Rabu, 13 Juli 2011

Belajar dari Fathimah Al-Zahra

Bismillaahirrahmaanirrahiim
Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh,


BELAJAR DARI FATHIMAH AL-ZAHRA, KECINTAAN RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA
SALLAM.


Fathimah lahir di Makkah al-Mukarramah, pada tahun kelima dari kenabian.
Saat matanya terbuka... ia telah menyaksikan sebuah pasangan yang tengah
berjuang membebaskan kaumnya dari kegelapan jahiliah. Ketika ia mulai
belajar berjalan, dengan matanya yang jernih ia menyaksikan penindasan yang
dilakukan oleh penguasa kepada orang-orang yang "dosanya" hanyalah karena
mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Ayahnya, ibunya, pamannya, dan
seluruh karib kerabatnya dikeluarkan dari rumah-rumah mereka untuk
menghuni sebuah lembah yang tandus. Penduduk Makkah dilarang bergaul,
berdagang ataupun mengirim makanan pada mereka.


Fathimah kecil menyaksikan keteguhan hati ibunda dan ketegaran hati
ayahandanya. Dari mereka, ia menyerap ketabahan untuk menegakkan
nilai-nilai luhur.


Pada usia lima tahun, Fathimah meninggalkan kemah bersama ibunya yang
sedang sakit. Khadijah meninggal dunia ketika Fathimah masih belum kenyang
dengan dekapan kasih sayangnya. Kepedihan hati Fathimah menghunjam dalam di
hati Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, manusia yang disifatkan Allah
"sangat pengasih dan penyayang",


"Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri,
berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan bagimu kebaikan,
sangat pengasih dan penyayang terhadap orang-orang yang mukmin."
(At-Tawbah:128)


Rasulullah sangat menyayangi Fathimah. Pelukan ayahanda yang tulus itu
tidak pernah hilang dari Fathimah sepanjang hidupnya. Seringkali, di
hadapan orang banyak, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menunjukkan
kecintaannya kepada Fathimah, kecintaan yang di dalamnya terkandung kasih
sayang yang tulus, perhatian dan penghormatan seorang ayah. Aisyah
bercerita tentang Fathimah:


"Tidak ada orang yang paling mirip dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam dalam cara bicara, berjalan, dan duduknya selain Fathimah. Bila
Fathimah datang, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menyambutnya
dengan berdiri. Ia memegang tangan Fathimah dan menciumnya. Lalu
didudukannya di majelisnya." (Shahih at-Turmudzi 2:315; Mustadrak
al-Shahihain 3:154; Musnad Ahmad bin Hanbal 3; Shahih Muslim)


Fathimah membalas dengan kecintaan pada ayahnya yang memenuhi lubuk
hatinya. Ia mengasihi, merawat, dan memperlakukan Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam sebagaimana seorang ibu memperlakukan anaknya. Ketika
Rasulullah pulang dengan wajah dan kepala yang sudah tertutup lumpur,
Fathimah menyambut ayahnya dengan tangisan. Ia mengambil air, membasuh
kepala dan wajah Nabi yang mulia dengan tangan-tangan kecil yang terus
menerus bergetar karena kesedihan, kemarahan, dan kebingungan. Ia sedih,
bingung dan marah karena orang-orang telah memperlakukan ayahnya seperti
itu, membalas kebaikan ayahnya dengan penghinaan.


Sentuhan kasih sayang tidaklah dapat dipisahkan dari nilai-nilai yang agung.


Dalam berbagai peperangan, Fathimah seringkali ikut. Di perang Uhud, ketika
Rasulullah terluka parah, Fathimah datang, dan seperti biasa, ia tak pernah
bisa menahan tangisannya ketika melihat penderitaan Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam. Ia membasuh lukanya dan merawatnya.


Fathimah.... seorang wanita mukmin yang tumbuh dengan hati yang lemah
lembut dan dihiasi rasa kasih sayang. Cintanya kepada Allah dan juga kepada
ayahandanya membentuk dia untuk senantiasa berusaha menjadi wanita
sebagaimana yang dikehendaki Allah.


Fathimah dinikahkan dengan Ali bin Abi Thalib, yang dengan pedangnya
ditegakan pilar-pilar Islam. Ali bin Abi Thalib adalah laki-laki yang
"kufu" bagi Fathimah.


Bagi Fathimah, "kufu" tidak lagi berada pada dataran rendah seperti
kekayaan, status sosial, atau perhiasan dunia. "Kufu" bagi Fathimah adalah
kesamaan dalam keterlibatan terhadap nilai-nilai Ilahiah: ketaatan,
kesucian, kesabaran, kebenaran dan keadilan. "Kufu" bagi Fathimah bukan
"kufu" ekonomis dan komersial, tetapi "kufu" intelektual dan spiritual.


Keluarga Fathimah adalah contoh bahwa kebahagiaan rumah tangga tidak
ditegakkan di atas kemewahan kekayaan atau kedudukan. Keduanya hidup sangat
sederhana. Mereka menemukan saat-saat yang paling indah, bukan pada
pesta-pesta mewah di atas lantai yang gemerlap, tetapi pada waktu bersujud
di atas tanah yang dingin. Saat-saat indah dan mengesankan bagi mereka
adalah bukan pada gelak tawa di kerumunan manusia, tapi pada jerit tangis
di hadapan Yang Maha Kuasa.



Wassalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh,
Jenny

Tidak ada komentar:

Posting Komentar