Kamis, 21 Juli 2011

Bukankah Kita Bisa Bersaudara, Meski Kita Beda Pendapat

Penulis : Ust Aris Munandar

Imam Ahmad bin Hambal -rahimahullah- mengatakan,

«لا أُعَنَّفُ مَنْ قال شيئاً له وَجْهٌ وإنْ خَالفْنَاهُ»

“Aku tidak akan berkomentar keras terhadap orang yang memiliki suatu pendapat yang menyelisihi pendapat kami asalkan memiliki alasan yang bisa dipertanggungjawabkan”.

Perkataan Imam Ahmad bin Hanbal di atas merupakan kaedah penting dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam ranah ijtihad tentunya. Terdapat banyak dalil yang menunjukkan benarnya perkataan beliau di atas dan perkataan beliau di atas juga diterapkan oleh para ulama yang memiliki sikap yang adil.

Perkataan di atas merupakan kata putus dalam menyikapi perbedaan pendapat. Komitmen dengannya akan membebaskan kaum muslimin dari pertikaian yang berkepanjangan dan berujung dengan permusuhan dan berbuahkan kebencian.

Sungguh bahagia orang yang komitmen dengannya. Betapa bahagianya kaum muslimin andai mau menerapkannya.

Untuk memahami urgensi perkataan Imam Ahmad di atas, perhatikanlah lima poin penting berikut ini.

1. Hampir-hampir tidak ada masalah ilmiah yang tidak mengandung perbedaan pendapat di antara para ulama.

2. Kadar perbedaan di antara para ulama itu bertingkat-tingkat. Ada perbedaan pendapat (khilaf) yang bobotnya lemah dan ada yang bobotnya kuat.

3. Perbedaan pendapat yang bobotnya kuat adalah perbedaan pendapat dalam masalah ijtihadiah (masalah yang tidak ada dalil tegas yang shahih dalam masalah tersebut). Itulah perbedaan yang setiap pendapat memiliki argument yang bisa diterima dan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Yang menentukan secara pasti manakah perbedaan pendapat yang berbobot kuat ataukah tidak adalah para ulama mujtahid.

4. Pendapat yang benar itu hanya satu. Namun kita semua wajib memahami bahwa semua ulama mujtahid itu hanya berbicara dengan dasar ilmu, bukan hawa nafsu serta hanya mengikuti ilmu. Namun ilmu orang itu tentu berbeda-beda sehingga ada ulama yang memiliki ilmu yang tidak dimiliki oleh yang lain. Boleh jadi karena mengetahui dalil yang tidak diketahui oleh yang lain atau memiliki pemahaman yang tidak dipahami oleh yang lain.

5. Jika ada orang yang memiliki pendapat yang beda dengan pendapat kita dalam masalah-masalah ijtihadiah maka beda pendapat dalam hal semisal ini hukumnya boleh sehingga kita tidak boleh bersikap kasar kepadanya apalagi menilainya sebagai orang yang sesat.

Dengan menelaah lima poin di atas, kita akan semakin paham urgensi dari kaedah yang diletakkan oleh Imam Ahmad di atas.

Terdapat perkataan indah dan rincian menarik yang disampaikan oleh salah seorang ulama kaum muslimin yang selayaknya direnungkan oleh kaum muslimin karena perkataan tersebut merupakan penjelasan rinci untuk kandungan perkataan Imam Ahmad di atas. Itulah perkataan Izzuddin bin Abdis Salam dalam buku beliau, Syajarah al Ma’arif wa al Ahwal (hal 381).

Berikut ini adalah ringkasan perkataan beliau,

1. Menyalahkan atau mengingkari suatu pendapat itu bisa jadi dalam perkara yang disepakati kewajibannya atau keharamannya.

2. Orang yang meninggalkan perkara yang diperselisihkan wajibnya atau melakukan suatu hal yang diperselisihkan keharamannya tidaklah lepas dari dua kemungkinan.

Pertama, orang tersebut melakukan hal tadi karena motiv taklid dengan ulama, maka orang ini tidak boleh disalahkan kecuali jika dia taklid dengan ulama dalam permasalahan yang jelas-jelas bertolak belakang dengan dalil yang shahih dan tegas maknanya.

Kedua, orang tersebut memang orang yang tidak tahu, maka orang ini pun tidak boleh disalahkan meskipun tidak mengapa seandainya kita bimbing orang tersebut untuk melakukan hal yang lebih tepat. Mengapa orang tersebut tidak boleh disalahkan? Jawabannya, karena dia tidak melakukan suatu yang haram. Orang yang bodoh tidak diharuskan untuk taklid dengan ulama yang berpendapat haram atau berpendapat wajib.

3. Diperbolehkan untuk membimbing orang awam agar memilih pendapat yang lebih hati-hati. Demikian pula diperbolehkan untuk berdiskusi dengan ulama agar beliau memilih dalil yang lebih kuat.

4. Berdasar uraian di atas maka tidak boleh mengingkari melainkan seorang yang tahu secara pasti bahwa perbuatan yang dia ingkari adalah perkara yang disepakati haramnya dan perbuatan yang dia perintahkan adalah perbuatan yang disepakati wajibnya. Namun yang dimaksud tidak boleh mengingkari adalah mengingkari masalah tersebut sebagaimana mengingkari suatu yang hukumnya haram. Sehingga pengingkaran dalam bentuk bimbingan agar melakukan yang lebih baik atau memerintah dengan maksud menasehati dan mengarahkan adalah suatu yang dibolehkan.

Penjelasan Izzuddin di atas adalah penjelasan yang berdasarkan berbagai dalil syariat dan tujuan syariat yang agung. Camkan penjelasan di atas dan jangan tertipu dengan metode orang-orang yang bersikap keras dan ekstrim. Cara beragama yang benar adalah pertengahan antara berlebih-lebihan dan sikap menyepelekan. Dalam Islam tidak ada fanatik terhadap manusia melainkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat. Terjadi banyak penyimpangan dalam beragama ketika pembelaan dan permusuhan bukan karena nabi.

Catatan:

Tulisan ini adalah hasil terjemahan dari tulisan Syaikh Abdus Salam Barjas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar