By
: Ahmad Zarkasih, S.Sy. –
Ceritanya
bermula pada kelas fiqih di salah satu fakultas yang berada di universitas
Islam terkenal Jakarta. Seperti kebiasaan pada umumnya, Prof. A masuk dan
langsung memberikan judul-judul yang nantinya menjadi tugas makalah bagi para
mahasiswa.
Salah
satu mahasiswa mendapat tugas dengan tema "Al-Qiradh" [القراض] yang
dalam litelatur Fiqih dikenal sebagai "Al-Mudharabah" [المضاربة] yaitu istilah untuk akad Bagi Hasil Dalam Perdagangan atau sejenisnya.
Bedanya hanya dalam istilah saja, kalau istilah "Al-Qiradh" [القراض] dipakai oleh mazhab Maliki dan Syafi'i, sedangkan istilah
"Al-Mudharabah" [المضاربة] dipakai oleh mazhab Hanafi dan
Hambali. Tetapi intinya sama saja.
Datanglah
hari dimana si mahasiswa "Al-Qiradh" mempresentasikan apa yang telah
ia kumpulkan dalam makalah "Al-Qiradh"-nya. Karena memang bahasa
pengantar yang dipakai itu bahasa Indonesia, ya makalahnya pun berbahasa
Indonesia. Dan pastinya si mahasiswa pun meng-"copas" makalahnya dari
makalah atau buku berbahasa Indonesia juga.
Dari
awal pemaparan sang dosen nampak kebingungan melihat apa yang dibicarakan oleh
mahasiswanya. Belum selesai persentasi dipaparkan, beliau langsung menyela
sambil bilang,"Kok masalah Qiradh tapi dari tadi ngomongin
hutang-piutang?. Padahal tema Qiradh itu pembahasan soal kerjasama bagi hasil
antara dua belah pihak, yaitu pemilik modal dan pekerja.
Si
mahasiswa menjawab,"Yang saya dapat di Kitab memang begitu, Prof!".
Pak dosen malah tambah menunjukkan wajah bingungnya sambil bertanya. "Dari
kitab apa kamu dapat ini?"
Tanpa
menjawab, si mahasiswa langsung menyodorkan buku ke dosennya. Rupayanya
materinya itu disadur dari buku terjemah Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq.
Setelah diperiksa, rupanya 'musibah' ada pada buku terjemahan itu. Rupanya penerjemah
buku itu hanya sekedar bisa bahasa Arab sebatas hanya dalam skala
menterjemahkan, tapi ia tidak mengerti ilmu fiqih itu sendiri, yang menjadi
esensi materi buku.
Sehingga
penerjemah tidak bisa membedakan antara al-Qiradh [القراض] dan
Al-Qardh [القرض]. Memang keduanya punya dimensi pembahasan yang
sama yaitu sama-sama dalam term fiqih muamalat. Al-Qardh [القرض] itu
ialah salah satu bab dalam kitab fiqih yang membahsa tentang hutang
piutang. Sedangkan tema al-Qiradh [القراض] dalam fiqih muamalat maksudnya tidak lain
adalah akad mudharabah [المضاربة] yaitu istilah untuk akad bagi
hasil .
Tentu
saja akad hutang piutang tidak sama dengan akad kerjasama bagi hasil dalam
usaha bersama. Pantas saja keliru dan bisa-bisanya mahasiswa dikasih judul
al-Qiradh tapi ketika membuat makalah dan pembahasan, ternyata yang dibahas
malah hukum hutang piutang, al-Qardh [القرض].
Dan
biang masalahnya karena si penerjemah tidak ngudeng ilmu fiqih. Dia
menganggap tidak ada bedanya aL-Qiradh dan al-Qardh. Dan lebih parahnya,
ternyata si mahasiswa kelas fiqih ini juga tidak tahu mana al-Qardh dan mana
aL-Qiradh. *tepok jidat
Cerita
ini saya dapet langsung dari si Prof. A pelaku kejadian itu, karena memang
beliau juga dosen saya di sekolah Pasca di Universitas yang sama.
PENERBIT
TIDAK PUNYA PENERJEMAH MUMPUNI
Ini
buruknya yang banyak terjadi di penerbit-penerbit kita, di Indonesia. Mereka
punya banyak penerjemah, bahkan saking banyaknya, banyak penerjemah yang
statusnya freelance dari si penerbit itu.
Tapi
sayangnya, penerjemah yang ada hanya mampu menterjemahkan bahasa saja, tetapi
mereka tidak menguasai ilmu materi yang diterjemahkan. Padahal dalam
menterjemah sebuah kitab, selain tahu kaidah bahasa Arab, si penerjemah
dituntut untuk mengerti istilah-istilah yang dipakai dalam kitab tersebut.
Kalau
menerjemahkan kitab fiqih, seharusnya si penerjemah juga mengerti ilmu fiqih.
Karena banyak istilah fiqih yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqih itu
mempunyai arti berbeda jika istilah itu berada dalam kitab tafsir atau ilmu
hadits.
Contoh
paling kecil ialah istilah 'sunnah'. Dalam disiplin ilmu hadits, istilah
'sunnah' ini punya pemahaman tersendiri dan akan jadi lain pengertiannya kalau
digunakan dalam ilmu ushul. Dan akan jadi berbeda lagi maknanya dalam kitab
Fiqih.
Kalau
kurang-kurang mengerti, alih-alih mau menterjemahkan, yang ada malah bisa
menyesatkan banyak orang dengan buku terjemahannya itu. Parahnya jika si
pembacapun bukan seorang yang mengerti. Orang awam yang mau belajar, tiba-tiba
bertemu dengan buku terjemah yang si penerjemahnya pun bias dan tidak mengerti
dengan apa yang ia terjemahkan.
Sayangnya
lagi, setelah terjemahan rampung, naskah masuk ke meja penyunying. Dan si
penyunting atau editor juga bukan seorang ahli dalam disiplin ilmu yang ada di
buku terjemahan itu. Karena ternyata penyuntingnya hanya seorang ahli
bahasa, yang bisa cuma mengoreksi bahasa-bahasa yang keliru.
Lengkaplah
sudah penderitaan para penuntut ilmu yang larinya ke buku terjemahan. Lihat
berapa juta orang yang sudah di-bodohkan dengan buku 'sesat' ini?
Dalam
kasus salah paham mahasiswa dan dosen di atas, masih untung ada yang mengoreksi
kesalah-pahaman ini. Bayangkan bila buku itu dibaca oleh khalayak muslim yang
tidak punya guru atau dosen, kayak apa jadinya.
JANGAN
BELAJAR DARI BUKU TERJEMAH
Cara
paling selamat untuk terhindar dari kesesatan ini ialah, ya jangan belajar dari
buku terjemahan. Kalau memang mau belajar serius, jangan jadikan sebuah buku
sebagai pegangan satu-satunya.
Belajar-lah
langsung dari beliau-beliau yang memang mumpuni dalam bidang tersebut. Beliau
yang telah melewati riwayat pendidikan panjang dalam disiplin ilmu tersebut,
bukan mereka yang juga "alumni" dari sekolah buku terjemah.
Datangi
langsung guru, kiyai, ustadz, atau apapun sebutannya, asalkan yang memang ahli
di bidangnya. Entah itu ikut kuliahnya (jadi mahasiswa) atau datangi setiap
majlis yang beliau menjadi pembicara. Bukan hanya menjadikan buku sebagai guru
teladan, apalagi cuma buku terjemahan yang bias.
Lain
halnya bila buku itu ditulis dengan bahasa Indonesia dari penulis Indonesia.
Tidak jadi masalah karena tidak ada perubahan bahasa disitu. Tapi kalau buku
aslinya itu berbahasa asing, kemudian diterjemahkan, sudah menjadi sebuah
keniscayaan kalau ada perubahan bahasa dan hilang juga nuansa keilmuan yang
sudah dibentuk oleh si penulis asli dalam bukunya.
Buruknya
lagi si penerjemah cuma bisa menterjemahkan tapi tidak ngudeng dengan ilmu yang
disampaikan dalam buku tersebut. Ya tidak mesti expert memang, tapi setidaknya,
penerjemah harusnya mengerti dengan istilah-istilah yang dipakai dalam dispilin
ilmu tersebut.
Terus
berguru dengan buku terjemah tidak akan memuaskan pun tidak akan membuat kita
makin tahu, dan ilmu yang sampai pun menjadi tanggung, tidak menyeluruh. Nah,
Justru ilmu yang tanggung itu jauh lebih berbahaya daripada tidak tahu sama
sekali.
Karena
lebih baik tidak tahu, dari pada tahu tapi "nanggung".
Wallahu
a'lambishshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar