Senin, 27 September 2010

MAHZAB

Mazhab


Secara etimologis, kata mazhab, berasal dari sighat masdar mim [kata sifat] dan isim makan [kata yang menunjukkan tempat] yang diambil dari fi’il madhi Dzahaba, yang berarti pergi, dan bisa juga berarti al-ra’yu, yang berarti pendapat. [Huzaemah Tahido, 1997: 71]


Menurut Ibrahim Hosein, mazhab, secara etimologis memiliki paling tidak tiga macam pengertian, yaitu:


i] pendirian, kepercayaan;

ii] sistem atau jalan;

dan iii] sumber, patokan, dan jalan yang kuat, aliran atau juga berarti paham yang dianut. [Ibrahim Hosen, 2003: 91]


Sedangkan secara terminologis, mazhab adalah jalan pikiran [pendapat] yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam menetapkan hukum Islam yang bersumber dari Al-Quran dan hadis. [Huzaemah, Loc. Cit.]

Tidak ada dalil dalam Al Qur'an yang mengharuskan seseorang untuk mengikuti Madzhab yang  ada. Namun bukan berarti tidak boleh seseorang mengikuti salah satu Madzhab yang 4 (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hambali), karena pada prinsipnya para Imam Madzhab itu mengambil semua dalil dari Al Qur'an dan Sunnah (Hadits), namun hasil kesimpulan hukum suatu perbuatan tergantung dari sisi mana para Imam Madzhab itu memandang (tergantung banyak hal yang akan dijelaskan dibawah ini). .


Secara historis, polarisasi mazhab dalam Islam dapat diidentifikasi menjadi dua kelompok besar, yaitu ahl al-ra’y dan ahl al-hadits, atau biasa dikenal sebagai faksi Kufah dan faksi Hijaz.


Faksi pertama, diwakili oleh imam Abu Hanifah, seorang faqih dan ulama yang lebih banyak menggunakan porsi ra’yu, atau paling tidak lebih cenderung rasional dalam pemikiran ijtihadnya. [Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Fiqhiyah, [Kairo: Mathba’ al-Madani, t.th], h. 188]


Sementara faksi kedua, diwakili oleh imam Malik bin Anas ibn Amr, seorang faqih dan ulama yang lebih banyak menggunakan hadis dan tradisi masyarakat Madinah sebagai sebagai referensi dalam pemikiran ijtihadnya.


Sedangkan Imam Syafi’i, dikenal sebagi sintesa antara dua faksi ini, walaupun lebih cenderung kepada ahl al-hadits, dan imam Ahmad ibn Hanbali juga masuk dalam faksi ahl al-hadits, karena ia seorang muhadditsin, di samping juga sebagai mujtahid mustaqil, namun pola istinbath-nya lebih dekat kepada metodologi gurunya, Imam Syafi’i. [Muhammad Ali Al-Sayis, 1970: 102]


Secara sosiologis timbulnya berbagai mazhab dalam hukum Islam dipengaruhi oleh setting sosio-historis, dan sosio-sosial yang melingkupi para imam mazhab dalam proses istinbath hokum dilakukan.


Sebab-sebab timbulnya mahzab.


Seperti diketahui, bahwa para ulama/muhadditsin/imam di masa lampau dalam menarik kesimpulan dalam suatu masalah, menggunakan dalil Al Qur’an dan Hadits/Sunnah. Namun ada kalanya kesimpulan hukum antara satu ulama, bisa saja berbeda dengan ulama yang lain, dilihat dari sudut pandang masing-masing ulama tersebut.

Berikut, penjelasan dari, Mahmud Syaltout dan Muhammad Ali Al-Sayis tentang sebab-sebab serta beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya berbagai mazhab, antara lain:


a] Perbedaan pemahaman tentang lafadz nash.


Para ulama berbeda dalam memahami lafadz nash, karena bisa jadi suatu lafadz bisanya memiliki makna hakiki dan majazi. Sebagai contoh, lafadz quru’, adalah lafadz musytarak, sehingga fuqaha Hijaz mengartikan dengan arti ”suci”, sementara fuqaha Irak, memahaminya dengan ”haid”.


b] Perbedaan dalam masalah hadis.


Perbedaan ini terjadi, karena ada hadis yang sampai kepada sebagian fuqaha dan tidak sampai kepada fuqaha yang lain. Di samping perbedaan dalam menilai kualitas sebuah hadis yang absah dijadikan basis argumentasi dalam ber-istidlal.


c] Perbedaan dalam pemahaman dan penggunaan qaidah lughawiyah nash.


Para fuqaha berbeda daalm memahami apakah suatu lafadz al-’am itu qath’i atau zhanni. Sebagian memahami bahwa lafdz al-’am itu bersifat qath’i jika tidak ada takhsish-nya, sementara yang lain memahaminya sebagi zhanni bukan qath’i.


d] Perbedaan dalam mentarjihkan dalil-dalil yang berlawanan [ta’arudl].


Para fuqaha berbeda pendapat, ketika terjadi pertentangan antara dua dalil dan cara penyelesainnya melalui tarjih. Sebagian fuqaha mengatakan bahwa, pada dasarnya tidak ada pertentangan antar dalil, kecuali hanya pertentangan dalam pemahaman para mujtahid. Sementara fuqaha yang lain, memang mengakui adanya pertentangan sehingga harus dicarikan metode penyelesainnya melalui tarjih.


e] Perbedaan dalam qiyas.


Perbedaan ini bukan hanya antara yang menolak dan yang menerima qiyas sebagai dalil hukum, tetapi juga antara yang menerima qiyas pun terjadi perbedaan, terutama dalam intensitas penerimaannya.


f] Perbedaan dalam penggunaan dalil-dalil hukum.


Dalil hukum dibagi menjadi dua bagian, yaitu dalil naqli dan dalil aqli. Dalil naqli, adalah dalil-dalil dari Al-Quran dan hadis. Sedangkan dalil naqli, adalah dalil berdasarkan ijtihadiyah. Berkaitan dalil yang disebut terakhir ini, para ulama berbeda dalam penerimaannya sebagai basis ber-istidlal.


g] Perbedaan dalam pemahan illat hukum dan nasakh.


Illat hukum, merupakan dasar bagi penetapan suatu ketentuan hukum syara’. Para fuqaha berbeda dalam penetapan illat, dan mereka juga berbeda dalam naskh, yaitu pengahapusan suatu hukum dengan ketentuan hukum yang datang kemudian. [Muhammad Syaltout dan Muhammad Ali al-Sayis, 1978: 16-18]


Di samping empat mazhab fiqh yang disebutkan di atas, terdapat sejumlah mazhab fiqh lain, seperti mazhab Zahiri, Thabari, Laits, dan sebagainya. Namun saat ini mazhab-mazhab tersebut kurang berkembang, karena sedikit pengikutnya. Sedangkan di luar kelompok Sunni [Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah] terdapat mazhab Syi’ah, yang terdiri dari dua mazhab besar, yaitu Syi’ah Imamiyah yang terdiri dari dua belas imam dan mazhab Syi’ah Zaidiyah. [Asmuni Rahman, 1985: 2]

Jadi berdasarkan penjelasan diatas, adalah tidak benar, bila kita mengatakan bahwa kita harus kembali kepada Al Qur'an dan Sunnah saja, tanpa perlu mengikuti salah satu madzhab dari imam yang 4 tersebut, sementara kita tidak mengetahui secara detail, seluruh ilmu / kaidah hukum yang tercantum dalam Al Qur'an dan Hadits. Karena sesungguhnya tidaklah mungkin kita orang awam bisa menggali kaidah hukum yang terkandung dalam Al Qur'an dan Hadits. Para Imam 4 Madzhab telah mencurahkan segenap pikiran dan perhatiannya untuk menggali hukum yang ada dalam Al Qur'an dan Hadits, serta menggabungkan antara nash-nash yang kelihatan bertentangan, maupun juga memilah-milah antara yang nasakh dan mansukh, serta melihat hadits yang shohih maupun yang dhoif. Maka sudah sewajarnya kita mengikuti pendapat-pendapat dari Para Imam Madzhab, untuk mempermudah kita agar tidak salah dalam mengambil kaidah hukum. Yang perlu dicermati dan diwaspadai adalah, tidaklah boleh bagi kita mengambil pendapat dari ke 4 Imam Madzhab untuk perkara yang "menyenangkan hati" kita saja, alias mau enaknya saja.

Wallahua’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar