Oleh Ust Hanif Lutfi
Lc MA
Pada episode berikut dalam mata pelajaran Fiqih Muamalat ini,
kita akan membahas mengenai Suap dan Korupsi.
Kita terlebih dahulu mengawali pembahasan mengenai Suap.
Mengapa? Karena dalam bahasa Arab istilah suap sudah ada padanan katanya,
sementara istilah korupsi para ulama masih berbeda pendapat mengenai padanan
kata korupsi dalam bahasa Arab. Secara hukum di Indonesia, suap masuk ke dalam
korupsi. Akan tetapi, pembahasaan korupsi lebih luas, diantaranya mencakup
penyalahgunaan wewenang. Implikasi hukum pada masalah korupsi pun berbeda
dengan mencuri. Apakah seseorang yang melakukan korupsi mendapatkan hukuman
berupa potong tangan layaknya seseorang yang mencuri? Korupsi dalam syariat
masuk dalam wilayah khianat ataukah ghulul? Jawaban tersebut akan dibahas dalam
pasal koruptor pada segmen selanjutnya.
Berbicara mengenai suap dan korupsi sebetulnya sudah
dianggap cukup jika tidak menggunakan dalil, atau istilah dalam bahasa Arabnya
adalah istaf tiqal bakh artinya menanyakan ke dalam hati. Jika hati sudah tidak
bisa memfilter, paling tidak setelah bertanya dalam hati, seseorang akan
melihat dalam kacamata undang-undang positif. Hati nurani manusia memiliki
kecenderungan untuk membenarkan dari undang-undang yang positif.
Orang-orang yang melakukan tindakan korupsi, hampir-hampir
paham bahwa hukum melakukan suap adalah haram. Namun, ada nafsu yang menjadikan
seseorang tergelincir dalam perbuatan haram tersebut. Bisikan-bisikan nafsu
tersebut diantaranya adalah mudah mendapatkannya, tidak ada yang mengetahui
perbuatannya, dan momen yang tepat. Sebetulnya sangat beruntung bagi koruptor
yang diketahui perbuatannya. Patut bagi koruptor untuk mengucapkan rasa
terimakasih kepada KPK. Ini merupakan tanda bahwa Allah masih memberikan
kesempatan untuk bertaubat. Pada kasus lain, misalnya seorang perempuan yang
menjual dirinya. Perempuan tersebut paham bahwa perbuatan tersebut haram
hukumnya, tetapi tetap saja dilakukan karena berbagai alasan misalnya
terdesaknya kebutuhan hidup.
Akhirnya, yang menjadi masalah adalah kemauan kuat seseorang
untuk berubah, sehingga tidak akan terjadi seseorang menerima suap karena bukan
keinginan tetapi paksaan. Dengan mempelajari fiqih mengenai suap dan korupsi
ini, diharapkan masing-masing pribadi mengetahui dalil dan juga ancamannya
(hukumannya). Ketika sudah berbicara mengenai pilihan hidup, maka sudah masuk
pada tanggungjawab individu. Sebagaimana yang sudah kita ketahui bahwa hukuman
ada dua, di dunia dan di akhirat. Dengan belajar fiqih muamalat ini menjadi penguatan
untuk setiap individu, dikarenakan kelak kita akan mempertanggungjawabkan semua
amal kita di akhirat.
Dalam hukum di Indonesia, suap masuk ke dalam bentuk
korupsi.
Segi bahasa
Dalam bahasa Arab disebut ar risywah. Risywah berasal dari 2
huruf, yaitu ra dan syin. Dalam lisanul Arab dikatakan mayu’tha lighghadhain
mashlihatin, malah artinya bagus, sesuatu yang diberikan kepada orang lain
untuk menyampaikan sesuatu kebaikan, demi suatu kemashlahatan. Kemasalahatan
ada tiga jenis, kemasalahatan yang diakui, kemaslahatan uang mursalah, dan
kemaslahatan yang tidak diakui (mughlud).
Segi istilah
Para ulama memaknai risywah sebagai mayu’tha liibthalil haqqin auli ihthaqibathilin,
segala sesuatu yang diberikan untuk membatalkan sesuatu yang sebenarnya dia itu
benar (liibthalil haqqin) atau untuk membenarkan sesuatu yang sebenarnya bathil
(liihthaqibathilin). Ada sesuatu yang haq, gara-gara diberi sesuatu menjadi
bathil, atau ada sesuatu yang bathil sebenarnya, gara-gara diberi sesuatu
menjadi haq.
Kasus suap biasanya sering terjadi di pengadilan. Dia itu
sebenarnya salah, akan tetapi menjadi benar karena dia menyuap hakim. Sementara
pihak yang seharusnya benar, lantas menjadi salah, karena lawan telah menyuap
hakim. Dalilnya adalah “mayu’tihi syahsyu lil hakim awghairihi liyahkumalahu
awyahmilahu alamuyuriydu yang artinya segala sesuatu yang diberikan kepada
hakim untuk dimenangkan hukumnya atau dimenangkan perkara sesuai yang
diinginkan.
Suap tidak hanya terjadi dalam kasus di pengadilan, akan
tetapi dalam semua sisi kehidupan dimungkinkan terjadi suap.
Dalilnya bisa kita
bagi menjadi dua, yang pertama adalah Al Qur’an dan yang kedua adalah Sunnah.
Dalil Al- Qur’an
Dalam surah Al Baqarah: 188 dikatakan,
“Dan janganlah sebagian kamu memakan
harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, padahal kamu mengetahui.”
Kalian jangan memakan harta teman kalian dengan bathil
dengan cara dia memberikan sesuatu (suap) kepada hakim. Barang itu aslinya
milik orang lain. Akibat hakim memutuskan, “Tidak, ini milik dia.”, akhirnya
barang itu menjadi milik dia. Itu
namanya termasuk memakan harta orang lain dengan bathil. Ini tentang kehakiman.
Maksudnya adalah suatu putusan yang gara – gara hakim itu disuap, harta orang
lain malah berpindah. Dengan kata lain, keputusan hakim tersebut dipengaruhi
oleh suap.
Dalam surah Al Maidah: 42,
“Mereka itu adalah orang-orang yang
suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang
Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu)
diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka
maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu
memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka
dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.”
Orang – orang Yahudi suka mendengar sesuatu hoax. Kadzib itu
artinya bohong. Sekarang bahasa yang populer adalah hoax, kebohongan yang
selalu disebarkan lewat media sosial. Mereka (Yahudi) makan sesuatu yang haram.
Para ulama ahli tafsir menyebutkan bahwa as-Suhtu itu lebih kepada ar-Risywah
atau suap menyuap. Artinya, as-Suhtu adalah sesuatu yang dibenci dan memang itu
sudah menjadi kebiasaan mereka. Akkaluuna li as-Suht artinya adalah akkaluna li
ar-Risywah.
Dalil Sunnah
Dalam suatu hadits disebutkan, “Rasulullah SAW. melaknat
orang yang memberi suap, dan orang yang menerima suap, dan dalam riwayat Ibnu
Umar ditambahkan “dan orang yang jadi perantara.”
Rasulullah SAW. melaknat orang yang memberi suap dan orang
yang menerimanya. Yang masyhur adalah hadits itu. Tetapi dalam hadits riwayat
Imam Ahmad dan Imam al-Hakim, ditambahkan rooisy atau perantara juga termasuk orang
yang dilaknat.
Orang pertama menjadi pejabat dan orang kedua memiliki
proyek. Harusnya orang yang kedua tidak berhak. Kalau orang kedua menyuap orang
pertama, dia menjadi berhak. Kadang – kadang, orang yang kedua ini tidak
langsung memberikan suap kepada pejabat itu melainkan lewat ajudannya,
istrinya, orang dekatnya atau perantara lain. Karena kalau langsung memberikan
suap tersebut, media akan meliput. Ternyata rekeningnya masuk ke rekening orang
lain. Sekarang, hal ini sangat mungkin terjadi. Ada proyek pemerintah dan
harusnya semua orang memiliki kemungkinan yang sama. Kemudian ada seseorang
yang menyuap. Kalau orang itu langsung menyuap ke rekening yang dituju, pasti
akan sangat kelihatan. Sekarang modelnya orang yang menerima suap akan berkata,
“Bangun kontrakan 50 pintu di sana atas nama istri saya.” Hal ini tidak
terdeteksi karena orang membangunkan sesuatu untuk orang lain itu tidak
terdeteksi. Sekarang sangat mudah untuk melakukan hal tersebut dengan model
apapun. Tidak serta merta hanya memberikan langsung kepada orang yang
berkepentingan. Itu namanya rooisy (ada perantara dalam suap menyuap) dan
rooisy ini juga dilaknat Rasulullah SAW.
Kalau Rasulullah SAW sudah melaknat, ketika di akhirat nanti
mau ikut siapa? Mau minta tolong kepada siapa? Ini adalah hadits yang masyhur.
Kalau kita cari dalil hadits mengenai suap, pasti haditsnya seperti hadits yang
sudah disebutkan sebelumnya. Misalnya dalam hadits riwayat Imam Ahmad, Abu
Daud, dan at-Tirmidzi, isinya sama dengan hadits sebelumnya. Hadits tentang
suap memang hanya itu.
Ada hadits yang cukup spesifik yang berbicara tentang
gratifikasi. Gratifikasi hampir sama dengan suap tetapi bedanya adalah
bentuknya memberi hadiah kepada orang lain dalam rangka tugas. Dalam hadits
Muttafaq ‘alaih, suatu ketika Rasulullah SAW. mengangkat karyawan untuk
mengambil uang zakat yang bernama Ibnul Lutbiyah. Nabi SAW. biasa mengutus
orang ke berbagai wilayah. Salah satunya adalah Ibnul Lutbiyah. Ketika Ibnul
Lutbiyah datang kepada Nabi SAW., beliau berkata, “Ini adalah uang shodaqoh dan
yang ini adalah hadiah dari orang – orang untuk saya.” Kalau dipikir secara logika sederhana,
salahnya dimana? Toh orang lain itu memang berniat untuk memberikan hadiah
kepada Ibnul Lutbiyah yang harusnya halal. Namun ternyata Nabi SAW. bertanya
seperti ini, “Kalau kamu hanya di
rumah saja, tidak kemana – mana, dan
tidak menjadi pegawai zakat, kira – kira apakah kamu akan mendapat hadiah?”
“Jelas tidak.” “Berarti kamu mendapat hadiah karena menarik zakat.”
Jika hal ini terjadi, maka ada kemungkinan apa? Dulu yang
namanya amil zakat itu fungsinya untuk menghitung apakah zakat yang dikeluarkan
sudah sesuai atau belum. Kalau amil sudah diberi hadiah, bisa jadi dia akan
berkata, “Oh, ya sudahlah. Teman sendiri. Tidak perlu saya tulis semuanya.”
Pasti hadiah tersebut berpengaruh kepada sikap amil. Kemudian Nabi SAW.
berkhutbah, “Tadi saya mengutus satu orang untuk menjadi amil zakat. Dia
mengatakan “Ini adalah hadiah untuk saya dan yang ini adalah uang shodaqoh.”
Kalau dia diberi dan ternyata bukan hak semestinya, maka hadiah itu (yang
dianggap risywah) akan ketahuan ketika di Yaumul Mahsyar. Dia akan menanggung
hadiah tersebut di atas punggungnya. Orang – orang akan melihat dia yang
berjalan bungkuk karena menanggung harta yang tidak halal.” Hadiah di zaman
dahulu terkadang berupa unta, sapi, atau kambing. Ketika di Yaumul Mahsyar, dia
akan berjalan sambil menggendong kambing atau sapi. Mengapa seperti itu? Karena
dulu dia diberi kambing atau sapi gara – gara itu. Kalau yang diberi adalah
apartemen, berarti dia menggendong apartemen. Misalnya diberi mobil
Lamborghini, dia akan menggendong mobil itu kemana – mana. Kalau sekarang enak,
mobil yang dia naiki. Besok, dia yang akan dinaiki mobil.
Hampir semua orang tahu apa konsekuensi risywah. Ketika
seseorang dalam posisi tertentu yang karena posisi tersebut dia mendapat
hadiah, Dia sebenarnya tahu mengapa orang – orang memberikan hadiah kepadanya.
Hadiah yang sebenarnya dari sisi fiqih mu’amalat nya halal, akan berubah
menjadi dilarang ketika orang yang diberi hadiah itu berada dalam posisi
tertentu.
Dalam hukum postif Indonesia, hal tersebut dinamakan
gratifikasi. Contoh gratifikasi adalah, ada seseorang yang memenangkan tender
kemudian yang dimenangkan tender-nya itu ingin memberikan hadiah kepada orang
yang sudah memenangkannya. Jika ada yang bertanya, “Hadiah itu untuk apa?” Dia
menjawab, “Tidak untuk apa – apa, hanya ingin memberi saja.” Terlepas orang
tersebut memberi hadiahnya dengan ikhlas atau tidak tetapi karena posisi orang
yang diberi hadiah secara lahir seperti itu maka memberi hadiah kepada orang
tersebut tetap dilarang.
Memang seperti itulah yang dijelaskan oleh Nabi SAW. dalam
haditsnya. Karena Nabi SAW. mengatakan bahwa Ibnul Lutbiyah mendapat hadiah
karena posisinya sebagai pegawai zakat. Ini adalah sikap kehati-hatian Nabi
SAW. dalam menyikapi suatu kasus karena hal ini sangat rentan untuk
disalahgunakan. Al Insan ‘abidul ihsan, artinya manusia itu menjadi hamba suatu
kebaikan. “Ketika ada orang baik, masa iya dia tidak dikasih hadiah. Kasih
hadiah saja.” Hal seperti ini sering terjadi sehingga Rasulullah SAW. sangat
berhati – hati. Barangkali ini sebagai saddali dzari’ah.
Itulah hadits – hadits yang menjadi dalil tentang
pengharaman risywah. Baik hadits la’ana rasululullah shollallahu ‘alaihi wa
salam maupun hadits tentang zakat.
Berdasarkan dua dalil sunnah dapat diketahui bahwa Allah
melaknat tiga orang diantaranya yakni yang memberi suap, menerima suap, dan
perantara suap. Penerima suap terbagi menjadi dua, penerima yang sengaja
meminta, dan penerima yang tidak meminta. Ketika ada yang meminta “Oh kamu mau
ini ya? Tapi asal kamu tahu aja lah yang sebenarnya”. Sebetulnya orang yang
meminta suap ini mengetahui hukumnya.
Yang kedua, penerima suap yang tidak meminta. Contohnya adalah penerima
suap yang tiba-tiba ditawari mobil, misalnya, dan penerima mau dengan mobil
tersebut. Anggapan penerima “Ya saya dikasih kok”, padahal maksudnya adalah
menyuap. Nah, ini kadang-kadang yang mengagetkan. Tiba-tiba ada oot (operasi
tangkap tangan), polisi tetap memvonis penerima bersalah. Artinya, secara hukum
positif saja, penerima yang tidak sengaja meminta sudah dianggap salah. Dalam
bahasa Arab, penerima kedua disebut ibnulud biha, artinya tidak meminta kok
tapi dia tidak menolak. Dia berarti al murtasyi’. al murtasyi’ adalah maf’ul
(objek). Jika dia meminta maupun tidak tetap sama kedudukannya menjadi objek,
karena dia memiliki kemungkinan untuk menerima. Titik tekannya ada pada
menerimanya itu. Contoh lain adalah penerima yang tidak menerima langsung,
tetapi melewati oranglain. “Saya tidak menerima sih, tapi istri saya yang
menerima”. Bisa jadi dalam undang-undang positif tercatat bukan dia seorang,
tetapi partai atau organisasi. Dia tidak mendapatkan uang, tetapi sekolahan
miliknya dibantu dalam pembangunannya. Artinya, sama juga ini termasuk ke dalam
suap, karena harusnya haq jadi bathil ketika bathil jadi haq.
Pemberi bisa dibagi menjadi dua, pemberi yang sengaja dan
pemberi yang terpaksa. Pemberi yang secara sengaja disebut ar rasyi’ atau
bersengaja. Kesengajaan ini dilakukan karena dia nanti akan mendapatkan jatah
yang lebih banyak meskipun harus berkorban sedikit. Misalnya ada proyek yang
sebenarnya proyek ini bebas semuanya boleh ikut. Tapi gara-gara dia memberi,
maka dia mendapatkan proyek. Perbuatan ini merupakan perbuatan mendzolimi orang
lain, karena setiap orang memiliki kemungkinan yang sama untuk mendapatkan
proyek. Kedua, pemberi yang terpaksa. Terpaksa memberi, artinya dia membenarkan
sesuatu yang salah, atau menyalahkan sesuatu yang benar. Titik tekan terpaksa
memiliki dua kemungkinan, antara mau membayarkan suapnya atau mengurungkan niat untuk tidak jadi melakukan
suap. Pemberi yang terpaksa masih memiliki pilihan. Artinya, dia tahu bahwa
memberi adalah sebuah kesalahan, akan tetapi “ya udah kamu mau benar kan? Oke,
kamu bayar sekian”. Hukumnya tetap saja sama, jika dilakukan, maka sudah
dihukumi memberi.
Akan tetapi berbeda, jika pemberi terpaksa namun dalam
posisi justru hal itu yang benar untuk dilakukan. Contohnya, dia memberikan
sesuatu gara-gara dalam rangka memperoleh haknya. Misalnya saya memiliki
masalah dengan oranglain terkait sengketa tanah. Oranglain mengotot kalau dia
memiliki hak atas tanah tersebut. Akan tetapi, bukti surat menunjukkan
oranglain tersebut tidak memiliki hak atas tanah tersebut. Maka, para ulama
memperbolehkan melakukan pemberian dalam rangka memperjuangkan haknya. Dalil
yang dijadikan landasan ulama dalam membolehkan perkara tersebut adalah fa amma
ma yu’to tawasulli ilaa ahzi hakki, audaf’i dzulmi faghoiru daahili fiihi yang
artinya pemberian kepada oranglain dalam rangka memperjuangkan haknya atau
untuk menolak kedzoliman terhadap dirinya, maka itu tidak termasuk suap. Atau
contoh lainnya adalah ketika oranglain yang salah, justru diri kita yang
dihukum, maka boleh melakukan pemberian dalam rangka memperjuangkan hak atas
diri kita yang seharusnya tidak dihukum. Beberapa ulama membolehkan dengan
alasan berdasarkan ruya annabna mas’ud ukhida bi ardhil habasa. Suatu ketika
Ibnu Mas’ud itu pernah tertangkap (tidak dijelaskan sebabnya) di Habasa. Dia
tidak melakukan apapun. Fi syai in dalam
suatu perkara fa’tho dinaroini. Beliau itu memberikan dua dinar, hatta khulya
sabiluhu sehingga dia itu dilepaskan. Dari sini para ulama itu menyebutkan bahwasannya
ruya an jamaatin min a immatit tabi’in dalam kitab tuhfatul ahwalin nanti
disebutkan qalu la ba’sa ayyu shonni ar rojulu an nafsihi wa maalihi idza khofa
al dzulm.
Jika takut didzolimi, maka tidak masalah jika memberi.
Misalnya, seharusnya dia tidak membayar, akan tetapi diancam jika tidak memberi
maka akan dihukum lima tahun. Beberapa ulama jaman tabi’in itu membolehkan
ketika dia terdzolimi, meskipun pendapat membolehkan memberi ini terkadang
menjadi rancu, orang yang merasa berhak berbeda dengan benar-benar berhak.
Misalnya pada kasus orang mau masuk polisi. Dia sudah latihan sebaik mungkin,
dan yakin sudah memenuhi perssyaratan diterima menjadi polisi karena memenuhi
beberapa syara, lulus SMA, tinggi mencukupi, renang, dan kesehatan cukup. Kemudian,
dia melakukan memberi karena percaya diri pantas untuk diterima. Bisa juga pada
kasus yang hampir sama yakni, seorang yang akan mendaftar PNS merasa yakin
karena dia ranking satu di sekolahnya. Dia memberi uang supaya proses seleksi
PNS bisa berjalan lancar. Statusnya dia sebetulnya belum tentu memiliki hak,
karena dia memiliki banyak saingan yang juga memiliki peluang sama. Hal seperti
ini tidak diperbolehkan, kecuali kasusnya adalah orang tersebut sudah masuk
menjadi PNS, dan dia terancam dikeluarkan bukan sebab dia masalah. Beberapa
tabi’in, memberikan rukhsah dalam rangka dharurat. Maka, ketika dharurat itu
tuqaddaru bi qadriha dikira-kira sebagaimana mestinya. Bukan merasa berhak,
tetapi memang benar-benar berhak. Masalah ini sangat riskan masuk ke dalam
haram, makanya harus berhati-hati ketika menentukan diri sendiri memiliki hak.
Kadang-kadang orang merasa berhak lantas memberikan sesuatu. Padahal itu bukan
berhak tapi merasa berhak.
Kesimpulannya adalah suap belum tentu diharamkan. Pada
kondisi tertentu atau terpaksa dan berhak maka ulama membolehkan. Terpaksa yang
dimaksud adalah yang terdzolimi. Tapi perlu untuk hati-hati dalam menetapkan
tingkat kedaruratan suatu masalah. Harus terukur jelas, sehingga bisa
menyatakan dirinya berhak bukan merasa berhak. Undang-undang gratifikasi sudah
diatur sedemikian rupa, sehingga orang yang menjadi pejabat publik agar tidak
terkena hukum karena melakukan gratifikasi maka perlu untuk mempelajari ilmu
mengenai hal ihwal pekerjaanya.
Mari kita lanjutkan
pembahasan kita mengenai korupsi. Apakah korupsi ini sama kedudukannya dengan
suap? Ataukah berbeda? Kita simak penjelasan berikut.
Kata korupsi dalam bahasa latin disebut coruptio atau
coruptos. Dalam bahasa Inggris disebut corruption, dan dalam bahasa Belanda
disebut corupty. Kata korupsi dimungkinkan diadopsi dari bahasa Belanda, karena
Indonesia pernah dijajah Belanda selama kurang lebih 350 tahun. Dalam KBBI
(Kamus Besar Bahasa Indonesia), kata korupsi memiliki beberapa makna,
diantaranya busuk, palsu atau suap.
Dalam kamus hukum korupsi adalah buruk, rusak, suka menerima
sogok, menyelewengkan uang atau barang negara dan perusahaan. Misalnya menerima
uang dengan jabatannya untuk kepentingan pribadi.
Para ulama menyebut istilah korupsi dengan khianat “‘idatu
minal khianat” dan ghulul. Kata khianat ini diambil untuk menyebut istilah
korupsi yang berarti menyalahgunakan wewenang. Jika seorang pejabat melakukan
korupsi, artinya dia berkhianat terhadap jabatan itu sendiri. Ghulul adalah
menggelapkan uang atau barang tanpa sepengetahuan oranglain.
Dalam ranah fiqih maupun hukum positif, korupsi dan mencuri
memiliki implikasi hukum yang berbeda. Mencuri (sariqoh) memiliki implikasi
hukum berupa dipotong tangan. Misalnya adalah pencurian ayam dan uang rakyat.
Dua kasus pencurian, tetapi implikasi hukumnya berbeda.
Hukum korupsi berbeda-beda, tergantung bentuk korupsi yang
dilakukan. Bentuk korupsi diantaranya adalah suap (risywah), dan
menyalahgunakan wewenang. Dalam UU No 31 tahun 1999 dan UU No 22 tahun 2001
disebutkan tentang tindak pidana korupsi terdiri dari 30 jenis. Dari 30 jenis
korupsi tersebut dispesifikan lagi menjadi beberapa bab diantaranya, ketika
merugikan negara, ketika menerima suap, menggelapkan uang perusahaan atau
negara dengan jabatannya, memeras menggunakan jabatan, ketika terjadi
kecurangan, dan gratifikasi. Orang yang memeras mengancam dengan berbagai
bentuk, misalnya “jika kamu tidak mau memberi uang ke saya, maka akan saya
sebarkan di media sosial”. Kecurangan yang terjadi dalam pemerintahan, misalnya
pengadaan barang suatu proyek atau tender. Orang tersebut menggelapkan uang
tender atau dia tidak menggelapkan uang tender, tetapi mendapatkan suap dari
orang yang nanti memenangkan tender. Jadi, dalam hukum positif Indonesia,
korupsi memiliki berbagai macam bentuk, diantaranya adalah penyalahgunaan
jabatan, menerima siap, menyulang jabatan, dan grativikasi.
Berbagai bentuk penyelewangan tersebut menjadi penting untuk
dipelajari semua orang yang menjadi pejabat publik. Dalam kitab ta’limun
muta’alim disebutkan afdholi ilmi ifduhal afdhodlalu amal ifduhal, sebaik-baik
ilmu adalah ilmu hal. Ilmu hal adalah ilmu tentang pekerjaan yang sedang
digeluti. Ketika seseorang menjadi pejabat, maka dia berkewajiban untuk
mempelajari/menggeluti ilmu tentang pejabat. Sudah seharusnya
perundang-undangan mengenai korupsi harus dihafal oleh para PNS agar tidak
ditangkap polisi karena melakukan tindakan korupsi.
Kadang-kadang KPK melakukan penangkapan terhadap pelaku
korupsi jika sudah tertangkap tangan. Seharusnya yang dilakukan adalah nahi
munkar (pencegahan) sebelum terjadi. “Pak, jangan korupsi pak, nanti saya hukum
lho” atau ketika ada yang datang bertamu membawa uang, dengan tegasnya berkata
“Pak, nanti kalau uang ini diterima bapak akan terkena hukuman”. Nah, perbuatan
yang seperti ini hampir-hampir tidak pernah dilakukan. KPK akan melakukan
penangkapan setelah dikasih uang, lalu melaporkan ke polisi. Jika didetailkan
lagi, sebetulnya jika pejabat sudah tahu perbuatan korupsi dilarang, apalagi
juga sudah disumpah jabatan, maka dia tidak akan melakukan perbuatan curang.
Ulama menyebutkan bentuk korupsi paling tidak risywah,
memberi atau diberi sesuatu dalam rangka ittholu haq atau ih qoqu al bathil.
Ada dua pejabat yang berseteru, dan salah satunya dimenangkan oleh tender.
Pejabat ini bisa berdalih “saya nggak korupsi kok, saya nggak makan uang negara
kok, kalau saya makan 1 rupiah pun maka gantung saya di Monas”. Hal tersebut
bisa jadi benar. Tetapi kenyataan pejabat tersebut tertangkap KPK karena dia
memang tidak makan uang negara tetapi menerima uang dari orang lain.
Bentuk Korupsi
Ada tiga tanda-tanda munafiq (aayatul munafiq), salah
satunya adalah ketika diberi kepercayaan dia berkhianat (idza’ tumina khaana).
Misalnya, seseorang diberi kepercayaan untuk melayani rakyat malah yang
dilakukan adalah menggelapkan uang rakyat. Letak khianatnya orang tersebut
adalah karena dia menyalahgunakan jabatan, dan menggelapakan uang rakyat. Para
ulama berpendapat bahwa khianat berbeda dengan mencuri. Khianat itu mengambil
barang milik orang lain (institusi, atau milik teman) secara diam-diam dalam
penjagaan dia sendiri. Sementara, mencuri, barang yang diambil tidak dia jaga
sendiri, tetapi ada yang menjaga.
Para ulama tidak menjatuhkan hukum had kepada orang yang
berkhianat. Berbeda dengan pencuri dan pezina. Hukum had bagi pencuri adalah
dipotong tangan, sedangkan bagi pezina adalah dirajam atau dijilid. Para ulama
menjatuhkan hukum ta’zir kepada orang yang khianat. Ta’zir ialah keputusan
hukuman bagi khianat diserahkan kepada hakim.
Di dalam hadits riwayat Imam Turmudzi, “laisa ‘alaa khaainin
wa laa muntahibin, wa laa mukhtalisin , qath’un” yang artinya tidak ada bagi orang yang
berkhiyanat itu qath’un (potong tangan).
Misalnya, saya menitipkan hp ke antum. Lalu, ketika saya
meminta kembali hp saya, antum malah bilang begini, “nggak kok, kapan
nitipinnya? Mana buktinya? ini hp saya kok”. Saya tidak memiliki bukti untuk
menyatakan bahwa orang yang saya titipi hp bersalah. Orang tadi tidak dipotong
tangannya karena dia termasuk berkhianat.
Hukuman ta’zir memang tidak dijelaskan macam-macamnya dalam
syar’i. Tidak ada bentuk dari ta’zir, dan bentuknya diserahkan langsung kepada
hakim. Seolah-olah dalam pandangan kita, hukuman ta’zir lebih ringan dari had. Padahal
bisa jadi ta’zir itu berat, karena hakim yang menentukan bentuk hukumannya
sesuai dengan kesalahan yang dibuat. Misalnya, orang yang melakukan korupsi
seribu rupiah dengan satu juta mendapatkan hukuman yang berbeda. Hakim lah yang
menentukan bentuk hukuman tersebut dari yang paling ringan misalnya push-up
sampai paling berat bahkan boleh dibunuh. Hakim memiliki wewenang, diberikan
kebebasan untuk berijtihad, hakim mendiagnosis jangkauan kerusakan, lalu
menentukan bentuk hukuman yang tepat. Bisa penjara 10 tahun, bisa hukuman mati,
bisa disetrum, dan seterusnya.
Selain khianat, ada
juga ghulul. Para ulama menjelaskan “akhdu syain minal ganimah qoblal qismah
walau qolla awil khinah minal ghanimah qabla khauziah awil khiyanah minal
maghna”. Istilah ghulul muncul untuk menyebutkan seseorang yang mengambil jatah
ghanimah sebelum dibagikan oleh iman. “Wah bagus, saya kasih ke saku nih”.
Ghulul sedikit mirip dengan khiyanat, namun barang tersebut milik bersama.
Orang yang mengambil ghanimah sebetulnya juga memiliki hak dari ghanimah
tersebut. Hanya saja orang tersebut telah mengambil hak ghanimah sebelum waktu
yang ditentukan. Inilah yang disebut dengan ghulul. Misalnya, ada seseorang
yang melakukan korupsi uang sebesar 3 juta rupiah. Sebetulnya dia memiliki hak
untuk mendapatkan gaji sebesar 3 juta rupiah, hanya saja dia mengambil bukan
pada waktu yang ditentukan.
Para ulama mengharamkan ghulul dengan landasan dalil
berikut, “wa maa kaana linabiyyin ay yugalla
wa mayyaglul ya’ti bimaa ghalla yaumal qiyaamah, tsumma tuwaffa kullu
nafsin ma kasabat wa hum laa yudzlamuun”. Dalil tersebut hampir sama dengan
dalil pertama. “ wa man yaghlul ya’ti bimaa ghalla yaumil Qiyaamah” orang yang
ghulul kelak di yaumul qiyamah akan diketahui barang-barang apa yang telah disembunyikan
ketika di dunia.
Ketika berbicara mengenai korupsi, maka akan dijumpai
beberapa bentuk. Pertama, menerima suap (risywah), kedua menyalahgunakan
wewenang (khianat) dan ghulul. Hukuman terhadap orang yang melakukan korupsi
ialah ta’zir atau diserahkan kepada hakim. Dalam hal ini, seorang hakim harus
memiliki wawasan yang luas (up to date), karena permasalahan yang dihadapi
bersifat dinamis. Seorang hakim juga tidak boleh korupsi. Makanya, Nabi
Muhammad saw memberikan jaminan bagi seorang hakim. Jika dia benar dalam
berijtihad, maka mendapat 2 pahala, dan jika salah dalam ijtihadnya, maka
mendapat 1 pahala. Pada faktanya, 9 dari 10 hakim masuk neraka, dan hanya 1
yang masuk surga. Oleh karena itu, menjadi seorang hakim harus amanah. Menjadi
seorang hakim bukan sebatas perkara memenangkan, tapi lebih dari itu, harus
amanah dan menjalankan sesuai dengan syariat.
Di dalam fiqih muamalat 1 kita lebih dulu belajar mengenai
hal-hal yang haram, karena kebanyakan hukum asal muamalah adalah halal, kecuali
ada yang mengharamkan. Ketika kita sudah mengetahui yang haram, maka selain
yang disebutkan dalam hal-hal haram berarti hukumnya halal.
Akan dilanjutkan dengan Fiqh Muamalat berikutnya.
Wallahua’lam