SAFIH
Safih adalah penyakit lemah akal (pikiran) dalam menentukan pilihan, pertimbangan, keputusan secara cepat dan tepat atas segala sesuatu yang sedang dan akan dikerjakan, guna mendapatkan hasil yang benar.
Dalam istilah Al-Qur'an, terdapat dua kategori safih, yaitu sebagai berikut:
1. Safih dalam persoalan agama.
Dalam hal ini, Allah berfirman,"Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: 'Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?'" (Q.S. Al-Baqarah, 142).
Ayat ini menjelaskan kelemahan akal kaum Yahudi (Madinah)dalam memahami kebenaran yang diajarkan Nabi Muhammad kepada umat Islam mengenai pemindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Masjidil Haram (Kabah).
Dalam konteks dan peristiwa lainnya, Allah juga menyatakan sifat safih ini kepada orang munafik yang enggan menerima Islam dalam hatinya:
"Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak menyadari." (Q.S. Al-Baqarah, 13).
Banyak orang yang safih dalam agama. Akal mereka lemah untuk memahami keagungan dan kesempurnaan agama Islam. Orang-orang kafir, sejak zaman Rasulullah sampai sekarang
adalah orang-orang safih meskipun mereka memiliki nalar yang cemerlang, mampu meraih puncak kemajuan sains dan teknologi yang akhirnya mereka pertuhankan. Karena itu, bagaimanapun hebatnya, mereka tidak dapat diserahi tanggung jawab untuk mengolah bumi ini. Namun, karena umat Islam, berada jauh di barisan belakang dalam percaturan dunia ini, merekalah kini yang menjadi pemeran utama dalam kekhalifahan
di bumi. Akibatnya, kerusakan dalam berbagai aspek kehidupan, baik di daratan maupun di lautan bahkan di ruang angkasa, tidak dapat dielakkan lagi.
Allah berfirman, "Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan yang disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari akibat perbuatannya, agar mereka kembali ke jalan yang benar." (Q.S. Ar-Rum, 41).
2. Safih dalam hal duniawi,
Yaitu lemahnya akal dalam mengelola harta kekayaan.
Contohnya, anak yatim yang tidak mampu mengelola harta warisan kedua orang tuanya, atau, siapa saja yang belum cukup dewasa untuk dapat mengurusi hartanya.
Allah berfirman, "Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta mereka yang ada dalam kekuasaanmu yang telah Allah jadikan sebagai pokok bagi kehidupannya. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkan kepada mereka kata-kata yang baik." (Q.S. An-Nisa, 5).
Berdasarkan hal itu, Islam mensyariatkan adanya wali bagi anak-anak yatim, yang menggantikan posisi kedua orang tuanya, baik dalam mengurusi harta benda warisannya maupun dalam memberikan bimbingan pendidikannya.
Dari kedua macam penyakit safih ini, yang menjadi penyebab utama timbulnya kemubaziran dalam mendayagunakan harta adalah ketidakmampuan akal dalam memahami keagungan, dan kesempurnaan syariat Islam. Padahal salah satu misi syariat Islam adalah memelihara harta benda.
Wallahua'lam bishowab.
Penulis : Uwes al Qorni
Ok.
BalasHapus