Jilbab adalah
pakaian syari’ah bagi wanita Muslimah. Fenomena Jilbab ini sudah menjamur ke
seluruh lapisan masyarakat, dari yang mulai Jilbab yang Trendy / mengikuti mode
(ada yang mengatakannya mode Hijabers), model
yang sederhana, hingga mereka yang menggunakan Cadar.
Ada sebagian
kalangan yang berpendapat, bahwa Jilbab yang syar’I adalah jilbab yang menutup
seluruh aurat kecuali muka dan tangan saja. Ada yang mengatakan bahwa yang syar’I
adalah seluruh anggota tubuh, kecuali sepasang mata. Ada yang mengatakan bahwa
Jilbab itu sendiri adalah cukup menutupi aurat seperti kepala dan seluruh tubuh
(kecuali muka dan tangan), namun masih boleh tidak mengapa memakainya dengan
mengikuti mode seperti digunakan dengan ketat, memperlihatkan bentuk tubuh, dan
lain sebagainya.
Namun diluar
perbedaan pendapat itu semua, ada hal yang memang seluruh ulama sepakat tentang
pakaian yang sesuai syari’ah untuk kaum wanita.
Berikut ini saya
tuliskan hasil ringkasan dari buku tentang Jilbab, karangan Prof. Quraish
Shihab, yang memang isinya cukup jelas dan gamblang, hasil penelitian beliau
tentang kaidah Jilbab itu sendiri, batasan-batasan dan syarat/ketentuan yang
telah disepakati oleh Jumhur ulama.
Diluar dari Pro dan Kontra
mengenai penulis buku ini (Prof. Quraish Shihab), kita harus mencermati isinya
yang memang bagus dan mengandung kebenaran.
Berikut adalah
penjelasannya, semoga bisa bermanfaat.
Beberapa Ketentuan Dalam Hal Berpakaian
Prof Quraish Shihab dalam
beberapa tulisannya tentang Jilbab, telah memaparkan pandangan beberapa ulama
dan cendekiawan menyangkut aurat wanita. Apapun yang Anda pilih, yang ketat
sehingga menutup semua badan serta tidak menampakkan kecuali pakaian luar yang
tidak mengundang perhatian, atau hanya menampakkan wajah dan telapak tangan,
atau menampakkan lebih dari itu secara terhormat, tidak mengundang rangsangan
dan usilan, "apapun yang Anda pilih," namun yang pasti ada beberapa
hal yang perlu Anda perhatikan agar pakaian dan tingkah laku Anda tidak dinilai
bertentangan dengan nilai-nilai ajaran agama Islam.
1)
Jangan ber-tabarruj!
Anda masih ingat
firman Allah yang ditujukan kepada wanita-wanita yang telah memasuki usia senja dan tidak
berminat lagi untuk kawin Kepada mereka pun, Allah mengingatkan bahwa hendaknya
mereka:, (ghaira mutabarrijaatin bi ziinah) (QS. an-Nuur [24]: 60) dalam arti,
jangan sampai mereka menampakkan "perhiasan" dalam pengertiannya yang
umum, yang biasanya tidak ditampakkan oleh wanita baik-baik, atau memakai
sesuatu yang tidak wajar dipakai. Seperti make up secara berlebihan, berbicara
secara tidak sopan, atau berjalan dengan berlenggak-lenggok dan segala macam
sikap yang mengundang perhatian pria.
Menampakkan sesuatu
yang biasanya tidak ditampakkan kecuali kepada suami dapat mengundang decak
kagum pria lain yang pada gilirannya dapat menimbulkan rangsangan atau
mengakibatkan gangguan dari yang usil. Jangan berkata bahwa hanya sedikit yang
terlihat atau diperlihatkan, karena seringkali menampakkan yang sedikit justru
menimbulkan rangsangan yang lebih besar daripada menampakkan yang banyak.
2)
Jangan mengundang perhatian pria!
Kalaulah kita
menemukan perbedaan pendapat tentang makna ayat 31 surah [24]:
"Janganlah
mereka menampakkan hiasan mereka kecuali apa yang tampak darinya,"
maka lanjutan pesan
ayat itu yang menyatakan:
“Dan janganlah
mereka menghentakkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan.”
Pesan ayat ini
tidaklah diperselisihkan. Penggalan ayat ini berpesan bahwa segala bentuk
pakaian, gerak-gerik, ucapan, serta aroma yang bertujuan atau dapat mengundang
fitnah (rangsangan berahi) serta perhatian berlebihan adalah terlarang. Dalam
konteks ini juga, Nabi saw. bersabda: -
"Siapa yang
memakai pakaian (yang bertujuan mengundang) popularitas, maka Allah akan
mengenakan untuknya pakaian kehinaan pada Hari Kemudian, lalu dikobarkan pada
pakaian(nya) itu api" (HR. Abu Dawud dan Ibn Májah).
Yang dimaksud di
sini adalah bila tujuan memakainya mengundang perhatian dan bertujuan memperoleh
popularitas. Adapun jika yang bersangkutan memakainya bukan dengan tujuan itu,
lalu kemudian melahirkan popularitas akibat pakaiannya, maka semoga niatnya
untuk tidak melanggar dapat menoleransi popularitas yang lahir itu.
Pemakai jilbab
dengan cara dan model jilbab yang dipakai dapat dicakup oleh ancaman di atas, jika
niat dan tujuan memilih mode atau cara memakainya mengundang perhatian dan
popularitas. Di sisi lain, perlu dicatat bahwa peringatan di atas
bukan berarti seseorang dilarang memakai pakaian yang bersih dan indah. Seorang
sahabat Nabi saw. bertanya bahwa, "Bila ada seseorang yang senang pakaiannya
indah, alas kakinya indah, apakah itu termasuk kesombongan?" Nabi saw.
menjawab, "Sesungguhnya Allah Maha Indah (dan) menyenangi keindahan.
Keangkuhan adalah menolak yang haq dan melecehkan manusia" (HR. Muslim
melalui Abdullah Ibn Mas`ud), dan Yang Maha Kuasa itu "Senang melihat
dampak anugerah-Nya kepada seseorang" (HR. at-Tirmidzi) antara lain
melalui pakaian yang dipakainya. Itu semua, selama tidak disertai dengan rasa
angkuh, berlebihan, atau melanggar norma agama.
3)
Jangan memakai pakaian transparan!
Jangan mengenakan pakaian
yang menampakkan kulit, juga jangan memakai pakaian yang sangat ketat sehingga
menampakkan lekuk-lekuk badan. Pakaian yang transparan dan ketat, pasti akan
mengundang bukan saja perhatian, tetapi bahkan rangsangan. Rasul saw. bersabda
bahwa:
"Dua kelompok dari penghuni neraka yang merupakan
umatku, belum saya lihat keduanya. Wanita-wanita yang berbusana (tetapi)
telanjang serta berlenggak-lenggok dan melanggak-lenggokkan (orang lain); di
atas kepala mereka (sesuatu) seperti punuk-punuk unta. Mereka tidak akan masuk
surga dan tidak juga menghirup aromanya. Dan (yang kedua adalah) lelaki-lelaki
yang memiliki cemeti-cemeti seperti ekor sapi. Dengannya mereka menyiksa
hamba-hamba Allah" (HR. Muslim melalui Abu Hurairah).
Berbusana tapi
telanjang, dapat dipahami sebagai memakai pakaian tembus pandang, atau memakai
pakaian yang demikian ketat, sehingga tampak dengan jelas lekuk-lekuk badannya.
Sedang berlenggak-lenggok dan melenggak-lenggokkan dalam arti gerak-geriknya
berlenggak-lenggok antara lain dengan menari atau dalam arti jiwanya miring
tidak lurus atau dan memiringkan pula hati atau melenggak-lenggokkan pula badan
orang lain. Adapun yang dimaksud dengan punuk-punuk unta adalah sanggul-sanggul
mereka yang dibuat sedemikian rupa sehingga menonjol ke atas bagaikan punuk
unta.
Ada sementara orang
yang memakai pakaian mini lalu menutupi kepalanya dengan topi, lehernya dengan
syal (kain pembebat leher) dan betis serta pahanya dengan stoking (kaus kaki)
yang serupa dengan kulit betisnya. Pakaian semacam ini pada hakikatnya tidaklah
sejalan dengan norma-norma agama, walaupun semua badannya telah ditutupi.
4)
Jangan memakai pakaian yang menyerupai pakaian lelaki!
Dalam konteks ini
Nabi saw. bersabda:
‘’Allah mengutuk
wanita-wanita yang meniru (sikap) lelaki dan lelaki-lelaki yang meniru (sikap)
wanita" (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibn Majah dari Abu Hurairah).
Di kali lain Rasul
saw. bersabda:
‘’Allah mengutuk
lelaki yang memakai pakaian perempuan dan mengutuk perempuan yang memakai
pakaian lelaki" (HR. al-Hakim melalui Abu Hurairah)
Perlu dicatat bahwa
peranan adat kebiasaan dan niat di sini, sangat menentukan. Ini, karena boleh
jadi ada model pakaian yang dalam satu masyarakat dinilai sebagai pakaian pria
sedang dalam masyarakat lain ia menyerupai pakaian wanita. Seperti halnya model
pakaian jallabiyah di Mesir dan Saudi Arabia yang digunakan oleh pria
dan wanita, sedang model pakaian itu mirip dengan long dress yang dipakai
wanita di bagian dunia yang lain. Bisa jadi juga satu model pakaian tadinya
dinilai sebagai menyerupai pakaian lelaki, lalu, karena perkembangan masa, ia
menjadi pakaian wanita. Nah, ketika itu yang memakainya tidak disentuh oleh
ancaman ini, lebih-lebih jika tujuan pemakaiannya bukan untuk meniru lawan
jenisnya. Suatu ketika Nabi saw. menghadiahkan kepada Usamah Ibn Zaid ra.
pakaian buatan Mesir, lalu Usamah ra. memberinya kepada istrinya. Setelah
sekian lama, Nabi saw. bertanya kepada Usamah:
"Mengapa engkau tidak memakai pakaian Mesir (yang
kuhadiahkan itu)?" Dia menjawab: "Kuberikan istriku untuk
dipakainya." Kemudian Nabi saw. bersabda: "Katakanlah kepadanya agar
meletakkan di bawah pakaian itu pelapis, karena aku khawatir (karena halusnya
bahan pakaian itu, jika tidak diberi pelapis) sosok tulangnya (lekuk-lekuk
badannya) akan tergambar" (HR. Ahmad dan al-Baihaqi).
Hadits ini
menunjukkan bahwa tidak ada halangan bagi wanita memakai pakaian yang tadinya
dibuat untuk pria, atau dari negeri atau budaya non-Islam (karena ketika itu Mesir
masih belum memeluk agama Islam), "tidak ada halangan" selama niat
dan tujuannya bukan untuk menyerupai mereka dan selama batas-batas agama
terpenuhi yang dalam konteks hadits di atas adalah tidak taransparan sehingga
menampakkan kulit atau lekuk-lekuk badan.
Sementara ulama
bersikap sangat ketat menyangkut hal ini. Mereka lupa bahwa Rasul saw. pun
pernah memakai pakaian-pakaian yang bersumber dari negeri-negeri non-muslim dan
yang dihadiahkan kepada beliau. Tentu saja, ketika itu beliau memakainya bukan
karena ingin menyerupai mereka atau kagum kepada nilai-nilai dan budaya mereka
yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Beliau memakainya, karena itu
beliau anggap baik untuk dipakai dan sesuai dengan fungsi-fungsi pakaian yang
dikehendaki oleh nilai-nilai Islam, walaupun harus diakui pula bahwa bahwa
Rasul saw. seringkali menekankan perlunya memelihara identitas keislaman dan
Syakhshiyat al-Muslim (kepribadian Muslim atau Muslimah).
Mufassir dan pakar
hukum Islam al-Qurthubi menyatakan bahwa pendapat yang mengecualikan wajah dan
telapak tangan dari tubuh wanita yang harus ditutup, merupakan "pendapat
yang lebih kuat atas dasar kehati-hatian dan mempertimbangkan kebejatan
manusia."
Lalu atas dasar itu
pulalah dan tanpa mengabaikan pandangan sementara ulama dan cendekiawan
kontemporer, kiranya masih sangat relevan untuk menyatakan bahwa kehati-hatian
dalam melaksanakan tuntunan agama, mengundang setiap Muslim dan Muslimah untuk
menganjurkan pemakaian jilbab sesuai dengan pendapat mayoritas ulama, apalagi
pemakainya sama sekali tidak terhalangi untuk melakukan aneka aktivitas positif
baik di dalam maupun di luar rumah, baik untuk kepentingan pribadi dan
keluarga, maupun kepentingan bangsa dan umat manusia." Keindahan dan
kecantikan pun sama sekali tidak terabaikan dengan pemakaian apa yang dinamai
busana Muslimah itu.
Jika Anda bertanya
"Apakah pendapat itu (aturan dan batasan pemakaian jilbab) merupakan hak
yang tidak diragukan lagi?" Jika Anda bertanya demikian, maka penulis (Prof.
Quraish Shihab) hanya dapat mengulangi jawaban Imam Abu Hanifah ra. (w. 150
H/767 M) yang berkata ketika ditanya seperti pertanyaan itu bahwa: "Demi
Allah, saya tidak tahu, boleh jadi itu (yakni pendapat yang dikemukakannya) adalah
bathil yang tidak ada keraguan di dalamnya." Beliau kemudian berkata:
"Apa yang kami kemukakan itu adalah pendapat. Kami tidak memaksakannya
pada seorang pun, kami juga tidak berkata bahwa seseorang harus menerimanya secara
terpaksa. Siapa yang memiliki (pendapat yang) lebih baik daripada apa yang kami
sodorkan, maka hendaklah dia menghidangkannya."
Dalam riwayat lain
beliau berkata: "Maka dia lebih wajar dinilai benar daripada kami."
‘’Aku tidak
bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan
tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada-Nya
aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali" (QS. Hud [11]: 88).
Semoga Allah
mengampuni dosa penulis (Prof. Quraish Shihab), kedua orang tua, keluarga
penulis dan para pembaca serta seluruh kaum muslimin.
Wallahua’lam
syukran atas pnjelasnnya
BalasHapusAssalamualaikum.Maaf melenceng...
BalasHapusKan dalam islam kita dilarang untuk dendam,akan tetapi mengapa jika kita membunuh hewan pasti dibilang sama orang sekitar nanti dibalas loh diakhirat.penjelasnnya om
#Makasih