Kamis, 20 Juni 2013

Rancunya Bahasa Terjemahan



By : Ahmad Sarwat, Lc., MA -

Bahasa Arab memang tidak mudah diterjemahkan begitu saja ke dalam bahasa Indonesia. Tidak semua kata atau frasa ada padanannya, sehingga bahasa terjemahan yang harfiyah tentu tidak mampu menyampaikan isi pesan yang seutuhnya.

Para penerjemah bahasa asing, khususnya dari bahasa Arab memang harus pandai dan cerdas. Selain harus mengerti betul gaya bahasa aslinya, juga harus pandai mencarikan padanan kata atau ungkapan yang punya makna setara atau minimal agak mendekati aslinya. Kalau tidak demikian, maka pada gilirannya malah bisa jadi malapetaka.

Ittaqillah

Dalam bahasa Arab, kalau ada orang berkata kepada kita ittaqillah (اتق الله), maknanya bukan sekedar bertaqwalah atau takutlah kepada Allah. Tetapi kalimat itu sudah mengandung ancaman, atau setidaknya sebuah tuduhan bahwa kita ini bersalah dalam pandangannya.

Sehingga kalau sampai orang Arab bilang ittaqillah kepada kita, harus dipahami bahwa orang itu menyalahkan kita dan ungkapan dalam bahasa kita kurang lebih menjadi 'jangan begitu', 'awas', 'hati-hati' dan sejenisnya.

Aku Mencintaimu di Jalan Allah

Menarik juga ungkapan yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW kepada kita untuk disampaikan kepada sesama muslim, yaitu inni uhibbuka fillah (أني أحبك في الله). Kalau kita menghormati seorang dosen atau tokoh ulama di kalangan orang-orang Arab, maka ungkapan ini termasuk salah satu sopan santun yang tinggi.

Tetapi jangan sekali-kali ungkapan itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara harfiyah. Apalagi kalau sampai digunakan di tengah pergaulan sesama anak bangsa. Sebab terjemahannya akan jadi lain dan jauh sekali.

Kalau sampai ada seorang laki-laki berkata kepada teman sesama laki-laki,"Aku mencintaimu karena Allah", maka dahi temannya itu pasti akan berkerut sepuluh lipatan tanda bingung. Dan boleh jadi dalam hatinya dia curiga. Jangan-jangan orang ini hombreng, masak sesama lelaki bilang cinta-cintaan segala?

Yakhrabbetak

Orang Mesir punya makian khas kalau lagi berseteru dengan sesama mereka. Bahasa itu tentu saja ammiyah dan bukan bahasa fushah.

Yakhrab betak!!

Terjemahan apa adanya adalah rumahmu musnah, rusak atau terbakar. Sebagaimana bisa kita baca di dalam Al-Quran tentang rumah yang musnah :

Dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka. Mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mu'min. (QS. Al-Hasyr : 2)

Tentu saja makian atau umpatan itu tidak ada kaitannya dengan rumah yang musnah. Itu hanya bahasa ungkapan, ketika kita terjemahkan menjadi rumahmu musnah tentu akan lucu dan tidak enak didengar.

Barangkali mirip dengan makian khas Betawi. Tidak mungkin makian pale lo ijo diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan ra'suka ahdhar. Begitu juga tidak mungkin menerjemahkan ungkapan muke lu jauh dengan wajhuka ba'id.

Dan ungkapan khas orang Jawa mbok yo ngene juga tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi ibu ya begini, atau ke dalam bahasa Inggris menjadi mother yes like this, atau ke dalam bahasa Arab menjadi ummu na'am ha kadza.

Terjemah Istilah Dalam Nash-nash Syariah

Terjemahan ungkapan ringan macam di atas, bila hasilnya salah kaprah kita masih boleh senyum-senyum. Tetapi bayangkan kalau kesalahan fatal itu terjadi ketika memahami nash-nash syariah. Kalau sampai salah kaprah, bisa-bisa yang haram jadi halal dan sebaliknya yang halal jadi haram.

Menerjemahkan bahasa Arab modern kadang kita masih kesulitan, apalagi menerjemahkan ungkapan-ungkapan yang hanya digunakan pada 14 abad lampau, tentu lebih sulit lagi untuk dipahami. Parahnya, tidak semua orang Arab hari ini bisa paham ungkapan-ungkapan khas di masa Nabi SAW.

Taribat Yadaka

Seperti ungkapan Nabi SAW ketika menyebutkan empat alasan memilih istri, dimana salah satunya karena agamanya, lalu beliau mengatakan taribat yadaaka (تربت يداك).

Apa maksud kalimat taribat yadaaka ini?

Kalau secara harfiyah kata taribat itu bentukan dari kata turab yang artinya debu. Sedangkan yadaaka artinya kedua tanganmu. Tetapi apa benar taribat yadaaka itu berarti kedua tanganmu berdebu? Apa hubungannya dengan memilih istri karena faktor agama?

Bahasa Tubuh

Yang lebih sulit lagi untuk dipahami adalah bahasa tubuh Nabi SAW. Kadang dalam memberi fatwa, beliau tidak menggunakan kata secara verbal, melainkan dengan menggunakan bahasa tubuh. Salah satunya adalah tertawa hingga terlihat putih giginya.

Kasusnya terjadi ketika Amar bin Ash berijtihad meninggalkan mandi janabah dan menggantinya dengan tayammum, karena alasan takut mencelakakan dirinya saat di musim dingin. Mendengar itjihad shahabatnya itu, beliau SAW pun tertawa, hingga terlihat putih giginya.

Nah yang ini jelas membingungkan sekali. Apa makna tertawanya seorang Nabi SAW yang berkebangsaan Arab dan hidup di abad keenam Masehi. Masalahnya bahasa tubuh tiap bangsa itu beda-beda.

Bisa saja beliau tertawa karena memang mentertawakan tindakan shahabatnya itu yang mungkin keliru. Seperti kita suka mentertawakan orang-orang yang keliru dan bersalah. Itu budaya kita, kalau lihat ada orang salah atau keliru, kita terbiasa untuk mentertawakan.

Tetapi ternyata tertawanya Nabi SAW itu bukan meledek atau mentertawai kekeliruan orang lain. Tidak, justru tertawanya itu bermakna pembenaran atas ijtihad meninggalkan mandi janabah menjadi tayammum. Dan itulah yang secara umum dipahami oleh para ulama sepanjang zaman.

Disinilah terbukti bahwa urusan memahami syariat bukan sekedar menguasai bahasa saja. Seorang asli Arab di zaman kita pun belum tentu paham maksudnya. Kita harus belajar lebih dalam ilmu bahasa Arab yang lebih klasik lagi, yang boleh jadi di kamus-kamus modern tidak tercantum.

Dan lebih dari itu, kita perlu merujuk ke kitab-kitab syarah hadits untuk mengetahui apa yang dipahami para ulama di masa lalu tentang ungkapan asing itu. Dan kalau ungkapan itu ada di dalam ayat Al-Quran, tentu kita perlu membuka kitab tafsir.

Dan salah satu manfaat ilmu fiqih adalah memahami makna tiap istilah yang digunakan dalam nash-nash syariah secara lebih mendalam. Sebab kekeliruan dalam memahaminya akan melahirkan kekeliruan dalam menarik kesimpulan hukum. Dan kekeliruan seperti itu sangat mungkin terjadi, bila yang melakukannnya hanya orang yang awam seperti kita yang bukan termasuk orang yang berada dalam derajat para mujtahid.

Wallahu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar