yang berkaitan dengan
al-Qur’an dan as-Sunnah serta semua perangkat istinbath (analisa) yang
digunakan untuk memahami maksud dari syari’at.
Orang yang sudah mencapai level tersebut disebut sebagai Mujtahid, namun
ternyata, mujtahid juga ada levelnya, hanya mujtahid level tertinggi saja yang
mampu mengambil hukum secara langsung dari al-Qur’an dan as-Sunnah tanpa
terikat kaidah dan standar dari mujtahid lain. Dialah yang berhak mengatakan:
“ini sesuai al-Qur’an menurut pendapat saya”.
Syekh Wahbah az-Zuahaili (w 1436 H) dalam kitabnya menyebutkan beberapa
tingkatan mujtahid[2] :
- Mujtahid
mutlak mustaqil
- Mujtahid
mutlak ghoiru mustaqil (mujtahid muntasib)
- Mujtahid
muqoyyad
- Mujtahid
fatwa dan tarjih
- Mujtahid
fatwa (mufti) madzhab
Tingkatan mujtahid ini juga disebutkan oleh Imam Nawawi (w 676 H) dalam
al-Majmu’[3], beliau -rohimahullah- juga
menjelaskan sifat-sifat dan syarat-syarat para mujtahid tiap tingkatnya.
Syarat Mujtahid Mutlak
Untuk bisa mencapai level Mujtahid mutlak, seseorang harus memenuhi
berbagai syarat yang begitu berat, Imam Nawawi bahkan sampai mengatakan bahwa
sudah begitu lama tidak ada Mujtahid mutlak mustaqil, tentu itu karena beratnya
syarat yang harus dipenuhi, sehingga jarang sekali yang mencapai level
tersebut, beliau mengatakan:
ومن دهر طويل عدم المفتي المستقل وصارت
الفتوى إلى المنتسبين إلى أئمة المذاهب المتبوعة[4]
“Dan sudah sekian lama tidak ada mufti (mujtahid) mustaqil, sehingga fatwa
hanya berada ditangan para mujtahid muntasib”
Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar berhak menjadi Mujtahid mutlak
mustaqil adalah sebagai berikut:
1. Islam
2. Berakal
3. Baligh
4. Adil
Sesorang dikatakan adil apabila meninggalkan semua dosa besar, kemudian
apabila melakukan dosa kecil dia tida melakukannya lagi dan tidak melakukan
hal-hal yang mengurangi kewibawaan. Sebenarnya adil bukan syarat untuk mencapai
derajat mujtahid, adil adalah syarat agar hasil ijtihadnya diterima[5].
5. Fiqh an-Nafs
Fiqh an-nafs maksudnya adalah dimana seseorang telah menguasai dan memahami
semua nash-nash syar’i, mampu menghadirkannya dengan cepat ketika dibutuhkan,
mampu menganalisa setiap detail-detail nash serta mampu mengaplikasikannya
dalam setiap masalah dikehidupan nyata.
Fiqh an-nafs ini merupakan bakat yang merupakan anugrah dari Allah,
sehingga tidak setiap orang mampu menguasainya, meskipun sudah berusaha sekuat
tenaga. Imam al-Haromain (w 478 H) mengatakan:
ثم يشترط وراء ذلك كله فقه النفس فهو رأس
مال المجتهد – ولا يتأتى كسبه – فإن جبل على ذلك فهو المراد، وإلا فلا يتأتى
تحصيله بحفظ الكتب[6]
“kemudian disamping syarat yang sudah disebutkan, disyaratkan pula fiqh
an-nafs yang merupakan modal pokok seorang mujtahid, dan fiqh an-nafs ini tidak
bisa diusahakan (untuk mendapatkannya), apabila seseorang sudah mempunyai sifat
tersebut (secara alami) maka itulah yang diharapkan, tetapi apabila tidak
berbakat (secara alami) maka tidak bisa mendapatkannya walau dengan menghafal
kitab-kitab.”
6. Memiiki ilmu tentang al-Qur’an
Memiki pengetahuan tentang al-Qur’an tidak cukup hanya sebatas mampu
membaca dan memahami maknanya secara ijmal (global) saja, tetapi lebih dari itu
dia mampu medapat ilmu sacara hakiki dari bacaannya tersebut, mampu
mentadaburinya, mampu menganalisa dan menggali hukum darinya. Untuk mencapai
hal tersebut, seorang mujtahid harus mengetahui beberapa ilmu tentang
al-Qur’an, diantaranya:
- Nasikh
wa mansukh
Diharuskan bagi seorang mujtahid untuk mengetahui ayat-ayat yang mansukh,
sehingga dia mengamalkan yang nasikh, untuk mengetahui nasikh mansukh jelas
harus tau sejarah turunnya ayat, kapan ayat ini turun, kapan ayat itu turun,
harus tau juga aturan dan syarat-syarat dalam nasikh wa mansukh, jenis-jenisnya
dan semua hal yang berkaitan dengan nasikh wa mansukh.
- Al-Am
wa al-Khos
Seorang mujtahid harus tau mana ayat yang bersifat ‘am (umum) mana ayat
yang bersifat khos (khusus), mana ayat yang ‘am tapi maksudnya khos, bagaimana
aturan takhsis al-‘am, syarat-syaratnya dan semua hal yang berkaitan
dengan al-am wa al-khos.
- Al-Muthlak
wa al-Muqoyyad
Seperti al-am wa al-khos, seorang mujtahid juga harus tau mana ayat yang
mutlak mana ayat yang terikat (muqoyyad) bagaimana menggabungkan mutlak dan
muqoyyad, aturan dan syarat-syaratnya.
- Asbab
an-Nuzul
Mengetahui asbab an-nuzul bertujuan agar seorang mujtahid tau bagaimana
konteks ayat tersebut turun, mengerti maksud dan kondisi serta pengamalan akan
ayat tersebut dalam konteks yang berbeda.
- Lain-lain
Seperti mengetahui ayat dhohir dan ayat mu’awal, ayat mujmal dan ayat
mubayyan, mana surat makki mana surat madani, yang mana penegtahuan tersebut
akan mempengaruhi kedetailan hukum.
7. Memiliki pengetahuan tentang as-Sunnah
Memiliki pengetahuan tentang as-Sunnah tidak hanya terbatas pada tau cara
membaca hadits dan memahami artinya secara ijmal, tetapi harus tau juga hal-hal
yang sama pada al-Qur’an seperti nasikh mansukh, al-am wa al-muqoyyad
al-muthlak wa al-muqoyyad, asbabu al-wurud dan lainnya.
Termasuk syarat bagi mujtahid mengtahui semua jenis dan ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan as-Sunnah, diantaranya:
- Hadits
mutawatir dan hadits ahad
- Hadits
shohih dan dho’if
- At-Tarikh
wa ar-Rijal
Seorang mujtahid harus tau apa yang dibutuhkan dari sejarah periwayatan,
kondisi para rowi (periwayat hadits), apakah rowi ini adil atau tidak,
dipercaya atau tidak, pertemuan rowi dengan gurunya, dan bagaimana rowi
menerima hadits dari gurunya, ini semua untuk mengetahui status hadits, apakah
shohih atau dho’if, apakah muttashil atau munqothi’ dan selainnya yang
berhubungan dengan sanad.
- Asbab
aj-jarh wa at-ta’dil
Begitu juga seorang mujtahid harus tau sebab-sebab seorang rowi itu di-tajrih, bagaimana
standarnya (dhobitnya), jenis-jenisnya, kapan jarh itu dianggap dan kapan tidak
dianggap dalam takhrij hadits, itu semua diperlukan untuk menentukan apakah
hadits itu diterima atau tidak dalam pendalilan sebuah hukum.
- Syadz,
mahfudz, munkar dan ilal al-hadits
Imam al-Haromain (w 478 H) berkata:
والثالثة معرفة السنن، فهي القاعدة الكبرى
; فإن معظم أصول التكاليف متلقى من أقوال الرسول ﷺ وأفعاله وفنون أحواله،
ومعظم آي الكتاب لا يستقل دون بيان الرسول ثم لا يتقرر الاستقلال بالسنن
إلا بالتبحر في معرفة الرجال، والعلم بالصحيح من الأخبار والسقيم، وأسباب الجرح
والتعديل، وما عليه التعويل في صفات الأثبات من الرواة والثقات، والمسند والمرسل،
والتواريخ التي تترتب عليها استبانة الناسخ والمنسوخ[7]
“yang ketiga adalah pengetahuan tentang sunah-sunah Nabi, yang merupakan
kaidah kubro, karena sebagian besar dalil taklif diperoleh dari ucapan-ucapan
Rosul, perbuatan-perbuatannya dan keadaan-keadaannya. Dan sebagian ayat al-Qur’an
tidak terlepas dari penjelasan Rosul, kemudian untuk memastikan kebenaran
sebuah hadits harus ditempuh dengan mendalami pengetahuan tentang para rowi,
mengetahui khobar Nabi apakah shoih atau tidak, tau sebab-sebab jarh wa ta’dil,
dan apa-apa yang mempengaruhi kepastian suatu hadits dari keadaan setiap rowi
dan kredibilitasnya, tau musnad dan mursal, tau sejarah wurudnya hadits
sehingga dia tau hadits-hadits yang nasikh dan yang mansukh”
8. Memiliki pengetahuan tentang bahasa Arab
Untuk mampu memahmi dan menganalisa maksud baik yang tersurat maupun
tersurat dalam bahasa Arab, seorang mujtahid harus menguasai hal-hal dibawah
ini;
- Matan
al-lughoh
Matan al-lughoh (متن اللغة) maksudnya adalah mengetahui dengan benar
makna-makna setiap kosa kata bahasa Arab, ada yang bersifat murodif, musytarok
dan sebagainya.
- Nahwu
Dengan nahwu seorang mujtahid mengetahui struktur sebuah kalimat, sehingga
mamudahkan dalam memahami maksud suatu kalam (ucapan)
- Shorf
Dengan shorf seorang mujtahid mengetahui bagaimana suatu kata/kalimat
terbentuk, tau mengapa suatu huruf bertukar, bertambah atau berkurang dan
selainnya.
- Balaghoh
Dengan balaghoh seorang mujtahid dapat mengetahui suatu kalimat apakah itu
sebuah kinayah, atau majaz, apakah itu khobar atau insya dan lain-lain, yang
pada intinya, membantu seorang mujtahid dalam memahami maksud yang ingin
disampaikan dalam bahasa Arab yang begitu luas, indah dan dalam.
Imam al-Haromain mengatakan dalam kitabnya:
وينبغي أن يكون المفتي عالماً باللغة، فان
الشريعة عربية، وإنما يفهَمُ أصولها من الكتاب والسنة من يعرف لغة العرب[8]
“Dan sudah selayaknya bagi seorang mufti (mujtahid) mengetahui bahasa Arab,
karena syari’at Islam menggunakan bahasa Arab, dan bahwasanya dipahami
dalil-dalil syariat itu oleh orang-orang yang paham bahasa Arab”
Namun bukan syarat seorang mujtahid untuk menguasai bahasa Arab secara
keseluruhan, karena itu hal yang hampir mustahil, Imam Syafi’i (w 204 H)
mengatakan:
ولسان العرب أوسع الألسنة مذهباً، وأكثرها
ألفاظاً، ولا نعلمه يحيط بجميع علم إنسان غير نبي[9]
“Dan bahasa Arab merupakan bahasa yang paling luas (cangkupan maknanya),
paling banyak kosakatanya, dan kami tidak tahu ada seorang pun yang menguasai
secara keseluruhan selain seorang Nabi”
Tetapi yang dimaksud menguasai disini adalah kemampuan untuk memahami
bahasa Arab, gaya bahasanya, cara penggunaanya dan sebagainya, yang mana
membantu seorang mujtahid untuk memahami maksud yang ingin disampaikan.
9. Mengetahui masalah-masalah Ijma’
Wajib hukumnya seorang mujtahid mengetahui masalah-masalah yang sudah
di-Ijma’kan, sehingga dia tidak berfatwa dalam suatu masalah menyelisihi apa
yang sudah di-Ijma’kan. Seorang mujtahid juga harus mengetahui jenis-jenis
Ijma, dan ketentuan-ketentuannya.
10. Mengetahui madzhab-madzhab ulama dalam masalah-masalah khilaf
Seorang mujtahid juga harus mengetahui madzhab-madzhab atau
pemikiran-pemikiran ulama mutaqodimin, serta mengetahui pendapat-pendapat para
salaf, agar dia mendapat cahaya dengan cahaya keilmuan ulama terdahulu, juga
agar dia mendapat faidah dari pemikiran dan akal-akal para pendahulunya.
Imam Syafi’i berkata :
ولا يكون لأحد أن يقيس حتى يكون عالماً
بما مضى قبله من السنن، وأقاويل السلف، وإجماع الناس، واختلافهم[10]
“dan tidak boleh seseorang berijtihad sampai dia mengetahu apa yang sudah
berlalu, dari mulai sunah-sunah Nabi, ucapan-ucapan salaf (ulama terdahulu),
ijma para ulama dan perselisihan mereka”.
11. Mengetahui ilmu Ushul fiqh
Diantara hal yang harus dikuasai seorang mujtahid bahkan yang terpenting
adalah menguasai ushul fiqh, karena ushul fiqh merupakan asas dalam berijtihad,
dengan ushul fiqh seorang mujtahid mampu menerapkan dalil pada madlul (objek
dalil)nya dengan benar, dan mampu meng-istibath hukum dari dalil dengan benar.
Selain syarat-syarat di atas yang begitu berat, ada hal lain juga yang
harus diperhatikan oleh seorang mujtahid, diantaranya adalah sikap waro’ atau
berhati-hati dalam segala hal yang terindikasi kurang baik, terkenal dengan
sikap taat beragama, dan sebagainya.
Imam Nawawi (w 676 H) -rohimahullah- berkata:
وينبغي أن يكون المفتي ظاهر الورع مشورا
بالديانة الظاهرة والصيانة الباهرة
“Dan selayaknya seorang mufti itu harus memiliki sikap wara’, menampakkan
sikap-sikap religius, dan mejaga penampilan yang elok”
Selain sikap-sikap di atas, di antara hal yang harus dimiliki oleh seorang
mujtahid adalah rasa takut kepada Allah, takut kelak mempertanggungjawabkan
fatwa-fatwanya di hadapan Allah ﷻ, Imam Malik (w 179 H) berkata:
من أجاب في مسألة فينبغي قبل الجواب أن
يعرض نفسه على الجنة والنار وكيف خلاصه ثم يجيب
“Barangsiapa yang ingn menjawab suatu masalah (berfatwa) hendaklah dia
mengajukan pada dirinya surga dan neraka, dan bagaimana dia terlepas dari
neraka itu, barulah dia menjawab”
Pintu ijtihad memang masih terbuka, dan barangsiapa hendak menggali hukum
langsung dari al-Qur’an, hendaklah dia sematkan atau deklarasikan dirinya
sebagai mujtahid mutlak, dan supaya sah menjadi mujtahid mutlak hendaklah
dipenuki syarat-syaratnya.
Terakhir, penulis ingin menyampaikan sebuah kata penuh hikmah yang terucap
dari lisan orang yang mulia, Umar bin Abdul Aziz:
رحم الله امرئ عرف قدر نفسه
“Semoga Allah merahmati seseorang yang menyadari kapasitas dirinya”
Juga ucapan seorang Mujtahid mutlak, guru dari Mujtahid mutlak dan seorang
Imam madzhab, Malik bin Anas, beliau berkata:
ما أفتيت حتى شهد لي سبعون أني أهل لذلك
“Aku tidak berfatwa sampai aku mendapat persaksian dari tujuh puluh orang
(yang adil) bahwa aku memang sudah ahlinya”
[1] HR.
Malik
[2] Al-Fiqhu
al-Islami wa adillatuhu (1/62-63)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar