Berikut ada kajian fiqh dari syarah Kitab Bulughul Marom karya Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam tentang Apakah sampai pahala orang Yasinan, maupun pahala puasa kepada orang yang sudah mati?
Kajian ini bukan untuk "menyanggah" ulama / pembaca yang tidak sependapat dengan beliau, hanya sebagai dalil dan pengetahuan kepada orang-orang yang "sering" melakukan "yasinan" terutama di kalangan masyarakat Betawi (Karena masalah ini hingga saat ini adalah masalah khilafiyah diantara para ulama....wallahua'lam)
Berikut kajiannya, semoga bermanfaat.
Dari Ma'qil bin Yasar RA: Bahwa Nabi SAW bersabda, "Bacakaan surah Yaasiin kepada orang yang sedang sakaratul maut." (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i) dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban.
Peringkat Hadits
Hadits ini lemah. Ia diriwayatkan oleh Ahmad (19790). Abu Daud, lbnu Abu Syaibah (445/2), Ibnu Majah (1448), Al Hakim (753/1), Al Baihaqi (383/3) dan Adh-Dhiya` Al Maqdisi.
An-Nawawi dalam AI Adzkar mengatakan, "Isnad hadits ini lemah, sebab di dalamnya terdapat dua orang yang tidak diketahui. Namun Abu Daud tidak menilainya lemah." Ibnu Hajar mengatakan, "Hadits ini dinilai cacat oleh Al Qaththan karena mudhtharib, mauquf dan ketidaktahuan tentang dua (orang perawi, yaitu Abu Utsman dan ayahnya yang disebut dalam sanad."
Ad-Daruquthni mengatakan, "Hadits ini sanadnya lemah, matan-nya tidak diketahui. Dalam bab ini tidak satupun hadits shahih."
Hal-Hal Penting dan Hadits
Hadits ini dinilai shahih oleh beberapa ulama dan dinilai dha’if oleh yang lain. Hadits ini mempunyai dua kemungkinan makna.
Pertama, Maksudnya adalah membaca surah tersebut di samping orang yang sedang sakaratul maut. Dalam hadits ini diungkapkan sebagai mayit berdasarkan pertimbangan apa yang akan terjadi. Allah SWT berfirman. " Sesungguhnya kamu mayyitun (akan mati) dan sesungguhnya mereka (mayyituun) akan mati (pula)” (Qs. Az-Zumar [39): 30). Untuk itu disunnahkan membaca surah Yaaslin tersebut di sisinya.
Imam Ahmad (16521) mengatakan, kami diceritakan oleh Shafwan, dia berkata, para syaikh (guru) mengatakan, "Ketika surah Yaasiin dibacakan pada maka si mayit akan diperingan". Sanad riwayat ini dinilai shahih oleh Ibnu Hajar dalam Al Ishabah.
Penulis kitab AI Firdaus menceritakan dengan sanad dari Abu Ad-Darda` dan Abu Dzar, dia mengatakan; Rasulullah SAW bersabda,
"Tidaklah seorang mayit (yang sedang sakaratul maut), kemudian dibacakan surah Yaasiin di sisinya melainkan Allah akan memperingannya."
Syaikhul Islam mengatakan, "Disunnahkan membaca surah Yaasiin pada orang yang sedang sakaratul maut. Hikmah dibacakannya surah Yaasiin ini adalah karena surah tersebut mengandung tema kehancuran dunia, janji kebangkitan dan hari Kiamat, nikmat surga dan yang Allah sediakan di dalamnya. Dengan surah tersebut, mayit menjadi ingat hal-hal yang terkandung di dalamnya yang membuatnya menjadi zuhud dari dunia yang akan ditinggalkannya menuju akhirat yang akan didatanginya. Dengan begitu ruhnya dapat keluar dengan mudah. Dalam surah tersebut terdapat beberapa ayat yang menjadi dalil naqli dan aqli sehubungan adanya hari Kebangkitan dan kehidupan akhirat.
Kedua, maksud dari membaca surah Yaasiin tersebut adalah setelah kematian si mayit. Dengan begitu, yang diharapkan adalah menghadiahkan pahala bacaan surah Yaasiin kepada si mayit.
Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama
Pahala-pahala ibadah yang dapat dihadiahkan kepada mayit terdapat dua kategori, kategori yang disepakati ulama dan kategori yang diperselisihkan.
Di antara kategori pertama (yang disepakati ulama) adalah:
1. Doa dan permohonan ampun untuk mayit. Dasarnya adalah firman Allah SWT, "Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: `Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami ..." (Qs. Al Hasyr [59]: 10)
2. Sedekah. Dasarnya adalah riwayat Bukhari (1388) dan Muslim (1004) dari Aisyah RA. Bahwa Sa'ad bin Ubadah bertanya, "Ya Rasulullah, Ibuku meninggal dunia secara mendadak dan tidak sempat berpesan. Apakah baginya pahala jika aku bersedekah atas nama dia?" Rasulullah SAW menjawab, " Ya."
3. Haji dan Umrah. Dasamya adalah hadits riwayat Bukhari (1852) dari Ibnu Abbas, bahwa seorang wanita dari Juhainah bertanya, Rasulullah, sesungguhnya ibuku bernadzar haji, namun dia belum melakukannya hingga dia meninggal dunia. Apakah aku dapat berhaji untuknya?" Rasulullah SAW menjawab, " Ya, hajilah untuknya. Apa pendapat kamu, jika ibumu mempunyai utang. Apakah kamu akan membayarnya? Bayarlah (utang) Allah SWT. Sesungguhnya (utang) Allah lebih berhak dilunasi"
4. Puasa. Dasamya adalah Bukhari (1952) dan Muslim (1147) dari Aisyah, RA bahwa sesungguhnya Nabi SAW bersabda, "Siapa yang meninggal dunia dalam kondisi (berutang) puasa maka walinya boleh menggantikan puasanya."
Ibadah-ibadah di atas adalah ibadah-ibadah yang pahalanya —disepakati oleh ulama— dapat dihadiahkan kepada orang lain.
Syaikhul Islam mengatakan, "Para ulama sepakat bahwa mayit dapat mengambil manfaat dari doa yang dipanjatkan untuknya serta amal kebaikan yang dilakukan untuknya. Hal ini telah diketahui dalam agama Islam secara aksioma. Hal itu telah dibuktikan oleh Al Qur'an, Sunnah dan ijma'. Siapa yang menentangnya maka ia termasuk pelaku bid'ah. Mereka yang telah menerima hadits-hadits shahih ini tidak akan berpendapat beda. Yang berpendapat beda adalah mereka yang tidak menerima hadits-hadits tersebut. Hanya saja para ulama berbeda pendapat sehubungan dengan kategori ibadah murni fisik (al badaniyyah al mahdhah), seperti shalat dan membaca Al Qur'an.
* Kalangan ulama Hanafiyyah, Hanabilah dan ulama rnutaakhirdari kalangan Syafi'iyyah dan Malikiyyah berpendapat pahala ibadah ini sampai kepada mayit dan orang yang masih hidup.
* Sementara kalangan ulama terdahulu dari kalangan Syafi'iyyah dan ulama terdahulu dan kalangan Malikiyyah berpendapat pahala ibadah kategori ini tidak sampai kecuali kepada pelakunya saja.
Mereka yang berpendapat tidak sampai pada orang lain, yaitu ulama tardahulu dari kalangan Syafi'iyyah, yang berargumentasi dengan beberapa dalil, diantaranya firman Allah SWT, "Dan bahwasanya seorang manusia tiada nemperoleh selain apa yang telah diusahakannya." (Qs. An-Najm (53]: 39)
Ibnu Katsir mengatakan, "Sebagaimana seseorang tidak dapat menanggung dosa orang lain, maka ia juga tidak memperoleh pahala kecuali dari hasil usahanya endiri. Dari ayat ini, Imam Asy-Syafi'i dan yang mengikuti pendapatnya mengambil pendapat bahwa pahala bacaan Al Qur'an tidak dapat dihadiahkan kepada orang mati. Karena pahala itu bukan basil perbuatan dan usahanya."
Mereka juga berargumentasi dengan hadits riwayat Muslim (1631) dari Abu Hurairah RA, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda,
"Ketika seorang anak Adam meninggal dunia maka amalnya terputus kecuali tiga hal; anak shalih yang mendoakannya, sedekah jariyah dan ilmu yang dimanfaatkan (oleh orang setelahnya)."
Tiga hal ini, pada dasarnya, juga merupakan hasil amal dan usahanya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits lain, "Sesuatu yang dimakan oleh seseorang yang terbaik adalah (apa) yang diperoleh dari hasil usahanya. Anaknya termasuk hasil usahanya. (Begitu juga) sedekah jariyah." Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud (3528). Seperti juga pahala wakaf dan sejenisnya merupakan hasil usahanya. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas¬bekas yang mereka tinggalkan. ..." (Qs. Yaasiin [36]: 12)
Ilmu yang disebarkan kepada orang lain, jika dengan ilmu tersebut mereka memperoleh petunjuk juga merupakan amal dan hasil usahanya. Dalam Shahih Muslim (2674) terdapat hadits bahwa Nabi SAW bersabda, "Siapa yang mengajak menuju petunjuk (hudaa) maka baginya pahala sebesar pahala-pahala orang¬orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun."
Syaikhul Islam, Ibnu Taymiyah mengatakan, "Ibadah yang terbaik adalah ibadah yang sesuai dengan petunjuk Nabi SAW dan petunjuk para sahabatnya."
Ibnu Mas'ud mengatakan, "Siapa di antara kalian yang ingin mengikuti sunnah maka ikutilah sunnah ‘orang yang telah mati’. Mereka adalah para sahabat Rasulullah SAW"
Sebagaimana sudah diketahui, di masa-masa terbaik, para sahabat. menyembah Allah SWT dengan beragam bentuk ibadah yang syar'i, baik ibadah fardhu maupun sunnah. Mereka berdoa untuk orang-orang yang beriman, baik lelaki maupun perempuan —sebagaimana diperintahkan oleh Allah— dan baik untuk orang yang telah mati maupun yang masih hidup.
Melakukan shalat sunnah, puasa sunnah atau berhaji atau membaca Qur'an lalu menghadiahkan pahalanya untuk orang-orang muslim yang telah meninggal dunia bukan termasuk kebiasaan mereka. Kebiasaan mereka hanya mendoakannya. Tidak selayaknya bagi orang-orang untuk meninggalkan cara-cara salaf. Itu adalah cara terbaik dan paling sempurna.
Sedangkan kelompok yang berpendapat bahwa pahala ibadah murni fisik dapat dihadiahkan mengatakan, "Di antara mereka adalah Ibnu Quddamah dalam karyanya, Al Mughni menuturkan beberapa hadits yang menunjukkan sampainya doa, sedekah, haji dan sejenisnya kepada mayit. Dia berkata; ‘Semua ini adalah hadits-hadits shahih. Di dalamnya terdapat petunjuk bahwa mayit dapat mengambil manfaat dengan ibadah-ibadah lain. Karena puasa, doa dan memohon ampun adalah kategori ibadah fisik (badaniyyah). Di sini Allah telah menyampaikan manfaatnya kepada si mayit. Maka demikian juga dengan ibadah¬ibadah lainnya'."
Dalam Syarh Az-Zad dan dalam buku-buku madzhab Hambali lainnya dijelaskan, ibadah apa saja, seperti doa, memohon ampun, shalat, puasa, haji, membaca Al Qur ' an dan selain itu semua yang dilakukan oleh seorang muslim dan pahalanya diberikan kepada muslim lain yang sudah meninggal dunia atau masih hidup maka ia memperoleh manfaatnya."
Imam Ahmad mengatakan, "Segala kebaikan sampai kepada mayit berdasarkan nash-nash yang berkaitan."
Ibnul Qayyim mengatakan, "Siapa yang berpuasa, atau melakukan shalat, atau bersedekah lalu memberikan pahalanya kepada orang lain, baik yang sudah mati maupun yang masih hidup, maka pahala tersebut dapat sampai kepadanya menurut Ahlu Sunnah wal Jamaah. Pahala ini dapat sampai kepada yang dihadiahkan dengan niat untuknya. Namun mengkhususkannya untuk pelakunya adalah lebih balk. Ia dapat berdoa sebagaimana yang ada pada Al Qur'an n Sunnah.
Ibnul Qayyim membahas masalah ini dalam Ar-Ruh secara tuntas. Dia membenarkan sampainya pahala semua ibadah dan amal kebaikan kepada mayit. Untuk itu dia memberikan dalil dan memberikan argumentasi bantahan kepada mereka yang menentang pendapatnya. Di sini kami kutip sebagian kesimpulan pendapatnya agar pembahasan ini menjadi lebih sempurna. Berikut adalah tulisannya:
Para ulama berbeda pendapat berkaitan dengan ibadah badanlyyah, seperti puasa, shalat, membaca Al Qur an dan dzikir.
Madzhab Imam Ahmad dan mayoritas ulama salaf berpendapat pahala tersebut sampai kepada mayit.
Madzhab Imam Malik dan Asy-Asy-Syafi'i berpendapat tidak sampai.
Dalil bahwa mayit dapat mengambil manfaat dengan apa yang tidak disebabkannya adalah:
1. Hadits, "Ketika seorang anak Adam meninggal dunia maka amalnya terputus kecuali tiga hal : anak shalih yang mendoakannya, sedekah jariyah dan ilmu yang dimanfaatkan (oleh orang setelahnya)." (HR. Muslim, 1631).
Dan hadits "Siapa yang melakukan perbuatan baik, maka la akan memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya. Siapa yang melakukan perbuatan buruk maka baginya dosanya dan dosa orang yang melakukan setelahnya ..." (HR. Muslim, 1017).
2. Bahwa mayit dapat menerima manfaat dari apa yang tidak disebabkan olehnya berdasarkan Al Qur'an, Sunnah, ijma' dan kaidah-kaidah hukum Syara'.
* Al Qur'an, Allah berfirman, "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami ..." (Qs. Al Hasyr [59]; 10)
* Dalam Sunan Abu Daud (3199) terdapat riwayat dari Abu Hurairah RA, bahwa Nabi SAW bersabda,
* "Jika kalian menshalati mayit maka ikhlaskanlah doa kepadanya”
* Dalam Shahih Muslim (974), Rasulullah SAW mengajarkan kepada ketika pergi menuju pekuburan, agar berkata, " Assalamu alaikum….”
* Sampainya pahala sedekah sebagaimana dijelaskan oleh hadits riwayat Bukhari (1388) dan Muslim (1004) dari Aisyah RA tentang seseorang yang berkata kepada Nabi SAW, "Ibuku meninggal dunia tanpa meninggalkan pesan. Apakah dia mendapat pahala jika aku bersedekah?" Beliau SAW menjawab, " Ya."
* Sampainya pahala puasa sebagaimana dijelaskan oleh hadits riwayat Bukhari (1952) dari Aisyah RA. "Siapa yang meninggal dunia dan ia mempunyai tanggungan puasa, maka walinya boleh berpuasa untuknya"
Dalam riwayat Bukhari (1953) dan Muslim (1148) dari Ibnu Abbas. dia berkata, seorang lelaki datang kepada Rasulullah SAW dan bertanya, "Ya Rasulullah. Ibuku meninggal dunia dan dia mempunyai tanggungan puasa satu bulan. Apakah aku dapat melakukannya untuknya?" Beliau menjawab, " Ya, utang Allah lebih berhak untuk dibayar."
* Sampainya pahala ibadah haji sebagaimana dijelaskan dalam Shahih Bukhari(7315) dari Ibnu Abbas, seorang wanita bertanya kepada Rasulullah SAW. Dia berkata, "Ya Rasulullah. Ibuku pernah bernadzar unutk haji, namun ia belum melaksanakannya hingga dia meninggal dunia. Apakah aku dapat berhaji untuknya?" Rasulullah SAW menjawab, "Berhajilah untuknya (utang) Allah lebih berhak dibayar."
Ibnul Qayyim mengatakan, "Demikian nash-nash yang saling memperlihatkan tentang sampainya pahala amal-amal kebaikan kepada mayit saat orang yang hidup melakukannnya untuknya. Ketika terdapat nash atau qiyas atau kaidah hukum syari'at yang menetapkan sampainya salah satu dari ibadah dan menghalangi sampainya pahala ibadah yang lain, maka keputusan bahwa semua pahala ibadah adalah sampai adalah keputusan berdasarkan qiyas. Pahala adalah hak bagi pelaku ibadah. Jika kemudian ia memberikannya kepada saudaranya sesama muslim maka hal itu tidak menghalanginya. Sebagaimana ia tidak dapat dihalangi untuk memberikan hartanya atau menghapuskan utangnya pada si mayit di saat hidupnya."
Dalil-dalil pendapat yang mengatakan bahwa pahala itu tidak sampai pada simayit melainkan kepada pelakunya saja
1. Allah berfirman, "Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya." (Qs. An-Najm (53): 39)
"...la mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya ..." (Qs. Al Baqarah 12]: 286)
2. Hadits " Ketika seorang anak Adam meninggal dunia maka amalnya terputus kecuali tiga hal..."
3. Ibadah terdiri dari dua kategori. Pertama, ibadah yang dapat digantikan oleh orang lain, seperti sedekah dan haji. Kategori ini pahalanya dapat sampai ke mayit. Kedua, adalah ibadah yang tidak dapat digantikan oleh orang lain sama sekali, seperti Islam, shalat, membaca Al Qur'an dan berpuasa. Kategori ini pahalanya hanya dikhususkan untuk pelakunya, tidak dapat sampai pada orang lain. Sebagaimana dalam hidup, ada sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh seseorang atas nama orang lain.
4. Dalam Sunan An-Nasa’i Al Kubra (174/2) terdapat riwayat dari Ibnu Abbas RA dari Rasulullah SAW Beliau bersabda,
"Jangan salah seorang shalat atas nama orang lain, dan berpuasa atas nama yang lain. Tetapi berilah makan atas nama orang lain."
5. Sampainya pahala ibadah pada orang lain untuk kategori ibadah ini adalah bertentangan dengan qiyas terhadap shalat, keislaman dan tobat.
Tidak ada satu orangpun yang dapat melakukan salah satu dari tiga hal tersebut atas nama orang lain.
Mereka yang berpendapat sampainya pahala ibadah kepada orang lain menjawab sebagai berikut:
Ibnul Qayyim mengatakan; Apa yang kalian katakan tidak ada yang bertentangan dengan Al Qur'an, Sunnah, kesepakatan ulama salaf dan kaidah syara'.
Mengenai firman Allah SWT, "Dan seorang yang berdosa tidak memikul dosa orang lain." (Qs. Al An'aam [61: 164) dan firman-Nya, "Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya." (Qs. An-Najm [531: 39). Kedua ayat ini menjelaskan tentang keadilan Tuhan bahwa Dia tidak akan menyiksa seorangpun karena dosa orang lain dan bahwa seorang manusia tidak akan bahagia kecuali dengan amal dan usahanya. Ayat pertama melindungi seseorang dari kemungkinan disiksa akibat dosa orang lain, sebagaimana yang dilakukan oleh para raja di dunia. Sedangkan ayat kedua menghampakan ambisi seseorang bahwa dia akan selamat sebab amal perbuatan para orang tuanya, pendahulunya dan para gurunya, sebagaimana yang diinginkan oleh mereka yang memiliki keinginan menipu tersebut. Renungilah kombinasi kedua ayat tersebut.
Ayat di atas tidak menafikan kemungkinan seseorang mengambil manfaat dari usaha orang lain. la hanya menafikan pemilikan seseorang atas usaha orang lain. Kedua hal ini (mengambil manfaat dan memiliki) terdapat perbedaan yang nyata. Usaha orang lain tetap menjadi milik pelakunya. Selanjutnya jika dia ingin menyerahkannya kepada orang lain maka sah-sah saja. Sebaliknya jika dia ingin membiarkannya untuk dirinya sendiri, maka itu pun bisa-bisa saja.
Adapun argumentasi dengan hadits, "Ketika anak Adam meninggal dunia ..." adalah argumentasi yang gugur. Sesungguhnya Nabi SAW tidak mengatakan. "Maka terputuslah dia dari menerima manfaat." Yang terputus adalah sesuatu yang berbeda dengan (pahala) yang sampai kepadanya.
Adapun pendapat bahwa jika amalnya dapat bermanfaat untuk orang lain maka tobat dan keislamannya juga dapat bermanfaat untuk orang lain. Jawabnya. Itu artinya menggabungkan beberapa hal yang dibedakan oleh Allah SWT.
Sebagaimana mengiyaskan riba dengan jual-beli dan hewan sembelihan secara syar’I dengan bangkai.
Adapun pembagian ibadah ke dalam dua kategori, kategori yang dapat digantikan dan kategori yang tidak dapat digantikan, maka dari mana Anda memperoleh pembedaan ini? Puasa atas nama mayit telah disyariatkan, padahal puasa termasuk kategori ibadah yang tidak dapat digantikan oleh orang lain. Fardhu kifayah juga disyariatkan padahal ketika ia sudah dilakukan oleh sebagian orang maka kefardhuan tersebut gugur dari yang lainnya.
Ibnul Qayyim telah membahas masalah ini secara panjang lebar. Pada akhirnya dia membenarkan sampainya semua amal kebaikan orang hidup kepada yang mati dan orang hidup lainnya. Semoga Allah mengasihinya.
Wallahua’lam bishowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar