Rabu, 23 November 2011

Tawakal Kepada Allah

Disusun oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



Dari Umar bin al-Khatthab RA, dari Nabi, beliau SAW bersabda, "Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah SWT dengan sungguh-sungguh tawakkal kepada-Nya, sungguh kalian akan diberikan rezeki oleh Allah SWT sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung. Pagi hari burung tersebut keluar dalam keadaan lapar dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang. (HR Ahmad, HR Tirmidzi, HR An-Nasa-I, HR Ibnu Majah, dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim)



Hadits ini adalah landasan tawakkal yang merupakan faktor terbesar yang mendatangkan rizki.



Allah SWT. Berfirman:
"...Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya..." (QS. ath-Thalaaq/65:2-3)



Nabi SAW membacakan ayat di atas kepada Abu Dzar RA; dan bersabda kepadanya, "Seandainya seluruh manusia mengambil ayat ini, maka ayat ini cukup bagi mereka." (Tafsiir Ibnu Katsiir (V1II/146)).



Maksudnya, seandainya manusia merealisasikan takwa dan tawakkal, mereka akan mencukupkan dengan keduanya dalam urusan agama dan dunia mereka. Masalah ini telah dibahas pada syarah hadits ibnu Abbas RA, "Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu."



Salah seorang dari generasi salaf berkata, "Sesuai dengan kadar tawakkalmu kepada Allah , Dia mengetahui kebaikan tawakkalmu kepada-Nya dari hatimu. Betapa banyak hamba yang menyerahkan urusannya kepada Allah kemudian Allah mencukupi apa yang diinginkan hamba tersebut."



Makna Tawakkal



Secara bahasa, Tawakkal artinya mewakilkan, yaitu menampakkan kelemahan dan bersandar atau bergantung kepada orang lain.



Ar-Raghib al-Ashfahani rahimahullah (wafat th. 425 H) berkata, "(kata) Tawakkal itu (bisa) dikatakan dari dua sisi. (Jika) dikatakan: Tawakkaltu li fulan (Aku menjadi wakilnya si fulan), maka maksudnya adalah dia menjadi wakil si Fulan. Dan (jika) dikatakan juga : Wakkaltuhu fatawakkala lii, wa tawakkaltu 'alaihi (aku menjadikan dia sebagai wakil, kemudian dia menjadi wakilku, dan aku bertawakkal kepadanya), maka maksudnya adalah aku bersandar atau bergantung kepadanya." (Al-Mufradat alfazhil Qur-an (him 882).



Ibnul Atsir rahimahullah (wafat th. 606 H) berkata,

"Tawakkal terhadap suatu perkara adalah bila bergantung dan bersandar padanya. (Ungkapan) Aku wakilkan urusanku kepada seseorang, artinyanya aku bersandar dan bergantung padanya." (An-Nihayah 11 Gharibil Hadits (V/221))



Secara istilah, Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah (wafat th. 795 H) berkata,:
"Tawakkal ialah-penyandaran hati dengan jujur kepada Allah SWT dalam upaya memperoleh kebaikan-kebaikan dan menolak bahaya-bahaya dalam seluruh urusan dunia dan akhirat." (Jami’ul Uluum wal Hikam (2/497))



Sa'id bin Jubair rahimahullah berkata, "Tawakkal kepada Allah SWT ialah pokok iman." (Hilyatul Auliya' (IV/304, no. 5638)).



Pengertian yang paling dekat yang dikumpulkan dari pengertian-pengertian di atas yakni Tawakkal ialah keadaan hati yang tumbuh dalam mengenal Allah SWT, beriman kepada keesaan-Nya dalam menciptakan, mengatur, mendatangkan manfaat, menolak bahaya, memberi dan menahan, apa yang Dia kehendaki pasti terjadi, dan apa saja yang tidak Dia kehendaki maka tidak akan terjadi. Oleh karena itu, wajib bersandar dan berserah diri kepada-Nya, percaya kepada-Nya, yakin bahwa Allah SWT akan mencukupinya." (At-Tawakkul 'Alallah (hlm. 22))



Hakikat Tawakkal



1. Mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya seperti sifat maha kuasa-Nya, maha kaya-Nya, dan sifat terus-menerus mengurus makhluk-Nya, sifat maha tahu-Nya terhadap segala sesuatu dan mengetahui bahwa semua perkara itu bersumber dari kehendak-Nya. Pengetahuan tentang masalah-masalah ini merupakan langkah awal yang hendak manapaki jalan tawakkal. (Madarijus Salikin (11/123))



Orang-orang yang tidak mengimani hal-hal diatas, seperti orang yang mengatakan bahwa Allah SWT itu tidak memiliki sifat, maka mereka tidak akan bisa bertawakkal kepada Allah SWT.



2. Mengakui dan menetapkan adanya sebab, menjaganya dan melakukan sebab-sebab tersebut.



3. Hati sangat tergantung kepada Allah SWT, bersandar kepada-Nya, merasa tenang dengan-Nya dan percaya dengan pengaturan-Nya. Sebagian orang yang berilmu berkata, "Orang yang bertawakkal itu seperti anak kecil yang tidak mengetahui apa-apa yang dapat melindunginya selain ibunya, maka begitu juga orang yang bertawakkal, dia tidak mengetahui sesuatu yang dapat melindunginya selain Rabb-nya." (Madarijus Salikin (11/126))



4. Tawakal adalah kemantapan di atas tauhid, bahkan hakikat tawakal adalah sepenuhnya mentauhidkan Allah SWT dengan hati. Apabila di dalam hati masih ada noda kesyirikan maka tawakkalnya masih cacat. Dan bila seseorang sudah memurnikan tauhidnya maka tawakkalnya menjadi benar." (Madarijus Salikin (11/125))





5. Ridha. Ibnul Qayyim rahimahullah, berkata, "Ridha adalah buah tawakkal; Barangsiapa yang menafsirkan tawakkal dengan ridha, maka dia telah menafsirkan tawakkal dengan buahnya yang paling mulia dan faedahnya yang paling agung. Karena sesungguhnya jika seseorang bertawakkal dengan sebenar-benarnya maka dia akan ridha dengan apa yang diperbuat oleh Allah SWT." (Madarijus Salikin (11/127))



6. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Rahasia tawakkal dan hakekatnya adalah kepasrahan dan ketergantungan hati kepada Allah semata. Tidaklah tercela mengambil sebab (melakukan usaha-red) dengan tetap menjaga hati (agar bebas-red) dari ketergantungan kepada sebab tersebut. Adalah merupakan sebuah kesia-siaan, orang yang mengatakan, "Saya bertawakkal kepada Allah" tetapi ia bersandar, bergantung dan memiliki keyakinan kepada selain-Nya. Jadi, tawakkal lisan berbeda dengan tawakal hati. Oleh karena itu, tidak ada manfaatnya sedikitpun, ucapan seseorang yang mengatakan, "Saya bertawakkal kepada Allah" tetapi ia masih bersandar dan bergantung kepada selain Allah SWT. Sebagaimana orang yang berkata, "Saya bertaubat kepada Allah sedangkan ia terus berkubang dengan maksiat." (Fawa-idul Fawa-id (hlm. 88-89))



Ketahuilah, bahwa realisasi tawakkal tidak bertentangan dengan sebab-sebab yang telah ditakdirkan Allah SWT dan merupakan ketentuan-Nya dalam makhluk, karena Allah SWT memerintahkan makhluk-Nya untuk mengarnbil sebab-sebab (melakukan usaha-red) sekaligus memerintahkan mereka agar bertawakkal.



Jadi, upaya mencari sebab-sebab dengan anggota badan adalah bentuk ketaatan kepada-Nya, sedangkan tawakkal dengan hati ialah iman kepada-Nya, seperti dalam firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama” (QS. An-Nisaa 4:71)



Allah SWT juga berfirman yang artinya: .

