Kamis, 02 November 2017

Al Bai' Al Murakkab


 Sudah suatu fenomena yang bisa kita lihat sehari-hari bahwa di zaman sekarang, bertransaksi dalam hal apapun dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Rata rata transaksi yang kita lakukan sehari-hari memiliki akad dua jual beli (akad ganda) dalam satu jual beli. Mulai dari jual beli dengan transaksi kontan maupun kredit dengan harga yang berbeda; jual beli online yang dibebankan uang ongkos kirim, yang artinya ada transaksi ongkos kirim yang terlibat dalam jual beli online; pembebanan biaya pada transfer antar bank; pembayaran rumah baru beserta uang sewa keamaannya; ongkos pembelian tiket KAI melalui pihak ketiga, dan transaksi kontemporer lainnya yang menyertakan dua atau lebih transaksi yang terikat dalam satu jual beli.

Transaksi seperti ini dikenal dalam hadits Nabi SAW dengan istilah al bai’ataini fi bai’ah yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai akad yang ganda atau bertingkat. Kemudian dalam Bahasa Inggrisnya kita kenal dengan istilah hybrid contrac. Sedangkan para ulama sendiri menjelaskan dengan istilah al ukud al murakabbah. Yaitu akad yang banyak yang terkumpul menjadi satu dalam transaksi jual beli.

Sementara disebutkan dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam An-Nasa’i, dan juga Imam Attirmidzi, bahwa ada larangan khusus dimana Abi Hurairah berkata “Rasulullah SAW melarang dua jual beli di dalam satu jual beli”. Lalu bagaimana hukumnya bila melakukan lebih dari satu jual beli dalam satu jual beli seperti contoh di atas? Hal ini penting kita bahas, karena hadist tersebut sangat berkaitan dengan fenomena yang terjadi saat ini. Maka pada episode ini kita akan membahas beberapa hal. Diawali dengan memahami beberapa riwayat hadist dengan bermacam redaksi hadits yang menyebutkan larangan dua jual beli dalam satu jual beli. Kemudian bagaimana takhrij atau keshahihan haditsnya, lalu definisi tentang al bai’atani fi bai’at serta makna dari larangan itu, dan bagaimana penggabungan dari hadist yang ada dengan dikontekskan dalam akad-akad kontemporer yang terjadi saat ini. Serta pembahasan terakhir  kita akan melihat bagaimana dampak dari penggabungan dua akad itu sendiri yang akan dijelaskan dalam pembahasan selanjutnya.


Sebelumnya sudah disebutkan contoh-contoh yang sering terjadi di tengah-tengah kita terkait transaksi dimana dalam satu transaksi itu sendiri terdapat lebih dari satu transaksi, dalam kata lain ada banyak transaksi yang terkumpul menjadi satu.

Apakah transaksi ini diperbolehkan?

Kita mengawali pembahasan ini dengan,

1. Hadist-hadist Nabi SAW yang melarang al-bai’ataini fil bai’ah

Beberapa hadits memang menyebutkan secara eksplisit, seperti

 “Naahan nabi shalallahu’alaihi wasallam al-bai’ataini fil bai’ah,”

dari Abu Hurairah beliau menyebutkan, “Nabi melarang dua jual beli dalam satu jual beli.”

HR Ahmad, An-Nasa’i dan At-Tirmizi mengatakan ini bahwa hadist ini shahih, dan juga Ibnu Hibban.

Dalam hadits lain disebutkan,

“Man ba’a bai’ataini fi bai’atin falahu awkasuhumaa awirriba,”

“Siapa yang berjual beli dengan dua jual beli dalam satu jual beli maka dia harus mengambil yang paling rendah atau dia terkena riba.”

Hadits ini riwayat Abu Daud, Ibnu Hibban, Al-Hakim An-Nasaburi. Imam Adzhabi juga sepakat dengan penshahihan Ibnu Hakim, maka kebanyakan ulama mengatakan hadits ini shahih yaitu bahwa orang yang berjual beli dengan dua jual beli dalam satu jual beli maka dia harus mengambil harga yang paling rendah, kalau tidak dia akan mengambil riba. Ini adalah salah satu kesimpulan yang didapat oleh segolongan ulama dari kedua hadist di atas.


“Fakaanafiima kutiba ‘anarasulillah shalallahu’alaihi wasallam annahu lamma ba’atsa ’itab bin usaidila ahli makkah qaala, ‘akhbirhum annahu laa yajuuzubai’ani fi bai’in wa laabai’umaa laa yumlak wa laa salafin wa bai’in wa laasyarthani fii bai’in bai’ani fii bai’in.”

“Ketika Nabi SAW mengutus ‘Itab bin Usaid ke Mekkah, berkatalah beliau kepadanya, ‘Beri tahulah mereka bahwa tidak boleh ada dua jual beli dalam satu jual beli, dan jual beli sesuatu yang dia belum miliki, dan menggabungkan antara hutang dan jual beli, dan ada 2 syarat dalam satu jual beli.”

Kemudian hadits riwayat lain Imam At-Tirmidzi dan juga Ibnu Huzaimah dan juga Ibnu al Ahkim dikatakan bahwasanya,

 “Qaala rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam laa yahillu salafun wa bai’un walaa syarthani fii bai’in wa laa ribhun maa lam yudhman wa laabai’immaa laysa’indak”

“Rasulullah SAW bersabda tidak halal hutang dan jual beli, dan dua syarat dalam satu jual beli, dan dia itu untung tapi tidak melakukan sesuatu dan jual beli sesuatu yang memang tidak dimiliki.”

Arti salaf dapat berbagai macam. Salaf disini artinya adalah hutang. Dan disini, salaf dan jual beli digabung menjadi satu.

Kemudian hadits yang berikutnya, jika yang sebelumnya menggunakan redaksi “bai’ah” sekarang pakai redaksi “shafqah”. Bahwasanya dalam riwayat Imam Ahmad bin Hambal dari Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Mas’ud,

“’An nabihi qaa la nahaa Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam ’anshafqathaini fii shafqatin waahidah, bai’ataini fii bai’ah huwa binnasa’in bi kadza wa huwa bi naqdin bi kadza wa kidza.”

 Shafqah itu berasal dari kata mushafaqah.

Dari riwayat Imam Ahmad ini disebut bai’ataini fii bai’ah adalah jika ia mengangsur maka membayar sekian, kalau ia langsung lunas maka membayar sekian. Seperti kita membeli motor dengan mengangsur, ‘Kalau kamu bayarnya cash 15 juta ya, kalau kredit 25 juta.’

Nah kemudian di dalam hadits Mushannaf Ibnu Abi Syaibah dikatakan dari Ibnu Mas’ud,

“Shafqathani fii shafqah ribaa.”

“Dua jual beli dalam satu jual beli adalah riba.”

Melanjutkan kepada pengertian shafqathin fii shafqah itu sendiri adalah apa, karena memang kebanyakan ikhtilaf yang ada adalah sebab perbedaan pemaknaan.

Makna dari hadits yang pertama shafqathin fii shafqah adalah jual beli kontan yang harganya lebih murah daripada kreditnya. Ini yang sering terjadi. Hal  ini juga sebagaimana tafsiran dari yang Ibnu Mas’ud tadi dalam kitab Mushannaf Ibnu Abi Syaibah. Ini adalah salah satu contoh bahwa ada dua akad sekaligus.

Namun, kita tidak bisa mengatakan bahwa shafqathin fii shafqah adalah jual beli kredit. Transaksi jual beli kredit kan misalnya, “Antum mau beli motor dari saya, kalau antum belinya cash, antum cuma bayar 15 juta. Kalau mau kredit satu tahun, antum bayarnya 20 juta”. Dilihat dari segi makna hadits, transaksi seperti ini kan hampir sama dengan huwa binnaqdin bi kadza wa huwa binnasa’in bi kadza, tapi ternyata para ulama mengatakan begini bai’ataini fii bai’ah huwa ayyakul abi ukahaditsil ahbimi addatid... ketika naqdan kontan sekian, ketika kredit sekian ternyata memang wala yukarifuhu ‘ala ahdil bai’ani ini dalam kitab Sunan At-Tirmidzi ada lanjutannya faidza farraqhum.. , fala yukarifuhu ‘ala ahdil bai’ani, dua orang ini misalnya tawar-tawaran nih, kalau kredit sekian kalau kontan sekian, harganya beda ya. tapi kita belum, ketika sudah pisah, sudah deal tapi antum belum memilih, yang mana nih yang dipilih.

Berarti belum ada transaksi? Transaksi sudah jadi, Cuma antum belum milih, maka di sini ini kan ada gharar, gharar ini nanti antum pilih harga yang mana, gharar dalam harga itu nggak boleh, kenapa? faidza faraquhu ‘ala ahadihima..., kalau antum sudah milih kredit atau cash fa laaba’sa faidza kama.. maka tidak apa-apa, Ilustrasinya begini, misalnya ada orang tuh punya anak nih, perempuan dua, perempuan semua terus dia bilang kepada salah satu pemuda, “nak kamu mau nggak nikah dengan anak saya?”


Kita sudah bicara tentang nikah. Nikah yang.. nggak tau jadi nikah atau enggak, karena orang tua perempuan ini nggak jelas. Dia bilang bahwa “Saya punya dua anak perempuan, coba kalau boleh dinikahkan dua-duanya.” Ternyata dalam Islam nggak boleh, makanya kemudian dia bilang, “Saya akan nikahkan dengan salah satu dari keduanya.” Cuma nggak jelas, salah satunya yang mana. Nah kira-kira ini nikahnya jadi nggak ya?

Contoh : Ketika bai’ataini fii bai’ah itu, memang dalam haditsnya Ibnu Abbas itu menafsiri bahwasanya orang yang menjual dengan ketentuan kalau kontan sekian, kalau kredit sekian. Itu salah satu makna dari adanya dua jual beli di dalam satu jual beli. Kenapa tidak boleh? Sebagaimana contoh : orang punya dua anak perempuan, terus ada seorang pemuda, dibilang, “Kamu mau nikah sama anak saya?” “Mau.” “Ya udah, kita akad. Kamu saya nikahkan dengan salah satu anak saya.” Tetapi tidak disebutkan namanya. Kemudian si pemuda bilang, “Saya terima nikahnya.” Itu menjadi tidak sah. Kenapa tidak sah? Karena tidak jelas siapa yang mau dinikahi. berarti tidak jadi nikah. Maka harus dipilih, kakaknya atau adiknya. Kalau cantikan kakaknya, boleh pilih kakaknya. ini contoh saja. Kenapa kok tidak boleh seperti itu?

Di dalam sunan At-Tirmidzi, salah satu rawinya bilang, “Dan ia tidak berpisah (yaitu tidak bersepakat) dengannya pada salah satu harga. Kalau dia berpisah dengannya di atas salah satunya, maka itu tidak apa-apa apabila akad berada di atas salah satu dari keduanya.” Ketika terjadi akad, maka harus ada kejelasan. Kejelasan itu dari pihak bendanya jelas, termasuk harganya yang dipilih juga jelas. Ketika sudah terjadi akad tapi harga yang dipilih tidak jelas, maka ada ghoror. Kalau ada ghoror, ini nanti akan bermasalah dalam akad. Misalnya ada dua harga, itu belum ada masalah asalkan dalam dua harga ini ada pilihan sejak awal bahwa saya milih harga yang lebih murah. Misal saya pilih harga kontan. Atau saya pilih harga kredit. Itu sudah terjadi akad, dan dipilih. Baru kemudian, “Oke, saya terima. Kamu pilih yang ini ya.” Itu tidak termasuk bai’ataini fii bai’ah. Walaupun nanti ada ulama yang mengartikan bai’ataini fii bai’ah itu sebagaimana (kalau sekarang) jual beli kredit.

Karena ada dua akad dalam satu akad. Barangnya satu, kok harganya dua? Ternyata kalau kita lihat-lihat lagi, barang satu harga dua, itu sebenarnya bukan dua jual beli. Toh juga jual belinya tetep satu. Jadi tetep terjadi sesuai yang disepakati, itu bukan dua jual beli. Cuma kadang-kadang orang itu, milih yang mana. Toh juga barang satu dengan dua harga jual juga nggak masalah, tidak menjadikan suatu jual beli itu haram. Contohnya,  kita beli es teh di warteg, harganya 3.500. Sama-sama es tehnya, di jual di bandara, pake bahasa Inggris “Ice Tea”, harganya jadi 15.000. Barangnya sama harganya beda. Atau contohnya, barangnya es teh nih. Karena pelajar harganya 1000, karena pekerja harganya 2000. Boleh nggak? Boleh, nggak masalah. Berarti artinya apa? Artinya dua harga dalam satu barang itu tidak menjadikan alasan hal itu menjadi haram karena yang penting adalah antara penjual dan pembeli sudah menyepakati harganya. Harus sudah jelas. Maka mau ambil yang mana? 

Dalam hadits tadi kan dikatakan, fa lahuu aukatsruhumaa au firriba. Kamu harus pilih yang mana nih. Kalau tidak pilih, maka kamu harus pilih yang paling murah. Kalau tidak, pasti nanti akan terjadi riba. Makna dari dua jual beli di dalam satu jual beli adalah ketika penjual menerapkan dua harga, pembeli sudah deal, tapi pembeli belum memilih harga yang mana yang diambil. Ini makna pertama. Berarti terlepas ada dua harga, tiga harga, empat harga, yang penting adalah kesepakatan sejak awal, saya milih harga yang mana. Ini harus ada kejelasan dalam nilainya itu berapa, harganya ambil yang mana, bayar kredit atau kontan. Ini makna yang pertama.

Kemudian para ulama menyebutkan, makna kedua adalah menjual dengan syarat harus membeli. Ini juga bai’ataini fii bai’ah. Paling tidak nanti Imam Syafi’i menyebutkan bahwa ini pendapat beliau. Dalam sunan At-Tirmidzi, Imam At-Tirmidzi menyebutkan begini, “Qoola Syafi’i wa min makna nahyin Nabi SAW an bai’ataini fii bai’ah an yakuul, abii’uka daari haalihi bi kadzaa ‘alaa an tabi’ani ghulaaman kabkadza.” Jadi At-Tirmidzi bilang, kalau menurut Imam Syafi’i nih, dua jual beli dalam satu jual beli tu begini : saya jual antum jual, saya beli antum beli. Misal, Pak Tomo, saya punya laptop, Antum punya hp. Saya mau jual laptop ke Antum, dengan syarat hp Antum juga Antum jual ke saya. Nah di sini, fa idzaa wajaba li ghulaamuka wajaba lii daari. Ketika sudah terjadi akad : laptop ini buat Antum, hp Antum buat saya. Wa haadza yufaariku an bai’in bi ghoiri tsamanin ma’luumin. Wa laa yadri kullu waahidin min humaa ‘alaa maa waqo’a ‘alaihi shofqoh. Ketika seperti itu, kadang-kadang di zaman dulu, tidak tahu harga aslinya laptop berapa, harga asli hp berapa. Kalau dilakukan seperi itu, bisa jadi nanti salah satunya akan menjadi dzolim ketika tukar menukar dan memang tidak tahu harganya berapa.

            Dan hal ini juga tidak boleh, ketika Bilal bin Rabbah menukarkan kurma yang jelek 2 sha’ dengan kurma yang bagus 1 sha’. Tidak bolehnya bukan dalam rangka tukar menukarnya, tetapi dari kalau dinilai 2 sha’ yang jelek itu dapat berapa, 1 sha’ yang bagus itu dapat berapa. Karena sangat mungkin salah satu pihak nanti akan jadi rugi. Nanti dia akan kecewa. Misalnya, 2 sha’ kalau dihitung-hitung harga jualnya 20 ribu, satu sha’ harga belinya 15 ribu, berarti dia kan rugi 5 ribu, dan satunya untung 5 ribu. Jadi intinya ini ada pada kejelasan karena dua hal ini gara-gara ada ghorornya. Yang pertama tadi ghoror karena tidak jelas pilih yang mana, yang kedua tidak jelas harganya berapa. Karena tukar ini nggak jelas nih harus bagaimana. Ini makna yang memang dipakai oleh para ulama.

Jadi ini maknanya ada beberapa, terkait bai’ataini fii bai’ah? Yang pertama seperti jual beli kredit yang kita kenal hari ini, oleh beberapa ulama disebut sebagai bai’ataini fii bai’ah. walaupun bukan beberapa ulama. Kalau boleh saya sebut, ulama kontemporer itu hanya Nashruddin Al-Bani, yang mengatakan bahwa contoh bai’ataini fii bai’ah itu adalah jual beli kredit. Meskipun ulama Saudi yang lain; Syaikh Bin Baz, Syekh Utsaimin, itu tidak mengatakan demikian. Dan termasuk ulama yang lain juga tidak. Jumhur ulama membedakan antara bai’ataini fii bai’ah dengan kredit? Kredit itu akad tersendiri, yang tidak termasuk larangan bai’ataini fii bai’ah. Hal ini dibenarkan juga oleh Syekh Al-Bani

Makna yang kedua, tentang jual beli, ada dua belah pihak sama-sama berjualan, tetapi harganya tidak jelas. Ini definisi Imam Syafi’i yang diriwayatkan At-Tirmidzi dari Imam Syafi’i. ini adalah makna yang kedua.

Makna yang terakhir, paling tidak ini malah akan jadi kesepakatan hampir seluruh ulama. Hampir seluruh ulama menyepakati makna ini sebagai yang tidak boleh. Makna ketiga ini yang dilarang oleh syari’at. Kalau yang kedua tadi, yang dikatakan Imam Syafi’i, apakah dibolehkan atau bagaimana? Ini juga menjadi tidak jelas ketika terjadi ketidakjelasan. Berarti ada ghoror. Kalau ada ghoror, berarti ini ada masalah. Tapi itu juga bai’ataini fii bai’ah.

Bai’ataini fi bai’ah adalah salah satu bentuk jual beli yang dilarang oleh Rasulullah SAW. Ada beberapa definisi bai’ataini fi bai’ah: yang pertama, menurut Syeikh Nasruddin Al-Bani mengatakan bahwa bai’ataini fi bai’ah merupakan jual beli kredit yang haram hukumnya. Namun, para ulama menyebutkan bahwasanya jual beli kredit dan bai’ataini fi bai’ah adalah dua hal yang berbeda. Kemudian, yang kedua menurut Tirmidzi, Imam Syafi’i mendefinisikan bai’atin fi bai’ah itu adalah ketika ada seorang penjual mengatakan “Saya menjual ini ke kamu, dengan syarat kamu harus menjual itu kepada saya”.

Selanjutnya definisi yang ketiga, merupakan definisi yang lazim diungkapkan oleh beberapa ulama. Salah satunya,  Ibnu Qoyyim dalam kitab i’laamul muwaaqi’in, serta beberapa ulama juga menggunakan definisi ini. Pengertian bai’ataini fi bai’ah yang lebih spesifik adalah jual beli inah. Para ulama hampir menyepakati bahwasanya jual beli inah itu haram. Sebagaimana dalam kitab I’lam atau ‘alamul mafi’in, karya Ibnu Qoyyim, beliau menyebutkan tentang bai’ataini fi bai’ah tidak akan pernah terjadi, kecuali hanya dalam contoh jual beli inah. Artinya bai’ataini fi bai’ah dalam beberapa hadits yang diharamkan oleh ibnu qoyyim tidak lain adalah jual beli inah.

Jual beli inah termasuk khilah menuju riba. Dalam hadits “Man ba’a bai’ataini fi bai’ah, aufalahu, aukasuhima awirriba”, kata ‘aukasuhima awirriba’ menunjukkan adanya riba yang tidak lain terdapat dalam jual beli inah. Alasan keharaman jual beli inah sebagaimana contoh peristiwa berikut ini. Jika ada dua orang, sebutlah Si A dan Si B. Si A memiliki uang sedangkan Si B butuh uang, lalu Si B meminjam uang 500 ribu kepada si A. Si A meminjamkannya dengan syarat mengembalikannya dua kali lipatnya yaitu 1 juta rupiah. Hal ini jelas haram, karena pembayaran utang lebih besar dari nilai utang yang sesungguhnya.

Nah, konsep jual beli inah hampir mirip dengan kejadian diatas bedanya tidak dengan hutang-piutang tetapi dengan konsep jual beli. Jadi misalkan, si B meminjam uang 500 ribu kepada si A. Namun si A tidak memberi hutang tetapi menjual HP seharga 1 juta, yang dibayar secara kredit selama satu bulan. Tetapi karena si B tidak butuh uang, maka HP nya dijual lagi ke si A secara tunai seharga 500 ribu. HP hanya barang komoditi yang kembali lagi ke si A, sedangkan si B dapat uang 500 ribu. Namun, si B hutang sebesar 1 juta pada si A. Nah ini sama saja dengan konsep hutang-piutang riba, buktinya si B dapat uang 500 ribu, tetapi pada akhirnya bayar 1 juta sedangkan HP masih tetap pada si A. Artinya kelebihan uang sebesar 500 ribu yang diberikan si B kepada si A tidak bisa dianggap keuntungan walaupun akadnya jual beli. Hal ini karena HP tetap pada si A, dan uang nya pun tetap diberikan kepada si A. Ternyata, jual beli ini hanya untuk menghindari kata-kata hutang.

Si HP hanya sebagai kedok hutang tersebut. Dalam peristiwa ini terdapat 2 jenis jual beli, jual beli pertama bersifat kredit kepada si B dan jual beli kedua bersifat tunai kepada si A. Maka, dalam kata “aufalahu, aukasuhima awirriba” menunjukkan bahwa harusnya menjual dengan harga rendah atau harga biasa, tetapi jika dengan harga tinggi maka kelebihannya adalah riba karena sama saja dengan hutang-piutang.

Para ulama menyebutkan jual beli inah adalah makna dari kata “bai’ataini fi bai’ah” sebagaimana pernyataan dari imam ibnu Qoyyim Al-zaujiyyah di dalam kitabnya ‘I’lam atau I’laamul muwaaqi’in. Jual beli inah tidak berlaku jika si B tidak menjual HP ke si A lagi, karena tidak ada talazzum atau terikat pada penjual beliannya.

Sebenarnya dari segi bahasa jual beli inah memiliki makna yang bagus. Kata maunah  artinya pertolongan, atau Isti’anah yang artinya meminta pertolongan. Sedangkan ‘inah berasal dari kata ‘aun yang artinya pertolongan. Niat awalnya jual beli tersebut adalah untuk menolong. Namun, ternyata pertolongannya bukan berdasarkan nashara yansuru, tetapi nashara yadzribu, Akad yang terlihat menolong padahal sebenarnya malah menyusahkan. Jika sebenarnya jual beli inah untuk menghindari riba tetapi justru mengarah pada riba. Para ulama menghukumi jual beli riba ini adalah haram. Oleh sebab itu, para ulama menyebutkan bahwasanya “bai’ataini fi bai’ah istilahan ijtima’un aw takabbul aktsarin min aktin fi sokhrotin baidah bi syai su’atu syairu mujibatikal ukut wal atsar aw mutarottiba alaiha jumlatan waahidatan”. Kata jual beli bai’ataini fi bai’ah itu lebih tepat menunjukkan jual beli inah.

Dari ketiga definisi mengenai bai’ataini fi bai’ah, definisi ketiga ini yang sering disepakati oleh ulama. Ketiga definisi diatas menunjukkan adanya permasalahan masing-masing. Definisi pertama dan kedua masalahnya adalah ghoror. Ghoror definisi pertama adalah ketidakjelasan kapan mendapatkan dan pilih yang mana. Ghoror dari definisi  kedua yaitu ketidakjelsan keuntungan. Sedangkan masalah pada definisi yang ketiga, adalah adanya riba. Oleh sebab itu, maka jual beli inah ini diharamkan.

Kasus-kasus Bai al-Murakkab

Kalau kita bicara hukum, pertama syariah memberi kelonggaran dalam bermuamalah. Artinya tidak hanya sekedar dua jual beli dalam satu jual beli jadi satu itu haram, karena susah untuk menghindarinya. Maka contoh-contoh yang tadi tidak semuanya gara-gara multi akad lalu itu menjadi haram. Karena makna dari haditsnya ini tidak mutlak untuk jual beli di gabung menjadi satu. Karena muamalah modern hampir tidak semuanya gabung.

Yang kedua, syariah juga memberikan peluang kepada kita mencari alasan  kenapa “ini” haram. Maka ketika ini tidak ada keharaman, ini boleh atau tidak? ketika illat haramnya kita ketahui, kalau tidak ada berarti tidak haram. Makanya kalau tadi di jelaskan yang pertama gharar, kedua gharar, dan yang ketiga riba. Makanya kalu kita lihat, syariat juga melihat dua aspek dalam ekonomi, aspek cara yang ditempuh dan aspek tujuan. Caranya mungkin jual beli tapi tujuannya adalah riba, maka arahnya ke riba. Tujuan dari sebuah akad itu, jika tujuannya haram maka yang diambil adalah sesuatu dari tujuan itu, walau akadnya bukan secara lafadz bukan hal yang haram. Contohnya jual beli ainah itu kan lafadznya jual beli, tapi maksudnya agar terbebas dari riba yang pakai wasilah tadi. Berarti cara yang di tempuh digunakan termasuk tujuan dari cara itu dilihat. Maka haram dua akad dalam satu jual beli biasanya karena ada ghoror dan riba. Dan dua akad ini suatu jual beli yang mengarah pada yang haram, maka juga akan haram. Dua jual beli ketika di kumpulkan kok mengarah pada yang haram maka haram hukumnya.

Dua akad jual beli yang saling menggugurkan maka tidak sah, dua akad misalnya. Satu jual beli satunya hibah. Ketika jual beli saya akan menjual leptop kepada antum tapi syaratnya dari antum hibah ke saya ya. Ini kan dua akad tapi saling menggugurkan sehingga tidak sah, maka dalam kitab al furuq karya Imam Al Qarafi beliau menyebutkan dua akad yang kalau di gabung walau sama-sama halal, akan tetapi saling bersinggungan atau menyelisihi maka hukumnya menjadi tidak sah.

Contoh : menjual tanah ke antum, tapi antum menghibahkan ke saya lagi.

Maka walau namanya jual beli tapi saling membelakangi maka tidak sah secara hukum.

Maka bisa disimpulkan bahwa yang namanya multi akad tidak semuanya haram. Bahkan multi tidak hanya dua tapi juga tiga, empat akad yang bisa di halalkan. Tapi dengan catatatn, kaidah-kaidah tadi harus terpenuhi, tidak saling bertabrakan, saling membelakangi, dan seterusnya. Jika itu terpenuhi maka akad berapapun tidak masalah.

Contoh : Kita beli makanan via online, katanya kita ada dua akad. Akad pertama kita minta di belikan dengan jasa antar. Yang kedua kita membeli itu sendiri. Katanya kita tidak boleh, ketika minta di belikan. Kalau kita beli kepada tukang ojek, misalnya beli makanan di aplikasi tapi belum membayar, dan tukang ojek membeli dengan uangnya terlebih dahulu. Dan setelah bayar makanan dan ongkos ojek, masalahnya adalah akad beli makanan ke tukang ojek, dan kita utang kemudian kita membayaranya. Ini kan ada dua akad, yang pertama utang kepada tukang gojek yang kedua kita membayar jasanya. Paling tidak ada dua transaksi dalam satu transaksi, ini memang menjadi permasalahan dan ada yang mengaharamkan. Cuman kalau kita tanya dimana masalahnya ?

Kalau misalnya kita membeli langsung kepada restaurant, dan restaurant mengatakan, “ Sebenarnya kalau anda datang sendiri bayarnya 20.000 tetapi jika dengan layanan antar menjadi 25,000 plus ongkos kirim,” dan ini tidak menjadi permaslahan walaupun menggabungkan hutang dan sewa tukang ojek. Disini apakah riba ?

Kita beli makanan kalau ke langsung orang yang memasak, lalu pemasak itu mengatakan akan ada ongkos kirimnya, atau misalnya kita bayar langsung pake Go Pay, kita punya duit dulu tinggal klik kita langsung bayar. Jadi dia datang sudah ongkos bayar sama sudah ongkos kirim. Yang kadang dipermaslaahkan adalah, kita belum bayar dari rumah terus nanti kita seolah-olah di hutangin dulu sama tukang ojek, yang mana nanti kita juga menyewa ojek. Seolah-olah ada dua akad, yang pertama ada hutang piutang dengan tukang ojek akad kedua ada jual beli barang. Disini kalau kembali pada undang-undang besar, kembali pada syariat kenapa kok kita di haramkan ternyata alasan para ulama, orang yang berhutang itu dalam rangka butuh, kalau butuh ada kemungkinan terdholimi. Dan yang terdholimi adalah yang hutang. Tapi kalau lihat tukang ojek sekarang, justru yang terasa terdhalimi adalah tukang ojeknya, misalnya di tengah jalan kita cancel, kasihan banget kan. Dan dia ternyata ongkos kirimnya ongkir biasa tidak ada tambahan maka tidak ada riba di situ. Maka para ulama kebanyakan mengatakan ini tidak masalah karena tidak ada riba, tidak ada ghorornya.

Jika memang tidak dibolehkan juga ustadz sepakat, karena kasihan dengan tukang ojeknya. Ketika ternyata alamatnya palsu,sudah kesana kemari tapi tidak ketemu alamatnya. Dalam kasus-kasus modern memang banyak sekali kasus dua jual beli dalam satu jual beli. Dan ternyata hukumnya tidak mutlak haram, dan yang disepakati keharamannya yakni jual beli inah kemudian jual beli ketika ada ghorornya, maka intinya dari dua jual beli dalam satu transaksi jual beli walau rasul mengatakan haram, tapi intinya tidak sesimple sebagaimana literalnya. Artinya jual beli ini hanya terbatas pada jual beli ganda atau akad ganda yang tertentu saja, yang ketika empat syarat tadi tidak terpenuhi. Ketika empat syarat tadi terpenuhi maka jual beli dengan multi akad tidak masalah.

Keempat  faktor tersebut diantaranya:

Ada riba
Ada ghoror
Ada yang terdhalimi
Tidak saling membelakangi.
Karena keempat itu merupakan faktor yang menyebabkan transaksi ganda ini menjadi haram.

Wallahua'lam

Hanif Lutfi Lc MA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar