Minggu, 05 November 2017

Al Ghubn

Fiqih Muamalat  Al-Ghubn

Oleh Ust Hanif Lutfi Lc.MA

Apa yang dimaksud ghubn?

Ghubn ini berasal dari bahasa Arab yang dalam pengertian bahasanya al-ghubn itu fil ghati anaqsu yang arti sebenarnya adalah ‘kurang’. Atau wal khidak fil bai’ wasysyiro’, adat menipu di dalam jual beli atau dalam bahasa lainnya adalah rugi.

Adapun dalam istilah ahli fiqih atau fuqaha, al-ghubn itu dikatakan addamuttakafu bainaki matil badallaini fii akil muawadhoh. Tidak sinkronnya, atau tidak pas, antara dua barang dengan harga dalam akad-akad yang sifatnya komersil atau akad nonsosial.

Saya simpulkan secara sederhana adalah seperti ini: antara harga jual dengan harga beli itu selisihnya cukup jauh. Sehingga, kadang-kadang ada orang ketika beli itu rugi. Kerugian ini disebut dengan al-ghubn.

Kalau harga jual yang terlalu tinggi, apakah itu termasuk ghubn juga?

Bisa jadi itu ghubn, ketika memang tidak sesuai dengan pasarnya. Ketika sudah beli, ketika tahu bahwa harganya tinggi sekali, ternyata dia rugi. Rugi dalam artian, misalnya harganya 3 juta tapi dijual 6 juta yang ketika dia (pembeli) tahu dia akan merasa rugi, ini bisa jadi termasuk ghubn. Ini ghubn dalam segi istilah dimana kalau nanti kita lihat contoh kasusnya kita akan bisa pastikan bahwa ini ghubn atau tidak, mulai dari contoh yang ada dalilnya dari Nabi Muhammad Saw.

Ada beberapa contoh ghubn yang nanti kita akan bahas lebih detail. Ini ghubn dalam rangka menyampaikan benang merahnya saja. Nanti ada model talaqqi aruban, saya sebutkan istilahnya dulu dan artinya akan saya sebutkan belakangan, kemudian ada baiq najas, ihtikar, baiq hadir libadi, ada baiq muthor. Itu semua dilarang. Kalau ditarik benang merahnya, ini semua gara-gara ada ghubn.

Contohnya talaqqi aruban. Talaqqi aruban itu artinya secara dasar, misalnya orang kampung yang mau jualan di kota ketika di jalan sudah dicegat duluan, “Tidak usah dijual di kota, saya beli saja.” Sebelum sampai ke pasar. Contoh di zaman sekarang ini sangat banyak, apakah seperti itu juga? Apakah diharamkan juga? Insyaallah nanti kita akan bahas tentang dalil-dalilnya.

Kemudian contohnya najasy, najasy itu persengkokolan jahat. Ketika ada orang jualan terus ada orang (bersekongkol dengan penjual) yang menawar dengan harga tinggi. Orang yang mau benar-benar mau membeli akan berpikiran sebegitu tinggi harganya yang jika dia menawar agak rendah maka akan merasa tidak enak, padahal yang tadi menawar itu adalah menawar bohong-bohongan. Nanti contoh modernnya akan kita lihat, termasuk dalil-dalilnya.

Atau ihtikar, ihtikar itu menimbun. Dalam arti bahasa artinya menimbun. Cuma, menimbun yang seperti apa yang menjadikan ghubn? Nanti ada kriteria-kriteria, apakah kalau kita panen kita tidak menjualnya, apakah itu ihtikar atau tidak? Kita akan membahasnya.

Kemudian selanjutnya adalah bai’ hadir libadi. Jualannya orang kota kepada orang kampung. Memang tidak boleh. Kalau hadistnya memang seperti itu. Maksudnya seperti apa? Nanti kita akan membahasnya.

Termasuk Bai’ul muthar, menjual karena terdesak. Biasanya orang menjual karena butuh, boleh atau tidak? Nanti ada hadistnya, an-naha an-nabi al baiqul muhthar, tetapi kenapa dilarang? Nanti kita akan lihat.

Benang merah dari semua larangan-larangan tadi adalah adanya ghubn dari masing-masing transaksi.

Bisa jadi yang rugi adalah orang yang menjual, bisa jadi yang rugi adalah orang yang membeli. Kadang-kadang kita melihat yang bermasalah ini yaitu ketika harganya tidak standar pasar, yang keuntungannya bisa jadi sangat tinggi. Keuntungannya sangat-sangat tinggi yang mana sebenarnya kalau kita perhatikan, kalau ditanya lebih lanjut, apakah ada standar, margin profit dalam Islam? Ini terkadang menjadi pertanyaan. Ketika orang ingin menjual sesuatu yang harga belinya 3 juta, boleh tidak dijual 1x lipat, 2x lipat? Dijual 6 juta atau 9 juta? Itu ada larangannya tidak? Karena itu melebihi standar pasar. Kalau kita perhatikan, kadang-kadang ada orang yang menyatakan bahwa tokonya adalah toko syar’i karena keuntungannya tidak berapa lipat tapi berapa persen, misalnya 30% dari nilai beli, 40% dari nilai beli, dan seterusnya.

Pertanyaannya adalah apakah ada standar keuntungan yang ditentukan syariah?

Kalau kita perhatikan, sebenarnya syariah tidak membatasi harus untung berapa, berapa persen, itu tidak ada. Pada awalnya bebas. Tidak ada standar harus sekian persen, harus lebih atau kurang dari 1x lipat. Contohnya, kalau barang itu harganya 3 juta, apakah boleh dijual 6 juta? Ini sebenarnya tidak ada standarnya. Itu bisa jadi tergantung kepada komoditi itu sendiri, nilai jualnya, kemudian lakunya berapa lama. Contohnya, orang yang menjual gorengan, bisa jadi modal satu gorengan adalah 200 rupiah, tapi dijual misalnya 500 rupiah. Dengan asumsi bahwasanya dia punya tenaga yang lain. Dan, untung gorengan dengan mobil sport kan beda nih, bisa jadi keuntungan mobil sport berlipat-lipat, kenapa? Karena lakunya lama.

Semua diperhitungkan. Kalau kita lihat kasus di zaman Nabi, ini kasusnya unik, walaupun nanti para ulama membahasnya dalam baiq fuduli. Baiq fuduli, suatu ketika, dalam hadist shahih Bukhari diriwayatkan bahwasanya salah seorang sahabat Nabi bernama Urwah Al-Bariqi, ‘anan nabi saw atho’ huddinaron yasytari lahu bihi syatan, “Nabi memberi satu dinar, Hai Urwah Al-Bariqi, belilah dari satu dinar ini seekor kambing.” fashtarolahu bihi syattaini, “Malah didapatnya dua.” Kemudian, faba’a ihdahuma bidinarin. Ketika di jalan, dalam riwayat Imam Ahmad nanti diceritakan secara komplit, ada seseorang yang menawar juga. Dibelinya satu dari dua kambing, seharga satu dinar. Untung. Kalau dilihat satu dinar mendapat dua kambing berarti modalnya berapa? Modalnya cuma satu dinar. Ketika dijual lagi ternyata harganya satu kambing itu malah satu dinar. Memang, para ulama membahasnya tentang baiq fuduli bahwasanya fadaa ‘alahuu bil barakah fii bai’i, mendoakan agar dagangan tersebut berkah. Dari harga setengah dinar kemudian dijual satu dinar.

Ini berarti keuntungan 100%?

Iya, keuntungan 100% dan ternyata nabi malah mendoakan. Bahkan dalam hadist lain, wakana lausytaro atturob larobbi hafihi. “Kalau saja dia membeli tanah, debu, dia akan untung dari situ.” Mungkin tidak terbayang, di zaman nabi orang membeli debu memang bisa untung? Buat apa beli turob?

Ini berarti sedang menggambarkan betapa hebatnya dia (Urwah) melakukan perdagangan, pasti akan untung.

Bahkan di dalam riwayat Imam At-Tirmidzi dikatakan fakana yakhruju ba’da dalika ulakuna satil kuffah, dia pergi ke Kuffah...

Salah satu ghubn juga terjadi adalah ketika harga terlalu tinggi, misalnya keuntungan yang melebihi seratus persen dan sebagainya. Tapi ternyata di zaman rasul sendiri, Urwah bin Abdil Ja’sh bin Al Bariqi itu menjual dengan keuntungan 100% dan itu diridhai dan direstui oleh Rasulullah saw.

Maka, kalau tadi disebutkan harga terlalu tinggi, ini sebenarnya belum menjadi batasan bahwasanya gara-gara harga terlalu tinggi maka jadi haram. Bukan itunya, tapi benang merahnya adalah kenapa harganya bisa terlalu tinggi? Karena ada usaha–usaha untuk menipu pembeli. Maka sebenarnya kalau ditanya kenapa harganya terlalu tinggi itu bukan alasan haram, yang menjadi alasan haram adalah karena adanya usaha-usaha agar harganya lebih tinggi agar pembeli mau membayar dengan harga tinggi.

Jadi, ghubn itu manipulasi yang dilakukan oleh seorang penjual agar pembeli mau membeli dengan harga tinggi.

Makannya ghubn dari segi bahasa kan artinya al khida yang artinya bisa jadi menipu, an naq’u bisa jadi berkurang, kerugian itu dari segi bahasa.

Sedang, Urwah Al Bariqi tidak melakukan itu?

Iya. Urwah al Bariqi tidak melakukan  itu. Kalau Urwah ditanya berapakah standar seseorang itu boleh menjual antara keuntungan dan modal? Apakah ada standarnya dalam syariah? Maka jawabannya adalah tidak ada. Ketika beliau punya modal 1 juta sebenarnya sah sah saja jika dijual 2/3 juta, dengan catatan asalkan tidak ada usaha menipu, dengan cara-cara yang disebutkan tadi.

Tapi, kalau kasus-kasus yang disebutkan di segmen pertama, terkait berbagai macam jenis transaksi yang ada di zaman Rasul, sisi ghubnnya ada di titik mana? Masa iya orang desa mau jual barang ke orang kota gak boleh? Masa jual butuh juga gak boleh? Kan memang lagi butuh, terus kalau gak boleh jualan dia dapet uang dari mana?

Memang unik nih kalau kita baca satu persatu hadisnya. Insyaallah kita akan bahas. Nabi melarang jual beli orang kota ke orang desa? Waduh memang gak boleh bersosialisasi?

Sebenarnya kalau kita bicara Ghubn, Ghubn itu bisa dibagi menjadi 2 :

Ghubn Katsir/ Ghubn Fakhisy
Ghubn Yasir
Ghubn Katsir : Suatu benda yang ternyata keutunganya itu oleh para ahli pasar  dikatakan ‘Wah ini nggak boleh kelebihan segini. Ini harusnya gak segini.’ Nah ini kan bisa jadi dengan suatu standar hukum Al Addah Mulakamah yaitu suatu kebiasaan yang bisa menjadi standar hukum. Biasanya kalau orang modal sekian maka jualnya sekian. Tapi kok dijual lebih tinggi? Kenapa ini? Oh ternyata ada usaha menipu. Nah, ini yang namanya ghubn faskhisy atau ghubn katsir yang mana bisa jadi berakibat kepada sah tidaknya suatu akad. “Bisa Jadi”, tidak semuanya menjadi tidak boleh.

Kalau ditarik benang merahnya bahwa yang gak boleh kan ghubn fakhis, bukan yang ghubn yasir. Karena kalaupun ghun fakhis, kalaupun seorang penjual dan pembeli itu tau harga barangnya sekian, dan oleh pembeli dibeli juga barang itu maka itu juga tidak menjadikan jual beli itu batal karena tidak ada penipuan disitu, karena dia tahu tentang harga aslinya.

Contoh yang modern nih misalnya kita naik motor, ketika lampu merah ada anak kecil jualan tissue. Kita tahu nih harga tissue ini 2000, cuma pas ditanya, ‘Berapa harganya dek?’ Dia bilang, ‘5000 pak.’ ‘Ya udah nih uang 5000 nya.’ Inikan dia tau harga tisu biasanya cuman 2000 dan bisa jadi modalnya lebih kecil dari itu, kenapa kita mau ngasih 5000? Ya karena bisa jadi kasian. Inikan keuntungannya tinggi nih tapi karena kita tahu dan kita ridho maka tidak ada masalah dan tidak ada dosa disitu.

Artinya disini adalah jika kita tahu maka sebenarnya ada khiyar disitu, ada opsi untuk membatalkan. Jadi masalahnya adalah ketika dia tahu harganya, dia ikhlas apa tidak.

Kita akan coba contohkan satu persatu dari yang memang ada di zaman nabi dulu terus kita nanti coba juga contoh modernnya bagaimana.

Yang memang tadi dibahas adalah Talaqi Ar Ru’ban. Talaqi itu artinya mencegat, Ar Ru’ban artinya orang yang berjualan, kafilah dagang. Begini, zaman dulu orang dari kampung itu kan punya barang. Dia mau jual di pasar di tengah kota. Tapi, sebelum dia sampai di pasar, dia sudah dicegat terlebih dahulu. ‘Pak mau kemana?’ Mau ke pasar. ‘Ya udah, saya beli aja disini pak.’ Ini memang kalau dari hadisnya Ibn Abbas. Berkata Rasulullah saw “Rasulullah telah melarang kita untuk mencegat orang yang akan berjualan di pasar” (HR. muslim). Inikan secara logika kenapa dilarang ? “Jangalah kalian mencegat orang yang didatangkan dari luar. Barang siapa yang mencegatnya dan membeli sebagian darinya, apabila pemiliknya telah sampai ke pasar maka dia memiliki khiyar”(HR. Muslim).

Kalau dari segi bahasa memang orang sebelum sampai pasar nggak boleh dibeli padahal dalam transaksi modern kadang-kadang kita nggak langsung membeli kepada orang yang menjual. Sebagai contoh, saat kita beli tiket kereta api, kan jarang kita datang langsung ke stasiun, biasanya kita beli di gerai-gerai, agen-agen, yang ada di sekitar kita, atau di zaman dulu sebelum sampai di stasiun ternyata sudah diborong duluan sama calo, ini kan hampir sama dengan talaqi arruban, cuman talaqi ruqban yang mana? yang haram dan yang halal. Kalau kita tarik benang merahnya ternyata begini. Awalnya, orang zaman dulu itu kalau dari kampung tidak tahu harga pasar. Ketika dia belum tau harga pasar tapi kok sudah dibeli maka ada kemungkinan orang yang mau membeli itu berniat buruk yaitu untuk membeli dengan harga rendah dari orang yang dia tidak punya akses untuk mengetahui harga pasar. Maka hikmah dari diharamkannya talaqi ar ruqban ini adalah agar penjual tidak tertipu dengan harga barang yang ditawarkan oleh pembeli yang mencegat tadi. Artinya apa? Kalau ternyata di zaman sekarang itu ada orang yang menjual sebelum sampai pasar, itu kan dia sudah tahu harga pasarnya. Misal, ada orang bawa kentang dari Wonosobo. Belum nyampe  tapi di samperin dulu, nah dia tahu teryata di pasar induk sekilo harganya sekian, misalnya Rp 5000. Ya udah dibeli 4500, tapi kan ongkos kirimnya gak kena. Ya sudah, asalkan dia tau harga pasar maka tidak mempengaruhi sah atau tidaknya jual beli.

Terkait sah dan tidaknya para ulama belum sepakat. Apakah larangan itu berimplikasi kepada keabsahan suatu jual beli? Kebanyakan ulama mengatakan jual belinya tetap sah walaupun ketika ada niat menipu. Dengan jual beli tadi, orang yang membeli itu berdosa ketika dia berniat untuk menipu orang desa yang mau menjual ke pasar tadi. Kalau kebanyakan ulama mengatakan sah. Makanya dari perkataan nabi, kalau tidak sah kan seharusya tidak ada khiyar disitu.

Nabi, dalam riwayat lain mengatakan bahwa orang yang berjualan itu minimal punya kemungkinan untuk bisa khiyar fasakh, artinya kalau dia tahu harga (oh sekian ya), ‘Ah gak jadi ah.. rugi banyak saya.’ Itu ada kemungkinan.

Artinya, jual belinya tetap sah hanya saja si penipu itu berdosa karena dia beli dengan harga yang terlalu rendah dari seseorang yang tidak tahu harga. Saat dia membeli maka dia telah melakukan hal yang dilarang.

Sehingga talaqi ruqban modern itu harus dipetakan, ini masuk talaqi ruqban yang boleh, ini yang nggak, dan seterusnya.

Pembahasan kita tentang al ghubn sebagai salah satu faktor yang membuat suatu transaksi diharamkan. Salah satu transaksi yang sering kita bahas adalah talaqi ar ruqban. Tapi ternyata talaqi ar ruqban yang dilarang oleh Rasulullah saw juga sering terjadi di tengah-tengah kita. Tentu saja tidak semua talaqi ar ruqban yang diharamkan. Ada talaqi ar ruqban yang ada ghubnnya, itu yang kemudian diharamkan, tapi ada juga talaqi ruqban yang dibolehkan, nah mana yang diharamkan dan mana yang dihalalkan?

Sehingga kalau kita baca hadist secara literal, nabi itu melarang talaqi ar ruqban, mencegat orang yang mau jualan ke kota untuk dibeli duluan. Sekarang kan banyak kejadian seperti itu. Ada orang punya barang dagangan dari luar kota mau jualan ke Jakarta di pasar induk. Kadang kadang, ‘Nggak usah jual kesana lah, jempul bola aja.’ Kan kadang kadang seperti itu. Nah, ini apakah sama? Kenapa kok haram? Karena di zaman dulu, di zaman nabi orang kampung itu tidak punya akses untuk mengetahui harga pasar, maka kemungkinan untuk dibohongi oleh para pembelinya sangat tinggi. Maka hal ini bisa hilang ketika memang ternyata orang kampung itu bisa memantau berapa harga di pasaran. Kalau dulu, sebelum ada HP atau Internet, kan kita sering dengerin RRI dan di beritanya kan ada harga pasar, ada harga cabe merah keriting, ada kol gepeng, dan macem-macem kan? Nah kalau dia bisa mengakses, ‘Oh harganya sekian,’ kan ada kemungkinan untuk tidak terbohongi dengan harga itu, walaupun mungkin karena tidak mengeluarkan ongkos kirim maka bisa jadi, ‘Oke lah kita jual agak murah karena nanti yang membiayai ongkos kirim adalah pembelinya.’ Itu bisa jadi karena tidak ada kemungkinan untuk dibohongi.

Tapi, terlepas penjual yang datang dari desa, dari kampung ini dibohongi atau tidak, yang menjadi titik haramya sebenarnya kan si pelaku, si pembeli itu. Apakah dia dia sedang membohongi? Nah kalau si penjual tahu bahwa dia sedang dibohongi gimana itu?

Nah, kalau si penjual itu tahu harganya sekian, berarti ya nggak dibohongi, karena memang dia sudah tahu kok. Maka, kata nabi tetap sah jual belinya tapi ternyata nanti setelah sampai pasar ketika dia tahu harganya maka nanti ada khiyar. Nah kalau dia dari awal sudah tahu ya tidak masalah.

Dan ini hampir sama kalau talaqi ruqban dengan hadis berikutnya. Nanti nabi melarang orang kota jual ke orang kampung. Iitu gak boleh. Bedanya dimana? Gini, kalau tadi kita bicara tentang orang kampung mau ke kota udah dicegat duluan di jalan, sekarang dalam hadist lain riwayat Imam Muslim dikatakan, “Rasulullah SAW melarang agar kita jangan membeli dari kafilah dagang dengan mencegatnya di jalan dan janganlah orang kota menjual kepada orang kampung” (HR. Muslim).

laa yaa bi’khadhiran lii bahdin

zaman dahulu, orang kampung itu seperti un-educated sehingga sangat mungkin untuk dibohongi orang kota. Dan jauh dari peradaban. Dan bahdi itu sebenarnya bukan orang kampung, dia adalah orang yang nomaden, bukan orang yang punya peradaban, pun ada peradabannya beda-beda. Ibn Abbas ditanya maksud dari hadir lii badin, ternyata adalah maksudnya orang kota tidak boleh jadi perantara. Kenapa gak boleh? Awalnya samsarah kan cuma perantara antara penjual dan pembeli, itu sebenarnya tidak diharamkan secara mutlak, tidak ada masalah dengan samsaroh itu, tetapi kalau kita lihat kenapa orang badhi atau orang kampung itu dilarang dengan orang kota kemungkinannya adalah orang kampung itu sangat mungkin untuk dibohongi. Dalam artian begini, ketika menjual mungkin dibohongi harga jualnya dan ketika membeli pun mungkin nanti dibohongi harga belinya.

Makanya disini kenapa alasannya orang kampung - orang kota nggak boleh jualan itu bukan gara-gara orang kotanya atau orang kampungnya tapi karena orang kampung zaman dahulu itu tidak teredukasi dan dia tidak tahu harga pasar, harga pasar menjual atau harga pasar membeli. Seorang bawadhi (nomaden) kan butuh barang/makanan macam-macam, selain yang mereka hasilkan. Kalau mereka ke kota maka ada 2 kemungkinan, kemungkinan pertama menjual barang mereka dan kemungkinan kedua kalau barang mereka sudah kejual maka mereka akan beli lagi untuk dibawa pulang. Contoh kasusnya kalau kita perhatikan, kalau di Jakarta kemungkinan tidak ada ya, kemarin ustadz ke Jambi, ke daerah perkampungan. Mereka (daerah perkampungan Jambi) pasarnya itu seminggu sekali dan memang orang situ pasarnya unik. Jadi nanti orang-orang kota datang bawa tas, baju, macem macem yang tidak ada di kampung itu, dia datang kesitu dia jual disitu. Nah ketika jualan kadang-kadang orang kota nanti beli juga dari situ. Jadi kesitu bawa barang dan pulang juga bawa barang lagi.

Nah kalau zaman modern saya kira tidak menjadi masalah ketika kita tahu harga tas di pasaran itu 50.000 disitu dijual 150.000. Apakah ini untungnya lebih? Ya bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Kenapa? Karena bisa jadi akses jalan kesitu medannya sangat sangat berat dan ini sebagai ganti kompensasi untuk mengantarkan barang kesitu, jadi nggak masalah.

Jadi kalau kita bisa tarik benang merah lagi antara dua kasus tadi, hadirun libadin sama talaqi ar ruqban, ini memang orang bawadi, orang kampung, itu tidak teredukasi dengan baik sehingga dia tidak bisa mengakses harga sebenarnya, makanya orang kota sangat mungkin untuk membohongi. Maka kata nabi, ‘Hati-hati. Kalau kamu sampai berjualan dengan sistem begitu, ada niat untuk membohongi, itu tidak boleh. Itu dilarang.’ Dan, kebanyakan, nabi melarang jual beli itu dalam rangka saddzudariyah, dalam rangka mencegah supaya nggak ada pihak yang terdzalimi.

Jadi, titik ilat pembohongan itu ada pada orang kota sendiri. Ketika orang kota melakukan transaksi dengan orang kampung, baik membeli atau menjual, dengan harga yang dia tahu dan apa adanya (harga normal), maka ini tentu tidak ada larangan. Ketika orang kota itu justru melakukan manipulasi dengan mengatakan, ‘Barang ini di kota tuh sangat bagus, harganya sekian,’ lalu masuk kampung dan dijual dengan harga yang sangat mahal, kemudian orang tersebut saat kembali pulang ke kota dengan mengatakan, ‘Ini nggak bagus nih.. saya beli aja, segini aja.’ Larangannya kan disini terletak pada orang kotanya sendiri. Diantaranya juga pembatasan akses untuk mengetahui harga jual dan harga beli yang mana ada kemungkinan untuk dibohongi. Ketika ada kemungkinan untuk khiyar maka ya sudah berarti nggak masalah. Khiyar itu kan berarti ada pilihan, ada opsional ketika nanti ternyata harga lebih tinggi atau lebih rendah di pasar, kalau ada pilihan ya sudah boleha saja. Walaupun kalau kita lihat contoh medernnya lumayan mudah karena sekarang informasi merata. Orang nggak tahu harganya sekian, terus tinggal klik, ‘oh ternyata sekian..’ Kalaupun tinggi, kita tahu kenapa kok bisa tinggi, ‘Oh ternyata akses mengirim BBM ke Papua itu susah ya. Kalaupun di internet tercantum harganya 5000, disana 50.000..’ Ya kita lihat bahwa ternyata kenaikan ini adalah kenaikan yang wajar. Kalau kita samakan dengan calo, calo itu kan gini, ada orang mau beli tiket ke stasiun tapi dicegat dulu. Nah ini hampir-hampir sama dengan mencegat cuman yang dicegat bukan penjualnya tapi pembelinya. Kalau calo ini lebih kepada ikhtikar, lebih kepada mengangkangi barang kemudian nanti dia jual dengan harga yang lebih tinggi, yang insyaallah kita akan bahas setelah ini.

Kita tadi membahas tentang salah satu yang dilarang yaitu laa yaa bi’khadhiran lii bahdin, seseorang khadir dilarang menjual kepada bahdin. Ternyata makna khadir tadi kita sering artikan dengan kota dan bahdin itu kampung, ternyata bukan demikian, itu kurang tepat.

Orang kampung itu juga disebut khadir sekarang. Kan, kampung bahasa arabnya koryah, kota kan madinah.

Sekarang bukan lagi khadir bahdin. Hadhir itu kalau bahasa sekarang itu lahum khadhoroh. Mereka itu punya khadhoroh. Khadoroh itu berperadaban. Kalau khadir itu lebih kepada orang punya peradaban. Bawadhi berarti orang badui, badui itu yang nomaden, yang memang tidak berperadanan. Bisa jadi mereka, orang bawadhi, tidak punya pengetahuan yang luas tentang peradaban yang ada, dan orang-orang seperti itu oleh nabi dilindungi agar perdagangan itu benar-benar bagus.

Yang dilindungi orang yang lemah pastinya. Lemah itu bisa jadi bukan lemah fisik, tapi lemah edukasi, dan ini masih sangat mungkin di zaman sekarang. Orang itu misal lemah ilmu perkomputeran, kan sangat mungkin bahwa dalam bidang komputer oleh orang-orang khadir ia dibohongi, aslinya software itu gratis sama si khadir dijual. Maka nabi melindungi semua, melindungi orang yang bakalan dzalim karena nanti akan berdosa, orang yang terdzalimi juga nanti dilindungi. Maka Nabi bilang unshur akhoka dholiman aumadhluman, ‘Jangan dzalim. Nanti kamu berdosa. Dan jangan kamu  terdholimi.’ Ini semua dilindungi dalam Islam. Itu khadir lii bahdin.

Selain khadir lii bahdin apalagi yang ada unsur hukumnya?

Ada istilah yang dipakai oleh para ulama dan ulama hadits nabi namanya najasy. Najasy itu beda dengan jual beli najis. Kalau najis itu ya najis, kalau najasy ya najasy. Najasy itu nun, jim, syin. Haditsnya bilang begini, hadits muttafaq’alaih : Ini kalau kita perhatikan hadits muamalat hampir-hampir nabi tidak memaknainya. Nahannabiy anbainnajasy, nahannabiy anbainmuthor, nahannabiy anbaingharar. Maka kita punya kemungkinan untuk memaknai maksudnya apa. Ini ma’qulul makna, ini ada alasan rasional kenapa dilarang. Dan najasy ini memang para ulama mengatakan ma’na najasy narnya wa tannajusy al itsarah. Al itsarah itu artinya mempengaruhi. Yang mana waya’ti aitun bi maknal istitar. Yang mana mempengaruhi itu dalam rangka menyembunyikan sesutau.

Bahasa kerennya propaganda, dia itu menggiring opini pembeli. Sebenarnya menggiring opini itu enggak masalah kan? Contohnya kita jualan mie. Pasti yang digambarkan itu orang yang lagi makan tuh enak banget. Itu kan menggiring opini juga bahwasanya mie ini enak.

Tapi ada penggiringan opini yang terlarang, yang mana namanya najasy. Najasy ini beda dengan iklan promosi, beda. Hanya saja para ulama mengatakan najasy itu paling tidak nanti ada beberapa model. Kalau di jaman dulu, najasy itu biasanya begini, ketika ada suatu barang, orang mau beli, mau menawar terus seolah-olah ada orang yang mau nawar juga,

Pembeli : “Mas berapa harganya”,

Penjual : “150”,

Pembeli : “Owh yaudah saya beli”

Itu ternyata yang beli pertama itu temenan dengan orang yang menjual. Untuk apa? Untuk menggiring opini orang yang beli bahwasanya barang itu bagus, barang itu mahal. Ini kan penggiringan opini, padahal orang ini sudah kongkalikong, persengkokolan jahat. Bisa jadi dengan cara memuji setinggi langit.

Ini apa namanya, mencari tokoh terkenal untuk memberikan testimoni misalnya, terus kita bayar?

Nah ini nih contoh modernnya, testimoni. Walaupun tidak semua testimoni itu haram, kan tidak semua iklan juga haram, penggiringan opini juga tidak semuanya haram. Contoh yang pertama tadi ada orang mau beli, bisa jadi ia juga beli malahan, tapi nanti dibalikin lagi. Ada juga yang dengan memuji, “Wah barang ini hebat banget. Saya cari kemana-mana tidak ada. Ini barang mahal ini”. Dia ngomongnya disamping orang yang mau beli.

Orang yang mau beli :  ‘Oh gitu ya, dia bilang gini ya..’

Nah ini kan penggiringan opini, dimana dua orang ini sebenarnya bersengkokol dalam kejahatan, namanya najasy. Najasy itu memang dilarang, karena apa? Ya karena agar tidak terjadi penipuan yang mana akan mendholimi salah satu pihak, yaitu orang yang akan membeli tadi. Kalau kita lihat dalam contoh modern, bisa jadi testimoni-testimoni yang sifatnya memang dibuat-buat.

Contohnya orang punya obat. Obat itu sebenarnya biasa saja, cuman ada testimoni pakai video, “Dulu saya penyakit kanker selama 5 tahun. Sudah kemana-mana ternyata tidak sembuh, setelah minum ini, setelah berobat kemana-mana, setelah ke klinik ini ternyata bisa langsung sembuh dengan hanya cukup minum ini rutin. Kalau tidak sembuh, minum lagi sampai uang anda habis.” Nah ini kan sebenarnya testomoni yang menipu.

Sebenarnya testimoni ini enggak ada masalah ketika memang bener-bener bahwasanya barangnya itu. Tapi testimoni untuk mengangkat harga yang mana harga itu bukan harga sebenarnya.

Jadi baiunnajasy ini pendosa ada dua?

Ya betul.

Ada persengkongkolan antara penjual dengan temennya, temen yang menaik-naikan harga atau menaik-naikknan kualitas yang sebenarnya?

Ya betul.

Begini, sesuatu itu kalau benar, tidak dengan bekerjasama dengan orang lain pasti barang itu tetap akan dicari . Tapi kalau sesuatu yang tidak benar, maka penjualnya  akan meningkatkan mutunya dengan cara mutunya dibagus-bagusin orang lain. Maka benar bahwa tadi dosanya ada dua, yang pertama ada dosa orang yang bersekongkol yaitu orang yang punya barang, yang kedua adalah dosa orang yang diminta untuk mengatakan, untuk meninggikan barang setinggi langit, bisa jadi dengan dipuji, bisa jadi dengan membeli dengan harga tidak wajar, yang mana orang yang akan benar-benar membeli akan terdholimi dengan harga sangat mahal yang sebenarnya murah.

Cuman, yang jadi pertanyaan lanjutan adalah kalau orang sudah terlanjur membeli, apakah jual belinya sah atau tidak? Disini para ulama mengatakan bahwa secara hukum legalnya jual beli itu tetap sah karena syarat rukunnya terpenuhi, penjualnya ada, pembelinya ada, harganya ada, dan juga barangnya juga ada. Yang jadi masalah kan tentang harga tadi, dimana harga lebih tinggi daripada biasanya. Kenapa lebih tinggi? Karena ternyata dari hasil manipulasi yaitu dia meminta orang lain untuk memuji-muji.

Tapi kalau misal transaksi itu kemudian terjadi, pembeli kemudian sudah membawa barangnya, lalu ada yang memberi tahu dari pihak keluarganya bahwa harga sebenarnya sekian sekian, apakah pembeli ini diperbolehkan untuk mengajukan hak khiyar? Misalnya untuk membatalkan?

Sebenarnya, dalam syariat Islam, khiyar itu selalu ada. Nanti ada khiyar majelis, ada khiyar ‘aib, dan lain-lain. Khiyar itu sebenarnya selalu ada. Hanya, kadang-kadang penjual itu curang juga, ditulisin ‘barang yang sudah dibeli tidak boleh dikembalikan’. Ini kecurangan. Sebenarnya syarat ini tidak seuai dengan syariah, yang mana si pembeli sudah tidak punya hak khiyar lagi. Padahal hak khiyar itu hak dari pembelinya itu. Maka sebenarnya, syariat membolehkan dia itu mengembalikan barang. Mengembalikan barang itu boleh.

Mengembalikan itu dibolehkan. Artinya apa? Kalaupun nanti dalam peradilan syariah, ketika ada dua pihak yang saling berdebat tentang barang tadi, kalau ada peradilan syariah tentang perdagangan, maka yang dimenangkan adalah orang yang membeli tadi. Kenapa? Karena ternyata harganya sekian, naik sekian gara-gara najasy. Ini bisa dimenangkan.

Ini pembahasan tentang baiunnajasy. Ikhtikar sama muthor nanti kita bahas di segmen berikutnya.

Masih membahas tentang Bai’u al-Ghubn, yakni salah satu faktor transaksi yang menjadikan transaksi menjadi haram. Kita tadi sedang berbicara tentang Bai’un Najasy yang kalau boleh di gampangkan itu contohnya adalah testimoni tadi ya.

Atau mungkin endors, testimoni walaupun di dunia periklanan. Najasy itukan sebetulnya meng-iklankan sesuatu, suatu barang. Kalau iklan sendiri nggak ada masalah, endors sendiri nggak masalah, terus juga testimoni nggak masalah. Yang tidak boleh itu testimoninya bohong. Yang sebenarnya dia tidak punya penyakit terus sok- sokan, “Kalau saya dulu punya penyakit ini ini ini.. Sekarang sudah nggak karena minum ini.” Terus di balik layar ditanya “Beneran?” lalu di jawab, “Enggak sih, ini cuma buat iklan saja.” Nah itu bohong. Dan bohong itu, dimanapun, pasti tidak boleh. Termasuk  bohong dalam rangka menaikkan harga jual. Artinya bahwa endors, testimoni, secara hukum asal itu tidak masalah. Ketika ada orang memakai dan mengatakan, “Oh iya nih, saya cocok pakai ini.” Nah kan nggak masalah. Tapi itu bisa menjadi bermasalah ketika pernyataan itu didasari dari suatu kebohongan untuk menipu orang lain biar orang lain itu beli. Dan orang yang bohong itu tuh dibayar oleh orang yang punya barang.

Contoh lain misalnya nih, dalam jual beli modern, sekarang antara penjual dan pembeli itu kan nggak ketemu langsung ya, dia hanya melihat barang di internet terus dia melihat review dari barang itu dan juga komentar dari para pemakainya. Kalau komentarnya benar, nggak masalah, tapi kadang-kadang yang unik ternyata antara penjual, satu penjual itu punya banyak akun yang mana akun itu menilai barangnya sendiri dengan nama lain setiap akunnya agar seolah-olah banyak yang mereview, banyak yang me-like. “Wah ini orang banyak pake ya”. Ternyata usut punya usut, orangnya cuma satu. Lha ini kan ada unsur kebohongan publik. Bahwasanya dia pingin mereview agar ratingnya tinggi, itu dengan cara bohong. Lah hal ini yang jadi masalah, namanya Najasy, Najasy modern.

Selanjutnya selain najasy ada ikhtikar.

Ikhtikar, atau menimbun. Kita akan baca dalilnya dulu ya tentang ikhtikar larangannya bahwasanya dari Rosulullah saw, قَالَ رَسُولُ اللَّهُ عَلَيهِ وَ سَلَّمَ مَنِ احتَكَرَ فَهُوَ خَاطئٌ ."

Rosulullah saw. Bersabda, ‘Barang siapa menimbun barang, maka ia berdosa’, (HR Muslim (1605).

Kemudian di katakan, dari Rosulullah saw,

"من دخال في شيء من أسعار المسلمين ليغليه عليهم كان حقا علي اللّه أن يعقده بعظم من النار يوم القيامة"

Siapa yang merusak harga pasar hingga harga itu melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya di dalam neraka pada hari kiamat.” (HR. Ahmad).

Ya artinya hampir sama, seseorang yang menimbun maka dia salah. Di hadist lain riwayat imam ahmad, “Siapa yang menimbun barang agar harganya naik, maka Allah akan siapkan dia tempat di neraka yang mana dia akan duduk disitu nantinya.

Ghubnnya disini, sebenarnya ketika kita melihat apa itu ikhtikar, intinya adalah ‘imtilaqushsila fii waqtil ghola wa haqsiha liyafi’aha libay’iha indastidadilhaja

Yaitu memiliki sesuatu barang yang dia itu tidak dijual, agar apa? Agar pasarnya itu nanti akan butuh. Teori pasar ya, kalau ada barangnya itu sedikit pasti harganya akan naik. Kalau harganya sudah naik, baru dia jual. Maka ini disebut ikhtikar yang haram. Dalam rangka apa? Dalam rangka biar memang ada gejolak pasar. Ketika pasarnya itu nanti barangnya sedikit dan permintaan banyak, pasti secara otomatis teori pasar nanti harga akan naik. Kalau harga sudah naik, baru dijual. Ini namanya ikhtikar yang haram.

Karena tidak semua menimbun itu di haromkan. Bisa jadi memang karena dia butuh. Contohnya, dia petani punya sawah banyak. Dia sebenarnya nggak pengen biar harganya naik sih, cuma dia timbun, tidak dijual, kenapa? Ya karena dia tidak butuh uang misalnya, pengen makan sendiri, jadi dia tidak disebut ikhtikar. Atau misalnya ada orang, memang dia tiap hari minum teh. Terus beli teh banyak-banyak, nah itu menimbun juga kan? Tapi menimbun ini bukan sesuatu yang haram, bukan ikhtikar yang diharamkan oleh nabi. Karena ikhtikar ini (yang diharomkan oleh nabi) memang ada tujuannya, biar harga jual tadi naik. Ketika naik berarti ada kerugian pada para pembeli yang mana harganya ini tidak benar.

Makanya para ulama mengatakan bahwasanya terkait kriteria ikhtikar ini memang dilihat dari tujuannya dia apa? Ketika menahan barang itu tujuannya apa? Ketika tujuannya memang tidak benar, misalnya nih biar barang itu langka, biar nanti harganya naik, yaaa menjadi masalah. Karena kadang-kadang ada suatu kejadian unik. Uniknya begini, suatu ketika Nabi itu pernah dilaporkan oleh para sahabat nabi. Bahwasanya “Nabi, ini barangnya sedang naik, tolong dong dikasih harga biar murah.” Nabi malah mengatakan, “Saya ngga mau, karena yang memberikan barang itu Allah SWT.” Nah di hadist ini seolah-olah memang nabi tidak campur tangan terhadap suatu perekonomian urusan harga. Lha disini kan bisa jadi memang kelangkaan barang itu ada unsur kesengajaan atau ada unsur ketidak sengajaan. Kalau memang ada unsur kesengajaan, berarti orang yang menimbun tadi adalah orang yang memang berdosa karena akan menimbulkan gejolak di pasar. Dan nabi itu sudah mengatur segalanya termasuk teori pasar, nabi juga sudah atur. Nabi tidak mau mencampuri urusan pasar, sebenarnya tidak mau ketika kenaikan itu terjadi karena sesuatu yang wajar. Terjadi secara alami. Karena apa? Karena kalau nanti ditetapkan harganya sekian, bisa jadi ada orang yang dirugikan. Yaitu siapa? Ketika misalnya nih masyarakat itu beli barang yang memang aslinya harganya 10 ribu. Tapi kalau ditetapkan harganya 7 ribu, mau tidak mau kan malah mendzolimi kepada orang yang menjual. Beda kasusnya jika ternyata gara-gara penimbunan. Maka dalam kasus seperti ini pemerintah boleh campur tangan. Ketika ada orang yang menimbun, itu harus dijual dengan harga sekian. Itu boleh. Melihat dari kasus-kasus seperti itu.

Terakhir, mungkin ada bai’ul muthor. Yang paling tidak dari zaman nabi sudah ada. Bai’ul muthor itu sebenarnya kalau kita lihat hadistnya dari segi maknanya kan “Jual beli butuh”. Padahal kebanyakan orang jual itu karena butuh, karena terpaksa menjual. Kebanyakan memang seperti itu. Tapi apakah jual beli itu haram? Kita lihat hadistnya memang nanti begini, dikatakan bahwasanya :

نَهَى النَّبِىُّصلى اللّه عليه وسلمعَنْ بَيْعِ الْمُضْطَرِّ

Bahwa nabi saw melarang membeli barang dari orang yang sedang kepepet.”

Walaupun keterpaksaan ini bukan karena apa-apa. Karena sangat mungkin ketika orang menjual dalam keadaan terpaksa, pembeli itu bisa membeli dengan harga berapapun. Maka nabi melindungi, jadi kalau bisa, jangan.

Walaupun sebenarnya para ulama nanti melihat begini, keterpaksaan itu ada beberapa kemungkinan. Terpaksa menjual itu ada beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama karena dia itu menimbun. Maka oleh pemerintah dia dipaksa untuk menjual. Kan sama juga jual beli mutthor kan. Karena dia terpaksa menjual, karena dia dipaksa oleh pemerintah. Hanya saja keterpaksaan itu hanya karena dia menimbun. Kalau yang ini malah wajib dia. Wajib menjual. Karena apa? Karena dia menimbun.

Tapi bisa jadi hukum jual beli terpaksa karena memang dia ridho. Lha kalo ridho, ini malah para ulama menyebutkan malah kalau bisa ya dibeli. Ketika orang terpaksa menjual, kalau bisa malah dibeli. Contohnya, karena dia terpaksa anaknya kecelakaan lalu ia menjual motornya. Nah ini bagusnya kita malah membeli. Yang tidak boleh itu ketika ternyata pembelinya itu memanfaatkan moment. “Kamu kan butuh tuh, ya udah kalau ngga mau sekian ya saya nggak mau...” misal harusnya harganya 10juta, lalu dibeli 5 juta oleh si pembeli dengan bahasa, “Mau nggak 5 juta? Kalau nggak mau ya terserah.” Nah di point inilah yang, kalau bisa, jangan. Jangan, ketika memang calon pembeli itu malah memanfaatkan keterpaksaan itu untuk membelinya, yang mana dengan harga itu pasti orang yang menjual akan mengalami kerugian, gara-gara keterpaksaan itu.

Jadi Mutthor itu sebenarnya adalah jual beli yang penjualnya itu terpaksa menjual dengan harga yang lebih rendah, yang tidak seharusnya, gara-gara ada orang yang memanfaatkan gitu ya.

Tapi kalau ada pembeli yang memang berniat menolong itu tidak ada masalah. Ini sama saja dengan menolong. Tapi lebih bagus lagi kalau harga jualnya itu sebagaimana harga standar.



Selesai sudah berarti kita berbicara tentang ghubn. Ternyata banyak sekali, ada apa namanya talaqi ghubn, hadzar libat, najasy, muthor, dan tadi contoh-contohnya dimasa klasik maupun kontemporer.

Ini kalau ditarik benang merah, bukan karena kasusnya tadi. Tapi karena ada makna di balik itu, yaitu ghubn, ada harga yang tidak wajar tapi gara-gara ada hal tertentu, misalnya penipuan, keterpaksaan, yang mana bisa jadi salah satu pihak terdzolimi gara-gara ada hal itu.


Wallahua’lam bishowab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar