Rabu, 30 November 2011
Jagalah Lisanmu
Berikut ada hadits dari Rasulullah SAW yang sangat indah.
Ketika Rasulullah SAW di tanya tentang perbuatan yang menyebabkan masuk surga, Rasulullah SAW menjawab : “Bertaqwa kepada Allah dan akhlaq mulia”. Dan ketika ditanya tentang penyebab masuk neraka, Rasulullah SAW menjawab : “dua lubang, yaitu mulut dan kemaluan” (HR. At Tirmidzy/1927)
Sungguh, ternyata yang dapat menyebabkan kita masuk ke neraka adalah (salah satunya) tidak menjaga kemaluan dan mulut.
Mungkin kita semua “bisa” dan akan sangat berusaha menjaga kemaluan kita, karena jelas-jelas ada ancaman bagi seseorang yang tidak menjaga kemaluannya dengan ancaman hukuman Zina (bila tidak menggunakan “kemaluannya” kepada istrinya saja/yang halal)
Namun yang sering kita lupakan adalah menjaga mulut ini. Begitu banyak kalimat / kata yang tidak bermanfaat, bahkan cenderung untuk menyakiti orang lain. Ada pepatah mengatakan “lidah tidak bertulang” sehingga kita dengan mudahnya mengucapkan kata, tanpa kita pikirkan akibatnya, baik untuk diri kita maupun orang lain.
Demikian hebatnya bahaya lisan hingga Allah dan Rasul-Nya mengingatkan kita agar berhati-hati dalam menggunakannya.
Dua orang yang berteman penuh keakraban bisa dipisahkan dengan lisan. Seorang bapak dan anak yang saling menyayangi dan menghormati pun bisa dipisahkan karena lisan. Suami istri yang saling mencintai dan saling menyayangipun bisa dipisahkan dengan cepat karena lisan. Bahkan darah seorang muslim dan mukmin yang suci serta bertauhid dapat tertumpah karena lisan. Sungguh betapa besar bahaya lisan.
Dalam hadis lain Rasulullah SAW bersabda,
“Orang yang disebut muslim adalah orang yang bisa menjaga tangannya dan lisannya dari menyakiti muslim lain.” (HR Bukhari).
Kita seringkali menganggap remeh perkataan kita. Kita seringkali mengukur amal ibadah kita berkaitan dengan ibadah pribadi yang kita lakukan, baik berupa sholat, puasa, sedekah, bahkan hingga Haji. Namun kita sering lupa untuk memperhitungkan perkataan-perkataan kita yang kadang kala kasar, menyinggung hati orang lain, menyebut-nyebut pemberian, mengungkit-ngungkit masa lalu dsb. Kita lupa bahwa semua amal ibadah kita bisa hilang bahkan menjadi “minus” dikarenakan kita tidak menjaga perkataan kita.
Sungguh amat benarlah perkataan Rasulullah SAW, yang dalam kesempatan yang lain bersabda, “Inginkah kuberitahukan kepadamu penegak dari semua amalan itu?” aku (Muadz) menjawab, “Mau wahai Rasulullah.” Maka beliau memegang lidahnya seraya bersabda, “Tahanlah ini,” aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami betul-betul akan disiksa akibat ucapan kami?” beliau menjawab, “Kasihan kamu wahai Muadz, apakah ada yang menjerambabkan manusia di dalam neraka di atas wajah-wajah mereka kecuali buah dari ucapan lisan-lisan mereka?!” (HR. At-Tirmizi no. 2616 dan dia berkata, “Hadits hasan shahih.”)
Sering kali kita menyebut-nyebut pemberian kita kepada orang lain, agar yang diberi “tau diri” atau “berterima kasih”. Seringkali kita “mencela keburukan/kekurangan” orang lain yang menyebabkan orang tersebut merasa terhina hingga sakit hati. Kita juga seringkali bersenda gurau, dengan merendahkan orang lain, agar mereka menjadi tertawa, sementara orang yang dijadikan objek senda gurau merasa terhina / malu. Bahkan seringkali dalam memarahi orang lain terlalu berlebihan, hingga sampai mencela kekurangan orang tersebut. Apalagi bila kita adalah seorang pemimpin di tempat kerja. Sungguh amat beratlah perkataan kita ini. Bila tidak menjaga lisan kita, salah-salah malah bisa membuat sakit hati 1 perusahaan yang terdiri dari banyak karyawan, disebabkan ucapan lisan yang tidak pada tempatnya / marah berlebihan, yang membuat sakit hati para bawahan kita.
Sungguh bila kita telah melakukan hal-hal diatas, sebaiknya mulai berhati-hati, bahkan mungkin harus segera meminta maaf kepada orang-orang yang kita sakiti secara lisan, hingga mendapat maaf dan ridho dari mereka. Sebab, bila mereka tidak ridho, maka ada baiknya kita harus benar-benar berdoa, dan memikirkan, agar kita tidak termasuk golongan orang yang bangkrut diakhirat dikarenakan ucapan kita.
Sesungguhnya Rosulullah SAW telah mengingatkan akan bahayanya orang Bangkrut. Yaitu orang-orang yang bangkrut di akhirat. Sebab, bila bangkrut di dunia, masih bisa berusaha, karena diberikan seluruh panca indera untuk melakukan usaha, serta masih ada waktu yang diberikan oleh Allah SWT untuk melakukan perbaikan, namun bila bangkrut di Akhirat, maka Nerakalah tempatnya.
Berikut hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya : Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut ( pailit ) itu ? Maka mereka ( para sahabat ) menjawab : orang yang pailit di antara kita adalah orang yang tidak mempunyai uang dan harta. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menerangkan : orang yang pailit dari ummatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) shalat, puasa dan zakatnya, namun dia datang dan (dahulu di dunianya) dia telah mencela si ini, menuduh (berzina) si itu, memakan harta si ini, menumpahkan darah si itu dan telah memukul orang lain ( dengan tidak hak ), maka si ini diberikan kepadanya kebaikan orang yang membawa banyak pahala ini, dan si itu diberikan sedemikian juga, maka apabila kebaikannya sudah habis sebelum dia melunasi segala dosanya ( kepada orang lain ), maka kesalahan orang yang didzalimi di dunia itu dibebankan kepadanya, kemudian dia dilemparkan ke api neraka. (HR. Muslim.)
Sahabat,
Oleh karenanya, mulai saat ini, berlemah lembutlah dalam bertutur kata. Janganlah berbuat zhalim dengan menyakiti orang lain, baik denga lisan, maupun dengan perbuatan. Bila berbuat dosa kepada Allah, syarat untuk diterima tobatnya adalah dengan Meminta Ampun kepada Allah, dan berjanji untuk tidak melakukannya lagi. Namun bila berbuat dosa kepada manusia, maka syaratnya selain meminta ampun kepada Allah, juga harus meminta maaf dan mendapat ridho dari orang yang kita zhalimi (kita sakiti dengan lisan/ perbuatan). Sesuai dengan hadits Rosulullah, “Barangsiapa disisi ada perbuatan dzalim terhadap saudaranya, maka hendaklah ia meminta dihalalkan ( dimaafkan ) sekarang sebelum datang hari yang tidak berlaku pada saat itu emas atau perak.sebelum diambil darinya kebaikannya untuk membayar kedzalimannya terhadap saudaranya, dan jika dia tidak mempunyai kebaikan, maka dibebankan kepadanya keburukan saudaranya itu kepadanya”.(HR.Bukhari)
Boleh jadi amal ibadah kita banyak sekali…namun, boleh jadi pula kesalahan kita terhadap orang lain sangat banyak sekali. Mungkin kita sudah puluhan kali melakukan Umrah. Mungkin kita selalu melakukan puasa Senin-Kamis dengan tidak pernah putus. Mungkin kita selalu bersedekah dengan jumlah yang sangat banyak. Dan mungkin kita masih memiliki amalan-amalan sunnah lainnya yang tidak terhitung. Tapi apalah artinya bila semua amalah tersebut nantinya akan diambil dan diberikan kepada orang lain, bila memang kita tidak memiliki perangai dan ahlak yang bagus, tutur kata yang lemah lembut, selalu mengumbar perkataan yang menyakitkan hati saudaranya, dst.
Maka, mulai saat ini, marilah kita lebih menjaga dua lubang seperti yang disabdakan oleh kekasih kita Rosulullah SAW, yaitu lubang kemaluan dan lubang mulut, agar kelak bisa terhindar dari Panasnya Api Neraka.
Cukuplah hadits dibawah ini sebagai penutup, semoga kita semua bisa terhindar dari azab Allah SWT.
“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan suatu kata yang ia tidak memerhatikannya, tidak memikirkan kejelekannya dan tidak khawatir akan akibat/dampaknya, ternyata karenanya ia dilemparkan ke dalam neraka lebih jauh dari apa-apa yang ada di antara masyriq/timur.” (HR. Al-Bukhari no. 6477 dan Muslim no. 7406, 7407)
Ya Allah, lindungilah kami dari Azab neraka, dan perbaikiliah akhlak kami…Amin…
Wallahua’lam bishowab.
Rabu, 23 November 2011
Tawakal Kepada Allah
Disusun oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Dari Umar bin al-Khatthab RA, dari Nabi, beliau SAW bersabda, "Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah SWT dengan sungguh-sungguh tawakkal kepada-Nya, sungguh kalian akan diberikan rezeki oleh Allah SWT sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung. Pagi hari burung tersebut keluar dalam keadaan lapar dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang. (HR Ahmad, HR Tirmidzi, HR An-Nasa-I, HR Ibnu Majah, dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim)
Hadits ini adalah landasan tawakkal yang merupakan faktor terbesar yang mendatangkan rizki.
Allah SWT. Berfirman:
"...Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya..." (QS. ath-Thalaaq/65:2-3)
Nabi SAW membacakan ayat di atas kepada Abu Dzar RA; dan bersabda kepadanya, "Seandainya seluruh manusia mengambil ayat ini, maka ayat ini cukup bagi mereka." (Tafsiir Ibnu Katsiir (V1II/146)).
Maksudnya, seandainya manusia merealisasikan takwa dan tawakkal, mereka akan mencukupkan dengan keduanya dalam urusan agama dan dunia mereka. Masalah ini telah dibahas pada syarah hadits ibnu Abbas RA, "Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu."
Salah seorang dari generasi salaf berkata, "Sesuai dengan kadar tawakkalmu kepada Allah , Dia mengetahui kebaikan tawakkalmu kepada-Nya dari hatimu. Betapa banyak hamba yang menyerahkan urusannya kepada Allah kemudian Allah mencukupi apa yang diinginkan hamba tersebut."
Makna Tawakkal
Secara bahasa, Tawakkal artinya mewakilkan, yaitu menampakkan kelemahan dan bersandar atau bergantung kepada orang lain.
Ar-Raghib al-Ashfahani rahimahullah (wafat th. 425 H) berkata, "(kata) Tawakkal itu (bisa) dikatakan dari dua sisi. (Jika) dikatakan: Tawakkaltu li fulan (Aku menjadi wakilnya si fulan), maka maksudnya adalah dia menjadi wakil si Fulan. Dan (jika) dikatakan juga : Wakkaltuhu fatawakkala lii, wa tawakkaltu 'alaihi (aku menjadikan dia sebagai wakil, kemudian dia menjadi wakilku, dan aku bertawakkal kepadanya), maka maksudnya adalah aku bersandar atau bergantung kepadanya." (Al-Mufradat alfazhil Qur-an (him 882).
Ibnul Atsir rahimahullah (wafat th. 606 H) berkata,
"Tawakkal terhadap suatu perkara adalah bila bergantung dan bersandar padanya. (Ungkapan) Aku wakilkan urusanku kepada seseorang, artinyanya aku bersandar dan bergantung padanya." (An-Nihayah 11 Gharibil Hadits (V/221))
Secara istilah, Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah (wafat th. 795 H) berkata,:
"Tawakkal ialah-penyandaran hati dengan jujur kepada Allah SWT dalam upaya memperoleh kebaikan-kebaikan dan menolak bahaya-bahaya dalam seluruh urusan dunia dan akhirat." (Jami’ul Uluum wal Hikam (2/497))
Sa'id bin Jubair rahimahullah berkata, "Tawakkal kepada Allah SWT ialah pokok iman." (Hilyatul Auliya' (IV/304, no. 5638)).
Pengertian yang paling dekat yang dikumpulkan dari pengertian-pengertian di atas yakni Tawakkal ialah keadaan hati yang tumbuh dalam mengenal Allah SWT, beriman kepada keesaan-Nya dalam menciptakan, mengatur, mendatangkan manfaat, menolak bahaya, memberi dan menahan, apa yang Dia kehendaki pasti terjadi, dan apa saja yang tidak Dia kehendaki maka tidak akan terjadi. Oleh karena itu, wajib bersandar dan berserah diri kepada-Nya, percaya kepada-Nya, yakin bahwa Allah SWT akan mencukupinya." (At-Tawakkul 'Alallah (hlm. 22))
Hakikat Tawakkal
1. Mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya seperti sifat maha kuasa-Nya, maha kaya-Nya, dan sifat terus-menerus mengurus makhluk-Nya, sifat maha tahu-Nya terhadap segala sesuatu dan mengetahui bahwa semua perkara itu bersumber dari kehendak-Nya. Pengetahuan tentang masalah-masalah ini merupakan langkah awal yang hendak manapaki jalan tawakkal. (Madarijus Salikin (11/123))
Orang-orang yang tidak mengimani hal-hal diatas, seperti orang yang mengatakan bahwa Allah SWT itu tidak memiliki sifat, maka mereka tidak akan bisa bertawakkal kepada Allah SWT.
2. Mengakui dan menetapkan adanya sebab, menjaganya dan melakukan sebab-sebab tersebut.
3. Hati sangat tergantung kepada Allah SWT, bersandar kepada-Nya, merasa tenang dengan-Nya dan percaya dengan pengaturan-Nya. Sebagian orang yang berilmu berkata, "Orang yang bertawakkal itu seperti anak kecil yang tidak mengetahui apa-apa yang dapat melindunginya selain ibunya, maka begitu juga orang yang bertawakkal, dia tidak mengetahui sesuatu yang dapat melindunginya selain Rabb-nya." (Madarijus Salikin (11/126))
4. Tawakal adalah kemantapan di atas tauhid, bahkan hakikat tawakal adalah sepenuhnya mentauhidkan Allah SWT dengan hati. Apabila di dalam hati masih ada noda kesyirikan maka tawakkalnya masih cacat. Dan bila seseorang sudah memurnikan tauhidnya maka tawakkalnya menjadi benar." (Madarijus Salikin (11/125))
5. Ridha. Ibnul Qayyim rahimahullah, berkata, "Ridha adalah buah tawakkal; Barangsiapa yang menafsirkan tawakkal dengan ridha, maka dia telah menafsirkan tawakkal dengan buahnya yang paling mulia dan faedahnya yang paling agung. Karena sesungguhnya jika seseorang bertawakkal dengan sebenar-benarnya maka dia akan ridha dengan apa yang diperbuat oleh Allah SWT." (Madarijus Salikin (11/127))
6. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Rahasia tawakkal dan hakekatnya adalah kepasrahan dan ketergantungan hati kepada Allah semata. Tidaklah tercela mengambil sebab (melakukan usaha-red) dengan tetap menjaga hati (agar bebas-red) dari ketergantungan kepada sebab tersebut. Adalah merupakan sebuah kesia-siaan, orang yang mengatakan, "Saya bertawakkal kepada Allah" tetapi ia bersandar, bergantung dan memiliki keyakinan kepada selain-Nya. Jadi, tawakkal lisan berbeda dengan tawakal hati. Oleh karena itu, tidak ada manfaatnya sedikitpun, ucapan seseorang yang mengatakan, "Saya bertawakkal kepada Allah" tetapi ia masih bersandar dan bergantung kepada selain Allah SWT. Sebagaimana orang yang berkata, "Saya bertaubat kepada Allah sedangkan ia terus berkubang dengan maksiat." (Fawa-idul Fawa-id (hlm. 88-89))
Ketahuilah, bahwa realisasi tawakkal tidak bertentangan dengan sebab-sebab yang telah ditakdirkan Allah SWT dan merupakan ketentuan-Nya dalam makhluk, karena Allah SWT memerintahkan makhluk-Nya untuk mengarnbil sebab-sebab (melakukan usaha-red) sekaligus memerintahkan mereka agar bertawakkal.
Jadi, upaya mencari sebab-sebab dengan anggota badan adalah bentuk ketaatan kepada-Nya, sedangkan tawakkal dengan hati ialah iman kepada-Nya, seperti dalam firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama” (QS. An-Nisaa 4:71)
Allah SWT juga berfirman yang artinya: .
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu bisa dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang tidak kamu ketahui, sedang Allah SWT mengetahuinya. (QS. al-Anfaal 8:60)
Allah SWT juga berfirman :
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung. (QS. al-Jumu'ah 62:10)
Sahl at-Tusturi rahimahullah berkata, "Barangsiapa mencela tawakkal, sungguh ia telah mencela iman. Barangsiapa mencela usaha dan kerja, sungguh ia telah mencela sunnah." (Hilyatul Auliya' (X/204, no. 14939))
Urgensi Tawakkal
Firman Allah SWT : “Hanya Engkaulah yang kami ibadahi, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. (QS. al-Fatihah 1:5)
Ayat ini sarat akan makna tawakkal. Tawakkal memiliki urgensitas dan kedudukan yang sangat luas dan universal, mengingat kompleksnya hal-hal yang berkait dengan tawakkal dan sangat banyaknya kebutuhan makhluk; juga karena keumuman tawakkal itu sendiri serta bisa dilakukan oleh kaum Mukminin, kafir, orang yang baik, jahat, bahkan hewan sekalipun. Seluruh penghuni langit dan bumi berada dalam tingkatan tawakkal tertentu, namun obyek yang mereka tawakkal itu berbeda-beda. Para wall Allah SWT dan orang-orang yang memiliki kedudukan istimewa di sisi Allah SWT , mereka bertawakkal kepada Allah SWT dalam masalah keimanan, usaha menolong agama-Nya, menegakkan kalimat-Nya, dan berjihad melawan musuh-musuh-Nya serta dalam kecintaan mereka kepada Allah SWT dan dalam melaksanakan segala perintah-Nya. (Madarijus Salikin (II/118))
Maka jelaslah bahwa tawakkal merupakan asas dari seluruh keimanan dan kebaikan. Asas dari seluruh amalan Islam. Urgensinya ibarat sebuah jasad dengan kepalanya. Sebagaimana kepala tidak akan tegak kecuali dengan badan, demikian pula keimanan, kedudukan dan amalannya tidak akan tegak kecuali dengan tawakkal. (Thariq Hijratain Wa Babus Sa'adatain, (hlm. 253) karya Imam Ibnul Qayyim) Wallaahu a'lam
TAWAKAL MEMPUNYAI HUBUNGAN ERAT DENGAN IMAN BAHKAN SEBAGAI SYARAT IMAN
Allah SWT berfirman :
"...Dan hanya kepada Allah hendaknya kamil bertawakkal, jika kamu 'benar-benar orang yang beriman." (QS. al-Maidah/5:23)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Dalam ayat ini Allah SWT menjadikan tawakkal kepada Allah SWT sebagai syarat keimanan. Maka indikasi lenyápnya keimanan adalah hilangnya tawakkal". Lanjutnya lagi, "Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman :
Berkata Musa, "Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri". (QS. Yunus 10:84)
Dalam ayat ini Allah SWT menegaskan benarnya Islam seorang hamba dengan sebab adanya tawakkal. Maka semakin kuat tawakal seorang hamba, semakin kuat pula imannya. Demikian juga sebaliknya apabila lemah imannya, lemah pula tawakkalnya. Apabila tawakalnya lemah, sudah pasti keimanannya lemah. (Thariq Hijratain Wa Babus Sa'adatain, (hlm. 251) karya Imam Ibnul Qayyim)
Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahalah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabblah mereka bertawakkal". (QS. al-Anfal 8:2)
MENGAMBIL SEBAB TIDAK MENAFIKAN TAWAKKAL
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Umat int telah bersepakat bahwa tawakkal tidak menafikan usaha untuk melakukan sebab (ikhtiar). (Bahkan), tawakkal seseorang tidak sah kecuali dengan mengambil atau melakukan faktor penyebab. Jika tidak demikian, maka tawakkalnya rusak dan sia-sia." (Madarijus Salikin (2/121))
Tawakal tidak menafikan usaha melakukan sebab (ikhtiar). Sungguh Allah SWT telah memerintahkan para hamba-Nya untuk mengambil sebab dengan tetap tawakal kepada-Nya. Jadi, berusaha mengambil sebab dengan anggota badan merupakan ketaatan kepada Allah SWT dan tawakal dengan hati merupakan keimanan kepada-Nya.
Allah SWT berfirman :
Wahai orang-orang yang beriman, bersiap-siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama! (QS. an-Nisaa 4:71)
Imam lbnu Katsir rahimahullah, mengatakan, “Allah memerintahkan para hamba-Nya yang beriman untuk tetap waspada terhadap musuh. Ini berarti tuntutan untuk menakut-nakuti mereka dengan mempersiapkan senjata dan memperbanyak personil pasukan untuk terjun ke medan pertempuran." (Tafsiir Al-Qur-aan (2/357))
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Jadi tawakal merupakan sebab yang paling besar untuk meraih apa yang diinginkan dan menolak segala yang dibenci. Barangsiapa yang mengingkari sebab, maka tawakkalnya tidak akan pernah baik. Namun diantara (syarat-red) kesempurnaan tawakkal adalah tidak bersandar kepada sebab tersebut dan Menghilangkan ketergantungan hati kepadanya. Hatinya bergantung kepada Allah bukan kepada sebab, sedangkan badannya berusaha dengan mengambil sebab." (Madarijus Salikin (2/125))
Demikian pula Rasulullah SAW mengajarkan untuk melakukan sebab. Dalam sebuah riwayat ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah SAW, "Wahai Rasulullah, apakah saya ikat onta saya lalu tawakal kepada Allah SWT ataukah saya lepas saja sambil bertawakal kepada-Nya ? Rastalullah menjawab, “Ikatlah dulu untamu itu kemudian baru engkau bertawakkal! (Hasan: HR. At-Tirmidzi (no. 2517). Dihasankan oleh Syaikh Albani dalam Takhrij Musykilatil Faqr, nb.22) (Tentang mengambil sebab, para Ulama rahimahumullah berkata, "Sebab-sebab yang dinashkan tidak boleh diingkari, tidak diyakini sernata-mata. Mengingkarinya adalah kejahilan, bersandar semata-mata pada sebab adalah kesyirikan. Karena yang memberi manfaat mudharat, mencegah, dan mengabulkan hanya Allah semata.")
Ketahuilah wahai saudaraku, amal perbuatan yang dikerjakan hamba terbagi ke dalam tiga bagian:
1. Ketaatan yang Allah SWT perintahkan kepada para hamba-Nya. Allah menjadikan ketaatan sebagai sebab atau faktor agar selamat dari neraka dan masuk surga. Maka hal yang seperti ini harus dilakukan oleh seorang hamba; dengan tetap tawakkal dan meminta pertolongan kepada-Nya, karena tidak ada daya dan upaya kecuali dengan bantuan-Nya.
2. Berupa perkara duniawi. Dalam masalah ini, Allah SWT tetap memerintahkan hamba-Nya untuk mengambil sebab, seperti makan ketika lapar, minum ketika haus, berteduh ketika panas, menghangatkan diri dari hawa dingin, dan lainnya. Beliau bersabda kepada mereka :
“Aku tidak seperti kalian, aku diberi makan dan minum” (HR. al-Bukhari (no. 1922) dan Muslim (no. 1102), dan Abu Dawud (no. 2360), dari Ibnu 'Umar.).
Dalam riwayat lain :
“Aku senantiasa berada di sisi Rabb-ku yang memberiku makan dan minum” (HR. al-Bukhari (no. 1964, 1966) dan Muslim (no. 1105 dan 1103))
Maksudnya bahwa Allah SWT menguatkan Nabi SAW dan memberi beliau makan dengan hal-hal yang masuk ke hati beliau, yang membuat beliau SAW tidak butuh makan dan minum dalam waktu tertentu.
Ada dari generasi salaf yang mempunyai kekuatan meninggalkan makanan dan minuman yang tidak dimiliki orang lain dan mereka tidak mendapatkan mudharat (bahaya) dengannya.
Dalam hadits yang panjang tentang. keislaman Abu Dzarr RA, beliau SAW bersabda :
Aku tidak mempunyai makanan kecuali air zam-zam, maka aku menjadi gemuk sampai perutku sedikit gendut, dan aku tidak mendapati pada hatiku kelemahan karena lapar (HR. Muslim (no. 2473 (132)).
3. Berupa perkara dunia yang bersifat umum seperti berobat ketika sakit. Dalam masalah ini Ulama berselisih pendapat, apakah bagi orang yang tertimpa sakit lebih utama berobat atau tidak berobat jika si sakit ingin merelisasikan tawakkkal kepada Allah SWT.
Pendapat Imam. Ahmad rahimahullah bahwa tawakkal bagi orang, yang sanggup melakukannya adalah lebih baik karena diriwayatkan dengan shahih dari Nabi SAW, beliau bersabda : Tujuh puluh ribu orang dari ummatku akan masuk surga tanpa hisab. Mereka (Para sahabat) berkata, 'Siapa mereka wahai Rasulullah? Rasulullah bersabda, "Mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak bertathayyur (merasa sial dengan sesuatu), tidak melakukan kayy (berobat dengan besi panas), dan mereka bertawakkal kepada Rabb mereka. (HR. Muslim (no. 218 (327)), dari 'Imran bin Hushain RA)
Sedangkan Ulama yang berpendapat bahwa berobat lebih baik, berpendapat, bahwa berobat adalah perilaku yang selalu dikerjakan Nabi SAW dan beliau SAW tidak melakukan sesuatu kecuali yang paling baik. Ulama tersebut menafsirkan permintaan ruqyah di sini dimakruhkan yang dikhawatirkan mengandung syirik.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Dalam hadits-hadits yang shahih diperintahkan untuk berobat, dan hal ini tidak menafikan tawakkal, sebagaimana juga kita menolak penyakit lapar dengan makan, rasa haus (kita lawan) dengan minum, (udara) panas dengan berteduh dan (cuaca) dingin dengan memakai baju hangat. Bahkan tidak sempurna hakikat tauhid kecuali dengan melaksanakan sebab (syar'i) yang telah ditetapkan Allah SWT, baik secara Qadar maupun syar'i. Dan meniadakan sebab berarti mencela tawakkal, sebagaimana mencela perintah dan hikmah... " (Zaadul Ma'aad Fii Hadyi Khayril ‘ibad (IV/15))
Begitu pula tentang rezeki, seandainya kaum Muslimin merealisasikan tawakkal kepada Allah dengan hati mereka, Allah SWT pasti akan memberikan rezeki kepada mereka dengan sebab usaha yang paling rendah (ringan) sekalipun, sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung-burung yang hanya dengan sekedar pergi di pagi hari dan kembali pada petang hari yang merupakan bagian dari kerja namun kerja ringan.
Nabi SAW bersabda :
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Allah dan berusahalah dgan cara yg baik! Sesungguhnya satu jiwa itu tidak akan mati hingga rezekinya diberikan secara sempurna, walaupun lambat. Oleh karena itu bertakwalah kalian kepada Allah SWT dan berusahalah dengan cara yang baik ! Ambillah yang halal dan tinggalkan yang haram." (HR. Ibnu Majah (no. 2144), al-Hakim (II/4), dan al-Baihaqi (V/264-265). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani, dalam Silsilatul Ahaditsissh Shahahah pada pembahasan hadits no 2607)
Diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas RA bahwa beliau SAW mengatakan, "Orang-orang Yaman berangkat haji tanpa perbekalan. Mereka berkata, 'Kami orang-orang yang bertawakkal' Mereka pun berangkat haji dan tiba di Mekah kemudian mengernis kepada manusia. Karena itu, Allah menurunkan ayat ini :
"...Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku Wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat!" (QS. al-Baqarah 2:197) HR..A1-Bukhari (no. 1523) dan Abu Dawud (no. 1730)
Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid, Ikrimah, an-Nakhal, dan generasi salaf lainnya. Jadi, tidak ada alasan yang melegalkan seseorang untuk meninggalkan sebab-sebab secara totalitas bagi orang yang hatinya tidak bergantung kepada manusia secara total.
Nabi SAW Abu Bakar RA Umar bin Khatthab RA juga berusaha maksimal dan mereka juga mencari nafkah, dan tidak ada satupun dari mereka yang berkata, "Kami hanya duduk dan berpangku tangan hingga Allah SWT memberi kami rezeki." Allah SWT berfirman :
“Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung." (QS. al-Jumu'ah 62:10)
Setiap orang wajib mencari nafkah, dengan mengerjakan sebab-sebab ' agar Allah SWT memberikan rezeki. Dan tidak boleh sekali-kali ia menelantarkan orang yang berada dalam tanggungannya. Nabi SAW bersabda :
“Cukuplah seseorang itu berdosa jika ia menelantarkan orang yang ia beri makan” (HR. Abu Dawud (no. 1692)'dan Ibnu Hibban (no. 4240), dari Abdullah bin Amr RA. Diriwayatkan juga oleh Muslim (no. 996) dan Ibnu Hibban (no. 4241) dengan teks, "Seseorang cukuplah berdosa jika ia menahan dari orang yang memiliki makanannya."
Tidak boleh seorang Muslim meminta-minta, mengemis atau menjadi beban bagi orang lain. Dia wajib mencari nafkah.
Orang yang bertawakkal kepada Allah SWT dengan benar ialah orang yang mengetahui bahwa Allah SWT telah menjamin rezeki dan kecukupan untuk hamba-Nya kemudian ia mengimani jaminan Allah tersebut dengan hatinya, dan merealisasikan dengan sikap bergantung kepada-Nya karena Allah telah menjamin rezekinya tanpa menempatkan tawakkal seperti sebab-sebab untuk mendatangkan rezeki, karena rezeki itu dibagi-bagikan kepada semua orang; orang baik maupun jahat, Mukmin maupun kafir, seperti dalam firman Allah :
Dan tidak ada satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuuzh)." (QS. Hud/11:6)
Sudah menjadi Sunnatullah terhadap semua makhluk, bahwa segala rezeki yang terkandung di dalam bumi, bahan-bahan makanan yang telah disiapkan, serta sumber-sumber kekayaan yang menyenangkan; Semua itu tidak akan dapat dicapai, melainkan harus dengan kerja keras dan usaha sungguh-sungguh. Karena itu, Allah SWT akan rnemberi rezeki kepada hamba-Nya yang mau berusaha di atas permukaan bumi ini. Allah SWT berfirman
"...Maka jelajahilah di seluruh penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya..." (QS. al-Mulk/67:15)
Barangsiapa mau berusaha di atas permukaan bumi, niscaya ia akan mendapat rezeki. Allah SWT berfirman :
“Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah” (QS. Al-Jumu'ah 62:10)
Barangsiapa berjalan di muka bumi ini sambil mengharap karunia dan rezeki Allah SWT niscaya ia termasuk orang-orang yang berhak menerimanya. Sebaliknya, barangsiapa berpangku tangan dan bermalas-malasan, maka ia termasuk orang-orang yang tidak berhak menerima karunia Allah.
Semua amalan duniawi yang dikerjakan dengan penuh ketekunan dan disertai niat yang benar serta tidak menyimpang dari hukum-hukum Islam, merupakan ibadah. Jerih payah seseorang dalam mempertahankan hidup, demi kehormatan diri dan keluarganya, atau demi berbuat baik terhadap kerabat dan tetangganya, atau demi membantu usaha-usaha dakwah dan sosial dan menegakkan kebenaran, itu termasuk dalam kategori jihad fii sabilillah (berjuang di jalan Allah). Karena itu, Allah mensejajarkan dua perkara itu dalam firman-Nya :
"...Dan yang lain berjalan di muka bumi mencari karunia Allah; dan yang lain berperang di jalan Allah..." (QS. Al-Muzzammil 73:20)
Dalam menggalakkan usaha pertanian dan perkebunan, Nabi SAW bersabda :
“Tidak seorang Muslim pun yang menaburkan benih atau menanam tanaman, lalu seekor burung, atau seseorang, atau seekor binatang makan sebagian darinya, kecuali akan dinilai sebagai sedekah baginya” (Shahih: HR. al-Bukhari (no. 2320, 6012) dari Anas RA)
Dalam menggalakkan usaha pertukangan dan kerajinan tangan, Nabi SAW bersabda :
“Tidaklah seseorang mengkonsumsi makanan yang lebih baik daripada apa yang dihasilkan dari karya tangannya sendiri. Dan adalah Nabi Dawud makan dari hasil usaha kerjanya” (Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 2072) dari Miqdam)
Walaupun banyak sekali hewan lemah tidak dapat mencari rezeki, namun Allah SWT berfirman:
Dan berapa banyak rnakhluk bergerak yang bernyawa yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu. Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui." (QS. al-‘Ankabut 29:60)
Jadi, selama seorang hamba masih hidup, maka rezekinya ada pada Allah SWT dan terkadang Allah SWT memberikan rizkinya kepadanya melalui usaha atau tanpa usaha. Karenanya, barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah untuk mencari rezeki, maka ia menjadikan tawakkal sebagai sebab dan usaha. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah SWT karena keyakinannya akan penjaminan-Nya, sungguh ia bertawakkal kepada Allah dengan yakin dan membenarkan-Nya.
Pelajaran penting yang wajib diperhatikan dalam memahami tawakal adalah
1. Menyandarkan hati sepenuhnya kepada Allah,
2. Melakukan usaha (sebab)
3. Ridha dengan apa yang Allah sudah takdirkan.
Ketahuilah bahwa buah tawakkal ialah ridha dengan qadha (takdir). Barangsiapa menyerahkan semua urusannya kepada Allah SWT, ridha dengan apa saja yang diputuskan baginya, dan memilihnya, sungguh ia telah merealisasikan tawakkal kepada Allah dengan arti ridha.
Jadi, jika orang bertawakkal kepada Allah SWT, jika ia bersabar atas cobaan penyakit, rezeki dan selainnya yang telah ditakdirkan Allah SWT baginya, maka ia adalah orang yang sabar. Jika ia ridha kepada apa saja yang ditakdirkan baginya setelah terjadi, maka ia orang yang ridha. Seperti yang dikatakan Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, "Pada pagi hari, aku tidak mempunyai kebahagiaari kecuali (ridha) pada qadha dan qadar." (Jami'ul ‘Ulum wal Hikam (11/509)
FAWA-ID HADITS:
1. Tawakkal merupakan realisasi iman bahkan sebagai syarat iman.
2. Tawakkal menyebabkan jiwa menjadi tenang dan hati mejadi lega.
3. Allah SWT memberikan kecukupan kepada orang yang bertawakkal dalam semua urusannya.
4. Tawakkal merupakan sebab terkuat dalam mendapatkan kebaikan-kebaikan dan menolak bahaya.
5. Tawakkal mengundang cinta Allah SWT kepada hamba-Nya.
6. Tawakkal menghasilkan kekuatan hati, keberanian, ketetapan hati, dan (keberanian) menantang musuh-musuh.
7. Tawakkal menghasilkan kesabaran terhadap musibah.
8. Tawakkal menghasilkan kemenangan dan kekuatan.
9. Tawakkal menguatkan tekad dan ketetapan dalam urusan.
10. Tawakkal melindungi diri dari pengaruh syaithan.
11. Tawakkal merupakan sebab yang dapat menolak sihir, hasad (dengki) dan 'ain (mata jahat).
12. Tawakkal menghasilkan rezeki.
13. Menjauhkan dari sifat 'ujub (bangga) dan kibr (sombong).
14. Menghilangkan perbuatan tathayyur (menganggap sial dengan sesuatu) dan menghilangkan penyakit-penyakit hati.
15. Menghasilkan sikap ridha terhadap qadha' (ketetapan) Allah.
16. Merupakan sebab masuk surga tanpa hisab dan adzab
Demikianlah pembahasan ringkas tentang Tawakkal. Mudah-mudahan bermanfaat. Allaahul Musta'aan wa'alaihi tuklaan.
MARAJI':
1. Al-Qur-anul Karim dan terjemahnya.
2. Tafsir Ibnu Katsir
3. Kutubus sittah.
4. At-Ta'liqatul Hisan 'ala Shahih Ibnu Hibban.
5. Hilyatul Auliya’
6. An-Nihayah fii Gharibil Hadits.
7. Mufradat Alfazhil Qur-an.
8. Jami’ul 'Ulum wal Hikam.
9. Madarijus Salikin
10. Fawa-idul Fawa-id.
11. Thariqul Hijratain wa Babus Sa'adatain.
12. Silsilatul Ahaditsish Shahihah.
13. Syarah Riyadush Shalihin
14. at-Tawakkul `alallahi Ta'ala wa 'Alaqatuhu bil Asbab, Dr. Abdullah bin Umar ad-Damiji, cet. ke-2, Daarul Wathan.
15. Dan kitab-kitab lainnya
Dari Umar bin al-Khatthab RA, dari Nabi, beliau SAW bersabda, "Seandainya kalian bertawakkal kepada Allah SWT dengan sungguh-sungguh tawakkal kepada-Nya, sungguh kalian akan diberikan rezeki oleh Allah SWT sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung. Pagi hari burung tersebut keluar dalam keadaan lapar dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang. (HR Ahmad, HR Tirmidzi, HR An-Nasa-I, HR Ibnu Majah, dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al Hakim)
Hadits ini adalah landasan tawakkal yang merupakan faktor terbesar yang mendatangkan rizki.
Allah SWT. Berfirman:
"...Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya..." (QS. ath-Thalaaq/65:2-3)
Nabi SAW membacakan ayat di atas kepada Abu Dzar RA; dan bersabda kepadanya, "Seandainya seluruh manusia mengambil ayat ini, maka ayat ini cukup bagi mereka." (Tafsiir Ibnu Katsiir (V1II/146)).
Maksudnya, seandainya manusia merealisasikan takwa dan tawakkal, mereka akan mencukupkan dengan keduanya dalam urusan agama dan dunia mereka. Masalah ini telah dibahas pada syarah hadits ibnu Abbas RA, "Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu."
Salah seorang dari generasi salaf berkata, "Sesuai dengan kadar tawakkalmu kepada Allah , Dia mengetahui kebaikan tawakkalmu kepada-Nya dari hatimu. Betapa banyak hamba yang menyerahkan urusannya kepada Allah kemudian Allah mencukupi apa yang diinginkan hamba tersebut."
Makna Tawakkal
Secara bahasa, Tawakkal artinya mewakilkan, yaitu menampakkan kelemahan dan bersandar atau bergantung kepada orang lain.
Ar-Raghib al-Ashfahani rahimahullah (wafat th. 425 H) berkata, "(kata) Tawakkal itu (bisa) dikatakan dari dua sisi. (Jika) dikatakan: Tawakkaltu li fulan (Aku menjadi wakilnya si fulan), maka maksudnya adalah dia menjadi wakil si Fulan. Dan (jika) dikatakan juga : Wakkaltuhu fatawakkala lii, wa tawakkaltu 'alaihi (aku menjadikan dia sebagai wakil, kemudian dia menjadi wakilku, dan aku bertawakkal kepadanya), maka maksudnya adalah aku bersandar atau bergantung kepadanya." (Al-Mufradat alfazhil Qur-an (him 882).
Ibnul Atsir rahimahullah (wafat th. 606 H) berkata,
"Tawakkal terhadap suatu perkara adalah bila bergantung dan bersandar padanya. (Ungkapan) Aku wakilkan urusanku kepada seseorang, artinyanya aku bersandar dan bergantung padanya." (An-Nihayah 11 Gharibil Hadits (V/221))
Secara istilah, Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah (wafat th. 795 H) berkata,:
"Tawakkal ialah-penyandaran hati dengan jujur kepada Allah SWT dalam upaya memperoleh kebaikan-kebaikan dan menolak bahaya-bahaya dalam seluruh urusan dunia dan akhirat." (Jami’ul Uluum wal Hikam (2/497))
Sa'id bin Jubair rahimahullah berkata, "Tawakkal kepada Allah SWT ialah pokok iman." (Hilyatul Auliya' (IV/304, no. 5638)).
Pengertian yang paling dekat yang dikumpulkan dari pengertian-pengertian di atas yakni Tawakkal ialah keadaan hati yang tumbuh dalam mengenal Allah SWT, beriman kepada keesaan-Nya dalam menciptakan, mengatur, mendatangkan manfaat, menolak bahaya, memberi dan menahan, apa yang Dia kehendaki pasti terjadi, dan apa saja yang tidak Dia kehendaki maka tidak akan terjadi. Oleh karena itu, wajib bersandar dan berserah diri kepada-Nya, percaya kepada-Nya, yakin bahwa Allah SWT akan mencukupinya." (At-Tawakkul 'Alallah (hlm. 22))
Hakikat Tawakkal
1. Mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya seperti sifat maha kuasa-Nya, maha kaya-Nya, dan sifat terus-menerus mengurus makhluk-Nya, sifat maha tahu-Nya terhadap segala sesuatu dan mengetahui bahwa semua perkara itu bersumber dari kehendak-Nya. Pengetahuan tentang masalah-masalah ini merupakan langkah awal yang hendak manapaki jalan tawakkal. (Madarijus Salikin (11/123))
Orang-orang yang tidak mengimani hal-hal diatas, seperti orang yang mengatakan bahwa Allah SWT itu tidak memiliki sifat, maka mereka tidak akan bisa bertawakkal kepada Allah SWT.
2. Mengakui dan menetapkan adanya sebab, menjaganya dan melakukan sebab-sebab tersebut.
3. Hati sangat tergantung kepada Allah SWT, bersandar kepada-Nya, merasa tenang dengan-Nya dan percaya dengan pengaturan-Nya. Sebagian orang yang berilmu berkata, "Orang yang bertawakkal itu seperti anak kecil yang tidak mengetahui apa-apa yang dapat melindunginya selain ibunya, maka begitu juga orang yang bertawakkal, dia tidak mengetahui sesuatu yang dapat melindunginya selain Rabb-nya." (Madarijus Salikin (11/126))
4. Tawakal adalah kemantapan di atas tauhid, bahkan hakikat tawakal adalah sepenuhnya mentauhidkan Allah SWT dengan hati. Apabila di dalam hati masih ada noda kesyirikan maka tawakkalnya masih cacat. Dan bila seseorang sudah memurnikan tauhidnya maka tawakkalnya menjadi benar." (Madarijus Salikin (11/125))
5. Ridha. Ibnul Qayyim rahimahullah, berkata, "Ridha adalah buah tawakkal; Barangsiapa yang menafsirkan tawakkal dengan ridha, maka dia telah menafsirkan tawakkal dengan buahnya yang paling mulia dan faedahnya yang paling agung. Karena sesungguhnya jika seseorang bertawakkal dengan sebenar-benarnya maka dia akan ridha dengan apa yang diperbuat oleh Allah SWT." (Madarijus Salikin (11/127))
6. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Rahasia tawakkal dan hakekatnya adalah kepasrahan dan ketergantungan hati kepada Allah semata. Tidaklah tercela mengambil sebab (melakukan usaha-red) dengan tetap menjaga hati (agar bebas-red) dari ketergantungan kepada sebab tersebut. Adalah merupakan sebuah kesia-siaan, orang yang mengatakan, "Saya bertawakkal kepada Allah" tetapi ia bersandar, bergantung dan memiliki keyakinan kepada selain-Nya. Jadi, tawakkal lisan berbeda dengan tawakal hati. Oleh karena itu, tidak ada manfaatnya sedikitpun, ucapan seseorang yang mengatakan, "Saya bertawakkal kepada Allah" tetapi ia masih bersandar dan bergantung kepada selain Allah SWT. Sebagaimana orang yang berkata, "Saya bertaubat kepada Allah sedangkan ia terus berkubang dengan maksiat." (Fawa-idul Fawa-id (hlm. 88-89))
Ketahuilah, bahwa realisasi tawakkal tidak bertentangan dengan sebab-sebab yang telah ditakdirkan Allah SWT dan merupakan ketentuan-Nya dalam makhluk, karena Allah SWT memerintahkan makhluk-Nya untuk mengarnbil sebab-sebab (melakukan usaha-red) sekaligus memerintahkan mereka agar bertawakkal.
Jadi, upaya mencari sebab-sebab dengan anggota badan adalah bentuk ketaatan kepada-Nya, sedangkan tawakkal dengan hati ialah iman kepada-Nya, seperti dalam firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama” (QS. An-Nisaa 4:71)
Allah SWT juga berfirman yang artinya: .
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu bisa dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang tidak kamu ketahui, sedang Allah SWT mengetahuinya. (QS. al-Anfaal 8:60)
Allah SWT juga berfirman :
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung. (QS. al-Jumu'ah 62:10)
Sahl at-Tusturi rahimahullah berkata, "Barangsiapa mencela tawakkal, sungguh ia telah mencela iman. Barangsiapa mencela usaha dan kerja, sungguh ia telah mencela sunnah." (Hilyatul Auliya' (X/204, no. 14939))
Urgensi Tawakkal
Firman Allah SWT : “Hanya Engkaulah yang kami ibadahi, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. (QS. al-Fatihah 1:5)
Ayat ini sarat akan makna tawakkal. Tawakkal memiliki urgensitas dan kedudukan yang sangat luas dan universal, mengingat kompleksnya hal-hal yang berkait dengan tawakkal dan sangat banyaknya kebutuhan makhluk; juga karena keumuman tawakkal itu sendiri serta bisa dilakukan oleh kaum Mukminin, kafir, orang yang baik, jahat, bahkan hewan sekalipun. Seluruh penghuni langit dan bumi berada dalam tingkatan tawakkal tertentu, namun obyek yang mereka tawakkal itu berbeda-beda. Para wall Allah SWT dan orang-orang yang memiliki kedudukan istimewa di sisi Allah SWT , mereka bertawakkal kepada Allah SWT dalam masalah keimanan, usaha menolong agama-Nya, menegakkan kalimat-Nya, dan berjihad melawan musuh-musuh-Nya serta dalam kecintaan mereka kepada Allah SWT dan dalam melaksanakan segala perintah-Nya. (Madarijus Salikin (II/118))
Maka jelaslah bahwa tawakkal merupakan asas dari seluruh keimanan dan kebaikan. Asas dari seluruh amalan Islam. Urgensinya ibarat sebuah jasad dengan kepalanya. Sebagaimana kepala tidak akan tegak kecuali dengan badan, demikian pula keimanan, kedudukan dan amalannya tidak akan tegak kecuali dengan tawakkal. (Thariq Hijratain Wa Babus Sa'adatain, (hlm. 253) karya Imam Ibnul Qayyim) Wallaahu a'lam
TAWAKAL MEMPUNYAI HUBUNGAN ERAT DENGAN IMAN BAHKAN SEBAGAI SYARAT IMAN
Allah SWT berfirman :
"...Dan hanya kepada Allah hendaknya kamil bertawakkal, jika kamu 'benar-benar orang yang beriman." (QS. al-Maidah/5:23)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Dalam ayat ini Allah SWT menjadikan tawakkal kepada Allah SWT sebagai syarat keimanan. Maka indikasi lenyápnya keimanan adalah hilangnya tawakkal". Lanjutnya lagi, "Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman :
Berkata Musa, "Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka bertawakkallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri". (QS. Yunus 10:84)
Dalam ayat ini Allah SWT menegaskan benarnya Islam seorang hamba dengan sebab adanya tawakkal. Maka semakin kuat tawakal seorang hamba, semakin kuat pula imannya. Demikian juga sebaliknya apabila lemah imannya, lemah pula tawakkalnya. Apabila tawakalnya lemah, sudah pasti keimanannya lemah. (Thariq Hijratain Wa Babus Sa'adatain, (hlm. 251) karya Imam Ibnul Qayyim)
Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahalah iman mereka (karenanya) dan kepada Rabblah mereka bertawakkal". (QS. al-Anfal 8:2)
MENGAMBIL SEBAB TIDAK MENAFIKAN TAWAKKAL
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Umat int telah bersepakat bahwa tawakkal tidak menafikan usaha untuk melakukan sebab (ikhtiar). (Bahkan), tawakkal seseorang tidak sah kecuali dengan mengambil atau melakukan faktor penyebab. Jika tidak demikian, maka tawakkalnya rusak dan sia-sia." (Madarijus Salikin (2/121))
Tawakal tidak menafikan usaha melakukan sebab (ikhtiar). Sungguh Allah SWT telah memerintahkan para hamba-Nya untuk mengambil sebab dengan tetap tawakal kepada-Nya. Jadi, berusaha mengambil sebab dengan anggota badan merupakan ketaatan kepada Allah SWT dan tawakal dengan hati merupakan keimanan kepada-Nya.
Allah SWT berfirman :
Wahai orang-orang yang beriman, bersiap-siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama! (QS. an-Nisaa 4:71)
Imam lbnu Katsir rahimahullah, mengatakan, “Allah memerintahkan para hamba-Nya yang beriman untuk tetap waspada terhadap musuh. Ini berarti tuntutan untuk menakut-nakuti mereka dengan mempersiapkan senjata dan memperbanyak personil pasukan untuk terjun ke medan pertempuran." (Tafsiir Al-Qur-aan (2/357))
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, "Jadi tawakal merupakan sebab yang paling besar untuk meraih apa yang diinginkan dan menolak segala yang dibenci. Barangsiapa yang mengingkari sebab, maka tawakkalnya tidak akan pernah baik. Namun diantara (syarat-red) kesempurnaan tawakkal adalah tidak bersandar kepada sebab tersebut dan Menghilangkan ketergantungan hati kepadanya. Hatinya bergantung kepada Allah bukan kepada sebab, sedangkan badannya berusaha dengan mengambil sebab." (Madarijus Salikin (2/125))
Demikian pula Rasulullah SAW mengajarkan untuk melakukan sebab. Dalam sebuah riwayat ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah SAW, "Wahai Rasulullah, apakah saya ikat onta saya lalu tawakal kepada Allah SWT ataukah saya lepas saja sambil bertawakal kepada-Nya ? Rastalullah menjawab, “Ikatlah dulu untamu itu kemudian baru engkau bertawakkal! (Hasan: HR. At-Tirmidzi (no. 2517). Dihasankan oleh Syaikh Albani dalam Takhrij Musykilatil Faqr, nb.22) (Tentang mengambil sebab, para Ulama rahimahumullah berkata, "Sebab-sebab yang dinashkan tidak boleh diingkari, tidak diyakini sernata-mata. Mengingkarinya adalah kejahilan, bersandar semata-mata pada sebab adalah kesyirikan. Karena yang memberi manfaat mudharat, mencegah, dan mengabulkan hanya Allah semata.")
Ketahuilah wahai saudaraku, amal perbuatan yang dikerjakan hamba terbagi ke dalam tiga bagian:
1. Ketaatan yang Allah SWT perintahkan kepada para hamba-Nya. Allah menjadikan ketaatan sebagai sebab atau faktor agar selamat dari neraka dan masuk surga. Maka hal yang seperti ini harus dilakukan oleh seorang hamba; dengan tetap tawakkal dan meminta pertolongan kepada-Nya, karena tidak ada daya dan upaya kecuali dengan bantuan-Nya.
2. Berupa perkara duniawi. Dalam masalah ini, Allah SWT tetap memerintahkan hamba-Nya untuk mengambil sebab, seperti makan ketika lapar, minum ketika haus, berteduh ketika panas, menghangatkan diri dari hawa dingin, dan lainnya. Beliau bersabda kepada mereka :
“Aku tidak seperti kalian, aku diberi makan dan minum” (HR. al-Bukhari (no. 1922) dan Muslim (no. 1102), dan Abu Dawud (no. 2360), dari Ibnu 'Umar.).
Dalam riwayat lain :
“Aku senantiasa berada di sisi Rabb-ku yang memberiku makan dan minum” (HR. al-Bukhari (no. 1964, 1966) dan Muslim (no. 1105 dan 1103))
Maksudnya bahwa Allah SWT menguatkan Nabi SAW dan memberi beliau makan dengan hal-hal yang masuk ke hati beliau, yang membuat beliau SAW tidak butuh makan dan minum dalam waktu tertentu.
Ada dari generasi salaf yang mempunyai kekuatan meninggalkan makanan dan minuman yang tidak dimiliki orang lain dan mereka tidak mendapatkan mudharat (bahaya) dengannya.
Dalam hadits yang panjang tentang. keislaman Abu Dzarr RA, beliau SAW bersabda :
Aku tidak mempunyai makanan kecuali air zam-zam, maka aku menjadi gemuk sampai perutku sedikit gendut, dan aku tidak mendapati pada hatiku kelemahan karena lapar (HR. Muslim (no. 2473 (132)).
3. Berupa perkara dunia yang bersifat umum seperti berobat ketika sakit. Dalam masalah ini Ulama berselisih pendapat, apakah bagi orang yang tertimpa sakit lebih utama berobat atau tidak berobat jika si sakit ingin merelisasikan tawakkkal kepada Allah SWT.
Pendapat Imam. Ahmad rahimahullah bahwa tawakkal bagi orang, yang sanggup melakukannya adalah lebih baik karena diriwayatkan dengan shahih dari Nabi SAW, beliau bersabda : Tujuh puluh ribu orang dari ummatku akan masuk surga tanpa hisab. Mereka (Para sahabat) berkata, 'Siapa mereka wahai Rasulullah? Rasulullah bersabda, "Mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak bertathayyur (merasa sial dengan sesuatu), tidak melakukan kayy (berobat dengan besi panas), dan mereka bertawakkal kepada Rabb mereka. (HR. Muslim (no. 218 (327)), dari 'Imran bin Hushain RA)
Sedangkan Ulama yang berpendapat bahwa berobat lebih baik, berpendapat, bahwa berobat adalah perilaku yang selalu dikerjakan Nabi SAW dan beliau SAW tidak melakukan sesuatu kecuali yang paling baik. Ulama tersebut menafsirkan permintaan ruqyah di sini dimakruhkan yang dikhawatirkan mengandung syirik.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Dalam hadits-hadits yang shahih diperintahkan untuk berobat, dan hal ini tidak menafikan tawakkal, sebagaimana juga kita menolak penyakit lapar dengan makan, rasa haus (kita lawan) dengan minum, (udara) panas dengan berteduh dan (cuaca) dingin dengan memakai baju hangat. Bahkan tidak sempurna hakikat tauhid kecuali dengan melaksanakan sebab (syar'i) yang telah ditetapkan Allah SWT, baik secara Qadar maupun syar'i. Dan meniadakan sebab berarti mencela tawakkal, sebagaimana mencela perintah dan hikmah... " (Zaadul Ma'aad Fii Hadyi Khayril ‘ibad (IV/15))
Begitu pula tentang rezeki, seandainya kaum Muslimin merealisasikan tawakkal kepada Allah dengan hati mereka, Allah SWT pasti akan memberikan rezeki kepada mereka dengan sebab usaha yang paling rendah (ringan) sekalipun, sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung-burung yang hanya dengan sekedar pergi di pagi hari dan kembali pada petang hari yang merupakan bagian dari kerja namun kerja ringan.
Nabi SAW bersabda :
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Allah dan berusahalah dgan cara yg baik! Sesungguhnya satu jiwa itu tidak akan mati hingga rezekinya diberikan secara sempurna, walaupun lambat. Oleh karena itu bertakwalah kalian kepada Allah SWT dan berusahalah dengan cara yang baik ! Ambillah yang halal dan tinggalkan yang haram." (HR. Ibnu Majah (no. 2144), al-Hakim (II/4), dan al-Baihaqi (V/264-265). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani, dalam Silsilatul Ahaditsissh Shahahah pada pembahasan hadits no 2607)
Diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas RA bahwa beliau SAW mengatakan, "Orang-orang Yaman berangkat haji tanpa perbekalan. Mereka berkata, 'Kami orang-orang yang bertawakkal' Mereka pun berangkat haji dan tiba di Mekah kemudian mengernis kepada manusia. Karena itu, Allah menurunkan ayat ini :
"...Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku Wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat!" (QS. al-Baqarah 2:197) HR..A1-Bukhari (no. 1523) dan Abu Dawud (no. 1730)
Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid, Ikrimah, an-Nakhal, dan generasi salaf lainnya. Jadi, tidak ada alasan yang melegalkan seseorang untuk meninggalkan sebab-sebab secara totalitas bagi orang yang hatinya tidak bergantung kepada manusia secara total.
Nabi SAW Abu Bakar RA Umar bin Khatthab RA juga berusaha maksimal dan mereka juga mencari nafkah, dan tidak ada satupun dari mereka yang berkata, "Kami hanya duduk dan berpangku tangan hingga Allah SWT memberi kami rezeki." Allah SWT berfirman :
“Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung." (QS. al-Jumu'ah 62:10)
Setiap orang wajib mencari nafkah, dengan mengerjakan sebab-sebab ' agar Allah SWT memberikan rezeki. Dan tidak boleh sekali-kali ia menelantarkan orang yang berada dalam tanggungannya. Nabi SAW bersabda :
“Cukuplah seseorang itu berdosa jika ia menelantarkan orang yang ia beri makan” (HR. Abu Dawud (no. 1692)'dan Ibnu Hibban (no. 4240), dari Abdullah bin Amr RA. Diriwayatkan juga oleh Muslim (no. 996) dan Ibnu Hibban (no. 4241) dengan teks, "Seseorang cukuplah berdosa jika ia menahan dari orang yang memiliki makanannya."
Tidak boleh seorang Muslim meminta-minta, mengemis atau menjadi beban bagi orang lain. Dia wajib mencari nafkah.
Orang yang bertawakkal kepada Allah SWT dengan benar ialah orang yang mengetahui bahwa Allah SWT telah menjamin rezeki dan kecukupan untuk hamba-Nya kemudian ia mengimani jaminan Allah tersebut dengan hatinya, dan merealisasikan dengan sikap bergantung kepada-Nya karena Allah telah menjamin rezekinya tanpa menempatkan tawakkal seperti sebab-sebab untuk mendatangkan rezeki, karena rezeki itu dibagi-bagikan kepada semua orang; orang baik maupun jahat, Mukmin maupun kafir, seperti dalam firman Allah :
Dan tidak ada satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuuzh)." (QS. Hud/11:6)
Sudah menjadi Sunnatullah terhadap semua makhluk, bahwa segala rezeki yang terkandung di dalam bumi, bahan-bahan makanan yang telah disiapkan, serta sumber-sumber kekayaan yang menyenangkan; Semua itu tidak akan dapat dicapai, melainkan harus dengan kerja keras dan usaha sungguh-sungguh. Karena itu, Allah SWT akan rnemberi rezeki kepada hamba-Nya yang mau berusaha di atas permukaan bumi ini. Allah SWT berfirman
"...Maka jelajahilah di seluruh penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya..." (QS. al-Mulk/67:15)
Barangsiapa mau berusaha di atas permukaan bumi, niscaya ia akan mendapat rezeki. Allah SWT berfirman :
“Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia Allah” (QS. Al-Jumu'ah 62:10)
Barangsiapa berjalan di muka bumi ini sambil mengharap karunia dan rezeki Allah SWT niscaya ia termasuk orang-orang yang berhak menerimanya. Sebaliknya, barangsiapa berpangku tangan dan bermalas-malasan, maka ia termasuk orang-orang yang tidak berhak menerima karunia Allah.
Semua amalan duniawi yang dikerjakan dengan penuh ketekunan dan disertai niat yang benar serta tidak menyimpang dari hukum-hukum Islam, merupakan ibadah. Jerih payah seseorang dalam mempertahankan hidup, demi kehormatan diri dan keluarganya, atau demi berbuat baik terhadap kerabat dan tetangganya, atau demi membantu usaha-usaha dakwah dan sosial dan menegakkan kebenaran, itu termasuk dalam kategori jihad fii sabilillah (berjuang di jalan Allah). Karena itu, Allah mensejajarkan dua perkara itu dalam firman-Nya :
"...Dan yang lain berjalan di muka bumi mencari karunia Allah; dan yang lain berperang di jalan Allah..." (QS. Al-Muzzammil 73:20)
Dalam menggalakkan usaha pertanian dan perkebunan, Nabi SAW bersabda :
“Tidak seorang Muslim pun yang menaburkan benih atau menanam tanaman, lalu seekor burung, atau seseorang, atau seekor binatang makan sebagian darinya, kecuali akan dinilai sebagai sedekah baginya” (Shahih: HR. al-Bukhari (no. 2320, 6012) dari Anas RA)
Dalam menggalakkan usaha pertukangan dan kerajinan tangan, Nabi SAW bersabda :
“Tidaklah seseorang mengkonsumsi makanan yang lebih baik daripada apa yang dihasilkan dari karya tangannya sendiri. Dan adalah Nabi Dawud makan dari hasil usaha kerjanya” (Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 2072) dari Miqdam)
Walaupun banyak sekali hewan lemah tidak dapat mencari rezeki, namun Allah SWT berfirman:
Dan berapa banyak rnakhluk bergerak yang bernyawa yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu. Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui." (QS. al-‘Ankabut 29:60)
Jadi, selama seorang hamba masih hidup, maka rezekinya ada pada Allah SWT dan terkadang Allah SWT memberikan rizkinya kepadanya melalui usaha atau tanpa usaha. Karenanya, barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah untuk mencari rezeki, maka ia menjadikan tawakkal sebagai sebab dan usaha. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah SWT karena keyakinannya akan penjaminan-Nya, sungguh ia bertawakkal kepada Allah dengan yakin dan membenarkan-Nya.
Pelajaran penting yang wajib diperhatikan dalam memahami tawakal adalah
1. Menyandarkan hati sepenuhnya kepada Allah,
2. Melakukan usaha (sebab)
3. Ridha dengan apa yang Allah sudah takdirkan.
Ketahuilah bahwa buah tawakkal ialah ridha dengan qadha (takdir). Barangsiapa menyerahkan semua urusannya kepada Allah SWT, ridha dengan apa saja yang diputuskan baginya, dan memilihnya, sungguh ia telah merealisasikan tawakkal kepada Allah dengan arti ridha.
Jadi, jika orang bertawakkal kepada Allah SWT, jika ia bersabar atas cobaan penyakit, rezeki dan selainnya yang telah ditakdirkan Allah SWT baginya, maka ia adalah orang yang sabar. Jika ia ridha kepada apa saja yang ditakdirkan baginya setelah terjadi, maka ia orang yang ridha. Seperti yang dikatakan Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, "Pada pagi hari, aku tidak mempunyai kebahagiaari kecuali (ridha) pada qadha dan qadar." (Jami'ul ‘Ulum wal Hikam (11/509)
FAWA-ID HADITS:
1. Tawakkal merupakan realisasi iman bahkan sebagai syarat iman.
2. Tawakkal menyebabkan jiwa menjadi tenang dan hati mejadi lega.
3. Allah SWT memberikan kecukupan kepada orang yang bertawakkal dalam semua urusannya.
4. Tawakkal merupakan sebab terkuat dalam mendapatkan kebaikan-kebaikan dan menolak bahaya.
5. Tawakkal mengundang cinta Allah SWT kepada hamba-Nya.
6. Tawakkal menghasilkan kekuatan hati, keberanian, ketetapan hati, dan (keberanian) menantang musuh-musuh.
7. Tawakkal menghasilkan kesabaran terhadap musibah.
8. Tawakkal menghasilkan kemenangan dan kekuatan.
9. Tawakkal menguatkan tekad dan ketetapan dalam urusan.
10. Tawakkal melindungi diri dari pengaruh syaithan.
11. Tawakkal merupakan sebab yang dapat menolak sihir, hasad (dengki) dan 'ain (mata jahat).
12. Tawakkal menghasilkan rezeki.
13. Menjauhkan dari sifat 'ujub (bangga) dan kibr (sombong).
14. Menghilangkan perbuatan tathayyur (menganggap sial dengan sesuatu) dan menghilangkan penyakit-penyakit hati.
15. Menghasilkan sikap ridha terhadap qadha' (ketetapan) Allah.
16. Merupakan sebab masuk surga tanpa hisab dan adzab
Demikianlah pembahasan ringkas tentang Tawakkal. Mudah-mudahan bermanfaat. Allaahul Musta'aan wa'alaihi tuklaan.
MARAJI':
1. Al-Qur-anul Karim dan terjemahnya.
2. Tafsir Ibnu Katsir
3. Kutubus sittah.
4. At-Ta'liqatul Hisan 'ala Shahih Ibnu Hibban.
5. Hilyatul Auliya’
6. An-Nihayah fii Gharibil Hadits.
7. Mufradat Alfazhil Qur-an.
8. Jami’ul 'Ulum wal Hikam.
9. Madarijus Salikin
10. Fawa-idul Fawa-id.
11. Thariqul Hijratain wa Babus Sa'adatain.
12. Silsilatul Ahaditsish Shahihah.
13. Syarah Riyadush Shalihin
14. at-Tawakkul `alallahi Ta'ala wa 'Alaqatuhu bil Asbab, Dr. Abdullah bin Umar ad-Damiji, cet. ke-2, Daarul Wathan.
15. Dan kitab-kitab lainnya
Senin, 14 November 2011
Surat Terbuka Ust Yusuf Mansur untuk para Orang Tua
Assalamu’alaikum wr wb..
Sudah hampir masuk Tahun Ajaran baru untuk anak sekolah, dan biasanya saat saat seperti ini, banyak orang tua yang sudah mulai sibuk untuk mencari sekolah-sekolah yang “bagus dan berkualitas” untuk anak-anaknya. Mereka rela meluangkan waktu nya hingga harus mengambil cuti, untuk mencari informasi hingga mendatangi sekolah-sekolah yang “dirasa” bagus dan berkualitas untuk melakukan survey (lokasi dan kondisi actual sekolah tersebut).
Begitu kerasnya usaha para orang tua dalam mencari sekolah yang terbaik untuk anaknya, demi “menjadikan” orang yang “pintar dan berprestasi” hingga bisa masuk ke jenjang yang lebih tinggi (SMP/SMA/UNIVERSITAS Favorit), namun seringkali kita lupa, Apa yang seharusnya para orangtua “cari” dalam sekolah tersebut (apakah kualitas pendidikan, nilai yang tinggi, atau akhlak yang mulia sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya)
Berikut ada sebuah surat terbuka dari Ust Yusuf Mansur, yang saya ringkas saja, yang isinya ternyata Sangat Bagus, dan Insya Allah bisa menjadi nasihat buat saya pribadi, dan mudah-mudahan bisa bermanfaat juga untuk yang membaca.
Mohon maaf bila kurang berkenan.
NB : Surat ini sudah saya edit, karena bila langsung meng “copy-paste” akan agak lebih banyak..serta bukanlah Promosi dari Sekolah yang dibina oleh Ustadz Yusuf Mansur, namun semata-mata hanya ingin menjelaskan, apa yang seharusnya didahulukan dalam mencari sekolah, agar anak kita selamat dunia akhirat...
Wallahua’lam
Surat Terbuka dari Ust Yusuf Mansur.
Filosofi
‘Terngiang ucapan ibunda: "Ibu tidak butuh anak yang pinter doangan. Ibu Iebih butuh anak yang bisa doain ibu, yang sering nengokin ibu, yang bisa inget ibu di kala hidup maupun di kala mati. Ibu lebih ga butuh lagi anak yang 'pinter, tapi sombong. Sombong sama ibu, sombong sama sodara, apalagi sombong sama Allah. Dipanggil ama ibu engga nyahut, dipanggil sama Allah juga ga nyahut. Punya kuping kayak ga punya kuping. Ibu demen kalo ngelihat anak megang al Qur'an, baca al Qur'an. Kalo nanti ibu meninggal, ibu denger dari hadits, nanti ibu boleh nengok anak-anak ibu saban malam Jum'at. Ga tau dah, ini hadits dhoif upa engga. Tapi kalo emang bener, terus ibu ngelihat anak-anak ibu pada ngaji Qur’an, betapa bahagianya hati ibu. Ibu ridho ama anak yang modelnya begini. Ibu ga minta duit. Sebab ibu ga butuh duit. Ibu sudah ada Allah. Tapi ibu butuh kamu. Butuh kamu supaya selamat. Jadi ga ngerepotin ibu!. Dengan kamu selamat saja, ibu udah ga akan repot. Di dunia repot ama polisi. Di akhirat repot lagi berurusan sama malaikat Allah. Kalo mau sekolah yang tinggi, silahkan. Tapi jangan lupa ngaji. Pentingin ngaji. Kalo mau sekolah tinggi, kerja tinggi, usaha tinggi, silahkan. Tapi shalat nomor satu. Sama orang tua nomor satu. Sama guru nomor satu. Buat apa tinggi hidup, kalo merendahkan urusan akhirat. Kejar akhirat, dunia ngikut. Tapi gi dah, kejar dunia. Ntar dunia ga dapet, dunia juga ilang. Ibu doain; Robanaa aatinaa fid dunyaa hasanah wafil aakhiroti hasanah waqinaa `adzaabannaar. Dan kalau mau dapet dua-duanya; dunia dan akhirat, benerin dulu bismillahnya. Kuatin dulu bismillahnya...
Kalimat terakhir yang saya cuplik inilah yang menjadi Filosofi I'daad: Benerin dulu bismillahnya. Kuatin dulu bismillahnya. Filosofi i'daad adalah, Didik dulu dengan al Qur'an dan as Sunnah. Maka anak akan gampang dibentuk, dan gampang dididik. Didik dulu dengan ngaji ini ngaji itu. Ngaji sesuatu yang dibutuhkan oleh mereka, yang jauh dari sekedar duit, pekerjaan, karir dan masa depan yang sifatnya dunia. Yakni ngaji tentang aqidah, akhlak, iman, Islam, tauhid, dan keyakinan. Ini beres, maka insya Allah anak bisa diisi apa saja, dan siap. Kelak mereka menjadi orang, mereka menjadi orang yang siap.
Saya merasakan repotnya - alhamdulillaah - mendidik dan mengajar anak-anak yang tidak disiapkan terlebih dahulu. Ketidakrataan profil anak-anak yang masuk, membuat sistem pendidikan di banyak lembaga pendidikan tidak berjalan sempurna sebagaimana mestinya. Ada anak- anak yang sudah bagus bacaannya, bahkan hafal 1-2, hingga 10 juz. Tapi banyak juga yang belum bisa baca Al Qur'an!
Belum lagi latar belakang keluarga masing-masing, yang membawa karakter anak masing-masing. Menambah daftar kerepotan itu.
Sementara itu, kalau ditetapkan syarat dan ketentuan yang tinggi, justru akhirnya akan berlawanan dengan spirit pendidikan. Bukankah pendidikan itu salah satunya bertujuan mengajarkan yang belum tahu supaya tahu, yang belum bisa supaya bisa?
Maka atas ucapan Ibunda itulah kemudian "bismillah" dikebumikan. Bismillah itu diterjemahkan menjadi I'daad. Kita persiapkan dulu anak-anak didik kita. Warnanya disamakan, kemampuan bahasanya diupgrade, kemampuan baca tulis al Qur'annya, hingga ke tahfidz dan akhlaknya, diupakan supaya bisa setara, tanpa melupakan karakter anak masing-masing dan keragaman kemampuannya.
Ketika menset-up Program I'daad ini, terngiang pula ucapan Rasulullah yang menjadi sabda buat kita semua: Aku tinggalkan dua hal, yang jika kalian berpegah teguh kepada keduanya; al Qur'an dan Sunnahku, maka tidak akan kalian sesat selama-lamanya.
Terngiang barisan ayat demi ayat dari Firman Allah, al Qur'an yang mulia, di mana di Tangan Allah kendali semua arah kehidupan. Allah yang menurunkan al Qur'an sebagai panduan I hidup, bahwa al Qur'an itu petunjuk, pembeda antara yang halal dan haram, yang benar dengan yang batil. Itu semua karena Allah Yang Memiliki Kehidupan, tabu bahwa manusia yang hidup jika tidak diberi panduan hidup, sungguh ia akan tersesat.
Sekarang menjadi jelas, bahwa banyak manusia sebenernya tidak tahu akan Al Qur'an, sehingga tidak lagi bisa mengenali yang halal apa yang haram. Lihat saja sekeliling kita; apa yang diberitakan, dan apa yang dibicarakan. Andaipun ada yang tahu al Qur'an, rupanya al Qur'an itu tidaklah hidup di dalam kehidupannya. Tidak dipake.
Jika di kehidupan kita saja sudah begini, bagaimanakah lagi anak-anak kita yang hidup dengan lebih banyak tontonan, dan godaan hidup? Aurat wanita di zaman kita dulu hidup, masih minim buat dilihat. Sekarang? Begitu terbuka. Dulu, paling banter surat-suratan. Video porno susah didapat. Bukan sebab susah kaset beta dan VHS nya saja, tapi playernya juga susah. Sekarang? Wuah, merk-merk HP generasi tercanggih, anak-anak SD pun hafal, dan bahkan punya! Dan alat-alat yang sejatinya ini sangatlah positif, kemudian menjadi neraka buat anak-anak kita, sebab mereka tidak siap dan tidak disiapkan. Pada sebagian wajah anak-anak orang kaya, banyak yang kekayaan orang tuanya pun semakin mempercepat anak-anaknya masuk neraka. Mereka bermaksiat dengan kendaraan yang dibelikan orang tuanya. Mereka bermaksiat dengan uang yang diberikan orang tuanya. Mengerikan. Bahkan di sebagian wajah anak-anak yang tidak mampu, pun juga malahannya ikut-ikutan tidak selamat. Dua-duanya tidak akan selamat, jika tidak berpegang teguh kepada al Qur'an dan as Sunnah. Dan bagaimana lagi bisa berpegang teguh, jika ternyata mengenalpun tidak. Subhaanallah.
Para ayah, para ibu... Anak-anak kita sungguh mengarungi hidup yang berat jika ia tidak diberi sampan yang tangguh, sampan yang kokoh, dan juga dayung yang kuat. Sampannya adalah al Qur'an, dan dayungnya adalah as Sunnah.
Program I'daad ini program yang bisa dipakai di Rumah Tahfidz, dan di Daarul Qur'an. Dan bisa dipakai oleh siapa yang mau memakai. Program yang secara representatif, insya Allah mendekati jawaban apa yang digelisahkan di atas. Di mana lewat program I'daad ini,anak-anak kita dibentuk dulu karakternya dengan al Qur'an dan as Sunnah. Dipenuhi dulu otaknya, pikirannya, hatinya, welas asihnya, kesantunannya, dengan al Qur'an dan as Sunnah. Sebelum ia kemudian dijejali dengan apa yang dibawa dan diberikan oleh sekolah.
Nasihat berikut ini buat saya dan buat semua yang mau anaknya selamat lahir batin dunia akhirat. Jangan diterjunbebaskan anak-anak kita ke sekolah-sekolah yang belasan tahun tidak ada shalat dhuhanya, dan tidak memberikan kesempatan kepada anak-anak kita untuk shalat dhuha! Hingga kemudian ia akan tumbuh menjadi anak-anak yang tidak cinta kepada rasul-Nya.
Jangan diterjunbebaskan anak-anak kita ke sekolah-sekolah yang belasan tahun tidak ada shalat berjamaahnya ketika zuhur. Kelak kita akan mendapati susah sekali anak-anak kita tumbuh menjadi anak-anak yang bisa shalat berjamaah, di awal waktu, dan di masjid.
Jangan diterjunbebaskan anak laki-laki kita ke sekolah-sekolah yang aurat wanitanya begitu terbuka, sedang anak kita belumlah lagi diberi pengetahuan bahwa dia harus menjaga pandangannya, harus menahan nafsunya. Jangan diterjunbebaskan anak-anak perempuan kita, ke sekolah yang pergaulan beda jenisnya bebas. Anak-anak kita belum siap, atau kitalah yang menyiapkannya dulu hingga mereka siap.
Dan jangan begitu saja mudah memberikan sepertiga, setengah, atau bahkan dua pertiga hidup anak kita, ke sekolah-sekolah yang porsi buat al Qur'an, porsi buat Allah, sedikit sekali.
Kenalkan dulu anak kita,. kepada pegangan hidupnya. Al Qur'an dan as Sunnah. Supaya penting ini al Qur'an dan as Sunnah bagi kehidupannya. Supaya al Qur'an dan as Sunnah menjadi bahagian dari kehidupannya kelak.
Kita benerin bacaan Qur'annya anak kita dulu. Kita bikin dia hafal Qur'an dulu. Kita buat dia asyik dulu mempelajari al Qur'an. Tanpa sadar terbangun karakter al Qur'an di dalam dirinya. Akhlaknya, al Qur'an. Seperti Rasulullah yang akhlaknya adalah al Qur'an; kaanat khuluquhul Qur'an.
Sejarah membuktikan, para cendikiawan muslim dunia adalah Penghafal al Qur'an. Hidupnya tidak lepas dari al Qur'an. Pakaiannya adalah as Sunnah. Apalagi Rasul mewariskan dua hal bagi hidup anak-anak kita, dan kita; yaitu al Qur'an dan as Sunnah. In tamassaktum bihimaa Lan tadhillu abadan, kalau kita memegang keduanya, tidak akan sesat selama-lamanya.
Dan wajah seperti apa anak yang kita idamkan? Wajah anak-anak yang mengejar impiannya? Mengejar cita-citanya? Bersama Allah? Atau wajah anak-anak yang melupakan Allah? Asyik belajar, tapi shalat telat, shalat lupa, shalat sunnah berat dan susah? Hampir-hampir seperti kita yang jauh dari masjid? Jauh dari shalat tepat waktu? Jauh dari berjamaah? Sepi dari shalat-shalat sunnah?
Wajah anak-anak yang bagaimana yang mau kita lihat? Wajah anak-anak yang lebih penting ujian nasional ketimbang ujian hidup? Wajah anak-anak yang hanya memikirkan nilai berupa angka? Tapi melupakan nilai-nilai kehidupan? Utamanya nilai yang ada di al Qur'an dan di as Sunnah? Hidupnya kering dari budi, dari rasa, dari kasih sayang. Tujuan hidupnya kecil, hanya masuk sekolah favorit? Hanya masuk perguruan tinggi negeri? Setelah lulus, mikirin hanya nyari kerja, nyari gajian? Tidak mencari Allah, yang Maha Memiliki Pekerjaan, Maha Memiliki Rizki?
Pernahkah berpikir, siapa yang akan menguburkan Anda? Anak Anda? Ataukah ia hanya bisa melihat dari tepian kuburan, di mana tukang penggali kuburlah yang menanam jasad kita. Bukan anak kita? Sebelum kita kemudian timbun dengan tanah dan meninggalkannya?
Pernahkah berpikir, siapa yang akan mendoakan kita, dan mengalirkan kita kebaikan demi kebaikan, setelah wafatnya kita? Jangan-jangan kita dipusingkan sejak anak kita hidup dan sejak kita hidup. Pusing dengan kelakuannya, yang semuanya sebenarnya adalah kesalahan kita. Anak ibarat gelas. Sayang, ia diisi dengan air yang bukan air al Qur'an dan as Sunnah.
Tidakkah terbayangkan bahwa doanya anak kita adalah obat buat kita? Perhatiannya adalah kebahagiaan buat kita? Tatkala kita sakit, ia masuk bertanya dengan halusnya, sambil menggenggam tangan kita penuh kasih sayang. Kemudian mengambil wudhu, dan shalat sunnah untuk kesembuhan kita. Dan setelah shalat, ia membacakan al Qur'an untuk kita. Belum wafatnya kita aja begini, insya Allah setelah wafatnya, maka ia akan sering mengingat dan mendoakan kita.
Dan sudahkah kita juga memberi bekal doa buat anak kita, bukan sekedar bekal uang? Apa yang kita tinggali untuk anak kita? Rumah dan harta yang justru mereka mungkin akan berpeluang jauh dari Allah? Atau seperti Rasul, kita Tinggalkan al Qur'an dan as Sunnah? Atau seperti Abu Bakar, yang meninggalkan Allah dan rasul-Nya untuk anak dan keluarganya?
Kondisi sempurna, tidak akan ada yang bisa, kecuali Allah yang kemudian memudahkan dan membuat kita bisa mendekati kondisi ideal untuk anak kita dan kita. Bahagia di dunia, bahagia di akhirat. Sukses di dunia, selamat di akhirat. Amin..
Surat Terbuka ini saya tulis dengan mengucap Bismillaahir rahmaanir rahiim. Isinya seputar kegelisahan saya sebagai orang tua, juga kakak, juga paman, bagi anak-anak saya, adik-adik saya, dan ponakan-ponakan saya. Juga kegelisahan akan keadaan anak-anak Indonesia pada umumnya. Sekarang ini yang dipikirkan sama anak-anak kita bukan lagi cita-cita dan impiannya. Tapi ujian, ujian, dan ujian. Ini yang terus menerus ada di bayang-bayang mata mereka, pengaruh kita-kita orang-orang tuanya dan pengambil kebijakan di dunia pendidikan. Sempit sekali. Pendidikan akhlak, budi pekerti, kasih sayang, kesantunan, adat istiadat yang baik, dikesampingkan (Baca: Tidak dijadikan sistem, dan cenderung tidak diarahkan dan tidak dibentuk). Anak-anak lebih diarahkan dan ditujukan agar lulus dengan prestasi angka. Ujian sekolah dikhawatirkan, namun ujian hidup tidak dikhawatirkan.
Surat ini saya tulis untuk para ayah, para ibu, para kakak, para paman, yang mudah-mudahan timbul dengan surat sederhana ini kekhawatiran akan nasib anak-anaknya, adik-adiknya, ponakan-ponakannya. Banyak yang sudah hidup tidak lagi berbalut sunnah. Sudah mulai jarang terdengar anak-anak ceria menegakkan shalat ma'am, kecuali tradisi ini masih terjaga dengan baik di dunia pesantren. Sudah mulai jarang terdengar anak-anak yang bangga dengan dhuhanya yang tiada pernah putus, mati-matian menjaga shalat berjamaah di masjid lengkap dengan qabliyah ba'diyah bahkan tahiyyatul masjid dan sunnah wudlunya. Sudah mulai jarang terdengar anak-anak ditanya sudah khatam al Qur'an berapa kali? Sudah sampe mana hafalannya? Sudah berapa ayat yang engkau pelajari? Kemajuan teknologi yang seharusnya membuat banyak kemudahan, lantaran anak-anak kita ga siap, akhirnya kemudian terbawa sisi negatif dari teknologi tersebut. Pergaulan makin bebas, mata makin susah dijaga. Pendidikan dan pembiasaan puasa yang efektif buat ngerem nafsu; baik buat anak-anak juga buat dewasa, tidak lagi dibiasakan. Yang dibiasakan justru keluar makan, jajan, dan mengkonsumsi junk food. Anak-anak dari kecil hingga dewasanya tidak terlatih dan tidak dilatih untuk puasa.
Setelah lama tak bersiar, atas Izin Allah kini mulai marak gerakan anak-anak muda didikan orang-orang tua pendidik dan pengajar yang peduli terhadap as Sunnah, masuk dan menggerakkan sekolah-sekolah. Mereka tidak memulai dulu aktifitas sekolah yang dipimpinnya, kelas yang diajarnya, kecuali mereka bawa dulu anak-anak melakukan shalat dhuha; ketemu sama Allah Yang Maha Menghantarkan anak-anak kepada kesuksesan dunia akhirat yang diinginkannya. Mereka-mereka ini sanggup menghentikan semua kegiatan belajar mengajar, untuk mendisiplinkan anak shalat berjamaah. Mereka ajarkan qabliyah ba'diyah, dua ibadah ringan yang sudah mulai ditinggalkan para pencari dunia. Mereka ajarkan keutamaan zikir di samping keutamaan menuntut ilmu, bekerja, dan berusaha.
Ya, semoga benar-benar semakin banyak pendidik dan pengajar, juga pemilik-pemilik sekolah yang membimbing anak-anak didiknya untuk tumbuh bersama Allah dan Rasul-Nya. Dan semakin banyak pula orang-orang tua yang berkenan mencari sekolah-sekolah buat anak-anaknya, di mana di sekolah itu ada akhlak yang diutamakan, ada kesantunan yang diutamakan, ada al Qur'an dan as Sunnah.
Dengan Izin Allah seraya memohon Ridha-Nya, saya membuat Surat Terbuka ini. Kepengen menyampaikan Program I'daad. Program I'daad ini menjadi isi dari Surat Terbuka saya.
Mudah-mudahan berkenan. Terima kasih atas perhatiannya
Yusuf Mansur
Sudah hampir masuk Tahun Ajaran baru untuk anak sekolah, dan biasanya saat saat seperti ini, banyak orang tua yang sudah mulai sibuk untuk mencari sekolah-sekolah yang “bagus dan berkualitas” untuk anak-anaknya. Mereka rela meluangkan waktu nya hingga harus mengambil cuti, untuk mencari informasi hingga mendatangi sekolah-sekolah yang “dirasa” bagus dan berkualitas untuk melakukan survey (lokasi dan kondisi actual sekolah tersebut).
Begitu kerasnya usaha para orang tua dalam mencari sekolah yang terbaik untuk anaknya, demi “menjadikan” orang yang “pintar dan berprestasi” hingga bisa masuk ke jenjang yang lebih tinggi (SMP/SMA/UNIVERSITAS Favorit), namun seringkali kita lupa, Apa yang seharusnya para orangtua “cari” dalam sekolah tersebut (apakah kualitas pendidikan, nilai yang tinggi, atau akhlak yang mulia sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya)
Berikut ada sebuah surat terbuka dari Ust Yusuf Mansur, yang saya ringkas saja, yang isinya ternyata Sangat Bagus, dan Insya Allah bisa menjadi nasihat buat saya pribadi, dan mudah-mudahan bisa bermanfaat juga untuk yang membaca.
Mohon maaf bila kurang berkenan.
NB : Surat ini sudah saya edit, karena bila langsung meng “copy-paste” akan agak lebih banyak..serta bukanlah Promosi dari Sekolah yang dibina oleh Ustadz Yusuf Mansur, namun semata-mata hanya ingin menjelaskan, apa yang seharusnya didahulukan dalam mencari sekolah, agar anak kita selamat dunia akhirat...
Wallahua’lam
Surat Terbuka dari Ust Yusuf Mansur.
Filosofi
‘Terngiang ucapan ibunda: "Ibu tidak butuh anak yang pinter doangan. Ibu Iebih butuh anak yang bisa doain ibu, yang sering nengokin ibu, yang bisa inget ibu di kala hidup maupun di kala mati. Ibu lebih ga butuh lagi anak yang 'pinter, tapi sombong. Sombong sama ibu, sombong sama sodara, apalagi sombong sama Allah. Dipanggil ama ibu engga nyahut, dipanggil sama Allah juga ga nyahut. Punya kuping kayak ga punya kuping. Ibu demen kalo ngelihat anak megang al Qur'an, baca al Qur'an. Kalo nanti ibu meninggal, ibu denger dari hadits, nanti ibu boleh nengok anak-anak ibu saban malam Jum'at. Ga tau dah, ini hadits dhoif upa engga. Tapi kalo emang bener, terus ibu ngelihat anak-anak ibu pada ngaji Qur’an, betapa bahagianya hati ibu. Ibu ridho ama anak yang modelnya begini. Ibu ga minta duit. Sebab ibu ga butuh duit. Ibu sudah ada Allah. Tapi ibu butuh kamu. Butuh kamu supaya selamat. Jadi ga ngerepotin ibu!. Dengan kamu selamat saja, ibu udah ga akan repot. Di dunia repot ama polisi. Di akhirat repot lagi berurusan sama malaikat Allah. Kalo mau sekolah yang tinggi, silahkan. Tapi jangan lupa ngaji. Pentingin ngaji. Kalo mau sekolah tinggi, kerja tinggi, usaha tinggi, silahkan. Tapi shalat nomor satu. Sama orang tua nomor satu. Sama guru nomor satu. Buat apa tinggi hidup, kalo merendahkan urusan akhirat. Kejar akhirat, dunia ngikut. Tapi gi dah, kejar dunia. Ntar dunia ga dapet, dunia juga ilang. Ibu doain; Robanaa aatinaa fid dunyaa hasanah wafil aakhiroti hasanah waqinaa `adzaabannaar. Dan kalau mau dapet dua-duanya; dunia dan akhirat, benerin dulu bismillahnya. Kuatin dulu bismillahnya...
Kalimat terakhir yang saya cuplik inilah yang menjadi Filosofi I'daad: Benerin dulu bismillahnya. Kuatin dulu bismillahnya. Filosofi i'daad adalah, Didik dulu dengan al Qur'an dan as Sunnah. Maka anak akan gampang dibentuk, dan gampang dididik. Didik dulu dengan ngaji ini ngaji itu. Ngaji sesuatu yang dibutuhkan oleh mereka, yang jauh dari sekedar duit, pekerjaan, karir dan masa depan yang sifatnya dunia. Yakni ngaji tentang aqidah, akhlak, iman, Islam, tauhid, dan keyakinan. Ini beres, maka insya Allah anak bisa diisi apa saja, dan siap. Kelak mereka menjadi orang, mereka menjadi orang yang siap.
Saya merasakan repotnya - alhamdulillaah - mendidik dan mengajar anak-anak yang tidak disiapkan terlebih dahulu. Ketidakrataan profil anak-anak yang masuk, membuat sistem pendidikan di banyak lembaga pendidikan tidak berjalan sempurna sebagaimana mestinya. Ada anak- anak yang sudah bagus bacaannya, bahkan hafal 1-2, hingga 10 juz. Tapi banyak juga yang belum bisa baca Al Qur'an!
Belum lagi latar belakang keluarga masing-masing, yang membawa karakter anak masing-masing. Menambah daftar kerepotan itu.
Sementara itu, kalau ditetapkan syarat dan ketentuan yang tinggi, justru akhirnya akan berlawanan dengan spirit pendidikan. Bukankah pendidikan itu salah satunya bertujuan mengajarkan yang belum tahu supaya tahu, yang belum bisa supaya bisa?
Maka atas ucapan Ibunda itulah kemudian "bismillah" dikebumikan. Bismillah itu diterjemahkan menjadi I'daad. Kita persiapkan dulu anak-anak didik kita. Warnanya disamakan, kemampuan bahasanya diupgrade, kemampuan baca tulis al Qur'annya, hingga ke tahfidz dan akhlaknya, diupakan supaya bisa setara, tanpa melupakan karakter anak masing-masing dan keragaman kemampuannya.
Ketika menset-up Program I'daad ini, terngiang pula ucapan Rasulullah yang menjadi sabda buat kita semua: Aku tinggalkan dua hal, yang jika kalian berpegah teguh kepada keduanya; al Qur'an dan Sunnahku, maka tidak akan kalian sesat selama-lamanya.
Terngiang barisan ayat demi ayat dari Firman Allah, al Qur'an yang mulia, di mana di Tangan Allah kendali semua arah kehidupan. Allah yang menurunkan al Qur'an sebagai panduan I hidup, bahwa al Qur'an itu petunjuk, pembeda antara yang halal dan haram, yang benar dengan yang batil. Itu semua karena Allah Yang Memiliki Kehidupan, tabu bahwa manusia yang hidup jika tidak diberi panduan hidup, sungguh ia akan tersesat.
Sekarang menjadi jelas, bahwa banyak manusia sebenernya tidak tahu akan Al Qur'an, sehingga tidak lagi bisa mengenali yang halal apa yang haram. Lihat saja sekeliling kita; apa yang diberitakan, dan apa yang dibicarakan. Andaipun ada yang tahu al Qur'an, rupanya al Qur'an itu tidaklah hidup di dalam kehidupannya. Tidak dipake.
Jika di kehidupan kita saja sudah begini, bagaimanakah lagi anak-anak kita yang hidup dengan lebih banyak tontonan, dan godaan hidup? Aurat wanita di zaman kita dulu hidup, masih minim buat dilihat. Sekarang? Begitu terbuka. Dulu, paling banter surat-suratan. Video porno susah didapat. Bukan sebab susah kaset beta dan VHS nya saja, tapi playernya juga susah. Sekarang? Wuah, merk-merk HP generasi tercanggih, anak-anak SD pun hafal, dan bahkan punya! Dan alat-alat yang sejatinya ini sangatlah positif, kemudian menjadi neraka buat anak-anak kita, sebab mereka tidak siap dan tidak disiapkan. Pada sebagian wajah anak-anak orang kaya, banyak yang kekayaan orang tuanya pun semakin mempercepat anak-anaknya masuk neraka. Mereka bermaksiat dengan kendaraan yang dibelikan orang tuanya. Mereka bermaksiat dengan uang yang diberikan orang tuanya. Mengerikan. Bahkan di sebagian wajah anak-anak yang tidak mampu, pun juga malahannya ikut-ikutan tidak selamat. Dua-duanya tidak akan selamat, jika tidak berpegang teguh kepada al Qur'an dan as Sunnah. Dan bagaimana lagi bisa berpegang teguh, jika ternyata mengenalpun tidak. Subhaanallah.
Para ayah, para ibu... Anak-anak kita sungguh mengarungi hidup yang berat jika ia tidak diberi sampan yang tangguh, sampan yang kokoh, dan juga dayung yang kuat. Sampannya adalah al Qur'an, dan dayungnya adalah as Sunnah.
Program I'daad ini program yang bisa dipakai di Rumah Tahfidz, dan di Daarul Qur'an. Dan bisa dipakai oleh siapa yang mau memakai. Program yang secara representatif, insya Allah mendekati jawaban apa yang digelisahkan di atas. Di mana lewat program I'daad ini,anak-anak kita dibentuk dulu karakternya dengan al Qur'an dan as Sunnah. Dipenuhi dulu otaknya, pikirannya, hatinya, welas asihnya, kesantunannya, dengan al Qur'an dan as Sunnah. Sebelum ia kemudian dijejali dengan apa yang dibawa dan diberikan oleh sekolah.
Nasihat berikut ini buat saya dan buat semua yang mau anaknya selamat lahir batin dunia akhirat. Jangan diterjunbebaskan anak-anak kita ke sekolah-sekolah yang belasan tahun tidak ada shalat dhuhanya, dan tidak memberikan kesempatan kepada anak-anak kita untuk shalat dhuha! Hingga kemudian ia akan tumbuh menjadi anak-anak yang tidak cinta kepada rasul-Nya.
Jangan diterjunbebaskan anak-anak kita ke sekolah-sekolah yang belasan tahun tidak ada shalat berjamaahnya ketika zuhur. Kelak kita akan mendapati susah sekali anak-anak kita tumbuh menjadi anak-anak yang bisa shalat berjamaah, di awal waktu, dan di masjid.
Jangan diterjunbebaskan anak laki-laki kita ke sekolah-sekolah yang aurat wanitanya begitu terbuka, sedang anak kita belumlah lagi diberi pengetahuan bahwa dia harus menjaga pandangannya, harus menahan nafsunya. Jangan diterjunbebaskan anak-anak perempuan kita, ke sekolah yang pergaulan beda jenisnya bebas. Anak-anak kita belum siap, atau kitalah yang menyiapkannya dulu hingga mereka siap.
Dan jangan begitu saja mudah memberikan sepertiga, setengah, atau bahkan dua pertiga hidup anak kita, ke sekolah-sekolah yang porsi buat al Qur'an, porsi buat Allah, sedikit sekali.
Kenalkan dulu anak kita,. kepada pegangan hidupnya. Al Qur'an dan as Sunnah. Supaya penting ini al Qur'an dan as Sunnah bagi kehidupannya. Supaya al Qur'an dan as Sunnah menjadi bahagian dari kehidupannya kelak.
Kita benerin bacaan Qur'annya anak kita dulu. Kita bikin dia hafal Qur'an dulu. Kita buat dia asyik dulu mempelajari al Qur'an. Tanpa sadar terbangun karakter al Qur'an di dalam dirinya. Akhlaknya, al Qur'an. Seperti Rasulullah yang akhlaknya adalah al Qur'an; kaanat khuluquhul Qur'an.
Sejarah membuktikan, para cendikiawan muslim dunia adalah Penghafal al Qur'an. Hidupnya tidak lepas dari al Qur'an. Pakaiannya adalah as Sunnah. Apalagi Rasul mewariskan dua hal bagi hidup anak-anak kita, dan kita; yaitu al Qur'an dan as Sunnah. In tamassaktum bihimaa Lan tadhillu abadan, kalau kita memegang keduanya, tidak akan sesat selama-lamanya.
Dan wajah seperti apa anak yang kita idamkan? Wajah anak-anak yang mengejar impiannya? Mengejar cita-citanya? Bersama Allah? Atau wajah anak-anak yang melupakan Allah? Asyik belajar, tapi shalat telat, shalat lupa, shalat sunnah berat dan susah? Hampir-hampir seperti kita yang jauh dari masjid? Jauh dari shalat tepat waktu? Jauh dari berjamaah? Sepi dari shalat-shalat sunnah?
Wajah anak-anak yang bagaimana yang mau kita lihat? Wajah anak-anak yang lebih penting ujian nasional ketimbang ujian hidup? Wajah anak-anak yang hanya memikirkan nilai berupa angka? Tapi melupakan nilai-nilai kehidupan? Utamanya nilai yang ada di al Qur'an dan di as Sunnah? Hidupnya kering dari budi, dari rasa, dari kasih sayang. Tujuan hidupnya kecil, hanya masuk sekolah favorit? Hanya masuk perguruan tinggi negeri? Setelah lulus, mikirin hanya nyari kerja, nyari gajian? Tidak mencari Allah, yang Maha Memiliki Pekerjaan, Maha Memiliki Rizki?
Pernahkah berpikir, siapa yang akan menguburkan Anda? Anak Anda? Ataukah ia hanya bisa melihat dari tepian kuburan, di mana tukang penggali kuburlah yang menanam jasad kita. Bukan anak kita? Sebelum kita kemudian timbun dengan tanah dan meninggalkannya?
Pernahkah berpikir, siapa yang akan mendoakan kita, dan mengalirkan kita kebaikan demi kebaikan, setelah wafatnya kita? Jangan-jangan kita dipusingkan sejak anak kita hidup dan sejak kita hidup. Pusing dengan kelakuannya, yang semuanya sebenarnya adalah kesalahan kita. Anak ibarat gelas. Sayang, ia diisi dengan air yang bukan air al Qur'an dan as Sunnah.
Tidakkah terbayangkan bahwa doanya anak kita adalah obat buat kita? Perhatiannya adalah kebahagiaan buat kita? Tatkala kita sakit, ia masuk bertanya dengan halusnya, sambil menggenggam tangan kita penuh kasih sayang. Kemudian mengambil wudhu, dan shalat sunnah untuk kesembuhan kita. Dan setelah shalat, ia membacakan al Qur'an untuk kita. Belum wafatnya kita aja begini, insya Allah setelah wafatnya, maka ia akan sering mengingat dan mendoakan kita.
Dan sudahkah kita juga memberi bekal doa buat anak kita, bukan sekedar bekal uang? Apa yang kita tinggali untuk anak kita? Rumah dan harta yang justru mereka mungkin akan berpeluang jauh dari Allah? Atau seperti Rasul, kita Tinggalkan al Qur'an dan as Sunnah? Atau seperti Abu Bakar, yang meninggalkan Allah dan rasul-Nya untuk anak dan keluarganya?
Kondisi sempurna, tidak akan ada yang bisa, kecuali Allah yang kemudian memudahkan dan membuat kita bisa mendekati kondisi ideal untuk anak kita dan kita. Bahagia di dunia, bahagia di akhirat. Sukses di dunia, selamat di akhirat. Amin..
Surat Terbuka ini saya tulis dengan mengucap Bismillaahir rahmaanir rahiim. Isinya seputar kegelisahan saya sebagai orang tua, juga kakak, juga paman, bagi anak-anak saya, adik-adik saya, dan ponakan-ponakan saya. Juga kegelisahan akan keadaan anak-anak Indonesia pada umumnya. Sekarang ini yang dipikirkan sama anak-anak kita bukan lagi cita-cita dan impiannya. Tapi ujian, ujian, dan ujian. Ini yang terus menerus ada di bayang-bayang mata mereka, pengaruh kita-kita orang-orang tuanya dan pengambil kebijakan di dunia pendidikan. Sempit sekali. Pendidikan akhlak, budi pekerti, kasih sayang, kesantunan, adat istiadat yang baik, dikesampingkan (Baca: Tidak dijadikan sistem, dan cenderung tidak diarahkan dan tidak dibentuk). Anak-anak lebih diarahkan dan ditujukan agar lulus dengan prestasi angka. Ujian sekolah dikhawatirkan, namun ujian hidup tidak dikhawatirkan.
Surat ini saya tulis untuk para ayah, para ibu, para kakak, para paman, yang mudah-mudahan timbul dengan surat sederhana ini kekhawatiran akan nasib anak-anaknya, adik-adiknya, ponakan-ponakannya. Banyak yang sudah hidup tidak lagi berbalut sunnah. Sudah mulai jarang terdengar anak-anak ceria menegakkan shalat ma'am, kecuali tradisi ini masih terjaga dengan baik di dunia pesantren. Sudah mulai jarang terdengar anak-anak yang bangga dengan dhuhanya yang tiada pernah putus, mati-matian menjaga shalat berjamaah di masjid lengkap dengan qabliyah ba'diyah bahkan tahiyyatul masjid dan sunnah wudlunya. Sudah mulai jarang terdengar anak-anak ditanya sudah khatam al Qur'an berapa kali? Sudah sampe mana hafalannya? Sudah berapa ayat yang engkau pelajari? Kemajuan teknologi yang seharusnya membuat banyak kemudahan, lantaran anak-anak kita ga siap, akhirnya kemudian terbawa sisi negatif dari teknologi tersebut. Pergaulan makin bebas, mata makin susah dijaga. Pendidikan dan pembiasaan puasa yang efektif buat ngerem nafsu; baik buat anak-anak juga buat dewasa, tidak lagi dibiasakan. Yang dibiasakan justru keluar makan, jajan, dan mengkonsumsi junk food. Anak-anak dari kecil hingga dewasanya tidak terlatih dan tidak dilatih untuk puasa.
Setelah lama tak bersiar, atas Izin Allah kini mulai marak gerakan anak-anak muda didikan orang-orang tua pendidik dan pengajar yang peduli terhadap as Sunnah, masuk dan menggerakkan sekolah-sekolah. Mereka tidak memulai dulu aktifitas sekolah yang dipimpinnya, kelas yang diajarnya, kecuali mereka bawa dulu anak-anak melakukan shalat dhuha; ketemu sama Allah Yang Maha Menghantarkan anak-anak kepada kesuksesan dunia akhirat yang diinginkannya. Mereka-mereka ini sanggup menghentikan semua kegiatan belajar mengajar, untuk mendisiplinkan anak shalat berjamaah. Mereka ajarkan qabliyah ba'diyah, dua ibadah ringan yang sudah mulai ditinggalkan para pencari dunia. Mereka ajarkan keutamaan zikir di samping keutamaan menuntut ilmu, bekerja, dan berusaha.
Ya, semoga benar-benar semakin banyak pendidik dan pengajar, juga pemilik-pemilik sekolah yang membimbing anak-anak didiknya untuk tumbuh bersama Allah dan Rasul-Nya. Dan semakin banyak pula orang-orang tua yang berkenan mencari sekolah-sekolah buat anak-anaknya, di mana di sekolah itu ada akhlak yang diutamakan, ada kesantunan yang diutamakan, ada al Qur'an dan as Sunnah.
Dengan Izin Allah seraya memohon Ridha-Nya, saya membuat Surat Terbuka ini. Kepengen menyampaikan Program I'daad. Program I'daad ini menjadi isi dari Surat Terbuka saya.
Mudah-mudahan berkenan. Terima kasih atas perhatiannya
Yusuf Mansur
Selasa, 01 November 2011
Panduan Ibadah Qurban
Allah subhanahu wa ta'ala berfirman yang artinya, “Maka shalatlah untuk Rabbmu dan sembelihlah hewan." (Qs. Al Kautsar: 2) Syaikh Abdullah Alu Bassaam mengatakan, "Sebagian ulama ahli tafsir mengatakan; yang dimaksud dengan menyembelih hewan adalah menyembelih hewan qurban setelah shalat Ied." Pendapat ini dinukil dari Qatadah, Atha' dan Ikrimah (Taisirul ‘Allaam, 534, Taudhihul Ahkaam IV/450, & Shahih Fiqih Sunnah II/366). Dalam istilah ilmu fiqih hewan qurban biasa disebut dengan nama Al Udh-hiyah yang bentuk jamaknya Al Adhaahi (dengan huruf ha' tipis).
Pengertian Udh-hiyah
Udh-hiyah adalah hewan ternak yang disembelih pada hari Iedul Adha dan hari Tasyriq dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah karena datangnya hari raya tersebut (lihat Al Wajiz, 405 dan Shahih Fiqih Sunnah II/366)
Keutamaan Qurban
Menyembelih qurban termasuk amal salih yang paling utama. ‘Aisyah radhiyallahu'anha menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Tidaklah anak Adam melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya kalian merasa senang karenanya." (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan sanad sahih, lihat Taudhihul Ahkam, IV/450)
Hadis di atas didla'ifkan oleh Syaikh Al Albani (Dla'if Ibn Majah, 671). Namun kegoncangan hadis di atas tidaklah menyebabkan hilangnya keutamaan berqurban. Banyak ulama menjelaskan bahwa menyembelih hewan qurban pada hari idul Adlha lebih utama dari pada sedekah yang senilai atau seharga dengan hewan qurban, atau bahkan lebih utama dari pada sedekah yang lebih banyak dari pada nilai hewan qurban. Karena maksud terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada Allah. Bukan semata-mata nilai binatangnya. Disamping itu, menyembelih qurban lebih menampakkan syi'ar islam dan lebih sesuai dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (lihat Shahih Fiqh Sunnah 2/379 & Syarhul Mumthi' 7/521)
Hukum Qurban
Dalam hal ini para ulama terbagi dalam dua pendapat:
Pertama: Wajib bagi orang yang berkelapangan. Ulama yang berpendapat demikian adalah Rabi'ah (guru Imam Malik), Al Auza'i, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, Laits bin Sa'ad beserta beberapa ulama pengikut Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: "Pendapat yang menyatakan wajib itu tampak lebih kuat dari pada pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan tetapi hal itu hanya diwajibkan bagi yang mampu..." (lih. Syarhul Mumti', III/408) Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami." (HR. Ibnu Majah 3123, Al Hakim 7672 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Pendapat kedua menyatakan Sunnah Mu'akkadah (ditekankan). Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama yaitu Malik, Syafi'i, Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain. Ulama yang mengambil pendapat ini berdalil dengan riwayat dari Abu Mas'ud Al Anshari radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan, "Sesungguhnya aku sedang tidak berqurban. Padahal aku adalah orang yang berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir kalau tetanggaku mengira qurban itu adalah wajib bagiku." (HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi dengan sanad shahih). Demikian pula dikatakan oleh Abu Sarihah, "Aku melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua tidak berqurban." (HR. Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih) Ibnu Hazm berkata, "Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang menyatakan bahwa qurban itu wajib." (lihat Al Muhalla 5/295, dinukil dari Shahih Fiqih Sunnah II/367-368, dan Taudhihul Ahkaam, IV/454).
Dalil-dalil di atas merupakan dalil pokok yang digunakan masing-masing pendapat. Jika dijabarkan semuanya menunjukkan masing-masing pendapat sama kuat. Sebagian ulama memberikan jalan keluar dari perselisihan dengan menasehatkan: "...selayaknya bagi mereka yang mampu, tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan, wallahu a'lam. (Tafsir Adwa'ul Bayan, 1120).
Yakinlah...! Bagi mereka yang berqurban, Allah akan segera memberikan ganti biaya qurban yang dia keluarkan. Karena setiap pagi Allah mengutus dua malaikat, yang satu berdo'a: "Yaa Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq." Dan yang kedua berdo'a: "Yaa Allah, berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan hartanya (pelit)." (HR. Al Bukhari 1374 & Muslim 1010).
Hewan yang Boleh Digunakan untuk Qurban
Hewan qurban hanya boleh dari jenis Bahiimatul Al An'aam (hewan ternak). Dalilnya adalah firman Allah yang artinya, "Dan bagi setiap umat Kami berikan tuntunan berqurban agar kalian mengingat nama Allah atas rezki yang dilimpahkan kepada kalian berupa hewan-hewan ternak (bahiimatul an'aam)." (Qs. Al Hajj: 34). Dalam bahasa arab, yang dimaksud Bahiimatul Al An'aam hanya mencakup tiga binatang yaitu onta, sapi atau kambing. Oleh karena itu, berqurban hanya sah dengan tiga hewan tersebut dan tidak boleh selain itu. Bahkan sekelompok ulama menukilkan adanya ijma' (kesepakatan) bahwasanya qurban tidak sah kecuali dengan hewan-hewan tersebut (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/369 dan Al Wajiz 406) Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan, "Bahkan jika seandainya ada orang yang berqurban dengan jenis hewan lain yang lebih mahal dari pada jenis ternak tersebut maka qurbannya tidak sah. Andaikan dia lebih memilih untuk berqurban seekor kuda seharga 10.000 real sedangkan seekor kambing harganya hanya 300 real maka qurbannya (dengan kuda) itu tidak sah..." (Syarhul Mumti' III/409)
Seekor Kambing untuk Satu Keluarga
Seekor kambing cukup untuk qurban satu keluarga, dan pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga meskipun jumlahnya banyak, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Sebagaimana hadits Abu Ayyub radhiyallahu'anhu yang mengatakan, "Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya." (HR. Tirmidzi dan beliau menilainya shahih, lihat Minhaajul Muslim, 264 dan 266)
Oleh karena itu, tidak selayaknya seseorang mengkhususkan qurban untuk salah satu anggota keluarganya tertentu, misalnya qurban tahun ini untuk bapaknya, tahun depan untuk ibunya, tahun berikutnya untuk anak pertama, dan seterusnya. Sesungguhnya karunia dan kemurahan Allah sangat luas maka tidak perlu dibatasi.
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban untuk dirinya dan seluruh umatnya. Suatu ketika beliau hendak menyembelih kambing qurban, sebelum menyembelih beliau mengatakan: "Yaa Allah ini - qurban - dariku dan dari umatku yang tidak berqurban." (HR. Abu Daud 2810 & Al Hakim 4/229 dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Al Irwa' 4/349). Berdasarkan hadis ini, Syaikh Ali bin Hasan Al Halaby mengatakan: "Kaum muslimin yang tidak mampu berqurban, mendapatkan pahala sebagaimana orang berqurban dari umat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam."
Adapun yang dimaksud: "...kambing hanya boleh untuk satu orang, sapi untuk tujuh orang, dan onta 10 orang..." adalah biaya pengadaannya. Biaya pengadaan kambing hanya boleh dari satu orang, biaya pengadaan sapi hanya boleh dari maksimal tujuh orang dan qurban onta hanya boleh dari maksimal 10 orang.
Namun seandainya ada orang yang hendak membantu shohibul qurban yang kekurangan biaya untuk membeli hewan, maka diperbolehkan dan tidak mempengaruhi status qurbannya. Dan status bantuan di sini adalah hadiah bagi shohibul qurban. Apakah harus izin terlebih dahulu kepada pemilik hewan? Jawab: Tidak harus, karena dalam transaksi pemberian sedekah maupun hadiah tidak dipersyaratkan memberitahukan kepada orang yang diberi sedekah maupun hadiah.
Ketentuan Untuk Sapi & Onta
Seekor Sapi dijadikan qurban untuk 7 orang. Sedangkan seekor onta untuk 10 orang. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu'anhu beliau mengatakan, "Dahulu kami penah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Iedul Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor onta. Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang." (Shahih Sunan Ibnu Majah 2536, Al Wajiz, hal. 406).
Dalam masalah pahala, ketentuan qurban sapi sama dengan ketentuan qurban kambing. Artinya urunan 7 orang untuk qurban seekor sapi, pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga dari 7 orang yang ikut urunan.
Arisan Qurban Kambing?
Mengadakan arisan dalam rangka berqurban masuk dalam pembahasan berhutang untuk qurban. Karena hakekat arisan adalah hutang. Sebagian ulama menganjurkan untuk berqurban meskipun harus hutang. Di antaranya adalah Imam Abu Hatim sebagaimana dikatakan oleh Sufyan Ats Tsauri dan disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya (Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj: 36)[1]. Demikian pula Imam Ahmad dalam masalah aqiqah. Beliau menyarankan agar orang yang tidak memiliki biaya aqiqah agar berhutang dalam rangka menghidupkan sunnah aqiqah di hari ketujuh setelah kelahiran.
Sebagian ulama lain menyarankan untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban. Di antaranya adalah Syaikh Ibn Utsaimin dan ulama tim fatwa islamweb.net dibawah bimbingan Dr. Abdullah Al Faqih (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 7198 & 28826). Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: "Jika orang punya hutang maka selayaknya mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban." (Syarhul Mumti' 7/455). Bahkan Beliau pernah ditanya tentang hukum orang yang tidak jadi qurban karena uangnya diserahkan kepada temannya yang sedang terlilit hutang, dan beliau jawab: "Jika di hadapkan dua permasalahan antara berqurban atau melunaskan hutang orang faqir maka lebih utama melunasi hutang, lebih-lebih jika orang yang sedang terlilit hutang tersebut adalah kerabat dekat." (lih. Majmu' Fatawa & Risalah Ibn Utsaimin 18/144).
Namun pernyataan-pernyataan ulama di atas tidaklah saling bertentangan. Karena perbedaan ini didasari oleh perbedaan dalam memandang keadaan orang yang berhutang. Sikap ulama yang menyarankan untuk berhutang ketika qurban terkait dengan orang yang keadaanya mudah dalam melunasi hutang atau hutang yang jatuh temponya masih panjang. Sedangkan anjuran sebagian ulama untuk mendahulukan pelunasan hutang dari pada qurban terkait dengan orang yang kesulitan melunasi hutang atau orang yang memiliki hutang dan pemiliknya meminta agar segera dilunasi.
Dengan demikian, jika arisan qurban kita golongkan sebagai hutang yang jatuh temponya panjang atau hutang yang mudah dilunasi maka berqurban dengan arisan adalah satu hal yang baik. Wallahu a'lam.
Hukum Qurban Kerbau
Para ulama' menyamakan kerbau dengan sapi dalam berbagai hukum dan keduanya dianggap sebagai satu jenis (Mausu'ah Fiqhiyah Quwaithiyah 2/2975). Ada beberapa ulama yang secara tegas membolehkan berqurban dengan kerbau. Baik dari kalangan Syafi'iyah (lih. Hasyiyah Al Bajirami) maupun dari madzhab Hanafiyah (lih. Al ‘Inayah Syarh Hidayah 14/192 dan Fathul Qodir 22/106). Mereka menganggap keduanya satu jenis.
Syaikh Ibn Al Utasimin pernah ditanya tentang hukum qurban dengan kerbau.
Isi Pertanyaan:
"Kerbau dan sapi memiliki perbedaan adalam banyak sifat sebagaimana kambing dengan domba. Namun Allah telah merinci penyebutan kambing dengan domba tetapi tidak merinci penyebutan kerbau dengan sapi, sebagaimana disebutkan dalam surat Al An'am 143. Apakah boleh berqurban dengan kerbau?"
Beliau menjawab:
"Jika kerbau termasuk (jenis) sapi maka kerbau sebagaimana sapi namun jika tidak maka (jenis hewan) yang Allah sebut dalam alqur'an adalah jenis hewan yang dikenal orang arab, sedangkan kerbau tidak termasuk hewan yang dikenal orang arab." (Liqa' Babil Maftuh 200/27)
Jika pernyataan Syaikh Ibn Utsaimin kita bawa pada penjelasan ulama di atas maka bisa disimpulkan bahwa qurban kerbau hukumnya sah, karena kerbau sejenis dengan sapi. Wallahu a'lam.
Urunan Qurban Satu Sekolahan
Terdapat satu tradisi di beberapa lembaga pendidikan di daerah kita, ketika idul adha tiba sebagian sekolahan menggalakkan kegiatan latihan qurban bagi siswa. Masing-masing siswa dibebani iuran sejumlah uang tertentu. Hasilnya digunakan untuk membeli kambing dan disembelih di hari-hari qurban. Apakah ini bisa dinilai sebagai ibadah qurban?
Perlu dipahami bahwa qurban adalah salah satu ibadah dalam islam yang memiliki aturan tertentu sebagaimana yang digariskan oleh syari'at. Keluar dari aturan ini maka tidak bisa dinilai sebagai ibadah qurban, alias qurbannya tidak sah. Di antara aturan tersebut adalah masalah pembiayaan. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, biaya pengadaan untuk seekor kambing hanya boleh diambilkan dari satu orang. Oleh karena itu kasus tradisi ‘qurban' seperti di atas tidak dapat dinilai sebagai qurban. Karena biaya pengadaan kambing diambil dari sejumlah siswa.
Berqurban Atas Nama Orang yang Sudah Meninggal?
Berqurban untuk orang yang telah meninggal dunia dapat dirinci menjadi tiga bentuk:
Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran qurban utama namun statusnya mengikuti qurban keluarganya yang masih hidup. Misalnya seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya sementara ada di antara keluarganya yang telah meninggal. Berqurban jenis ini dibolehkan dan pahala qurbannya meliputi dirinya dan keluarganya, termasuk yang sudah meninggal.
Berqurban khusus untuk orang yang telah meninggal tanpa ada wasiat dari mayit. Sebagian ulama madzhab hambali menganggap ini sebagai satu hal yang baik dan pahalanya bisa sampai kepada mayit, sebagaimana sedekah atas nama mayit (lih. Fatwa Majlis Ulama Saudi no. 1474 & 1765). Namun sebagian ulama' bersikap keras dan menilai perbuatan ini sebagai satu bentuk bid'ah, mengingat tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada riwayat bahwasanya beliau berqurban atas nama Khadijah, Hamzah, atau kerabat beliau lainnya yang telah meninggal, mendahului beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa berqurban atas nama orang yang sudah meninggal secara khusus tanpa ada wasiat sebelumnya adalah tidak disyariatkan. Karena Nabi tidak pernah melakukan hal itu. Padahal beliau sangat mencintai keluarganya yang telah meninggal seperti istri beliau tercinta Khadijah dan paman beliau Hamzah.
Berqurban khusus untuk orang yang meninggal karena mayit pernah mewasiatkan agar keluarganya berqurban untuk dirinya jika dia meninggal. Berqurban untuk mayit untuk kasus ini diperbolehkan jika dalam rangka menunaikan wasiat si mayit. (Dinukil dari catatan kaki Syarhul Mumti' yang diambil dari Risalah Udl-hiyah Syaikh Ibn Utsaimin 51)
Umur Hewan Qurban
Dari Jabir bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Janganlah kalian menyembelih (qurban) kecuali musinnah. Kecuali apabila itu menyulitkan bagi kalian maka kalian boleh menyembelih domba jadza'ah." (Muttafaq ‘alaih)
Musinnah adalah hewan ternak yang sudah dewasa, diambil dari kata sinnun yang artinya gigi. Hewan tersebut dinamakan musinnah karena hewan tersebut sudah ganti gigi (bahasa jawa: pow'el). Adapun rincian usia hewan musinnah adalah:
No. Hewan Usia minimal
1. Onta 5 tahun
2. Sapi 2 tahun
3. Kambing jawa 1 tahun
4. Domba 6 bulan (domba Jadza'ah)
(lihat Syarhul Mumti', III/410, Taudhihul Ahkaam, IV/461)
Apakah yang menjadi acuan usianya ataukah ganti giginya?
Yan menjadi acuan hewan tersebut bisa digolongkan musinnah adalah usianya. Karena penamaan musinnah untuk hewan yang sudah genap usia qurban adalah penamaan dengan umumnya kasus yang terjadi. Artinya, umumnya kambing yang sudah berusia 1 tahun atau sapi 2 tahun itu sudah ganti gigi. Disamping itu, ketika para ulama menjelaskan batasan hewan musinnah dan hewan jadza'ah, mereka menjelaskannya dengan batasan usia. Dengan demikian, andaikan ada sapi yang sudah berusia 2 tahun namun belum ganti gigi, boleh digunakan untuk berqurban. Allahu a'lam.
Berkurban dengan domba jadza'ah itu dibolehkan secara mutlak ataukah bersyarat
Ulama berselisih pendapat dalam masalah ini. An Nawawi menyebutkan ada beberapa pendapat:
Pertama, boleh berqurban dengan hewan jadza'ah dengan syarat kesulitan untuk berqurban dengan musinnah. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibn Umar dan Az Zuhri. Mereka berdalil dengan makna dlahir hadis di atas.
Kedua, dibolehkan berqurban dengan domba jadza'ah (usia 6 bulan) secara mutlak. Meskipun shohibul qurban memungkinkan untuk berqurban dengan musinnah (usia 1 tahun). Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama. Sedankan hadis Jabir di atas dimaknai dengan makna anjuran. Sebagaimana dianjurkannya untuk memilih hewan terbaik ketika qurban.
Insyaa Allah pendapat kedua inilah yang lebih kuat. Karena pada hadis Jabir di atas tidak ada keterangan terlarangnya berqurban dengan domba jadza'ah dan tidak ada keterangan bahwa berqurban dengan jadza'ah hukumnya tidak sah. Oleh karena itu, Jumhur ulama memaknai hadis di atas sebagai anjuran dan bukan kewajiban. Allahu a'lam. (Syarh Shahih Muslim An Nawawi 6/456)
Cacat Hewan Qurban
Cacat hewan qurban dibagi menjadi 3:
a. Cacat yang menyebabkan tidak sah untuk berqurban, ada 4 [2]:
- Buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya
Jika butanya belum jelas - orang yang melihatnya menilai belum buta - meskipun pada hakekatnya kambing tersebut satu matanya tidak berfungsi maka boleh diqurbankan. Demikian pula hewan yang rabun senja. ulama' madzhab syafi'iyah menegaskan hewan yang rabun boleh digunakan untuk qurban karena bukan termasuk hewan yang buta sebelah matanya.
- Sakit dan jelas sekali sakitnya. Tetapi jika sakitnya belum jelas, misalnya, hewan tersebut kelihatannya masih sehat maka boleh diqurbankan.
- Pincang dan tampak jelas pincangnya
Artinya pincang dan tidak bisa berjalan normal. Akan tetapi jika baru kelihatan pincang namun bisa berjalan dengan baik maka boleh dijadikan hewan qurban.
- Sangat tua sampai-sampai tidak punya sumsum tulang
Dan jika ada hewan yang cacatnya lebih parah dari 4 jenis cacat di atas maka lebih tidak boleh untuk digunakan berqurban. (lih. Shahih Fiqih Sunnah, II/373 & Syarhul Mumti' 3/294).
b. Cacat yang menyebabkan makruh untuk berqurban, ada 2 [3]:
- Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong
- Tanduknya pecah atau patah
(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)
c. Cacat yang tidak berpengaruh pada hewan qurban (boleh dijadikan untuk qurban) namun kurang sempurna.
Selain 6 jenis cacat di atas atau cacat yang tidak lebih parah dari itu maka tidak berpengaruh pada status hewan qurban. Misalnya tidak bergigi (ompong), tidak berekor, bunting, atau tidak berhidung. Wallahu a'lam (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)
Hewan yang disukai dan lebih utama untuk diqurbankan
Hendaknya hewan yang diqurbankan adalah hewan yang gemuk dan sempurna. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang artinya, “…barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah maka sesungguhnya itu adalah berasal dari ketakwaan hati.” (Qs. Al Hajj: 32) Berdasarkan ayat ini Imam Syafi’i rahimahullah menyatakan bahwa orang yang berqurban disunnahkan untuk memilih hewan qurban yang besar dan gemuk. Abu Umamah bin Sahl mengatakan, “Dahulu kami di Madinah biasa memilih hewan yang gemuk dalam berqurban. Dan memang kebiasaan kaum muslimin ketika itu adalah berqurban dengan hewan yang gemuk-gemuk.” (HR. Bukhari secara mu’allaq namun disampaikan dengan kalimat tegas dan disambungkan sanadnya oleh Abu Nu’aim dalam Al Mustakhraj, sanadnya hasan)
Diantara ketiga jenis hewan qurban maka menurut mayoritas ulama yang paling utama adalah berqurban dengan onta, kemudian sapi kemudian kambing, jika biaya pengadaan masing-masing ditanggung satu orang (bukan urunan). Dalilnya adalah jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya oleh Abu Dzar radhiallahu ‘anhu tentang budak yang lebih utama. Beliau bersabda, “Yaitu budak yang lebih mahal dan lebih bernilai dalam pandangan pemiliknya.” (HR. Bukhari dan Muslim). (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/374)
Manakah yang lebih baik, ikut urunan sapi atau qurban satu kambing?
Sebagian ulama menjelaskan qurban satu kambing lebih baik dari pada ikut urunan sapi atau onta, karena tujuh kambing manfaatnya lebih banyak dari pada seekor sapi (lih. Shahih Fiqh Sunnah, 2/375, Fatwa Lajnah Daimah no. 1149 & Syarhul Mumthi’ 7/458). Disamping itu, terdapat alasan lain diantaranya:
1.Qurban yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utuh satu ekor, baik kambing, sapi, maupun onta, bukan 1/7 sapi atau 1/10 onta.
2.Kegiatan menyembelihnya menjadi lebih banyak. Lebih-lebih jika hadis yang menyebutkan keutamaan qurban di atas statusnya shahih (lih. Hadis pada pembahasan keutamaan berqurban). Hal ini juga sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh penulis kitab Al Muhadzab As Saerozi As Syafi’i. (lih. Al Muhadzab 1/74).
3.Terdapat sebagian ulama yang melarang urunan dalam berqurban, diantaranya adalah Mufti Negri Saudi Syaikh Muhammad bin Ibrahim (lih. Fatwa Lajnah 11/453). Namun pelarangan ini didasari dengan qiyas (analogi) yang bertolak belakang dengan dalil sunnah, sehingga jelas salahnya. Akan tetapi, berqurban dengan satu ekor binatang utuh, setidaknya akan mengeluarkan kita dari perselisihan ulama.
Apakah harus jantan?
Tidak ada ketentuan jenis kelamin hewan qurban. Boleh jantan maupun betina. Dari Ummu Kurzin radhiallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aqiqah untuk anak laki-laki dua kambing dan anak perempuan satu kambing. Tidak jadi masalah jantan maupun betina.” (HR. Ahmad 27900 & An Nasa’i 4218 dan dishahihkan Syaikh Al Albani). Berdasarkan hadis ini, As Saerozi As Syafi’i mengatakan: “Jika dibolehkan menggunakan hewan betina ketika aqiqah berdasarkan hadis ini, menunjukkan bahwa hal ini juga boleh untuk berqurban.” (Al Muhadzab 1/74)
Namun umumnya hewan jantan itu lebih baik dan lebih mahal dibandingkan hewan betina. Oleh karena itu, tidak harus hewan jantan namun diutamakan jantan.
Larangan bagi yang hendak berqurban
Orang yang hendak berqurban dilarang memotong kuku dan memotong rambutnya. Yang dilarang untuk dipotong kuku dan rambutnya di sini adalah orang yang hendak qurban bukan hewan qurbannya. Dari Ummu Salamah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Apabila engkau telah memasuki sepuluh hari pertama (bulan Dzulhijjah) sedangkan diantara kalian ingin berqurban maka janganlah dia menyentuh sedikitpun bagian dari rambut dan kulitnya.” (HR. Muslim)
Larangan tersebut berlaku untuk cara apapun dan untuk bagian kuku maupun rambut manapun. Artinya mencakup larangan mencukur gundul atau mencukur sebagian saja, atau sekedar mencabutinya. Baik rambut itu tumbuh di kepala, kumis, sekitar kemaluan maupun di ketiak (lihat Shahih Fiqih Sunnah II/376).
Apakah larangan ini hanya berlaku untuk kepala keluarga ataukah berlaku juga untuk semua anggota keluarga shohibul qurban?
Jawab: Larangan ini hanya berlaku untuk kepala keluarga (shohibul qurban) dan tidak berlaku bagi anggota keluarganya. Karena 2 alasan:
Dlahir hadis menunjukkan bahwa larangan ini hanya berlaku untuk yang mau berqurban.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berqurban untuk dirinya dan keluarganya. Namun belum ditemukan riwayat bahwasanya beliau melarang anggota keluarganya untuk memotong kuku maupun rambutnya. (Syarhul Mumti’ 7/529)
Waktu penyembelihan
Waktu penyembelihan qurban adalah pada hari Iedul Adha dan 3 hari sesudahnya (hari tasyriq). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap hari taysriq adalah (hari) untuk menyembelih (qurban).” (HR. Ahmad dan Baihaqi) Tidak ada perbedaan waktu siang ataupun malam. Baik siang maupun malam sama-sama dibolehkan. Namun menurut Syaikh Al Utsaimin, melakukan penyembelihan di waktu siang itu lebih baik. (Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, hal. 33).
Kemudian, para ulama sepakat bahwa menyembelih qurban tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya fajar di hari Iedul Adha. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat Ied maka sesungguhnya dia menyembelih untuk dirinya sendiri (bukan qurban). Dan barangsiapa yang menyembelih sesudah shalat itu maka qurbannya sempurna dan dia telah menepati sunnahnya kaum muslimin.” (HR. Bukhari dan Muslim) (lihat Shahih Fiqih Sunnah II/377)
Tempat penyembelihan
Tempat yang disunnahkan untuk menyembelih adalah tanah lapangan tempat shalat ied diselenggarakan. Terutama bagi tokoh masyarakat, dianjurkan untuk menyembelih qurbannya di lapangan dalam rangka memberitahukan kepada kaum muslimin bahwa qurban sudah boleh dilakukan dan sekaligus mengajari tata cara qurban yang baik. Ibnu ‘Umar mengatakan, “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menyembelih kambing dan onta (qurban) di lapangan tempat shalat.” (HR. Bukhari 5552)
Akan tetapi, dibolehkan untuk menyembelih qurban di tempat manapun yang disukai, baik di rumah sendiri ataupun di tempat lain. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/378)
Siapakah yang menyembelih qurban?
Dianjurkan bagi shohibul qurban untuk menyembelih hewan qurbannya sendiri jika mampu menyembelih dengan baik. Namun boleh diwakilkan kepada orang lain. Syaikh Ali bin Hasan mengatakan: “Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama’ dalam masalah ini.” Hal ini berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu di dalam Shahih Muslim yang menceritakan bahwa pada saat qurban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyembelih beberapa onta qurbannya dengan tangan beliau sendiri kemudian sisanya diserahkan kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu untuk disembelih. (lih. Ahkaamul Idain, 32)
Tata cara penyembelihan
1.Sebaiknya pemilik qurban menyembelih hewan qurbannya sendiri jika mampu menyembelih dengan baik.
2.Apabila pemilik qurban tidak bisa menyembelih sendiri maka sebaiknya dia ikut datang menyaksikan penyembelihannya.
3.Hendaknya memakai alat yang tajam untuk menyembelih.
4.Hewan yang disembelih dibaringkan di atas lambung kirinya dan posisi kaki-kakinya ke arah kiblat.
5.Leher hewan diinjak dengan telapak kaki kanan penyembelih, sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian pisau ditekan kuat-kuat supaya cepat putus.
6.Ketika akan menyembelih disyari’akan membaca bismillaahi wallaahu akbar ketika menyembelih. Untuk bacaan bismillah (tidak perlu ditambahi Ar Rahman dan Ar Rahiim) hukumnya wajib menurut Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahmad, sedangkan menurut Imam Syafi’i hukumnya sunnah. Adapun bacaan takbir – Allahu Akbar – para ulama sepakat kalau hukum membaca takbir ketika menyembelih ini adalah sunnah dan bukan wajib. Kemudian diikuti bacaan:
- hadza minka wa laka. (HR. Abu Dawud 2795) Atau
- hadza minka wa laka ‘anni atau ‘an fulan (disebutkan nama shahibul qurban). atau
- Berdoa agar Allah menerima qurbannya dengan doa, Allahumma taqabbal minni atau min fulan (disebutkan nama shahibul qurban) (lih. Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, hal. 92)
Catatan: Tidak terdapat do’a khusus yang panjang bagi shohibul qurban ketika hendak menyembelih. Wallahu a’lam.
Bolehkah mengucapkan shalawat ketika menyembelih?
Tidak boleh mengucapkan shalawat ketika hendak menyembelih, karena 2 alasan:
1.Tidak terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan shalawat ketika menyembelih. Sementara beribadah tanpa dalil adalah perbuatan bid’ah.
2.Bisa jadi orang akan menjadikan nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai wasilah ketika qurban. Atau bahkan bisa jadi seseorang membayangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyembelih, sehingga sembelihannya tidak murni untuk Allah. (lih. Syarhul Mumti’ 7/492)
Pemanfaatan hasil sembelihan
Bagi pemilik hewan qurban dibolehkan memanfaatkan daging qurbannya, melalui:
1.Dimakan sendiri dan keluarganya, bahkan sebagian ulama menyatakan shohibul qurban wajib makan bagian hewan qurbannya. Termasuk dalam hal ini adalah berqurban karena nadzar menurut pendapat yang benar.
2.Disedekahkan kepada orang yang membutuhkan.
3.Dihadiahkan kepada orang yang kaya.
4.Disimpan untuk bahan makanan di lain hari. Namun penyimpanan ini hanya dibolehkan jika tidak terjadi musim paceklik atau krisis makanan.
Dari Salamah bin Al Akwa’ dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa diantara kalian yang berqurban maka jangan sampai dia menjumpai subuh hari ketiga sesudah hari raya sedangkan dagingnya masih tersisa walaupun sedikit.” Ketika datang tahun berikutnya maka para sahabat mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah kami harus melakukan sebagaimana tahun lalu?” Maka beliau menjawab, “(Adapun sekarang) Makanlah sebagian, sebagian lagi berikan kepada orang lain dan sebagian lagi simpanlah. Pada tahun lalu masyarakat sedang mengalami kesulitan (makanan) sehingga aku berkeinginan supaya kalian membantu mereka dalam hal itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menurut mayoritas ulama perintah yang terdapat dalam hadits ini menunjukkan hukum sunnah, bukan wajib (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/378). Oleh sebab itu, boleh mensedekahkan semua hasil sembelihan qurban. Sebagaimana diperbolehkan untuk disedekahkan seluruhnya kepada orang miskin dan sedikitpun tidak diberikan kepada orang kaya. (Minhaajul Muslim, 266).
Bolehkah memberikan daging qurban kepada orang Kafir?
Ulama madzhab Malikiyah berpendapat makruhnya memberikan daging qurban kepada orang kafir. Imam Malik mengatakan: “(diberikan) kepada selain mereka (orang kafir) lebih aku sukai.” Sedangkan Syafi’iyah berpendapat haramnya memberikan daging qurban kepada orang kafir untuk qurban yang wajib (misalnya qurban nadzar, pen.) dan makruh untuk qurban yang sunnah. (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 29843). Al Baijuri As Syafi’i mengatakan: “Dalam Al Majmu’ (Syarhul Muhadzab) disebutkan, boleh memberikan sebagian qurban sunnah kepada kafir dzimmi yang miskin. Tapi ketentuan ini tidak berlaku untuk qurban yang wajib.” (Hasyiyah Al Baijuri 2/310)
Lajnah Daimah (Majlis Ulama’ saudi Arabia) ditanya tentang hukum memberikan daging qurban kepada orang kafir.
Jawaban Lajnah:
“Kita dibolehkan memberi daging qurban kepada orang kafir Mu’ahid [4] baik karena statusnya sebagai orang miskin, kerabat, tetangga, atau karena dalam rangka menarik simpati mereka… namun tidak dibolehkan memberikan daging qurban kepada orang kafir Harby, karena kewajiban kita kepada kafir harby adalah merendahkan mereka dan melemahkan kekuatan mereka. Hukum ini juga berlaku untuk pemberian sedekah. Hal ini berdasarkan firman Allah, yang artinya:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Qs. Al Mumtahanah 8)
Demikian pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan Asma’ binti Abu Bakr radhiallahu ‘anhu untuk menemui ibunya dengan membawa harta padahal ibunya masih musyrik.” (Fatwa Lajnah Daimah no. 1997)
Kesimpulannya, memberikan bagian hewan qurban kepada orang kafir dibolehkan karena status hewan qurban sama dengan sedekah atau hadiah. Dan kita diperbolehkan memberikan sedekah maupun hadiah kepada orang kafir. Sedangkan pendapat yang melarang adalah pendapat yang tidak kuat karena tidak berdalil.
Larangan memperjual-belikan hasil sembelihan
Tidak diperbolehkan memperjual-belikan bagian hewan sembelihan, baik daging, kulit, kepala, tengkleng, bulu, tulang maupun bagian yang lainnya. Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk mengurusi penyembelihan onta qurbannya. Beliau juga memerintahkan saya untuk membagikan semua kulit tubuh serta kulit punggungnya. Dan saya tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun darinya kepada tukang jagal.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan terdapat ancaman keras dalam masalah ini, sebagaimana hadis berikut:
من باع جلد أضحيته فلا أضحية له
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang menjual kulit hewan qurbannya maka ibadah qurbannya tidak ada nilainya.” (HR. Al Hakim 2/390 & Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan: Hasan)
Tetang haramnya pemilik hewan menjual kulit qurban merupakan pendapat mayoritas ulama, meskipun Imam Abu Hanifah menyelisihi mereka. Namun mengingat dalil yang sangat tegas dan jelas maka pendapat siapapun harus disingkirkan.
Catatan:
Termasuk memperjual-belikan bagian hewan qurban adalah menukar kulit atau kepala dengan daging atau menjual kulit untuk kemudian dibelikan kambing. Karena hakekat jual-beli adalah tukar-menukar meskipun dengan selain uang.
Transaksi jual-beli kulit hewan qurban yang belum dibagikan adalah transaksi yang tidak sah. Artinya penjual tidak boleh menerima uang hasil penjualan kulit dan pembeli tidak berhak menerima kulit yang dia beli. Hal ini sebagaimana perkataan Al Baijuri: “Tidak sah jual beli (bagian dari hewan qurban) disamping transaksi ini adalah haram.” Beliau juga mengatakan: “Jual beli kulit hewan qurban juga tidak sah karena hadis yang diriwayatkan Hakim (baca: hadis di atas). (Fiqh Syafi’i 2/311).
Bagi orang yang menerima kulit dibolehkan memanfaatkan kulit sesuai keinginannya, baik dijual maupun untuk pemanfaatan lainnya, karena ini sudah menjadi haknya. Sedangkan menjual kulit yang dilarang adalah menjual kulit sebelum dibagikan (disedekahkan), baik yang dilakukan panitia maupun shohibul qurban.
Nasehat & Solusi untuk masalah kulit
Satu penyakit kronis yang menimpa ibadah qurban kaum muslimin bangsa kita, mereka tidak bisa lepas dari ‘fiqh praktis’ menjual kulit atau mengupah jagal dengan kulit. Memang kita akui ini adalah jalan pintas yang paling cepat untuk melepaskan diri dari tanggungan mengurusi kulit. Namun apakah jalan pintas cepat ini menjamin keselamatan???
Bertaqwalah kepada Allah wahai kaum muslimin… sesungguhnya ibadah qurban telah diatur dengan indah dan rapi oleh Sang Peletak Syari’ah. Jangan coba-coba untuk keluar dari aturan ini karena bisa jadi qurban kita tidak sah. Berusahalah untuk senantiasa berjalan sesuai syari’at meskipun jalurnya ‘kelihatannya’ lebih panjang dan sedikit menyibukkan. Jangan pula terkecoh dengan pendapat sebagian orang, baik ulama maupun yang ngaku-ngaku ulama. Karena manusia yang berhak untuk ditaati secara mutlak hanya satu yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka semua pendapat yang bertentangan dengan hadis beliau harus dibuang jauh-jauh.
Tidak perlu bingung dan merasa repot. Bukankah Ali bin Abi Thalib t pernah mengurusi qurbannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang jumlahnya 100 ekor onta?! Tapi tidak ada dalam catatan sejarah bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu bingung ngurusi kulit dan kepala. Demikianlah kemudahan yang Allah berikan bagi orang yang secara penuh mengikuti aturan syari’at. Namun bagi mereka (baca: panitia) yang masih merasa bingung ngurusi kulit, bisa dilakukan beberapa solusi berikut:
Kumpulkan semua kulit, kepala, dan kaki hewan qurban. Tunjuk sejumlah orang miskin sebagai sasaran penerima kulit. Tidak perlu diantar ke rumahnya, tapi cukup hubungi mereka dan sampaikan bahwa panitia siap menjualkan kulit yang sudah menjadi hak mereka. Dengan demikian, status panitia dalam hal ini adalah sebagai wakil bagi pemilik kulit untuk menjualkan kulit, bukan wakil dari shohibul qurban dalam menjual kulit.
Serahkan semua atau sebagian kulit kepada yayasan islam sosial (misalnya panti asuhan atau pondok pesantren). (Terdapat Fatwa Lajnah yang membolehkan menyerahkan bagian hewan qurban kepada yayasan).
Larangan mengupah jaga dengan bagian hewan sembelihan
Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu bahwa “Beliau pernah diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengurusi penyembelihan ontanya dan agar membagikan seluruh bagian dari sembelihan onta tersebut, baik yang berupa daging, kulit tubuh maupun pelana. Dan dia tidak boleh memberikannya kepada jagal barang sedikitpun.” (HR. Bukhari dan Muslim) dan dalam lafaz lainnya beliau berkata, “Kami mengupahnya dari uang kami pribadi.” (HR. Muslim). Dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/379).
Syaikh Abdullah Al Bassaam mengatakan, “Tukang jagal tidak boleh diberi daging atau kulitnya sebagai bentuk upah atas pekerjaannya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Yang diperbolehkan adalah memberikannya sebagai bentuk hadiah jika dia termasuk orang kaya atau sebagai sedekah jika ternyata dia adalah miskin…” (Taudhihul Ahkaam, IV/464). Pernyataan beliau semakna dengan pernyataan Ibn Qosim yang mengatakan: “Haram menjadikan bagian hewan qurban sebagai upah bagi jagal.” Perkataan beliau ini dikomentari oleh Al Baijuri: “Karena hal itu (mengupah jagal) semakna dengan jual beli. Namun jika jagal diberi bagian dari qurban dengan status sedekah bukan upah maka tidak haram.” (Hasyiyah Al Baijuri As Syafi’i 2/311).
Adapun bagi orang yang memperoleh hadiah atau sedekah daging qurban diperbolehkan memanfaatkannya sekehendaknya, bisa dimakan, dijual atau yang lainnya. Akan tetapi tidak diperkenankan menjualnya kembali kepada orang yang memberi hadiah atau sedekah kepadanya (Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, 69)
Menyembelih satu kambing untuk makan-makan panitia? Atau Panitia dapat jatah khusus?
Status panitia maupun jagal dalam pengurusan hewan qurban adalah sebagai wakil dari shohibul qurban dan bukan amil[5]. Karena statusnya hanya sebagai wakil maka panitia qurban tidak diperkenankan mengambil bagian dari hewan qurban sebagai ganti dari jasa dalam mengurusi hewan qurban. Untuk lebih memudahkan bisa diperhatikan ilustrasi kasus berikut:
Adi ingin mengirim uang Rp 1 juta kepada Budi. Karena tidak bisa ketemu langsung maka Adi mengutus Rudi untuk mengantarkan uang tersebut kepada Budi. Karena harus ada biaya transport dan biaya lainnya maka Adi memberikan sejumlah uang kepada Rudi. Bolehkah uang ini diambilkan dari uang Rp 1 juta yang akan dikirimkan kepada Budi?? Semua orang akan menjawab: “TIDAK BOLEH KARENA BERARTI MENGURANGI UANGNYA BUDI.” Status Rudi pada kasus di atas hanyalah sebagai wakil Adi. Demikian pula qurban. Status panitia hanya sebagai wakil pemilik hewan, sehingga dia tidak boleh mengambil bagian qurban sebagai ganti dari jasanya.
Oleh karena itu, jika menyembelih satu kambing untuk makan-makan panitia, atau panitia dapat jatah khusus sebagai ganti jasa dari kerja yang dilakukan panitia maka ini tidak diperbolehkan.
Namun hal ini bukan berarti bahwa panitia tidak mendapat jatah dari hewan qurban. Yang tidak boleh adalah ketika panitia mendapatkan jatah lebih dalam pembagian hewan qurban, baik itu bentuknya sudah matang maupun daging mentah, sebagai ganti dari jasa mereka yang telah mengurusi hewan qurban. panitia tetap mendapatkan jatah qurban namun jatah mereka sama dengan jatah yang diberikan kepada warga lainnya.
Agar tidak meninggalkan kerancuan, kita perhatikan dua contoh cara pembagian qurban yang dibolehkan dan pembagian yang terlarang, sebagai berikut:
Contoh cara pembagian yang dibolehkan: warga desa kampung A berqurban 5 ekor sapi & 13 ekor kambing. Setelah dihitung, masing-masing kepala keluarga mendapat jatah 2 Kg daging sapi dan ½ kg daging kambing. Semua merata tanpa memperhatikan status, baik panitia maupun bukan panitia.
Contoh cara pembagian yang terlarang 1: warga desa kampung A berqurban 5 ekor sapi & 13 ekor kambing. Setelah dihitung, masing-masing kepala keluarga mendapat jatah 2 Kg daging sapi dan ½ Kg daging kambing. Khusus untuk panitia mendapat jatah tambahan masing-masing ½ Kg daging sapi sebagai ganti jasa mereka yang telah mengurusi hewan qurban. Dalam keluarga Pak Ahmad ada 4 orang yang terlibat sebagai panitia, yaitu Pak Ahmad, Bu Ahmad, dan 2 putranya. Sehingga keluarga Pak Ahmad mendapat jatah 4 Kg daging sapi dan ½ Kg daging kambing. Keluarga Pak Ahmad mendapat kelebihan jatah 2 Kg sapi karena anggota keluarganya yang terlibat 4 orang x ½ Kg = 2 Kg.
Contoh cara pembagian yang terlarang 2: Sebagai bentuk imbal jasa bagi panitia qurban maka takmir mengambil 1 ekor kambing untuk disembelih sebagai jamuan makan bersama bagi panitia. Di samping itu, panitia juga mendapat jatah yang sama dengan warga lainnya. Dengan demikian, panitia mendapat tambahan jatah pembagian qurban yang mereka jadikan sebagai menu makan bersama.
Mengirim sejumlah uang untuk dibelikan hewan qurban di tempat tujuan (di luar daerah pemilik hewan) dan disembelih di tempat tersebut? Atau mengirimkan hewan hidup ke tempat lain untuk di sembelih di sana?
Pada asalnya tempat menyembelih qurban adalah daerah orang yang berqurban. Karena orang-orang yang miskin di daerahnya itulah yang lebih berhak untuk disantuni. Sebagian syafi’iyah mengharamkan mengirim hewan qurban atau uang untuk membeli hewan qurban ke tempat lain – di luar tempat tinggal shohibul qurban – selama tidak ada maslahat yang menuntut hal itu, seperti penduduk tempat shohibul qurban yang sudah kaya sementara penduduk tempat lain sangat membutuhkan. Sebagian ulama membolehkan secara mutlak (meskipun tidak ada tuntutan maslahat). Sebagai jalan keluar dari perbedaan pendapat, sebagian ulama menasehatkan agar tidak mengirim hewan qurban ke selain tempat tinggalnya. Artinya tetap disembelih di daerah shohibul qurban dan yang dikirim keluar adalah dagingnya. (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 2997, 29048, dan 29843 & Shahih Fiqih Sunnah, II/380)
Kesimpulannya, berqurban dengan model seperti ini (mengirim hewan atau uang dan bukan daging) termasuk qurban yang sah namun menyelisihi sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tiga hal:
1.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiallahu ‘anhu, tidak pernah mengajarkannya.
2.Hilangnya sunnah anjuran untuk disembelih sendiri oleh shohibul qurban.
3.Hilangnya sunnah anjuran untuk makan bagian dari hewan qurban.
Wallaahu waliyut taufiq.
Demikian yang bisa kami sajikan. Sebagai pelengkap kami sarankan untuk membaca buku: Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diterjemahkan Ustadz Aris Munandar hafizhahullah dari ringkasan Kitab Ahkaam Udh-hiyah wadz Dzakaah karya Syaikh Al Utsaimin rahimahullah. Semoga risalah yang ringkas sebagai pelengkap untuk tulisan saudaraku Abu Muslih hafizhahullah ini bermanfaat dan menjadi amal yang diterima oleh Allah ta’ala, sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta seluruh pengikut beliau yang setia. Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin.
***
Ammi Nur Baits,ST
sumber:www.muslim.or.id
Footnotes:
[1] Sufyan At Tsauri rahimahullah mengatakan: "Dulu Abu Hatim pernah berhutang untuk membeli unta qurban. Beliau ditanya: "Kamu berhutang untuk beli unta qurban?" beliau jawab: "Saya mendengar Allah berfirman: لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ (kamu memperoleh kebaikan yang banyak pada unta-unta qurban tersebut) (Qs. Al Hajj: 36). (lih. Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj: 36)
[2] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang cacat hewan apa yang harus dihindari ketika berqurban. Beliau menjawab: "Ada empat cacat...dan beliau berisyarat dengan tangannya." (HR. Ahmad 4/300 & Abu Daud 2802, dinyatakan Hasan-Shahih oleh Turmudzi). Sebagian ulama menjelaskan bahwa isyarat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangannya ketika menyebutkan empat cacat tersebut menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membatasi jenis cacat yang terlarang. Sehingga yang bukan termasuk empat jenis cacat sebagaimana dalam hadis boleh digunakan sebagai qurban. (Syarhul Mumthi' 7/464)
[3] Terdapat hadis yang menyatakan larangan berqurban dengan hewan yang memilki dua cacat, telinga terpotong atau tanduk pecah. Namun hadisnya dlo'if, sehingga sebagian ulama menggolongkan cacat jenis kedua ini hanya menyebabkan makruh dipakai untuk qurban. (Syarhul Mumthi' 7/470)
[4] Kafir Mu’ahid: orang kafir yang mengikat perjanjian damai dengan kaum muslimin. Termasuk orang kafir mu’ahid adalah orang kafir yang masuk ke negeri islam dengan izin resmi dari pemerintah. Kafir Harby: orang kafir yang memerangi kaum muslimin. Kafir Dzimmi: orang kafir yang hidup di bawah kekuasaan kaum muslimin.
[5] Sebagian orang menyamakan status panitia qurban sebagaimana status amil dalam zakat. Bahkan mereka meyebut panitia qurban dengan ‘amil qurban’. Akibatnya mereka beranggapan panitia memiliki jatah khusus dari hewan qurban sebagaimana amil zakat memiliki jatah khusus dari harta zakat.
Yang benar, amil zakat tidaklah sama dengan panitia pengurus qurban. Karena untuk bisa disebut amil, harus memenuhi beberapa persyaratan. Sementara pengurus qurban hanya sebatas wakil dari shohibul qurban, sebagaimana status sahabat Ali radhiallahu ‘anhu dalam mengurusi qurban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak ada riwayat Ali radhiallahu ‘anhu mendapat jatah khusus dari qurbannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
***
Langganan:
Postingan (Atom)