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu bisa dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang tidak kamu ketahui, sedang Allah SWT mengetahuinya. (QS. al-Anfaal 8:60)



Allah SWT juga berfirman :

Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung. (QS. al-Jumu'ah 62:10)



Sahl at-Tusturi rahimahullah berkata, "Barangsiapa mencela tawakkal, sungguh ia telah mencela iman. Barangsiapa mencela usaha dan kerja, sungguh ia telah mencela sunnah." (Hilyatul Auliya' (X/204, no. 14939))



Urgensi Tawakkal



Firman Allah SWT : “Hanya Engkaulah yang kami ibadahi, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. (QS. al-Fatihah 1:5)



Ayat ini sarat akan makna tawakkal. Tawakkal memiliki urgensitas dan kedudukan yang sangat luas dan universal, mengingat kompleksnya hal-hal yang berkait dengan tawakkal dan sangat banyaknya kebutuhan makhluk; juga karena keumuman tawakkal itu sendiri serta bisa dilakukan oleh kaum Mukminin, kafir, orang yang baik, jahat, bahkan hewan sekalipun. Seluruh penghuni langit dan bumi berada dalam tingkatan tawakkal tertentu, namun obyek yang mereka tawakkal itu berbeda-beda. Para wall Allah SWT dan orang-orang yang memiliki kedudukan istimewa di sisi Allah SWT , mereka bertawakkal kepada Allah SWT dalam masalah keimanan, usaha menolong agama-Nya, menegakkan kalimat-Nya, dan berjihad melawan musuh-musuh-Nya serta dalam kecintaan mereka kepada Allah SWT dan dalam melaksanakan segala perintah-Nya. (Madarijus Salikin (II/118))



Maka jelaslah bahwa tawakkal merupakan asas dari seluruh keimanan dan kebaikan. Asas dari seluruh amalan Islam. Urgensinya ibarat sebuah jasad dengan kepalanya. Sebagaimana kepala tidak akan tegak kecuali dengan badan, demikian pula keimanan, kedudukan dan amalannya tidak akan tegak kecuali dengan tawakkal. (Thariq Hijratain Wa Babus Sa'adatain, (hlm. 253) karya Imam Ibnul Qayyim) Wallaahu a'lam



TAWAKAL MEMPUNYAI HUBUNGAN ERAT DENGAN IMAN BAHKAN SEBAGAI SYARAT IMAN



Allah SWT berfirman :

"...Dan hanya kepada Allah hendaknya kamil bertawakkal, jika kamu 'benar-benar orang yang beriman." (QS. al-Maidah/5:23)



Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Dalam ayat ini Allah SWT menjadikan tawakkal kepada Allah SWT sebagai syarat keimanan. Maka indikasi lenyƔpnya keimanan adalah hilangnya tawakkal". Lanjutnya lagi, "Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman :

Berkata Musa, "Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri". (QS. Yunus 10:84)



Dalam ayat ini Allah SWT menegaskan benarnya Islam seorang hamba dengan sebab adanya tawakkal. Maka semakin kuat tawakal seorang hamba, semakin kuat pula imannya. Demikian juga sebaliknya apabila lemah imannya, lemah pula tawakkalnya. Apabila tawakalnya lemah, sudah pasti keimanannya lemah. (Thariq Hijratain Wa Babus Sa'adatain, (hlm. 251) karya Imam Ibnul Qayyim)



Allah SWT berfirman :

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahalah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabblah mereka bertawakkal". (QS. al-Anfal 8:2)



MENGAMBIL SEBAB TIDAK MENAFIKAN TAWAKKAL



Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Umat int telah bersepakat bahwa tawakkal tidak menafikan usaha untuk melakukan sebab (ikhtiar). (Bahkan), tawakkal seseorang tidak sah kecuali dengan mengambil atau melakukan faktor penyebab. Jika tidak demikian, maka tawakkalnya rusak dan sia-sia." (Madarijus Salikin (2/121))



Tawakal tidak menafikan usaha melakukan sebab (ikhtiar). Sungguh Allah SWT telah memerintahkan para hamba-Nya untuk mengambil sebab dengan tetap tawakal kepada-Nya. Jadi, berusaha mengambil sebab dengan anggota badan merupakan ketaatan kepada Allah SWT dan tawakal dengan hati merupakan keimanan kepada-Nya.



Allah SWT berfirman :

Wahai orang-orang yang beriman, bersiap-siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama! (QS. an-Nisaa 4:71)



Imam lbnu Katsir rahimahullah, mengatakan, “Allah memerintahkan para hamba-Nya yang beriman untuk tetap waspada terhadap musuh. Ini berarti tuntutan untuk menakut-nakuti mereka dengan mempersiapkan senjata dan memperbanyak personil pasukan untuk terjun ke medan pertempuran." (Tafsiir Al-Qur-aan (2/357))



Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Jadi tawakal merupakan sebab yang paling besar untuk meraih apa yang diinginkan dan menolak segala yang dibenci. Barangsiapa yang mengingkari sebab, maka tawakkalnya tidak akan pernah baik. Namun diantara (syarat-red) kesempurnaan tawakkal adalah tidak bersandar kepada sebab tersebut dan Menghilangkan ketergantungan hati kepadanya. Hatinya bergantung kepada Allah bukan kepada sebab, sedangkan badannya berusaha dengan mengambil sebab." (Madarijus Salikin (2/125))



Demikian pula Rasulullah SAW mengajarkan untuk melakukan sebab. Dalam sebuah riwayat ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah SAW, "Wahai Rasulullah, apakah saya ikat onta saya lalu tawakal kepada Allah SWT ataukah saya lepas saja sambil bertawakal kepada-Nya ? Rastalullah menjawab, “Ikatlah dulu untamu itu kemudian baru engkau bertawakkal! (Hasan: HR. At-Tirmidzi (no. 2517). Dihasankan oleh Syaikh Albani dalam Takhrij Musykilatil Faqr, nb.22) (Tentang mengambil sebab, para Ulama rahimahumullah berkata, "Sebab-sebab yang dinashkan tidak boleh diingkari, tidak diyakini sernata-mata. Mengingkarinya adalah kejahilan, bersandar semata-mata pada sebab adalah kesyirikan. Karena yang memberi manfaat mudharat, mencegah, dan mengabulkan hanya Allah semata.")



Ketahuilah wahai saudaraku, amal perbuatan yang dikerjakan hamba terbagi ke dalam tiga bagian:



1. Ketaatan yang Allah SWT perintahkan kepada para hamba-Nya. Allah menjadikan ketaatan sebagai sebab atau faktor agar selamat dari neraka dan masuk surga. Maka hal yang seperti ini harus dilakukan oleh seorang hamba; dengan tetap tawakkal dan meminta pertolongan kepada-Nya, karena tidak ada daya dan upaya kecuali dengan bantuan-Nya.



2. Berupa perkara duniawi. Dalam masalah ini, Allah SWT tetap memerintahkan hamba-Nya untuk mengambil sebab, seperti makan ketika lapar, minum ketika haus, berteduh ketika panas, menghangatkan diri dari hawa dingin, dan lainnya. Beliau bersabda kepada mereka :

“Aku tidak seperti kalian, aku diberi makan dan minum” (HR. al-Bukhari (no. 1922) dan Muslim (no. 1102), dan Abu Dawud (no. 2360), dari Ibnu 'Umar.).



Dalam riwayat lain :

“Aku senantiasa berada di sisi Rabb-ku yang memberiku makan dan minum” (HR. al-Bukhari (no. 1964, 1966) dan Muslim (no. 1105 dan 1103))



Maksudnya bahwa Allah SWT menguatkan Nabi SAW dan memberi beliau makan dengan hal-hal yang masuk ke hati beliau, yang membuat beliau SAW tidak butuh makan dan minum dalam waktu tertentu.



Ada dari generasi salaf yang mempunyai kekuatan meninggalkan makanan dan minuman yang tidak dimiliki orang lain dan mereka tidak mendapatkan mudharat (bahaya) dengannya.



Dalam hadits yang panjang tentang. keislaman Abu Dzarr RA, beliau SAW bersabda :

Aku tidak mempunyai makanan kecuali air zam-zam, maka aku menjadi gemuk sampai perutku sedikit gendut, dan aku tidak mendapati pada hatiku kelemahan karena lapar (HR. Muslim (no. 2473 (132)).



3. Berupa perkara dunia yang bersifat umum seperti berobat ketika sakit. Dalam masalah ini Ulama berselisih pendapat, apakah bagi orang yang tertimpa sakit lebih utama berobat atau tidak berobat jika si sakit ingin merelisasikan tawakkkal kepada Allah SWT.



Pendapat Imam. Ahmad rahimahullah bahwa tawakkal bagi orang, yang sanggup melakukannya adalah lebih baik karena diriwayatkan dengan shahih dari Nabi SAW, beliau bersabda : Tujuh puluh ribu orang dari ummatku akan masuk surga tanpa hisab. Mereka (Para sahabat) berkata, 'Siapa mereka wahai Rasulullah? Rasulullah bersabda, "Mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak bertathayyur (merasa sial dengan sesuatu), tidak melakukan kayy (berobat dengan besi panas), dan mereka bertawakkal kepada Rabb mereka. (HR. Muslim (no. 218 (327)), dari 'Imran bin Hushain RA)



Sedangkan Ulama yang berpendapat bahwa berobat lebih baik, berpendapat, bahwa berobat adalah perilaku yang selalu dikerjakan Nabi SAW dan beliau SAW tidak melakukan sesuatu kecuali yang paling baik. Ulama tersebut menafsirkan permintaan ruqyah di sini dimakruhkan yang dikhawatirkan mengandung syirik.



Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Dalam hadits-hadits yang shahih diperintahkan untuk berobat, dan hal ini tidak menafikan tawakkal, sebagaimana juga kita menolak penyakit lapar dengan makan, rasa haus (kita lawan) dengan minum, (udara) panas dengan berteduh dan (cuaca) dingin dengan memakai baju hangat. Bahkan tidak sempurna hakikat tauhid kecuali dengan melaksanakan sebab (syar'i) yang telah ditetapkan Allah SWT, baik secara Qadar maupun syar'i. Dan meniadakan sebab berarti mencela tawakkal, sebagaimana mencela perintah dan hikmah... " (Zaadul Ma'aad Fii Hadyi Khayril ‘ibad (IV/15))



Begitu pula tentang rezeki, seandainya kaum Muslimin merealisasikan tawakkal kepada Allah dengan hati mereka, Allah SWT pasti akan memberikan rezeki kepada mereka dengan sebab usaha yang paling rendah (ringan) sekalipun, sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung-burung yang hanya dengan sekedar pergi di pagi hari dan kembali pada petang hari yang merupakan bagian dari kerja namun kerja ringan.



Nabi SAW bersabda :

“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Allah dan berusahalah dgan cara yg baik! Sesungguhnya satu jiwa itu tidak akan mati hingga rezekinya diberikan secara sempurna, walaupun lambat. Oleh karena itu bertakwalah kalian kepada Allah SWT dan berusahalah dengan cara yang baik ! Ambillah yang halal dan tinggalkan yang haram." (HR. Ibnu Majah (no. 2144), al-Hakim (II/4), dan al-Baihaqi (V/264-265). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani, dalam Silsilatul Ahaditsissh Shahahah pada pembahasan hadits no 2607)



Diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas RA bahwa beliau SAW mengatakan, "Orang-orang Yaman berangkat haji tanpa perbekalan. Mereka berkata, 'Kami orang-orang yang bertawakkal' Mereka pun berangkat haji dan tiba di Mekah kemudian mengernis kepada manusia. Karena itu, Allah menurunkan ayat ini :

"...Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku Wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat!" (QS. al-Baqarah 2:197) HR..A1-Bukhari (no. 1523) dan Abu Dawud (no. 1730)



Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid, Ikrimah, an-Nakhal, dan generasi salaf lainnya. Jadi, tidak ada alasan yang melegalkan seseorang untuk meninggalkan sebab-sebab secara totalitas bagi orang yang hatinya tidak bergantung kepada manusia secara total.



Nabi SAW Abu Bakar RA Umar bin Khatthab RA juga berusaha maksimal dan mereka juga mencari nafkah, dan tidak ada satupun dari mereka yang berkata, "Kami hanya duduk dan berpangku tangan hingga Allah SWT memberi kami rezeki." Allah SWT berfirman :

“Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung." (QS. al-Jumu'ah 62:10)



Setiap orang wajib mencari nafkah, dengan mengerjakan sebab-sebab ' agar Allah SWT memberikan rezeki. Dan tidak boleh sekali-kali ia menelantarkan orang yang berada dalam tanggungannya. Nabi SAW bersabda :

“Cukuplah seseorang itu berdosa jika ia menelantarkan orang yang ia beri makan” (HR. Abu Dawud (no. 1692)'dan Ibnu Hibban (no. 4240), dari Abdullah bin Amr RA. Diriwayatkan juga oleh Muslim (no. 996) dan Ibnu Hibban (no. 4241) dengan teks, "Seseorang cukuplah berdosa jika ia menahan dari orang yang memiliki makanannya."



Tidak boleh seorang Muslim meminta-minta, mengemis atau menjadi beban bagi orang lain. Dia wajib mencari nafkah.



Orang yang bertawakkal kepada Allah SWT dengan benar ialah orang yang mengetahui bahwa Allah SWT telah menjamin rezeki dan kecukupan untuk hamba-Nya kemudian ia mengimani jaminan Allah tersebut dengan hatinya, dan merealisasikan dengan sikap bergantung kepada-Nya karena Allah telah menjamin rezekinya tanpa menempatkan tawakkal seperti sebab-sebab untuk mendatangkan rezeki, karena rezeki itu dibagi-bagikan kepada semua orang; orang baik maupun jahat, Mukmin maupun kafir, seperti dalam firman Allah :

Dan tidak ada satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuuzh)." (QS. Hud/11:6)


Sudah menjadi Sunnatullah terhadap semua makhluk, bahwa segala rezeki yang terkandung di dalam bumi, bahan-bahan makanan yang telah disiapkan, serta sumber-sumber kekayaan yang menyenangkan; Semua itu tidak akan dapat dicapai, melainkan harus dengan kerja keras dan usaha sungguh-sungguh. Karena itu, Allah SWT akan rnemberi rezeki kepada hamba-Nya yang mau berusaha di atas permukaan bumi ini. Allah SWT berfirman

"...Maka jelajahilah di seluruh penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya..." (QS. al-Mulk/67:15)


Barangsiapa mau berusaha di atas permukaan bumi, niscaya ia akan mendapat rezeki. Allah SWT berfirman :
“Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah” (QS. Al-Jumu'ah 62:10)



Barangsiapa berjalan di muka bumi ini sambil mengharap karunia dan rezeki Allah SWT niscaya ia termasuk orang-orang yang berhak menerimanya. Sebaliknya, barangsiapa berpangku tangan dan bermalas-malasan, maka ia termasuk orang-orang yang tidak berhak menerima karunia Allah.



Semua amalan duniawi yang dikerjakan dengan penuh ketekunan dan disertai niat yang benar serta tidak menyimpang dari hukum-hukum Islam, merupakan ibadah. Jerih payah seseorang dalam mempertahankan hidup, demi kehormatan diri dan keluarganya, atau demi berbuat baik terhadap kerabat dan tetangganya, atau demi membantu usaha-usaha dakwah dan sosial dan menegakkan kebenaran, itu termasuk dalam kategori jihad fii sabilillah (berjuang di jalan Allah). Karena itu, Allah mensejajarkan dua perkara itu dalam firman-Nya :

"...Dan yang lain berjalan di muka bumi mencari karunia Allah; dan yang lain berperang di jalan Allah..." (QS. Al-Muzzammil 73:20)



Dalam menggalakkan usaha pertanian dan perkebunan, Nabi SAW bersabda :
“Tidak seorang Muslim pun yang menaburkan benih atau menanam tanaman, lalu seekor burung, atau seseorang, atau seekor binatang makan sebagian darinya, kecuali akan dinilai sebagai sedekah baginya” (Shahih: HR. al-Bukhari (no. 2320, 6012) dari Anas RA)



Dalam menggalakkan usaha pertukangan dan kerajinan tangan, Nabi SAW bersabda :

“Tidaklah seseorang mengkonsumsi makanan yang lebih baik daripada apa yang dihasilkan dari karya tangannya sendiri. Dan adalah Nabi Dawud makan dari hasil usaha kerjanya” (Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 2072) dari Miqdam)

Walaupun banyak sekali hewan lemah tidak dapat mencari rezeki, namun Allah SWT berfirman:
Dan berapa banyak rnakhluk bergerak yang bernyawa yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu. Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui." (QS. al-‘Ankabut 29:60)



Jadi, selama seorang hamba masih hidup, maka rezekinya ada pada Allah SWT dan terkadang Allah SWT memberikan rizkinya kepadanya melalui usaha atau tanpa usaha. Karenanya, barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah untuk mencari rezeki, maka ia menjadikan tawakkal sebagai sebab dan usaha. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah SWT karena keyakinannya akan penjaminan-Nya, sungguh ia bertawakkal kepada Allah dengan yakin dan membenarkan-Nya.



Pelajaran penting yang wajib diperhatikan dalam memahami tawakal adalah



1. Menyandarkan hati sepenuhnya kepada Allah,

2. Melakukan usaha (sebab)

3. Ridha dengan apa yang Allah sudah takdirkan.



Ketahuilah bahwa buah tawakkal ialah ridha dengan qadha (takdir). Barangsiapa menyerahkan semua urusannya kepada Allah SWT, ridha dengan apa saja yang diputuskan baginya, dan memilihnya, sungguh ia telah merealisasikan tawakkal kepada Allah dengan arti ridha.



Jadi, jika orang bertawakkal kepada Allah SWT, jika ia bersabar atas cobaan penyakit, rezeki dan selainnya yang telah ditakdirkan Allah SWT baginya, maka ia adalah orang yang sabar. Jika ia ridha kepada apa saja yang ditakdirkan baginya setelah terjadi, maka ia orang yang ridha. Seperti yang dikatakan Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, "Pada pagi hari, aku tidak mempunyai kebahagiaari kecuali (ridha) pada qadha dan qadar." (Jami'ul ‘Ulum wal Hikam (11/509)



FAWA-ID HADITS:



1. Tawakkal merupakan realisasi iman bahkan sebagai syarat iman.

2. Tawakkal menyebabkan jiwa menjadi tenang dan hati mejadi lega.

3. Allah SWT memberikan kecukupan kepada orang yang bertawakkal dalam semua urusannya.

4. Tawakkal merupakan sebab terkuat dalam mendapatkan kebaikan-kebaikan dan menolak bahaya.

5. Tawakkal mengundang cinta Allah SWT kepada hamba-Nya.

6. Tawakkal menghasilkan kekuatan hati, keberanian, ketetapan hati, dan (keberanian) menantang musuh-musuh.

7. Tawakkal menghasilkan kesabaran terhadap musibah.

8. Tawakkal menghasilkan kemenangan dan kekuatan.

9. Tawakkal menguatkan tekad dan ketetapan dalam urusan.

10. Tawakkal melindungi diri dari pengaruh syaithan.

11. Tawakkal merupakan sebab yang dapat menolak sihir, hasad (dengki) dan 'ain (mata jahat).

12. Tawakkal menghasilkan rezeki.

13. Menjauhkan dari sifat 'ujub (bangga) dan kibr (sombong).

14. Menghilangkan perbuatan tathayyur (menganggap sial dengan sesuatu) dan menghilangkan penyakit-penyakit hati.

15. Menghasilkan sikap ridha terhadap qadha' (ketetapan) Allah.

16. Merupakan sebab masuk surga tanpa hisab dan adzab



Demikianlah pembahasan ringkas tentang Tawakkal. Mudah-mudahan bermanfaat. Allaahul Musta'aan wa'alaihi tuklaan.



MARAJI':



1. Al-Qur-anul Karim dan terjemahnya.

2. Tafsir Ibnu Katsir

3. Kutubus sittah.

4. At-Ta'liqatul Hisan 'ala Shahih Ibnu Hibban.

5. Hilyatul Auliya’

6. An-Nihayah fii Gharibil Hadits.

7. Mufradat Alfazhil Qur-an.

8. Jami’ul 'Ulum wal Hikam.

9. Madarijus Salikin

10. Fawa-idul Fawa-id.

11. Thariqul Hijratain wa Babus Sa'adatain.

12. Silsilatul Ahaditsish Shahihah.

13. Syarah Riyadush Shalihin

14. at-Tawakkul `alallahi Ta'ala wa 'Alaqatuhu bil Asbab, Dr. Abdullah bin Umar ad-Damiji, cet. ke-2, Daarul Wathan.

15. Dan kitab-kitab lainnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar