Minggu, 27 Februari 2011

KE MASJIDIL HARAM AKU BERBECAK

Kisah yang memotivasi, namun sudah cukup lawas (tahun 2000), mudah-mudahan masih bermanfaat.



Ke Masjidil Haram Aku Berbecak



Menabung 39 tahun, tukang becak dan tukang sayur berangkat haji. Modalnya sederhana, hemat, dan tekun.



WANITA berjilbab kembang-kembang itu melompat pelan. Pengemudi becak yang ditumpanginya, dengan napas kembang kempis, menyeka keringat yang berleleran di keningnya. Bercelana pendek dan bertopi koboi, Wamir, pengemudi becak itu, masuk ke pelataran kantor Departemen Agama Brebes, Jawa Tengah. Istrinya, wanita tua berjilbab tadi, mengekori. "Pak, pinten ongkosipun mangkat kaji tiyang kalih (Pak, saya mau naik haji, berapa ongkosnya berdua,)" kata Wamir kepada petugas urusan haji. Sesaat si petugas menakar tak yakin, lalu memberikan keterangan

lengkap dan mengantarkannya ke bank BRI.



Lelaki sepuh berumur 65 tahun itu mengarahkan becaknya ke bank. Uang sejumlah Rp 35.516.000 yang dibungkus kain pun berpindah tangan. "Saya sudah pasrah, uang itu untuk naik haji. Sekarang uang saya tinggal puluhan ribu saja," lanjut Wamir usai membayar. Ditemani hujan rintik-rintik, pasangan itu pulang dengan senyum

sumringah.



Wamir dan Suri'ah pantas gembira. Biaya memenuhi rukun Islam kelima itu didapatnya dari menggenjot becak dan menjual sayuran. Saban harinya, lelaki berperawakan kecil itu mangkal di pasar Brebes. Seusai salat subuh, bersama

Suri'ah yang sudah siap dengan sayur dan bumbu masak dagangannya, mereka berangkat bersama. "Saya tak pernah ngoyo. Ada rezeki, Alhamdulillah, dikumpulkan. Tak ada, ya berdoa dan berusaha," kata Wamir. Tetangganya di

Kampung Pasarbatang menyebut pasangan itu seperti mimi lan mintuna alias Romeo dan Juliet.



Padahal, sejak menikah pada l950, kehidupan mereka amat miskin. Orangtuanya hanya mewariskan rumah kumuh. Maklum, orangtua Wamir hanya petani penggarap. Waktu melaju, hingga menapaki usia perkawinan ke-10. Saat dikaruniai satu anak, Wamir berpikir untuk mengganti pekerjaan. Wamir mencari utangan untuk membeli sebuah becak seharga Rp 15.000.



Hari pertama mengayuh becak menjadi pengalaman menyakitkan buat Wamir. Dari pasar Brebes (kota) ke Tegal yang jaraknya sekitar 15 kilometer cuma dibayar Rp 10. Karena Wamir prigel dan ramah, dia cepat mendapat langganan. Selain pesaingnya masih sedikit, Wamir melengkapi becaknya dengan pelbagai aksesoris, macam lampu dan bel. "Berbeda dengan mencangkul yang hanya menggerakkan tangan dan badan, mbecak bergerak seluruh badan. Rasanya tulang mau patah-patah," kenangnya. Obatnya murah, pijatan sayang sang istri.



Serbuan becak-becak ke Brebes, pada l976, membuat langganan Wamir berkurang. Uang tabungan sejak l960 dialihkan ke usaha bawang merah. Dia juga berjualan ayam dan kayu bakar. Meski sedikit, Wamir telaten menyimpannya. "Pikiran saya suatu saat akan naik haji, seperti pak kyai," katanya polos. Wamir yang buta huruf seolah hanya berkarya dan bekerja, tanpa pamrih. "Bisa menabung Rp 1.000, sudah lumayan," tambahnya. Tiga tahun lampau, ketika Indonesia belum dilanda krisis moneter, biaya haji baru Rp 8 juta. Tapi, uang Wamir belum cukup.

Alhamdulillah, sepanjang tiga tahun ini, rezeki Wamir mengalir lancar. Penumpang yang biasanya hanya lima, terkadang mencapai puluhan sehari. Apalagi, harga bawang merah juga ikut melonjak.



Sampai suatu ketika, beberapa pekan lalu, Wamir dan Su'riah menyisakan waktunya selama tiga hari untuk menghitung uang yang disimpan di rumah. Masya Allah, jumlah uang yang terkumpul ada sekitar 35,5 juta. "Saat itu saya berpikir, wah ini untuk bangun rumah saja," katanya. Tapi, istrinya marah-marah. "Dulu, kita kumpulin uang untuk naik haji. Rumah kan tak dibawa mati," kata Suri'ah, mengingatkan suaminya.



Wamir terhenyak. Paginya, mereka sepakat mendaftar haji. Ternyata, masa pendaftaran sudah ditutup. Oleh tetangganya yang kerja di sana, diberitahu akan ada pendaftaran susulan menunggu hitungan kuota provinsi Jawa Tengah. Harap-harap cemas menunggu, kabar dari Semarang pun tiba, jamaah Brebes bisa ditambah. "Kami mendaftar di urutan kedua," kata Wamir dengan wajah cerah.



Kini, di rumahnya yang sederhana, hanya berisi satu set kursi lusuh, lemari, dan dipan, Wamir dan Su'riah -yang ditemani empat dari sepuluh cucunya- setiap malam mengaji, salat tahajud, dan salat taubat. Karena sibuk manasik haji, maka Wamir sementara stop mbecak. Meski begitu, mereka sesekali kelihatan di pasar. "Kami tetap bekerja untuk bekal di Makkah dan ditinggal buat cucu," kata Wamir. Keduanya berniat tak akan berganti pekerjaan sepulang dari tanah suci. Hanyafrekuensinya akan dikurangi, sebab Wamir akan berkonsentrasi ke bawang merah. Berhaji dengan perasan keringat, mudah-mudahan mabrur. Amien.



A. Latief Siregar, dan H. Khoiri Ahmadi (Brebes)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar