By
: Ahmad Sarwat, Lc., MA -
Bahasa
Arab memang tidak mudah diterjemahkan begitu saja ke dalam bahasa Indonesia.
Tidak semua kata atau frasa ada padanannya, sehingga bahasa terjemahan yang
harfiyah tentu tidak mampu menyampaikan isi pesan yang seutuhnya.
Para
penerjemah bahasa asing, khususnya dari bahasa Arab memang harus pandai dan
cerdas. Selain harus mengerti betul gaya bahasa aslinya, juga harus pandai
mencarikan padanan kata atau ungkapan yang punya makna setara atau minimal agak
mendekati aslinya. Kalau tidak demikian, maka pada gilirannya malah bisa jadi
malapetaka.
Ittaqillah
Dalam
bahasa Arab, kalau ada orang berkata kepada kita ittaqillah (اتق الله),
maknanya bukan sekedar bertaqwalah atau takutlah kepada Allah. Tetapi kalimat
itu sudah mengandung ancaman, atau setidaknya sebuah tuduhan bahwa kita ini
bersalah dalam pandangannya.
Sehingga
kalau sampai orang Arab bilang ittaqillah kepada kita, harus dipahami bahwa
orang itu menyalahkan kita dan ungkapan dalam bahasa kita kurang lebih menjadi
'jangan begitu', 'awas', 'hati-hati' dan sejenisnya.
Aku
Mencintaimu di Jalan Allah
Menarik
juga ungkapan yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW kepada kita untuk disampaikan
kepada sesama muslim, yaitu inni uhibbuka fillah (أني أحبك في الله). Kalau kita
menghormati seorang dosen atau tokoh ulama di kalangan orang-orang Arab, maka
ungkapan ini termasuk salah satu sopan santun yang tinggi.
Tetapi
jangan sekali-kali ungkapan itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara
harfiyah. Apalagi kalau sampai digunakan di tengah pergaulan sesama anak
bangsa. Sebab terjemahannya akan jadi lain dan jauh sekali.
Kalau
sampai ada seorang laki-laki berkata kepada teman sesama laki-laki,"Aku
mencintaimu karena Allah", maka dahi temannya itu pasti akan berkerut
sepuluh lipatan tanda bingung. Dan boleh jadi dalam hatinya dia curiga.
Jangan-jangan orang ini hombreng, masak sesama lelaki bilang cinta-cintaan
segala?
Yakhrabbetak
Orang
Mesir punya makian khas kalau lagi berseteru dengan sesama mereka. Bahasa itu
tentu saja ammiyah dan bukan bahasa fushah.
Yakhrab
betak!!
Terjemahan
apa adanya adalah rumahmu musnah, rusak atau terbakar. Sebagaimana bisa kita
baca di dalam Al-Quran tentang rumah yang musnah :
Dan
Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka. Mereka memusnahkan rumah-rumah
mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mu'min. (QS.
Al-Hasyr : 2)
Tentu
saja makian atau umpatan itu tidak ada kaitannya dengan rumah yang musnah. Itu
hanya bahasa ungkapan, ketika kita terjemahkan menjadi rumahmu musnah tentu
akan lucu dan tidak enak didengar.
Barangkali
mirip dengan makian khas Betawi. Tidak mungkin makian pale lo ijo diterjemahkan
ke dalam bahasa Arab dengan ra'suka ahdhar. Begitu juga tidak mungkin
menerjemahkan ungkapan muke lu jauh dengan wajhuka ba'id.
Dan
ungkapan khas orang Jawa mbok yo ngene juga tidak bisa diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia menjadi ibu ya begini, atau ke dalam bahasa Inggris menjadi
mother yes like this, atau ke dalam bahasa Arab menjadi ummu na'am ha kadza.
Terjemah Istilah Dalam Nash-nash Syariah
Terjemahan
ungkapan ringan macam di atas, bila hasilnya salah kaprah kita masih boleh
senyum-senyum. Tetapi bayangkan kalau kesalahan fatal itu terjadi ketika
memahami nash-nash syariah. Kalau sampai salah kaprah, bisa-bisa yang haram
jadi halal dan sebaliknya yang halal jadi haram.
Menerjemahkan
bahasa Arab modern kadang kita masih kesulitan, apalagi menerjemahkan
ungkapan-ungkapan yang hanya digunakan pada 14 abad lampau, tentu lebih sulit
lagi untuk dipahami. Parahnya, tidak semua orang Arab hari ini bisa paham
ungkapan-ungkapan khas di masa Nabi SAW.
Taribat Yadaka
Seperti
ungkapan Nabi SAW ketika menyebutkan empat alasan memilih istri, dimana salah
satunya karena agamanya, lalu beliau mengatakan taribat yadaaka (تربت يداك).
Apa
maksud kalimat taribat yadaaka ini?
Kalau
secara harfiyah kata taribat itu bentukan dari kata turab yang artinya debu.
Sedangkan yadaaka artinya kedua tanganmu. Tetapi apa benar taribat yadaaka itu
berarti kedua tanganmu berdebu? Apa hubungannya dengan memilih istri karena
faktor agama?
Bahasa Tubuh
Yang
lebih sulit lagi untuk dipahami adalah bahasa tubuh Nabi SAW. Kadang dalam
memberi fatwa, beliau tidak menggunakan kata secara verbal, melainkan dengan
menggunakan bahasa tubuh. Salah satunya adalah tertawa hingga terlihat putih
giginya.
Kasusnya
terjadi ketika Amar bin Ash berijtihad meninggalkan mandi janabah dan
menggantinya dengan tayammum, karena alasan takut mencelakakan dirinya saat di
musim dingin. Mendengar itjihad shahabatnya itu, beliau SAW pun tertawa, hingga
terlihat putih giginya.
Nah
yang ini jelas membingungkan sekali. Apa makna tertawanya seorang Nabi SAW yang
berkebangsaan Arab dan hidup di abad keenam Masehi. Masalahnya bahasa tubuh
tiap bangsa itu beda-beda.
Bisa
saja beliau tertawa karena memang mentertawakan tindakan shahabatnya itu yang
mungkin keliru. Seperti kita suka mentertawakan orang-orang yang keliru dan
bersalah. Itu budaya kita, kalau lihat ada orang salah atau keliru, kita
terbiasa untuk mentertawakan.
Tetapi
ternyata tertawanya Nabi SAW itu bukan meledek atau mentertawai kekeliruan
orang lain. Tidak, justru tertawanya itu bermakna pembenaran atas ijtihad
meninggalkan mandi janabah menjadi tayammum. Dan itulah yang secara umum
dipahami oleh para ulama sepanjang zaman.
Disinilah
terbukti bahwa urusan memahami syariat bukan sekedar menguasai bahasa saja.
Seorang asli Arab di zaman kita pun belum tentu paham maksudnya. Kita harus
belajar lebih dalam ilmu bahasa Arab yang lebih klasik lagi, yang boleh jadi di
kamus-kamus modern tidak tercantum.
Dan
lebih dari itu, kita perlu merujuk ke kitab-kitab syarah hadits untuk
mengetahui apa yang dipahami para ulama di masa lalu tentang ungkapan asing
itu. Dan kalau ungkapan itu ada di dalam ayat Al-Quran, tentu kita perlu
membuka kitab tafsir.
Dan
salah satu manfaat ilmu fiqih adalah memahami makna tiap istilah yang digunakan
dalam nash-nash syariah secara lebih mendalam. Sebab kekeliruan dalam
memahaminya akan melahirkan kekeliruan dalam menarik kesimpulan hukum. Dan
kekeliruan seperti itu sangat mungkin terjadi, bila yang melakukannnya hanya
orang yang awam seperti kita yang bukan termasuk orang yang berada dalam
derajat para mujtahid.
Wallahu
a'lam