Oleh Ust Hanif Lutfi Lc.MA
Dalam pembahsan kali ini, kita masih membahas tentang faktor
yang membuat muamalat itu menjadi diharamkan. Yang mana hukum asalnya adalah
semua muamalat pasti halal, tapi dia akan menjadi haram karena beberapa faktor.
Sebelumnya kita telah bicara tentang faktor riba dan ghoror, kali ini kita akan
bicara tentang faktor lain yang disebut dengan bathil. Sebelumnya kita sudah
bahas mengenai maghrib: maysir, ghoror, riba, bathil.
Bathil itu sebenarnya sebuah akad jual beli atau kemitraan
untuk mendapatkan keuntungan ataupun penghasilan, hanya saja barang yang
diperjualbelikan itu ternyata memang
jenis barang yang bertentangan dengan prinsip syariah.
Jadi faktornya ada pada barang, bukan pada akad. Ini lebih
kepada barang, walaupun nanti akan kita tambahkan bukan hanya karena barangnya
tapi karena sesuatu yang lain, yang dari hal lain itu nanti jadi bathil.
Maka kali ini akan dibahas tentang bathil, termasuk bathil
yang dikarenakan barangnya haram. Haram ini nanti jika bicara barang maka
maksudnya adalah haram dimanfaatkan. Haram dimanfaatkan ini biasanya haram
dimakan.
Kita akan bahas, haram dimakan dalam fiqh kuliner disebabkan
oleh banyak hal. Di antaranya
Najis. Mengenai hukum boleh atau tidak najis
diperjualbelikan.
Membahayakan (mudhorot), gara-gara memang dia eksplisit
disebutkan, gara-gara dia muftaris atau dia itu bertaring dan bercakar.
Kita akan bahas juga tentang barang yang halal, dan akadnya
benar, tapi ternyata barang itu barang curian. Termasuk kita akan membahas
terkait waktunya atau tempatnya tidak tepat, walaupun barangnya halal.
Jadi waktu dan tempat itu berpengaruh terhadap jual beli.
Itu diantaranya yang tidak tepat waktunya jual beli adalah ketika setelah
adzan, adzan jumat bagi orang wajib jum’atan. Ada larangannya nanti. Atau
tempatnya tidak tepat, jual belinya di dalam masjid. Apakah jual belinya sah?
Bathil? Fasik? Atau bagaimana?
Secara definitif, Jual beli bathil itu lebih kepada jual
beli yang rukunnya memang terpenuhi, tetapi ternyata ada salah satu yang kurang
yaitu barangnya diharamkan oleh syariat. Jadi bisa disimpulkan jual beli yang
bathil ini adalah jual beli yang sebenarnya syarat dan rukunnya terpenuhi
tetapi dari sisi komoditas barang yang mau diperjualbelikan itu tidak
terpenuhi. Artinya ada salah satu hal yang bermasalah yaitu di barangnya itu.
Itu tidak di harganya, tidak di akadnya, tapi di barangnya. Barangnya
bermasalah pada segi syar’i. Ini namanya jual beli bathil. Artinya, jual beli yang barangnya bermasalah.
Ini yang dinamakan jual beli yang bathil.
Dalam al Quran surah al Maidah ayat 3 disebutkan,
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang
disembelih atas nama selain Allah”. Diharamkan ini kan umum, diharamkan untuk
kalian walaupun para ulama menyebutkan, diharamkan untuk dimakan.
Kalau haram untuk dimakan, maka apabila diperjualbelikan,
maka dalam hadist shahih riwayat Imam Bukhori, “Sesungguhnya Allah mengharamkan
penjualan khomr, bangkai, babi dan patung.” Ini hampi r sama dengan ayat yang
tadi, tapi yang diharamkan itu tidak hanya yang haram dimakan tapi juga yang
haram diperjual belikan. Termasuk patung, walaupun patung haramnya hanya
diperjualbelikan karena jarang patung dimakan ya, kecuali cerita sahabat Umar
yang makan patungnya terbuat dari roti. Ia buat dari roti kemudian ia lapar dan
makan tuhannya itu.
Lanjutannya. “Ya Rasul, apa pendapatmu tentang lemak
bangkai?” bangkai itu tidak harus yang bau, ketika dia mati disembelih tidak
dengan cara yang syar’I itu juga disebut dengan bangkai. “karena sesungguhnya
lemak bangkai bisa dipakai untuk men-cat perahu.” Di zaman Nabi memang sudah
ada perahu. “juga untuk meminyaki kulit dan orang mempergunakannya untuk
pelita.” Juga bisa dimanfaatkan menjadi lampu, karena dia akan jadi minyak.
Berkata Rasul, “Tidak boleh, dia haram”. Dimanfaatkan untuk
itu pun tetap tidak diperbolehkan. Makanya hadist ini nanti jadi permasalahan.
Bangkai ini haram dimakan, kalau untuk selain dimakan juga tetap haram. Hanya memang ada beberapa hal
tadi; bangkai, khamr khinzir, asnam jika diperjualbelikan haram, bahkan untuk
dimanfaatkan yang lain juga haram.
Ini dari segi dalil dahulu. Untuk ngecat saja tidak boleh,
minyak lampu tidak boleh. Nanti apakah haram itu karena hanya itu atau ditarik
benang merah karena dia najis.
Permasalahan dengan pemanfaatan najis zaman sekarang,
seperti halnya contohnya kotoran ayam. Kotoran ayam memang tidak bermanfaat
untuk dimakan, tapi untuk pupuk kandang itu sangat bagus. Termasuk alcohol
misalnya. Alcohol haram diminum, namun jika beli alcohol bagaimana? Apakah
haram? Kadang alcohol digunakan untuk mengobati luka, sterilisasi dsb.
Hadist yang berikutnya, hadist ini juga hadist shahih Imam
Bukhari menyebutkan, Ani’ bin Mas’ud bin Amr RA berkata “Rasulullah melarang
makan hasil jual-beli anjing, upah perzinaan dan upah berdukun.” Bukan dukun
bayi tapi dukun yang tukang paranormal, orang pintar. Nanti kita akan bahas
lebih detil lagi hukum dari dalil itu.
Bai’ Al-Bathil yakni jual beli yang dianggap batil karena
faktor barang yang salah yang kemudian diperjual belikan. Ini berdasarkan pada
dalil adalah surat al-maidah: 3 dan juga hadis-hadits lain yang mendasarinya.
Apabila kita melihat dari segi dalil, khamr, maitah, dam,
lakhmul khinjir, ini identik untuk
dimakan. Dalam hadits lain riwayat imam Ad-Daruquthni yakni nabi menyebutkan
“tidak halal harga atau uang hasil dari sesuatu yang tidak halal di makan dan
di minum” (HR. Ad-Daruquthni). Artinya hal-hal yang diatas menjadi haram karena
memang haram untuk dimakan. Apabila haram dimakan, artinya tidak boleh juga
diperjual belikan. Misalnya jual beli khamr untuk diminum, jual beli babi untuk
dimakan, artinya ini ia menjual sesuatu yang haram untuk dimanfaatkan sesuatu
yang haram, maka jelas, apabila kita melihat dari hadits ini, jual beli barang
seperti khamr, maitah, dam, dan yang telah diharamkan jelas tidak
diperbolehkan.
Berbeda lagi apabila kita melihat dari hadits yang lainnya
yakni ketika orang yahudi diharamkan lemaknya babi, tetapi tidak dimanfaatkan
untuk makan tetapi digunakan untuk mengecat tetapi ini juga diharamkan. Maka
dari itu, apabila kita lihat madzhab lain, misalnya dalam madzhab Hanafi,
mereka membuat sebuah kaedah tentang jual beli barang yang diharamkan yakni
tidak ada nilainya. Sedangkan dalam jual beli, syarat salah satunya adalah
barangnya harus bernilai sebab ia akan ditukar dengan nilai, nilainya adalah
uang. Apabila ia tidak bernilai, maka tidak dapat ditukarkan. Tidak bernilai
disini adalah syari’at tidak mengatakan suatu barang itu memang tidak bernilai
yakni disebutkan dalam hadits tadi. Maka dalam madzhab hanafi dikatakan Apabila
dilihat dari kaca mata syar’i dan ternyata ada sesuatu yang bermanfaat, maka
dalam madzhab hanafi boleh diperjual belikan, yang mana syar’i memberikan
kaedah bermanfaat itu biasanya untuk dimakan, apabila tidak dapat di makan,
maka ia tidak dapat diperjual belikan.
Haram dari segi batil disini yakni kebanyakan berasal dari
sesuatu yang dimakan. Apabila sudah haram dimakan, artinya haram diperjual
belikan. Dan ini sudah menjadi kesepakatan yakni yang terkait dengan jual beli
maitah (bangkai), lakhmul khinjir (daging babi), jual beli darah, khamr atau
arak, maka ini disepakati bahwa jual beli ini adalah haram. Turunan dari jual
beli batil ini adalah jual beli najis.
Mengenai jual beli najis apabila dimakan maka ini disepakati
haram. Berdasar pada sesuatu yang najis, maka haram dimakan. Akan tetapi tidak
semua yang dimakan itu najis. Pembahasan ini akan lebih spesifik lagi yakni
haram karena najis. Apabila khamr, maitah, darah, lakhmul khinjir (daging babi)
ini jelas najis dan haram. Selain itu
misalnya pupuk kandang, bahkan bisa jadi kotoran manusia. Kotoran
manusia semua madzhab sepakat najis. Apabila kotoran dari hewan yang halal
dagingnya, maka masih menjadi perbedaan. Tetapi kalau kotoran manusia adalah
haram. Akan tetapi dengan perkembangan jaman, ditemukan energi gas dari kotoran
manusia kemudian di perjual belikan, Maka banyak yang mengatakan bahwa sesuatu
yang najis, maka haram diperjual belikan dan dalilnya adalah jual beli yakni dari
dalil yang diriwayatkan imam Bukhori bahwa:
“Pendengar bertanya:
Bagaimana gemuk bangkai ya Rasulullah, kerena gemuk itu berguna buat cat
perahu, buat minyak kulit, dan minyak lampu? Jawab beliau: Tidak boleh, semua
itu haram (Muttafaqun ‘alaih).
Kemudian dalam hadits
lain yakni hadits Imam Ahmad yakni:
“Ibnu Abbas berkata,
bahwa Rasulullah SAW. bersabda: Sesungguhnya Allah mengutuk orang-orang Yahudi.
Diharamkan kepada mereka lemak, lalu mereka menjual dan memkan hasilnya. Dan
sesungguhnya Allah, apabila mengharamkan suatu kaum untuk memakan sesuatau,
maka haram pula bagi mereka hasil penjualannya”. (HR. Imam Ahmad dan Abu Daud).
Kebanyakan dari hadits-hadits mengatakan bahwa sesuatu yang
najis, maka haram mutlak diperjual belikan dan juga haram dimakan. Kerkaitan
najis dengan hadits-hadits diatas adalah apabila najis itu tidak boleh
diperjual belikan, artinya memakannya juga tidak diperbolehkan. Artinya
hadits-hadits ini mengatakan bahwa jual beli najis adalah haram. Sebab
haditsnya jelas, ketika Allah mengharamkan sesuatu untuk dimakan, maka hasil
dari penjualan itu juga haram. Kalau jual belinya adalah haram, maka
transaksinya juga haram. Meskipun dalam beberapa madzhab lain misalnya madzhab
Hanafiah dan Dzohiriyah yakni memang haram jual beli. Yang tadi haram bukan
karena najis, kalau tidak ada larangan untuk diperjual belikan meskipun najis,
maka tidak haram sebab tidak ada dalilnya. Ini prespektif dari madzhab Hanafi
dan Dzohiri. Contohnya adalah ibnu
‘Abdin seorang ulama madzhab Hanafi, beliau mengatakan yakni bahkan makruh saja
tidak, apalagi sampai haram. Hal ini disebabkan karena beliau beraggapan bahwa
yang haram lebih tepat apa yang sudah di sebutkan tadi dan kebeberapa komoditas
yang telah disebutkan diatas. Ini tidak berimplikasi pada keharaman yang lain.
Meskipun Nash-nya (tekstual) sebenarnya umum. Sebab kalau Allah mengharamkan
sesuatu, maka termasuk hasil dari penjualannya juga haram. Menurut hanafiah,
sesuatu hal bisa bermanfaat dari hal yang lain. Kalau manfaat artinya ia
muthaqowam dan bisa bernilai, dan kalau bernilai artinya dapat diperjual
belikan.
Terakhir kita melihat dari pendapat imam Nawawi yang cukup
bagus bagi kita untuk menelaahnya. Sebelumnya kita mengingat lagi bahwa imam
nawawi ketika mensyarah hadits-hadits yang mengharamkan memakan sesuatu dan
berarti haram untuk diperjual belikan,
beliau menggarisi satu sisi disebutkan dalam syarah hadits Muslim.
Masih tentang al bai al batil yang sebelumnya telah
dijelaskan dengan hadits-haditsnya.
Dalam penjelasan tersebut terdapat jual beli yang semua komoditasnya dan
seterusnya diharamkan dilarang oleh Allah SWT .
Di dalam sarah Imam An-Nawawi memang terhadap sahih Muslim
yang digunakan sebagai penjelas. Imam An-Nawawi menyebutkan hadits-hadits yang
mashur di dalam kitab-kitab hadits dari Imam Ibnu ‘Abas bahwasannya Nabi
bersabda “Ketika Allah mengharamkan suatu kaum untuk memakan sesuatu maka Allah
haramkan hartanya hasil dari penjualannya kata beliau maka maksudnya dari situ
adalah atas sesuatu yang memang tujuannya untuk dimakan. Beda dengan sesuatu
yang haram tapi haramnya bukan untuk dimakan tapi untuk selainnya. Maka ketika
dijualpun tidak haram.” kata beliau. Contohnya jual beli budak, budak kan tidak
boleh dimakan, tapi boleh diambil manfaatnya dan juga boleh uangnya.
Wal baghli dan bighol, bighol itu wal khimar al ahli. Bighol
khimar al ahli itu dalam fiqih kuliner itu kan eksplisit disebutkan bahwa dia itu
tidak boleh dimakan, cuma tidak ada hadits yang menyebutkan dia tidak boleh
dimakan, adanya kan khinjir nanti disebutkan secara eksplisit ada lahmul
khinjir sama al imar al ahli. Lahmul khinjir memang untuk dimakan tapi al
bighol itu dijual belikan bukan untuk dimakan tapi untuk ditunggangi. Maka
ketika diharamkan untuk dimakan, perlu dketahui niat/tujuan dari jual beli itu,
dalam rangka untuk ditunggangi (dikendarai), maka jual belinya itu tetap boleh.
Kalau diperjualbelikan. Jika untuk dimakan tidak boleh tapi kalau untuk
dimanfaatkan maka tidak masalah.
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa ketika
barang haram untuk dimakan, maka apabila tujuan jual beli tersebut untuk
dimakan menjadiakn jual belinya haram. Sedangkan apabila niat jual beli barang
haram tidak untuk dimakan namun dimanfaatkan untul hal lain, misalnya
transportasi dapat dihukumi sebagai berikut : “Maka sebenarnya begini, sesuatu
yang diharamkan secara syar’i sebenarnya kalau dia tu megang aja ngga boleh
maka nmembeli pun tidak boleh. Contohnya
khamr, narkotika, narkoba. Orang bawa narkoba aja udah ditangkap kok, apalagi
diperjualbelikan, maka ngga boleh”.
Disini kalau kita boleh petik benang merahnya dari
pembahasan tentang najis. Jadi jual beli najis seperti yang telah ditanyakan
sebelumnya, yang telah disebutkan dengan teks secara eksplisit adalah tidak
boleh. Sudah disepakati, kalau khinjir, khamr dan sebagainya namun kalau untuk
hal lain yang tidak boleh dimakan tapi tidak disebutkan secara eksplisit, dan
ketika orang beli itu memang tidak untuk dimakan. Tapi beberapa madzhab memang
membolehkan diantaranya Imam An-Nawawi.
Mungkin timbul permasalahan dengan sesuatu yang najis itu
haram. Ternyata dibeberapa kitab syafi’iah mereka memberikan berbagai solusi. Contohnya, saya pingin punya pupuk kandang, saya ngga punya
kambing, terus saya ingin beli. Dalam madzhab Syafi’i hal tersebut tidak boleh
karena yang diperjualbelikan kotoran hewan yang najis. Namun ternyata ada
beberapa solusi dengan tidak beli pupuknya, tapi meminta diberi upah dari dia
ngumpulin pupuk. Sehingga akadnya bukan dalam rangka memperjualbelikan najis.
Dengan ngumpulin pupuk, orang yang disuruh menggunakan tenaganya. Tenaga itu
yang akan bayar. Maka pembayaran itu pembayaran dalam rangka membayar tenaga.
Dalam setiap melakukan sesuatu kita perlu memperhatikan
akadnya, sepertii jual beli, sewa menyewa atau lainnya. Kira-kira upah (uang)
yang diberikan diniatkan kiloan atau atas tenaga dalam mengangkat barang. Hal
tersebut merupakan salah satu solusi yang ditawarkan walaupun tidak boleh,
namun kadang dimanfaatkan.
Menurut pandangan Imam Nawawi, jual beli seperti itu yang
bukan untuk dimakan, dan dipastikan untuk pupuk maka tidak masalah. Kalau
menurut tahrijan, pengambilan hukum dari Imam An-Nawawi pastinya tidak masalah.
Dikarenakan al maksud uminhu laysa akluhu tapi ghairu dzalik selain itu. Dan
jika kita perhatikan lagi, menurut madzhab Hanbali diperbolehkan. Karena
menurut madzhab Hanbali kalau kita bicara bab thaharah dulu, itu kan mereka
kalau hewan yang boleh dimakan dagingnya, sesuatu yang keluar dari kotorannya
kan tidak najis. Maka menurut mereka tidak ada masalah, karena tidak dibahas
sehingga difahami tidak apa-apa dilakukan. Makanya disini kalau kita membahas
jual beli sesuatu yang haram, kalau haram lidzatihi itu kan biasanya disebutkan
secara ekspilisit, tapi yang disepakati adalah hal-hal seperti contoh diatas,
ada khinjir ada khamr jadi kita qiyaskan ke narkotika terus arak yang tidak
boleh. Namun, kalau kita bicara alcohol, alcohol kan haram dimakan tapi tidak
apa-apa jika digunakan untuk keperluan pengobatan. Karena juga sekarang orang
umum bawa, beli alcohol bukan untuk diminum. Makanya perlu dilihat dulu,
sebagaimana orang beli pistol. Tujuan beli pistol jika untuk nembak orang, maka
haram. Sehingga tidak semua tujuan pembelian benda tajam untuk kejahatan, namun
akan berbeda jika haram lidzatihi.
Jadi yang haram dimakan karena bendanya, gitu ya pasti akan
haram untuk diperjualbelikan? Tetapi ketika niat pembelian itu bukan untuk
dimakan maka seperti yang tadi dikatakan oleh Imam An-Nawawi karena memang
laysa lil aqli itu diperbolehkan.
Ketika berbicara jual beli yang bathil memang lebih kepada
barangnya yang itu dia tidak boleh untuk dimiliki. Karena ya dia diharamkan
secara syar’i, maka kita bisa qiyaskan di beberapa hal lain. Barang-barang yang
haram itu kan nanti ada. Dinegara kita pun ada narkotika, terus nanti ada
psikotropika dan lain sebagainya. Tapi kadang-kadang bahasa kita kan bukan
haram. Kadang-kadang kan bahasanya yang tidak boleh adalah penyalahgunaan
narkotika. Karena memang beberapa ada manfaatnya. Narkotika dibeberapa tempat
itu buat kalau operasi ngga sakit. Dia kan itu dibius untuk menghilangkan rasa
sakit. Dan ini nanti jadi masalah termasuk juga kalau kita bicara orang beli obat
nyamuk. Obat nyamuk kan kalau misal dia cair kan haram untuk diminum, berarti
kan dia haram namun tidak najis. Makanya haram selanjutnya adalah haram yang
tidak gara-gara najis. Tetapi dia haram gara-gara sesuatu yang lain. Contohnya
kalau najis kita sudah bahas tadi. Kalau contoh yang lain haram gara-gara
mudhorot, haram gara-gara eksplisit disebutkan dalam hadits atau Al-Qur’an.
Pembahasan lanjutan tentang al bai al bathil atau jual beli
yang bathil, jual beli yang diharamkan dari faktor selain najis.
Kalau kita lihat dari hadits Al Taroquni terdapat penjelasan
hadits yang artinya tidak boleh harta dari penjualan sesuatu yang tidak boleh
dimakan dan tidak boleh diminum. Redaksi haditsnya memang seperti itu. Ternyata
keharaman suatu benda itu kan nanti ada banyak faktor. Faktor pertama karena
disebutkan di dalam Al-Qur’an bahwasannya itu haram. Yang kedua gara-gara
najis, yang memang kebanyakan tidak boleh diperjualbelikan kalau untuk dimakan.
Kalau faktor lain misalnya faktor mudharat, terus faktor
gara-gara dia itu hewan yang muftaris atau dia eksplisit disebutkan. Nah disini
nih kalau dari faktor selain najis ternyata disebutkan memang para ulama nanti
lebih cenderung menghalalkan dari jual beli itu. Contohnya mudharat kan itu
kita minum tadi ya obat nyamuk, kan dia mudharat, haram. Terus misalnya paku,
paku kan tidak boleh dimakan, bukan karena kenapa-kenapa, ya karena memang dia
membahayakan. Tapi kalau orang jual beli paku tidak masalah, sedangkan jaul
beli obat nyamuk tidak boleh karena haramnya karena faktor tadi, karena faktor
lain, bukan karena faktor benda tapi faktor tubuh, karena nanti dia akan
mudharat. Menyalahgunakan barang, karena harusnya tidak dimakan tapi dimakan.
Kemudian faktornya disebabkan muftaris. Muftaris itu
dijelaskan telah dalam hadits, namun disini belum bisa disebutkan haditsnya.
Misal Siba kan itu hewan buas yang nyari makannya dari kukunya atau dia dari
burung yang dia punya kuku untuk makan. Punya taring hewan buas dan punya kuku.
Dan ini para ulama juga menjelaskan kalaupun dijual belikan tidak masalah.
Contohnya orang jual beli singa atau jual beli macan. Maka hukum jual belinya
tidak masalah walaupun apabila dimakan tidak boleh.
Apabila dimakan haram karena terlarang dan secara terang
dijelaskan tekstual Al-Qur’an dan hadits. Tapi jual belinya boleh dikarenakan
terkadang orang melakukan jual beli tidak untuk dimakan, untuk yang lain dan
sebagainya maka tidak masalah. Kalau yang disebutkan secara ekspilisit di dalam
Al-Qur’an itu kan ada 2, yang pertama adalah ada didalam hadits juga disebutkan
khinjir, babi dan juga khimar ahli. Kalau babi memang para ulama sepakat karena
selain dia najis dan haram dimakan. Dan orang beli babi itu tidak lain untuk
dimakan, jarang orang menunggangi babi. Tapi kalau al khimar al ahli itu kebanyakan
untuk dimanfaatkan untuk dipakai dinaiki sebagai transportasi. Maka pembelian
itu walaupun haram dimakan tapi kan dia dinaikin. Maka itu tidak masalah.
Tidak ada problem ketika jual beli al khimar al ahli atau
keledai. Apabila kita berbicara tentang dzatnya, karena memang eksplisit
haramnya. Ada juga yang barang itu bathil, disebabkan bukan dzatnya. Tapi
karena dzatnya cara memperolehnya haram yaitu cara memperolehnya haram itu
barang, yaitu barang orang lain atau disebabkan barang curian. Kalau barang itu
curian, hampir-hampir para ulama sepakat, karena dalil-dalinya jelas,
bahwasannya ada hadits Imam Hakim dan beliau katakan haditsnya ini shahih yang
artinya “Barangsiapa membeli barang curian, sedang ia mengetahui barang itu
adalah dicuri, maka ia telah berkongsi sama (dengan pencuri) pada aib dan
dosanya.” (HR. Imam Hakim).
Nah jadi syara jual beli harus tahu, karena kadang kita
tidak tahu barang curian atau kan kadang kita tidak tau. Dan kita tidak punya
kewajiban untuk menanyakan.
Walaupun harusnya ada ciri-ciri tertentu, seperti Biasanya
harganya terlalu murah atau lainnya. Beberapa barang memang ada indikasi curian
atau tidak. Contohnya mobil, kalau ada BPKB nya kan itu bukti kepemilikan,
berarti sah. Kalau tidak dan kita tahu barang tersebut curian. Sebenarnya jual
belinya tidak masalah tapi barangnya ini bukan milik penjual tapi milik orang
lain, berarti dia belum dimiliki secara sempurna. Berarti dia tidak boleh dan
tidak sah untuk menjualkannya dan orang yang membeli barang itu juga belum sah untuk
memilikinya. Karena barang itu bukan milik orang yang menjualnya. Maka ini
bathil juga, tapi bathilnya bukan karena barangnya itu haram secara dzat, tapi barangnya itu haram
karena cara mendapatkannya. Hal tersebut karena mobil itu tidak haram.
Tapi kalau cara mendapatkannya dengan jalan yang seperti
itu, tau kalau murahya itu karena curian tapi dia masih mau membelinya karena
memang suka dan seterusnya, maka kepemilikannya belum sah. Sehingga dalam
hadits Nabi saw itu disebutkan, dikatakan bahwa “Jangan kamu jual apa yang
tidak kamu miliki.” (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi). Bukan milikmu maksudnya
saya memang tidak punya laptop tapi orang lain sudah memberikan mandat
menjualnya. Barang itu kan bukan punya saya, tapi saya boleh menjual karena sudah
ada izin, sudah menjadi wakil. Yang tidak boleh itu ketika kita tidak ada
perjanjian apa-apa dan barang orang lain saya ambil dan saya jual. Maka belinya
tidak sah dan jual belinya tidak sah itu kan berarti batal. Dan itu tidak bisa
dimiliki juga, kalau memang dia tau. Tapi kalau tidak tahu, nanti dia tidak
berdosa karena dia tidak tahu.
“Yang dosa satu pihak saja dan itu yang menjualnya sedangkan
yang membelinya bukan urusan dia karena urusannya membeli saja?” Maka dalam hal
ini harus diperhatikan antara tahu dan tidak mau tahu. Hal tersebut agak
beda-beda tipis artinya kadang-kadang orang itu tahu kalau dia itu pekerjaannya
mencuri tapi kadang-kadang dia beli. Berarti ini bukan tidak tahu tapi tidak
mau tahu. Hal ini statusnya hampir sama, yang mana kalau dia sepertinya tukang
pencuri. Apabila dia beli kan sebenarnya dia tau tentang pekerjaannya itu. Tapi
kalau dia beli pun dalam hukum tidak usah pakai hukum islam lah, pakai hukum
negara pun dia bisa dijerat hukum gara-gara jadi penadah, apalagi dalam syariat.
Hal ini haram karena cara memperolehnya.
Maka akan beralih yang bathil juga tapi bukan karena dzatnya
haram, bukan cara mendapatkannya haram, tapi tempatnya dan waktunya tidak
tepat. Ini nih ada beberapa contoh, kalau waktunya tidak tepat nanti kalau kita
lihat haditsnya itu nanti ada bahwasannya dalam surat Al-Jumu’ah disebutkan
“Hai orang-orang beriman, apabila diseur untuk menunaikan shalat Jum’at, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah:09). Maka dari sini, dari Qur’an ini, para ulama
menyebutkan bahwasannya jual beli setelah adzan Jum’at itu jual beli yang
terlarang.
Dalam Al Quran terdapat larangan untuk tinggalkan jual beli,
jual belinya terlarang walaupun syarat rukunnya terpenuhi. Rukunnya itu
penjualnya ada, pembelinya ada, barangnya ada, harganya ada, jelas. Dan ini
banyak nih, orang mau Jum’atan beli es dulu lah orang belum qomat, nah ini kan
banyak, Status hukumnya haram, jual beli ini haram. Karena waktunya tidak
tepat. Namun rukunnya semua ada, jadi
pertanyaannya kalau orang beli terus makan, dia berdosa makannya atau dia
berdosa gara-gara tidak ke masjidnya. Kalau tidak sah kan berarti bukan milik
dia, tidak boleh dimakan. Hal terrsebut akan dibahas pada bab selanjutnya
mengenai memakan es krim ketika adzan Jum’at apakah boleh atau tidak.
Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai Bai’al Bathil
(Jual Beli yang Bathil).
Telah dijelaskan faktor-faktor yang membuat jual beli
bathil itu dari sisi barangnya baik itu karena najis atau karena memang haram
untuk dimakan, kemudian baik karena cara memperolehnya misalnya karena ternyata itu barang curian, atau karena
mencuri kemudian dijual dan seterusnya dan karena waktunya yang tidak tepat.
Untuk waktu yang tidak tepat, contohnya adalah es krim tadi. Yang biasa
dibungungkan adalah makan es krim atau tidak ini atau dikembalikan saja
Kalau makan es krimnya, kita harus memperhatikan waktu yang
tepat. Kalau belinya belum adzan, kalau tepat adzan sebenarnya jual belinya itu
dosa, untuk hal ini dosanya disepakati, haramnya juga disepakati. Apakah jual
belinya sah atau tidak, kebanyakan ulama menjawab hal tersebut sah
Apabila dimakan es krimnya, dalam pandangan madzhab Hanafi
mereka itu membedakan antara bathil dengan fasid. Apabila bathil, dalam
beberapa madzhab telah disepakati bathil. Sehingga tidak sah. Dalam madzhab
Hanafi, ternyata bathil itu beda dengan fasid. Kalau bathil itu makanal kholalu
waqi’an fi arkanihi yang cacatnya ada disalah satu rukunnya. Rukunnya itu bisa
penjualnya, pembelinya, harganya atau barangnya. Apabila bathilnya seperti itu
maka semua telah sepakat. Namun hal tersebut fasid karena makanal kholalu
waqi’an fi syuru’ dzil aqil mu’kamilah wallatina wallahu ‘anha. Yang berarti disyarat yang lain ada
larangannya. Maka jual belinya fasid. Fasid itu tetap sah, tetapi kalau dalam
madzhab lain dia tetap sah. Kalau dalam madzhab Hanafi malah tidak sah karena
dia fasid. Fasid itu sama dengan bathil ini kan maka dia tidak sah.
Ketika orang jual beli ketika setelah adzan dan adzan ini
adzan jum’at. Kalau adzannya dua berarti adzan yang kedua bukan adzan yang
pertama. Ketika imam sudah khotib sudah naik di atas mimbar. Dan keharaman ini
untuk orang yang wajib jum’atan.
Kalau yang lagi musafir beli makanan dijalan tidak ada
masalah. Karena dia jum’atan saja tidak wajib. Walaupun nanti dalam madzhab
Zhahiri wajib. Namun dalam mayoritas ulama musafir tidak wajib melakukan
jum’atan. Kalau jum’atannya tidak wajib berarti dia tidak terkena hukum ini.
Termasuk perempuan yang kadang-kadang melakukan jual beli. Sebaiknya kalau jual
belinya di samping masjid memang harusnya memang untuk menghormati
diberhentikan. Terkadang terdapat jual beli diwaktu yang tidak tepat dan ada
juga yang tempatnya tidak bener. Tempatnya tidak benar itu seperti di dalam
masjid jual beli yang seharusnya tidak dilakukan jual beli.
Kita harus sangat
hati-hati. Terkadang setelah selesai shalat di masjid ada yang berkata
“Eh isiin pulsa dong”. Dari permintaan tersebut ditanggapi, maka hal tersebut
termasuk jual beli. Jika mengenai dalil jual beli dimasjid maka nanti ada dua
dalil. Yang pertama itu dari hadits riwayat Imam Ahmad at tirmidzi dari Abu
Hurairoh bahwasannya Nabi bersabda “Kalau ada kalian melihat orang jual beli di
dalam masjid, bilang aja Semoga tidak untung”. Dan sepertinya sunnah ini jarang
kita lakukan.
Namun masalahnya kalau jual beli yang terlihat mungkin kita
bisa berdoa melaksanakan sunnah itu. Dan berkata “Moga kamu gak untung”. Cuma kalau jual belinya pulsa, kita tidak
pernah tahu dia lagi main hp, jual beli pulsa atau melakukan hal lainnya.
Makanya dalam hadits lain riwayat Imam tirmidzi, Abu Daud
disebutkan malah tidak hanya diperintahkan mendoakan tapi nabi juha melarang
jual beli di dalam masjid. Maka dari dua hadits ini memang kebanyakan ulama
mengatakan masjid bukan tempat jual beli. Terkadang jual beli di dalam masjid
dilakukan saat ceramah, terkadang buku yang sedang diluar masjid ikut
diputarkan kepada jama’ah. Hal tersebut bisa jadi jual beli juga.
Walaupun kalau kita bicara dalilnya tadi jelas diperintahkan
mendoakan biar tidak laku, dan juga nabi pun melarangnya di dalam masjid. Yang
disepakati tidak boleh jual beli memang didalam masjid. Adapun nanti diluar
masjid, atau terkadang di masjid sudah ada di dalam perkantoran atau dibawahnya
juga ada. Hal tersebut masih diperdebatkan apakah masjid atau bukan. Tapi kalau
di dalam masjid, sepakat tidak boleh jual beli. Tapi tidak bolehnya itu sampai
level mana ternyata nanti para ulama nanti berbeda pendapat, hukumnya bisa
sampai haram atau hanya makruh. Ternyata kalau dilihat, beberapa ulama memang
nanti ada yang mengharamkan karena dalil yang telah dipaparkan. Yang mana jual
belinya dilarang atau tidak boleh. Tapi malah yang unik kalau kita bicara
tentang jumhur ulama maka malah derajatnya itu tidak sampai haram tapi makruh.
Namun tidak sampai haram. Kalau haram itu kan konsekuensinya cukup besar, yang
melakukan nanti berdosa.
Apabila makruh, misalnya di dalam kitab imam Asy Syaukani
pada kitab Nailul Author beliau menyebutkan ammal bai’ wa syura’ fadzahaba
jumhurun ulama ila annannahya mahmulun ‘alal karoha. Sesungguhnya larangan tadi
itu mahmulun ‘alal karoha yang mana maksudnya adalah makruh bukan haram.
Makanya walaupun makruh tapi memang adabnya memang harus dijaga. Maksudnya
masjid itu bener-bener untuk ibadah bukan untuk jual beli. Karena kalau kita
mau ke masjid itu wa dzarul bai’
(tinggalkanlah jual beli). Dan ini memang ayatnya hanya cuma bicara tentang
sholat jum’at. Tapi kalau bisa masjid itu steril dari kegiatan ekonomi.
Dan rasul melarangnya jual dan beli di dalam masjid . Yang
mana jual beli ini juga nanti para ulama memperluas. Tidak hanya jual beli tapi
akad-akad komersil yang lain yang mana dia juga pakai akad yang intinya hampir
sama dengan jual beli. Contohnya kalau dia tidak jual beli tapi memijat orang
terus dia dapat gaji dari mijitin itu orang dapat uang. Para ulama nanti
membahas juga ada yang menjahit. Orang tersebut sedang I’tikaf, yang mana
tukang jahit. Kemudian ada yang meminta dijahitin saat I’tikaf. Hal ini masuk
dalam makruh. Dan juga paling tidak kalaupun nanti dia itu tidak di doakan
orang lain untuk untung bisa jadi didoakan oleh nabi karena nabi suruh
mendoakan biar tidak untung. Dan terkadang jual beli di zaman dulu ketika
penjual dan pembeli itu bertemu. Yang mana orangnya itu jelas. Akad jelas.
Namun jual beli sekarang ada yang via online. Orang beli dengan cara online.
Dia itu di dalam masjid sambil I’tikaf. Dia bisa sambil beli dengan buka hp,
kemudain bayarnya ditransfer. Atau jual pulsa di masjid kan bisa juga.
Apabila diantar dengan Gojek yang kemudian masuk ke masjid.
Bisa jadi kita memilih yang makruh, tapi untuk adabnya memang jangan. Kalaupun
adabnya jangan, nanti kalaupun tidak untung jangan salahkan siapa-siapa. Karena
memang masjid jangan untuk jual beli. Dalam hal ini, haramnya kan bukan berarti
menjadikan akadnya tidak sah. Namun tetap sah. Maka menjadi hal yang unik,
karena di satu sisi haram, tapi disisi lain jual belinya tetap sah.
Jual beli ini haram menurut minoritas ulama dan Mayoritas
mamemakruhkan. Memang paling tidak bukan haram namun dilarang. Karena kalau
dilarang, namun ada sesuatu yang tetep sah. Contohnya karena haromun laisa
lidzatihi walakin liwasfin khorijin ‘anid dar. Tapi dia itu tidak diharamkan
gara-gara dzatnya, tapi gara-gara ada hal lain yang dia itu la li’ainihi.
Tidak untuk dzatnya tapi gara-gara hal itu. Maka disini masih termasuk
dalam jual beli bathil dalam beberapa
madzhab dan jual beli makruh dalam beberapa madzhab. Maka jual beli bathil itu
gara-gara gak ada ‘ainnya, barangnya memang haram. Haram dijual belikan berarti
haram di makan, diantaranya gara-gara najis. Lalu haram gara-gara caranya/cara
memperolehnya. Apabila bukan milik penjual maka dia juga bathil. Atau haram
gara-gara waktunya tidak tepat atau tempatnya yang tidak tepat.
Penjelasan diatas merupakan faktor-faktor yang membuat jual
beli menjadi jual beli yang bathil. Tentang hadits yang menyebutkan bai ‘ataini
fi bai’ah. Secara eksplisit nabi menyebutkan dua jual beli dalam satu jual
beli. Pembahasan akan dijelaskan pada bab selanjutnya.
Wallahua’lam
Thayyib penjelasanya
BalasHapus