Seorang yang dengan penuh kesungguhan mengumpulkan dan mengkaji perkataan para ulama besar salafi mengenai membentuk partai politik akan mengetahui bahwa mereka tidaklah melarang pembentukan partai politik secara mutlak. Akan tetapi fatwa yang diberikan oleh para ulama salafi mengenai masalah ini berbeda-beda tergantung negeri dan perbedaan kondisi penduduknya. Uraian lebih detailnya adalah sebagai berikut:
Pertama, para ulama salafi membolehkan kaum muslimin yang tinggal di negara kafir untuk membentuk partai politik dalam kerangka tolong menolong dalam kebaikan dan takwa sebagaimana fatwa Lajnah Daimah yang membolehkan pembentukan partai politik ketika Lajnah Daimah memberikan jawaban untuk pertanyaan yang terdapat dalam fatwa Lajnah Daimah no 5651 23/407-408 yang ditandatangani oleh Syaikh Abdullah bin Qaud, Syaikh Abdullah bin Ghadayan, Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. Fatwa beliau-beliau itu terkait teks pertanyaan berikut ini:
“سؤال : هل يجوز إقامة أحزاب إسلامية في دولة علمانية وتكون الأحزاب رسمية ضمن القانون، ولكن غايتها غير ذلك، وعملها الدعوي سري؟
Pertanyaan, “Apakah diperbolehkan membentuk partai Islam di sebuah negara yang murni sekuler dan partai tersebut legal sebagaimana UU kepartaian yang ada? Akan tetapi tujuan dibentuknya partai tidaklah semata-mata partai. Tujuan dakwah dari partai ini disembunyikan”.
الجواب : يشرع للمسلمين المبتلين بالإقامة في دولة كافرة أن يتجمعوا ويترابطوا ويتعاونوا فيما بينهم سواء كان ذلك باسم أحزاب إسلامية أو جمعيات إسلامية؛ لما في ذلك من التعاون على البر والتقوى”.
Jawaban Lajnah Daimah, “Dibenarkan bagi kaum muslimin yang tinggal di negara kafir untuk berkumpul, menjalin hubungan dan tolong-menolong di antara sesama mereka baik dengan nama partai politik Islam ataupun ormas Islam. Dikarenakan hal tersebut adalah bagian dari tolong menolong dalam kebaikan dan takwa”.
Sekali lagi kami tegaskan bahwa hendaknya keberadaan partai tersebut adalah bagian dari tolong menolong dalam kebaikan dan takwa.
Kedua, para ulama besar salafi membolehkan sebagian kaum muslimin yang tinggal di sebagian negeri Islam yang di sana ahlus sunnah wal jamaah ditindas dan diinjak-injak oleh ahli bid’ah setelah bermusyawarah bersama para ulama untuk saling tolong menolong di antara sesama, menata barisan dan menyatukan pandangan dan tidaklah mengapa jika mereka mengangkat ketua atau pimpinan ahlu sunnah di negara tersebut. Sebagaimana penjelasan Syaikh Utsman al Kamis terkait penderitaan ahli sunnah di Iraq sebagai contoh. Beliau mengatakan,
“ولذلك وبحسب ما تعلَّمنا من مشايخنا وعلمائنا الذين وجَّهونا إلى وجوب ردِّ الأمر إلى أهله؛ اقتداء بقول الله -تبارك وتعالى-: {وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ} , لذلك كله قمنا بأخذ الأسئلة والتوجه بها إلى العلماء من أمثال سماحة المفتي: عبد العزيز بن عبد الله آل الشيخ، وسماحة الشيخ: صالح بن فوزان الفوزان، وسماحة الشيخ: عبد الله المطلق، وسماحة الشيخ: محمد بن حسن آل الشيخ، وفضيلة الشيخ: عبد العزيز السدحان ، والذين تطابقت إجاباتهم على:
“Oleh karena itu menurut apa yang kami pelajari dari para ulama kita yang mereka sendiri yang mengarahkan kita untuk mengembalikan urusan besar kepada orang yang capable untuk menanganinya dalam rangka mengikuti firman Allah yang artinya, “Andai mereka mengembalikan permasalahan tersebut kepada rasul atau ulul amri (baca: ulama) di antara mereka tentu orang-orang yang hendak membuat kesimpulan dari permasalahan tersebut pasti akan mengetahui kesimpulan yang benar tentangnya” [QS an Nisa:83].
Oleh karena itu kami telah menuliskan berbagai pertanyaan lalu mengajukannya kepada para ulama semisal Syaikh Mufti KSA Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh, Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan, Syaikh Abdullah al Muthlaq, Syaikh Muhammad bin Hasan alu Syaikh dan Syaikh Abdul Aziz as Sadhan. Mereka semua bersepakat untuk memberikan jawaban sebagai berikut:
“وجوب التعاون بين جميع المنتسبين لأهل السنة.
وعلى الدفاع عن النفس والعرض والمال إذا تمَّ التعرض لهم.
وعلى كفِّ اليد ما لم تكن هناك راية، وما لم تُعد العدة.
وعلى لزوم الدعوة إلى الله ونشر العقيدة الصحيحة بين الناس.
وعلى عدم إثارة أي طرف عليهم.
وعلى أن ينظِّموا صفوفهم وأن تتحد كلمتهم.
وعلى أن يكونوا حذرين ممنْ حولهم.
ولا مانع أن يجعلوا لهم أميرا”.
Wajibnya tolong menolong di antara semua orang yang menyatakan dirinya sebagai bagian dari ahli sunnah.
Wajibnya mana kala nyawa, kehormatan dan harta diganggu.
Tidak berperang selama belum ada komandan yang legal secara syariat dan perlengkapan senjata belum disiapkan dengan baik.
Wajibnya terus giat mendakwahkan agama Allah dan menebarkan akidah yang benar di tengah-tengah masyarakat.
Wajib tidak melakukan tindakan yang memancing kebrutalan pihak tertentu terhadap ahlu sunnah.
Wajibnya menata barisan dan menyamakan presepsi.
Wajib mewaspadai orang-orang di sekeliling mereka.
Tidaklah mengapa mengangkat seseorang sebagai ketua ahli sunnah”.
Sekali lagi kami tegaskan bahwa ini semua dilakukan dalam kerangka musyawarah bersama para ulama.
Ketiga, memang benar bahwa salafi melarang pembentukan partai politik dan keagamaan di negeri kaum muslimin yang dipimpin oleh seorang penguasa muslim. Salafi melarang hal tersebut karena beberapa alasan. Di antara alasan pokoknya adalah sebagai berikut:
Pertama, terpecahnya kaum muslimin menjadi berbagai aliran keagamaan atau pun berbagai partai politik adalah fenomena yang memilukan sekaligus perilaku yang terlarang karena bertabrakan dengan berbagai ayat al Qur’an dan berbagai hadits Nabi di antaranya:
{وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا} ,
Yang artinya, “Berpegang teguhlah kalian semua dengan agama Allah dan janganlah kalian berpecah belah” [QS ali Imran:103]
وقوله سبحانه : {إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ} الآية
Yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka terbagi menjadi beberapa kelompok sama sekali engkau bukanlah bagian dari mereka” [QS al An’am:159].
وقوله سبحانه قال الله تعالى: {إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أمة وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ]} ,
Yang artinya, “Sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu. Aku adalah sesembahan kalian maka sembahlah aku” [QS al Anbiya:92]
وفي الآية الأخرى : {وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُون} ,
Dalam ayat yang lain, “Dan aku adalah Rabb kalian maka bertakwalah kalian kepadaku” [QS al Mukminun:52].
وقال تعالى: {وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ}.
Yang artinya, “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah belah dan berselisih setelah sampai kepada mereka berbagai bukti yang nyata. Untuk mereka siksaan yang besar” [QS Ali Imran:105].
Kedua, membentuk berbagai partai politik yang memiliki tujuan pokok menjadi oposisi pemerintah adalah tindakan yang berlawanan dengan prinsip taat kepada penguasa muslim selama dalam bingkai ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya. Di samping itu, juga bertolak belakang dengan berbagai dalil yang mengharamkan tindakan membangkang kepada penguasa dan taat kepada Allah, rasul-Nya dan penguasa, bukan selainnya.
Ketiga, konsekuensi dari masuk ke dalam dunia politik praktis dan membentuk berbagai partai politik adalah membicarakan berbagai permasalahan yang menjadi kewenangan penguasa dengan tujuan menyalahkan kebijakan penguasa lalu menyebarluaskan kesalahan penguasa tersebut. Tentu saja, sikap ini sangat jauh dari sikap menginginkan kebaikan untuk penguasa. Sehingga tindakan ini bertolak belakang dengan berbagai dalil syariat.
Oleh karena itu para ulama dakwah salafiyyah menolak pembentukan partai politik. Barang siapa yang memiliki ‘catatan’ terhadap kebijakan pemerintah maka hendaklah dia menyampaikan nasihat dengan baik. Jika nasihat diterima, maka itulah yang diharapkan. Jika tidak, yang penting dia telah melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya. Mengumbar sikap pemerintah yang tidak menerima kritikan adalah tindakan membuka lebar-lebar pintu keburukan.
Referensi:
http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?p=125296#post125296
Artikel www.ustadzaris.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar