Kamis, 07 Juli 2011

QONA'AH

Assalamu’alaikum wr wb..

Dijaman era globalisasi ini, dan persaingan dalam kehidupan dunia yang sudah semakin tidak wajar, maka alangkah baiknya bila kita kembali merenungi hadits Rasul SAW tentang pola hidup sederhana, menerima setiap pemberian Allah dengan ikhlas dan ridho, serta selalu mensyukuri atas Nikmat yang Allah berikan kepada kita.

Berikut adalah artikel Qona’ah agar kita bisa memahami salah satu sifat ini, dan semoga kita bisa istiqomah dan benar-benar mengamalkan sifat ini…aamiinn..

Qona’ah

As Syaikh Ahmad Ar Rifa’i dalam kitabnya yang berjudul Riayatal Himmah Juz akhir berkata, qonaah menurut bahasa artinya tenang, sedangkan makna terminologi syar’i yaitu tenang hatinya mengharap ridho Allah semata serta mengambil dunia seperlunya sesuai dengan kebutuhan, sekira dapat digunakan untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Intinya, qonaah adalah merasa tenang dan terima terhadap apa yang diberikan oleh Alloh kepadanya, tidak loba dunia, tamak, rakus ataupun menjadikan dunia sebagai tujuan hidupnya semata

Dalil Qona’ah adalah hadits Rosulullah SAW sebagai berikut :

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kekayaan (yang haqiqi) bukanlah dengan banyaknya harta. Namun kekayaan (yang haqiqi) adalah kekayaan jiwa.” (HR. Bukhari dan Muslim).

“Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki yang secukupnya dan Allah menganugrahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezki yang Allah berikan kepadanya”[ HR Muslim].

Hadits yang mulia menunjukkan besarnya keutamaan seorang muslim yang memiliki sifat qanaa’ah [Syarh shahiih Muslim, imam an-Nawawi ], karena dengan itu semua dia akan meraih kebaikan dan keutamaan di dunia dan akhirat, meskipun harta yang dimilikinya sedikit [Faidhul Qadiir 4/508].

Qona’ah bukanlah menyuruh seseorang untuk menjadi malas dalam berusaha, namun lebih mengutamakan agar seseorang lebih mensyukuri segala sesuatu yang sudah diterimanya, dan segala sesuatu yang belum diterimanya. Untuk hal-hal yang belum diterima atau diterima namun jumlahnya tidak sesuai dengan yang diharapkannya, maka manusia dianjurkan untuk beberapa hal berikut ini.

1. Yakin bahwa rizki telah tertulis

Sesuai dengan hadits dari Ibnu Mas’ud Radiyallahu anhu, tentang Takdir (dalam hadits yang panjang) disebutkan sabda Rasulullah Sholallahu alaihi wassalam diantaranya, “…kemudian Allah Subhanallahu Wa Ta’ala mengutus kepadanya (janin) seorang malaikat lalu diperintahkan menulis empat kalimat (ketetapan), maka ditulislah rizkinya, ajalnya, amalnya, celaka dan bahagianya……..” (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad)

Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah dan carilah nafkah dengan cara yang baik, karena sesungguhnya seseorang sekali-kali tidak akan meninggal dunia sebelum rezekinya disempurnakan, sekalipun rezekinya terlambat (datang) kepadanya. Maka, bertakwalah kepada Allah dan carilah rezeki dengan cara yang baik, ambillah yang halal dan tinggalkanlah yang haram." (Hadits shahih, Shahih Ibnu Majah no. 1743 dan Ibnu Majah II: 725 no. 214)

Seorang hamba hanya diperintahkan untuk berusaha dan bekerja dengan keyakinan bahwa Allah Subhanallah Wata’ala yang memberikan rizkinya dan bahwa rizkinya telah tertulis.

2. Mengetahui hikmah diberikannya rejeki yang berbeda-beda dari tiap manusia.

Sebagai orang beriman kita harus percaya kepada Al Quran, dimana dalam salah satu firman Allah dalam Al Quran adalah ,”Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa Sesungguhnya Allah melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan (rezki itu). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang beriman” (Ar Ruum, 37).

Sesungguhnya salah satu hikmah dilapangkannya rejeki adalah untuk mengetahui apakah kita termasuk orang yang bersyukur atau tidak. Dan bila rejeki kita disempitkan sesungguhnya kita sedang diuji apakah kita termasuk orang yang bersabar ataukah tidak. Maka tergantung kita dalam menyikapi rizki yang Allah berikan. Tidak perlu bersedih jika memang kita tidak ditakdirkan mendapatkan rizki sebagaimana saudara kita. Allah tentu saja mengetahui manakah yang terbaik bagi hamba-Nya. Cobalah pula kita perhatikan bahwa rizki dan nikmat bukanlah pada harta saja. Kesehatan badan, nikmat waktu senggang, bahkan yang terbesar dari itu yaitu nikmat hidayah Islam dan Iman, itu pun termasuk nikmat yang patut disyukuri.

3. Melihat ke bawah dalam hal dunia

Dalam urusan dunia hendaknya kita melihat kepada orang yang lebih rendah, jangan melihat kepada orang yang lebih tinggi, sebagaimana sabda Rasulullah, “Lihatlah kepada orang yang lebih rendah dari kamu dan janganlah melihat kepada orang yang lebih tinggi darimu. Yang demikian itu lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah” (HR. Bukhari dan Muslim)

4. Menyadari betapa beratnya pertanggungjawaban harta

Bahwa harta akan mengakibatkan keburukan dan bencana bagi pemiliknya jika dia tidak mendapatkannya dengan cara yang baik serta tidak membelanjakannya dalam hal yang baik pula.

Ketika seorang hamba ditanya tentang umur, badan, dan ilmunya maka hanya ditanya dengan satu pertanyaan yakni untuk apa, namun tentang harta maka dia dihisab 2 kali, yakni dari mana dia mendapatkannya dan kemana dia membelanjakannya. Hal ini menunjukan beratnya orang yang diberi amanat harta yang banyak sehingga dia harus dihisab lebih lama dibandingkan orang yang lebih sedikit hartanya.

5. Selalu memanjatkan doa kepada Allah agar menjadi orang yang selalu merasa cukup.

Dari Ibnu Masud radhiyallahu anhu, beliau berkata,

أنَّ النبيَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يقول : (( اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

"Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa membaca doa: "Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal afaf wal ghina"." (HR. Muslim no. 2721)

Faedah hadits:

Pertama: Yang dimaksud dengan "al huda" adalah petunjuk dalam ilmu dan amal. Yang dimaksud "al afaf" adalah dijauhkan dari yang tidak halal dan menahan diri darinya. Yang dimaksud "al ghina" adalah kaya hati, yaitu hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada harta yang ada di tangan orang lain.

An Nawawi –rahimahullah- mengatakan, " Afaf dan iffah bermakna menjauhkan dan menahan diri dari hal yang tidak diperbolehkan. Sedangkan al ghina adalah hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada apa yang ada di sisi manusia." (Syarh Muslim, 17/41)

Kedua: Keutamaan meminta petunjuk ilmu sekaligus amal karena yang dimaksud al huda adalah petunjuk dalam ilmu dan amal.

Ketiga: Keutamaan meminta ketakwaan. Yang dimaksud takwa adalah menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah. Takwa diambil dari kata "wiqoyah" yang maknanya melindungi, yaitu maksudnya seseorang bisa mendapatkan perlindungan dari siksa neraka hanya dengan menjalankan setiap perintah dan menjauhi setiap larangan.

Keempat: Keutamaan meminta sifat afaf atau iffah yaitu agar dijauhkan dari hal-hal yang diharamkan semacam zina. Berarti doa ini mencakup meminta dijauhkan dari pandangan yang haram, dari bersentuhan yang haram, dari zina dengan kemaluan dan segala bentuk zina lainnya. Karena yang namanya zina adalah termasuk perbuatan keji.

Kelima: Keutamaan meminta pada Allah sifat al ghina yaitu dicukupkan oleh Allah dari apa yang ada di sisi manusia dengan selalu qonaah, selalu merasa cukup ketika Allah memberinya harta sedikit atau pun banyak. Karena ingatlah bahwa kekayaan hakiki adalah hati yang selalu merasa cukup. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

"Kekayaan (yang hakiki) bukanlah dengan banyaknya harta. Namun kekayaan (yang hakiki) adalah hati yang selalu merasa cukup." (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051)

Semoga kita semua bisa selalu merasa Qona’ah atas apa yang Allah berikan kepada kita..

Aamiinn……

Wallahua’lam bishowab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar