Di Indonesia,
kita dapati bahwa sudahlah lumrah dan biasa, bila wanita yang sudah menikah,
diharuskan (DIWAJIBKAN) melakukan semua pekerjaan rumah tangga. Dari mulai
mengurus suami, melayaninya, mengurus anak, hingga memasak dan membersihkan
rumah, layaknya pembantu rumah tangga.
Apakah Islam
mengajarkan ataupun menganjurkan hal ini?. Berikut ada sebuah ulasan yang saya
ringkas dari buku fiqih milik Ust
Ahmad Sarwat Lc.MA yang berjudul ISTRI BUKAN PEMBANTU, yang saya ambil dari
Rumah Fiqih .com dengan sedikit editan agar bisa lebih ringkas. Semoga
bermanfaat.
Apakah
wanita/Istri wajib mengurus urusan rumah tangga layaknya pembantu? Kalau kita
telusuri dalam kitab-kitab fiqih para ulama, terutama mazhab-mazhab yang besar
dan muktamad, kita akan menemukan bahwa pendapat mereka umumnya cenderung
mengatakan bahwa para wanita tidak wajib melakukan semua pekerjaan rumah tangga
(pembantu).
Ternyata 4
mazhab besar plus satu mazhab lagi yaitu mazhab Dzahihiri semua sepakat
mengatakan bahwa para istri pada hakikatnya tidak punya kewajiban untuk
berkhidmat kepada suaminya.
Berikut
pendapat para Ulama
A. Jumhur Ulama
Secara umum, jumhur ulama
cenderung sepakat bahwa tugas seorang istri bukan mengerjakan urusan rumah
tangga. Kalau pun hal itu ingin dikerjakan, tentu menjadi sebuah ibadah sunnah
yang akan menambah nilai pahala baginya.
Namun secara asasi,
tugas-tugas itu tidak dibebankan di atas pundak para istri, sebagaimana
pendapat-pendapat yang bisa kita kumpulkan dari berbagai sumber fiqih Islam.
1.
Mazhab Al-Hanafiyah
Al-Imam Al-Kasani dalam
kitab Al-Badai' menyebutkan :
Seandainya suami pulang bawa
bahan pangan yang masih harus dimasak dan diolah, lalu istrinya enggan unutk
memasak dan mengolahnya, maka istri itu tidak boleh dipaksa. Suaminya
diperintahkan untuk pulang membaca makanan yang siap santap.
Di dalam kitab Al-Fatawa
Al-Hindiyah fi Fiqhil Hanafiyah disebutkan :
Seandainya seorang istri
berkata,"Saya tidak mau masak dan membuat roti", maka istri itu tidak
boleh dipaksa untuk melakukannya. Dan suami harus memberinya makanan siap
santap, atau menyediakan pembantu untuk memasak makanan.
2.
Mazhab Al-Malikiyah
Di dalam kitab Asy-syarhul
Kabir oleh Ad-Dardir, ada disebutkan :
Wajib atas suami berkhidmat
(melayani) istrinya. Meski suami memiliki keluasan rejeki sementara istrinya
punya kemampuan untuk berkhidmat, namun tetap kewajiban istri bukan berkhidmat.
Suami adalah pihak yang wajib berkhidmat. Maka wajib atas suami untuk
menyediakan pembantu buat istrinya.
3.
Mazhab As-Syafi'iyah
Di dalam kitab Al-Majmu'
Syarah Al-Muhadzdzab, yang merupakan Syarah
dari kitab Al-Muhadzdzab karya Abu Ishaq Asy-Syirazi rahimahullah,
penulisnya Al-Imam An-Nawawi menyebutkan hal berikut :
Tidak wajib atas istri
berkhidmat untuk membuat roti, memasak, mencuci dan bentuk khidmat lainnya,
karena yang ditetapkan (dalam pernikahan) adalah kewajiban untuk memberi
pelayanan seksual (istimta'), sedangkan pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban.
4.
Mazhab Al-Hanabilah
Seorang istri tidak
diwajibkan untuk berkhidmat kepada suaminya, baik berupa mengadoni bahan
makanan, membuat roti, memasak, dan yang sejenisnya, termasuk menyapu rumah,
menimba air di sumur. Ini merupakan nash Imam Ahmad rahimahullah. Karena
aqadnya hanya kewajiban pelayanan seksual. Maka pelayanan dalam bentuk lain
tidak wajib dilakukan oleh istri, seperti memberi minum kuda atau memanen
tanamannya.
5.
Mazhab Az-Zhahiri
Dalam mazhab yang dipelopori
oleh Daud Adz-Dzahiri ini, kita juga menemukan pendapat para ulamanya yang
tegas menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi istri untuk mengadoni, membuat
roti, memasak dan khidmat lain yang sejenisnya, walau pun suaminya anak
khalifah.
Suaminya itu tetap wajib
menyediakan orang yang bisa menyiapkan bagi istrinya makanan dan minuman yang
siap santap, baik untuk makan pagi maupun makan malam. Serta wajib menyediakan
pelayan (pembantu) yang bekerja menyapu dan menyiapkan tempat tidur.
B. Pendapat
Yang Berbeda
Namun kalau kita baca kitab Fiqih
Kontemporer Dr. Yusuf Al-Qaradawi, beliau agak kurang setuju dengan pendapat
jumhur ulama ini. Beliau cenderung tetap mengatakan bahwa wanita wajib
berkhidmat di luar urusan seks kepada suaminya.
Dalam pandangan beliau,
wanita wajib memasak, menyapu, mengepel dan membersihkan rumah. Karena semua
itu adalah imbal balik dari nafkah yang diberikan suami kepada mereka.
Kita bisa mafhum dengan
pendapat Syeikh yang tinggal di Doha Qatar ini, namun satu hal yang juga jangan
dilupakan, beliau tetap mewajibkan suami memberi nafkah kepada istrinya, di
luar urusan kepentingan rumah tangga.
Jadi para istri harus digaji
dengan nilai yang pasti oleh suaminya. Karena Allah SWT berfirman bahwa suami
itu memberi nafkah kepada istrinya. Dan memberi nafkah itu artinya bukan
sekedar membiayai keperluan rumah tangga, tapi lebih dari itu, para suami harus
'menggaji' para istri. Dan uang gaji itu harus di luar semua biaya kebutuhan
rumah tangga.
Yang sering kali terjadi
memang aneh, suami menyerahkan gajinya kepada istri, lalu semua kewajiban suami
harus dibayarkan istri dari gaji itu. Kalau masih ada sisanya, tetap saja itu
bukan lantas jadi hak istri. Dan lebih celaka, kalau kurang, istri yang harus
berpikir tujuh keliling untuk mengatasinya.
Jadi pendapat Syeikh
Al-Qaradawi itu bisa saja kita terima, asalkan istri juga harus dapat 'jatah
gaji' yang pasti dari suami, di luar urusan kebutuhan rumah tangga.
KEWAJIBAN ISTRI.
Setelah kita
lihat hal diatas, lalu apa kewajiban istri kepada suami?
Ternyata kewajiban istri kepada suami cukup sederhana, yaitu Taat (Penyerahan diri) kepada suami dan Istimta’ (memberikan penyaluran kebutuhan biologis) kepada suami.
Demikianlah
ternyata penghargaan Islam terhadap kaum wanita. Kalau kita dalami kajian ini
dengan benar, ternyata Islam sangat memberikan ruang kepada wanita untuk bisa
menikmati hidupnya. Sehingga tidak ada alasan buat para wanita muslimah untuk
latah ikut-ikutan dengan gerakan wanita di barat, yang masih primitif karena
hak-hak wanita disana masih saja dikekang.
Islam sudah
sejak 14 abad yang lalu memposisikan istri sebagai makhuk yang harus dihargai,
diberi, dimanjakan bahkan digaji. Seorang istri di rumah bukan pembantu yang
bisa disuruh-suruh seenaknya. Mereka juga bukan jongos yang kerjanya apa saja
mulai dari masak, bersih-bersih, mencuci, menyetrika, mengepel, mengantar anak
ke sekolah, bekerja dari mata melek di pagi hari, terus tidak berhenti bekerja
sampai larut malam, itu pun masih harus melayani suami di ranjang, saat
badannya sudah kelelahan.
Kalau pun saat
ini ibu-ibu melakukannya, niatkan ibadah dan jangan lupa, lakukan dengan
ikhlas. Walau sebenarnya itu bukan kewajiban. Semoga Allah SWT memberikan
pahala yang teramat besar buat para ibu sekalian amin…
klo istri pemalas gmn??
BalasHapusMaaf....saya hanya meneruskan artikel dari guru saya saja. Kalo ada pertanyaan silahkan langsung ke website www.rumahfiqih.com.
HapusWallahua'lam...