Rabu, 02 Agustus 2017

Siapakah yang Berhak Mengambil Hukum Langsung Dari Al-Qur’an dan As-Sunnah ?

Oleh : Galih Maulana, Lc 

Sebagai seorang Muslim tentu saja harus menyandarkan segala gerak-gerik perbuatan dalam  hidupnya kepada al-Qur’an dan sunah- sunah Nabi yang merupakan undang-undang dan sumber hukum dalam agama Islam.
Dalam sebuah hadits, Nabi berpesan agar kita, sebagai umatnya senantiasa berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-Sunnah agar tidak tersesat dalam kehidupan ini, beliau bersabda:
تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما: كتاب الله وسنة نبيه[1]
“Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, al-Qur’an dan as-Sunnah”
Berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-Sunnah maksudnya melaksanakan segala sesuatu dalam hidup ini berdasarkan kepada aturan dan ketentuan yang ditetapkan dan dijelaskn oleh al-Qur’an dan as-Sunnah.
Namun, dalam aplikasinya ternyata tidak semudah yang kita bayangkan, karena walaupun kebenaran al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai petunjuk bagi manusia bersifat absolut, tetapi petunjuk atau maksud yang ingin disampaikan terkadang berbeda dengan teks dhohirnya. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadi banyak perbedaan pendapat dikalangan ulama dalam satu masalah, padahal semuanya merujuk kepada ayat atau hadits yang sama.
Apabila semua orang dibiarkan mengambil hukum langsung kepada al-Qur’an dan as-Sunnah tentu ini akan menyebabkan kekacauan dan kesemerawutan dalam beragama, setiap orang bebas menafsirkan al-Qur’an sekehendak hati dan sebatas pengetahuannya saja, hingga nanti pada puncaknya, setiap orang punya kebenaran versi masing-masing.
Lalu pertanyaannya, siapa yang berhak dan punya otoritas untuk menggali hukum langsung dari al-Qur’an dan as-Sunnah?
Mujtahid Mutlak
Orang yang berhak menggali hukum langsung dari al-Qur’an dan as-Sunnah adalah orang yang sudah menguasai semua pengetahuan yang berkaitan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah serta semua perangkat istinbath (analisa) yang digunakan untuk memahami maksud dari syari’at.
Orang yang sudah mencapai level tersebut disebut sebagai Mujtahid, namun ternyata, mujtahid juga ada levelnya, hanya mujtahid level tertinggi saja yang mampu mengambil hukum secara langsung dari al-Qur’an dan as-Sunnah tanpa terikat kaidah dan standar dari mujtahid lain. Dialah yang berhak mengatakan: “ini sesuai al-Qur’an menurut pendapat saya”.
Syekh Wahbah az-Zuahaili (w 1436 H) dalam kitabnya menyebutkan beberapa tingkatan mujtahid[2] :
  1. Mujtahid mutlak mustaqil
  2. Mujtahid mutlak ghoiru mustaqil (mujtahid muntasib)
  3. Mujtahid muqoyyad
  4. Mujtahid fatwa dan tarjih
  5. Mujtahid fatwa (mufti) madzhab
Tingkatan mujtahid ini juga disebutkan oleh Imam Nawawi (w 676 H) dalam al-Majmu’[3], beliau -rohimahullah- juga menjelaskan sifat-sifat dan syarat-syarat para mujtahid tiap tingkatnya.
Syarat Mujtahid Mutlak
Untuk bisa mencapai level Mujtahid mutlak, seseorang harus memenuhi berbagai syarat yang begitu berat, Imam Nawawi bahkan sampai mengatakan bahwa sudah begitu lama tidak ada Mujtahid mutlak mustaqil, tentu itu karena beratnya syarat yang harus dipenuhi, sehingga jarang sekali yang mencapai level tersebut, beliau mengatakan:
ومن دهر طويل عدم المفتي المستقل وصارت الفتوى إلى المنتسبين إلى أئمة المذاهب المتبوعة[4]
“Dan sudah sekian lama tidak ada mufti (mujtahid) mustaqil, sehingga fatwa hanya berada ditangan para mujtahid muntasib”
Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar berhak menjadi Mujtahid mutlak mustaqil adalah sebagai berikut:
1. Islam
2. Berakal
3. Baligh
4. Adil
Sesorang dikatakan adil apabila meninggalkan semua dosa besar, kemudian apabila melakukan dosa kecil dia tida melakukannya lagi dan tidak melakukan hal-hal yang mengurangi kewibawaan. Sebenarnya adil bukan syarat untuk mencapai derajat mujtahid, adil adalah syarat agar hasil ijtihadnya diterima[5].
5. Fiqh an-Nafs
Fiqh an-nafs maksudnya adalah dimana seseorang telah menguasai dan memahami semua nash-nash syar’i, mampu menghadirkannya dengan cepat ketika dibutuhkan, mampu menganalisa setiap detail-detail nash serta mampu mengaplikasikannya dalam setiap masalah dikehidupan nyata.
Fiqh an-nafs ini merupakan bakat yang merupakan anugrah dari Allah, sehingga tidak setiap orang mampu menguasainya, meskipun sudah berusaha sekuat tenaga. Imam al-Haromain (w 478 H) mengatakan:

ثم يشترط وراء ذلك كله فقه النفس فهو رأس مال المجتهد – ولا يتأتى كسبه – فإن جبل على ذلك فهو المراد، وإلا فلا يتأتى تحصيله بحفظ الكتب[6]

“kemudian disamping syarat yang sudah disebutkan, disyaratkan pula fiqh an-nafs yang merupakan modal pokok seorang mujtahid, dan fiqh an-nafs ini tidak bisa diusahakan (untuk mendapatkannya), apabila seseorang sudah mempunyai sifat tersebut (secara alami) maka itulah yang diharapkan, tetapi apabila tidak berbakat (secara alami) maka tidak bisa mendapatkannya walau dengan menghafal kitab-kitab.”

6. Memiiki ilmu tentang al-Qur’an
Memiki pengetahuan tentang al-Qur’an tidak cukup hanya sebatas mampu membaca dan memahami maknanya secara ijmal (global) saja, tetapi lebih dari itu dia mampu medapat ilmu sacara hakiki dari bacaannya tersebut, mampu mentadaburinya, mampu menganalisa dan menggali hukum darinya. Untuk mencapai hal tersebut, seorang mujtahid harus mengetahui beberapa ilmu tentang al-Qur’an, diantaranya:

  • Nasikh wa mansukh
Diharuskan bagi seorang mujtahid untuk mengetahui ayat-ayat yang mansukh, sehingga dia mengamalkan yang nasikh, untuk mengetahui nasikh mansukh jelas harus tau sejarah turunnya ayat, kapan ayat ini turun, kapan ayat itu turun, harus tau juga aturan dan syarat-syarat dalam nasikh wa mansukh, jenis-jenisnya dan semua hal yang berkaitan dengan nasikh wa mansukh.
  • Al-Am wa al-Khos
Seorang mujtahid harus tau mana ayat yang bersifat ‘am (umum) mana ayat yang bersifat khos (khusus), mana ayat yang ‘am tapi maksudnya khos, bagaimana aturan takhsis al-‘am, syarat-syaratnya dan semua hal yang berkaitan dengan al-am wa al-khos.
  • Al-Muthlak wa al-Muqoyyad
Seperti al-am wa al-khos, seorang mujtahid juga harus tau mana ayat yang mutlak mana ayat yang terikat (muqoyyad) bagaimana menggabungkan mutlak dan muqoyyad, aturan dan syarat-syaratnya.
  • Asbab an-Nuzul
Mengetahui asbab an-nuzul bertujuan agar seorang mujtahid tau bagaimana konteks ayat tersebut turun, mengerti maksud dan kondisi serta pengamalan akan ayat tersebut dalam konteks yang berbeda.
  • Lain-lain
Seperti mengetahui ayat dhohir dan ayat mu’awal, ayat mujmal dan ayat mubayyan, mana surat makki mana surat madani, yang mana penegtahuan tersebut akan mempengaruhi kedetailan hukum.

7. Memiliki pengetahuan tentang as-Sunnah
Memiliki pengetahuan tentang as-Sunnah tidak hanya terbatas pada tau cara membaca hadits dan memahami artinya secara ijmal, tetapi harus tau juga hal-hal yang sama pada al-Qur’an seperti nasikh mansukh, al-am wa al-muqoyyad al-muthlak wa al-muqoyyad, asbabu al-wurud dan lainnya.
Termasuk syarat bagi mujtahid mengtahui semua jenis dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan as-Sunnah, diantaranya:

  • Hadits mutawatir dan hadits ahad
  • Hadits shohih dan dho’if
  • At-Tarikh wa ar-Rijal
Seorang mujtahid harus tau apa yang dibutuhkan dari sejarah periwayatan, kondisi para rowi (periwayat hadits), apakah rowi ini adil atau tidak, dipercaya atau tidak, pertemuan rowi dengan gurunya, dan bagaimana rowi menerima hadits dari gurunya, ini semua untuk mengetahui status hadits, apakah shohih atau dho’if, apakah muttashil atau munqothi’ dan selainnya yang berhubungan dengan sanad.
  • Asbab aj-jarh wa at-ta’dil
Begitu juga seorang mujtahid harus tau sebab-sebab seorang rowi itu di-tajrih, bagaimana standarnya (dhobitnya), jenis-jenisnya, kapan jarh itu dianggap dan kapan tidak dianggap dalam takhrij hadits, itu semua diperlukan untuk menentukan apakah hadits itu diterima atau tidak dalam pendalilan sebuah hukum.
  • Syadz, mahfudz, munkar dan ilal al-hadits
Imam al-Haromain (w 478 H) berkata:

والثالثة معرفة السنن، فهي القاعدة الكبرى ; فإن معظم أصول التكاليف متلقى من أقوال الرسول وأفعاله وفنون أحواله، ومعظم آي الكتاب لا يستقل دون بيان الرسول ثم لا يتقرر الاستقلال بالسنن إلا بالتبحر في معرفة الرجال، والعلم بالصحيح من الأخبار والسقيم، وأسباب الجرح والتعديل، وما عليه التعويل في صفات الأثبات من الرواة والثقات، والمسند والمرسل، والتواريخ التي تترتب عليها استبانة الناسخ والمنسوخ[7]

“yang ketiga adalah pengetahuan tentang sunah-sunah Nabi, yang merupakan kaidah kubro, karena sebagian besar dalil taklif diperoleh dari ucapan-ucapan Rosul, perbuatan-perbuatannya dan keadaan-keadaannya. Dan sebagian ayat al-Qur’an tidak terlepas dari penjelasan Rosul, kemudian untuk memastikan kebenaran sebuah hadits harus ditempuh dengan mendalami pengetahuan tentang para rowi, mengetahui khobar Nabi apakah shoih atau tidak, tau sebab-sebab jarh wa ta’dil, dan apa-apa yang mempengaruhi kepastian suatu hadits dari keadaan setiap rowi dan kredibilitasnya, tau musnad dan mursal, tau sejarah wurudnya hadits sehingga dia tau hadits-hadits yang nasikh dan yang mansukh”

8. Memiliki pengetahuan tentang bahasa Arab
Untuk mampu memahmi dan menganalisa maksud baik yang tersurat maupun tersurat dalam bahasa Arab, seorang mujtahid harus menguasai hal-hal dibawah ini;
  • Matan al-lughoh
Matan al-lughoh (متن اللغة) maksudnya adalah mengetahui dengan benar makna-makna setiap kosa kata bahasa Arab, ada yang bersifat murodif, musytarok dan sebagainya.
  • Nahwu
Dengan nahwu seorang mujtahid mengetahui struktur sebuah kalimat, sehingga mamudahkan dalam memahami maksud suatu kalam (ucapan)
  • Shorf
Dengan shorf seorang mujtahid mengetahui bagaimana suatu kata/kalimat terbentuk, tau mengapa suatu huruf bertukar, bertambah atau berkurang dan selainnya.
  • Balaghoh
Dengan balaghoh seorang mujtahid dapat mengetahui suatu kalimat apakah itu sebuah kinayah, atau majaz, apakah itu khobar atau insya dan lain-lain, yang pada intinya, membantu seorang mujtahid dalam memahami maksud yang ingin disampaikan dalam bahasa Arab yang begitu luas, indah dan dalam.
Imam al-Haromain mengatakan dalam kitabnya:
وينبغي أن يكون المفتي عالماً باللغة، فان الشريعة عربية، وإنما يفهَمُ أصولها من الكتاب والسنة من يعرف لغة العرب[8]
“Dan sudah selayaknya bagi seorang mufti (mujtahid) mengetahui bahasa Arab, karena syari’at Islam menggunakan bahasa Arab, dan bahwasanya dipahami dalil-dalil syariat itu oleh orang-orang yang paham bahasa Arab”
Namun bukan syarat seorang mujtahid untuk menguasai bahasa Arab secara keseluruhan, karena itu hal yang hampir mustahil, Imam Syafi’i (w 204 H) mengatakan:
ولسان العرب أوسع الألسنة مذهباً، وأكثرها ألفاظاً، ولا نعلمه يحيط بجميع علم إنسان غير نبي[9]
“Dan bahasa Arab merupakan bahasa yang paling luas (cangkupan maknanya), paling banyak kosakatanya, dan kami tidak tahu ada seorang pun yang menguasai secara keseluruhan selain seorang Nabi”
Tetapi yang dimaksud menguasai disini adalah kemampuan untuk memahami bahasa Arab, gaya bahasanya, cara penggunaanya dan sebagainya, yang mana membantu seorang mujtahid untuk memahami maksud yang ingin disampaikan.
9. Mengetahui masalah-masalah Ijma’
Wajib hukumnya seorang mujtahid mengetahui masalah-masalah yang sudah di-Ijma’kan, sehingga dia tidak berfatwa dalam suatu masalah menyelisihi apa yang sudah di-Ijma’kan. Seorang mujtahid juga harus mengetahui jenis-jenis Ijma, dan ketentuan-ketentuannya.

10. Mengetahui madzhab-madzhab ulama dalam masalah-masalah khilaf
Seorang mujtahid juga harus mengetahui madzhab-madzhab atau pemikiran-pemikiran ulama mutaqodimin, serta mengetahui pendapat-pendapat para salaf, agar dia mendapat cahaya dengan cahaya keilmuan ulama terdahulu, juga agar dia mendapat faidah dari pemikiran dan akal-akal para pendahulunya.
Imam Syafi’i berkata :
ولا يكون لأحد أن يقيس حتى يكون عالماً بما مضى قبله من السنن، وأقاويل السلف، وإجماع الناس، واختلافهم[10]
“dan tidak boleh seseorang berijtihad sampai dia mengetahu apa yang sudah berlalu, dari mulai sunah-sunah Nabi, ucapan-ucapan salaf (ulama terdahulu), ijma para ulama dan perselisihan mereka”.
11. Mengetahui ilmu Ushul fiqh
Diantara hal yang harus dikuasai seorang mujtahid bahkan yang terpenting adalah menguasai ushul fiqh, karena ushul fiqh merupakan asas dalam berijtihad, dengan ushul fiqh seorang mujtahid mampu menerapkan dalil pada madlul (objek dalil)nya dengan benar, dan mampu meng-istibath hukum dari dalil dengan benar.
Selain syarat-syarat di atas yang begitu berat, ada hal lain juga yang harus diperhatikan oleh seorang mujtahid, diantaranya adalah sikap waro’ atau berhati-hati dalam segala hal yang terindikasi kurang baik, terkenal dengan sikap taat beragama, dan sebagainya.
Imam Nawawi (w 676 H) -rohimahullah- berkata:
وينبغي أن يكون المفتي ظاهر الورع مشورا بالديانة الظاهرة والصيانة الباهرة
“Dan selayaknya seorang mufti itu harus memiliki sikap wara’, menampakkan sikap-sikap religius, dan mejaga penampilan yang elok”
Selain sikap-sikap di atas, di antara hal yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid adalah rasa takut kepada Allah, takut kelak mempertanggungjawabkan fatwa-fatwanya di hadapan Allah , Imam Malik (w 179 H) berkata:
من أجاب في مسألة فينبغي قبل الجواب أن يعرض نفسه على الجنة والنار وكيف خلاصه ثم يجيب
“Barangsiapa yang ingn menjawab suatu masalah (berfatwa) hendaklah dia mengajukan pada dirinya surga dan neraka, dan bagaimana dia terlepas dari neraka itu, barulah dia menjawab”
Pintu ijtihad memang masih terbuka, dan barangsiapa hendak menggali hukum langsung dari al-Qur’an, hendaklah dia sematkan atau deklarasikan dirinya sebagai mujtahid mutlak, dan supaya sah menjadi mujtahid mutlak hendaklah dipenuki syarat-syaratnya.
Terakhir, penulis ingin menyampaikan sebuah kata penuh hikmah yang terucap dari lisan orang yang mulia, Umar bin Abdul Aziz:
رحم الله امرئ عرف قدر نفسه
“Semoga Allah merahmati seseorang yang menyadari kapasitas dirinya”
Juga ucapan seorang Mujtahid mutlak, guru dari Mujtahid mutlak dan seorang Imam madzhab, Malik bin Anas, beliau berkata:
ما أفتيت حتى شهد لي سبعون أني أهل لذلك
“Aku tidak berfatwa sampai aku mendapat persaksian dari tujuh puluh orang (yang adil) bahwa aku memang sudah ahlinya”


[1] HR. Malik
[2] Al-Fiqhu al-Islami wa adillatuhu (1/62-63)
[3]  Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab (1/42-45)
[4]  Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab (1/43)
[5]  Al-Mustashfa (1/342)
[6] Al-Burhan Fi Ushul al-Fiqh (2/1332)
[7] Al-Ghiyatsi (1/400)
[8] Al-Burhan (2/1330)
[9] Ar-Risalah, hal. 138

[10] Ar-Risalah, hal. 1449

Tidak ada komentar:

Posting Komentar