Assalamu'alaikum Wr Wb..
Sudah
hampir tidak dipungkiri, bahwa saat ini kita sudah memasuki tanda-tanda
akhir zaman. Begitu banyak kerusakan merajalela, orang-orang baik
dijauhi, orang-orang tidak berilmu dijadikan panutan dan dimintakan
fatwanya, dan masih banyak lagi tanda-tanda lainnya tentang akhir zaman
tersebut.
Berikut ada sebuah tulisan tentang penjelasan salah satu
tanda-tanda kecil tentang dekatnya hari Kiamat, yaitu tentang semakin
singkatnya Waktu.
Bila kita hanya sekedar membaca hadits
ini, mungkin kita akan "mengeryitkan" dahi, dikarenakan cukup rumitnya
makna dari Hadits ini.
Benarlah julukan Rosulullah SAW, bahwa beliau adalah nabi yang dianugerahkan memiliki kalimat yang sederhana namun penuh makna.
Semoga
dengan membaca penjelasan dibawah ini, Insya ALlah kita akan semakin
berusaha untuk memanfaatkan waktu kita, dalam rangka mencari keberkahan
waktu, serta mempersiapkan diri kita menuju hari dimana hanya amal
sholeh diri kita yang akan membela kita di akhirat dan menemani kita di
alam barzakh.
Wallahua'lam
KETIKA KEBERKAHAN DICABUT.
Rasulullah
Saw menyebutkan bahwa salah satu tanda-tanda kecil dekatnya hari
kiamat adalah waktu yang terasa semakin singkat. Hadits tentang hal ini
cukup banyak, misalnya hadits riwayat Imam Ahmad dan Al-Tirmidzi dari
Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Tidak akan tiba hari
kiamat hingga waktu semakin singkat. Satu tahun bagaikan satu bulan,
satu bulan bagaikan satu minggu, satu minggu bagaikan satu hari, satu
hari bagaikan satu jam. Dan satu jam bagaikan api yang membakar daun
kurma.”
Dalam hadits Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah juga bahwa Nabi Saw bersabda, “Waktu akan semakin singkat, harta akan berlimpah ruah, fitnah akan menyebar, dan akan banyak terjadi pembunuhan.”
Para
ulama tidak menafsirkan “singkatnya waktu” dengan bertambahnya
kecepatan perputaran bumi sehingga jumlah masa dalam satu hari
berkurang menjadi 23 jam misalnya. Penafsiran seperti ini tentu saja
bertentangan dengan logika. Sebab jika kita memutar sebuah bola di
sebuah titik tertentu, tentulah kecepatannya semakin lama semakin
berkurang, bukan semakin bertambah. Oleh karena itu, para ulama hadits
seperti Qadhi ‘Iyadh, Al-Nawawi, Ibn Abi Jamrah dan lain-lain
menafsirkan singkatnya waktu ini dengan hilangnya keberkahan. Mereka
berkata, “Maksud dari singkatnya waktu adalah hilangnya keberkahan dalam waktu tersebut. Sehingga satu hari misalnya tidak mampu dimanfaatkan melainkan seperti satu jam saja.” Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Ibn Hajar dalam Fath Al-Bari. Ia berkata, “Pendapat yang benar adalah (hadits ini) bermaksud bahwa Allah Swt mencabut semua keberkahan dari segala sesuatu, termasuk keberkahan waktu. Dan ini merupakan salah satu tanda dekatnya kiamat.”
Makna Berkah
Secara bahasa, kata “berkah” (barakah) bermakna bertambah (al-ziyadah) dan berkembang (al-nama).
Kata ini lalu digunakan untuk menunjukkan “kebaikan yang banyak”
seperti dalam firman Allah Swt: “kitab penuh berkah” dan “malam penuh
berkah”, yakni penuh kebaikan yang banyak. Rasulullah Saw juga sering
kali mendoakan para sahabatnya agar Allah Swt memberkahi mereka, seperti
doa beliau untuk Abu Qatadah, “Ya Allah, berkahilah kulit dan rambutnya.” Sejak saat itu, kulit dan rambut Abu Qatadah tidak pernah berubah meski usianya makin bertambah. Al-Hafiz Ibn ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq bercerita bahwa Abu Qatadah wafat pada usia 70 tahun namun kulit dan rambutnya bagaikan anak berusia 17 tahun.
Kita dapat berkata bahwa keberkahan dalam sesuatu maknanya:kualitas sesuatu itu berkembang sehingga melampaui kuantitasnya. Jika
sebelum makan kita meminta agar Allah memberkahi makanan kita,
maknanya: kita meminta agar makanan itu menjadi sarana perbaikan untuk
kualitas tubuh dan ibadah kita. Kuantitas dan bentuk makanan itu -begitu
juga rasanya- mungkin tak berubah, namun kesan positif yang
diakibatkannya akan segera dirasakan berbeda di tubuh dan perilaku
orang yang memakannya. Tubuhnya akan semakin kuat dan terjaga dari
berbagai penyakit, juga jiwanya terasa lebih ringan untuk melakukan
kerja-kerja yang bermanfaat bagi dunia dan akhiratnya.
Saya
tidak mengingkari bahwa kadang kala Allah juga memberikan keberkahan
dalam makanan dengan mengembangkan jumlah kuantitas bersama kualitas
makanan tersebut sebagai mukjizat bagi nabi-Nya dan karamah bagi
hamba-hamba pilihan-Nya. Hadits-hadits tentang hal ini sangat banyak
dan masyhur sehingga tidak perlu disebutkan lagi pada kesempatan ini.
Keberkahan
yang paling penting adalah keberkahan di dalam hidup dan waktu kita.
Sebab, demi Allah, kita diciptakan untuk sebuah tugas maha penting, dan
waktu adalah modal yang paling utama agar kita dapat menunaikan tugas
tersebut dengan baik. Tanpa keberkahan dan manajemen waktu yang baik,
seseorang tidak akan dapat menunaikan tugas itu dengan sempurna. Oleh
karena itu, bagi mata hamba-hamba Allah yang sejati, waktu jauh lebih
mahal dan lebih berharga daripada uang dan harta benda apapun di dunia
ini. Keberkahan dalam waktu menjadi dambaan mereka melebihi yang
lainnya.
Imam Abu Bakar bin ‘Ayyasy berkata,
“Andai seseorang kehilangan sekeping emas, ia akan menyesal dan
memikirkannya sepanjang hari. Ia mengeluh: Inna lillah, emas saya
hilang. Namun belum pernah seseorang mengeluhkan: satu hari telah
berlalu, apa yang telah aku lakukan dengannya?”
Orang-orang
seperti ini selalu menyesal jika sebuah detik dari waktunya berlalu
tanpa manfaat. Seorang ahli hadits kenamaan Abu Bakar Al-Khatib
Al-Baghdadi sering kali terlihat sedang membaca sambil berjalan sebab ia
tidak ingin membuang waktunya percuma. Imam Ibn Rusyd, ahli fiqih dan
filsafat terkenal, juga diceritakan tidak pernah meninggalkan membaca
buku dan mengajar sepanjang hidupnya kecuali dua malam saja: yaitu
ketika ia menikah dan ketika bapaknya meninggal dunia.
Imam
Abdul Wahab Al-Sya’rani bercerita tentang gurunya Syeikh Zakaria
Al-Anshari (pelajar fiqh mazhab Al-Syafii pasti mengenal nama ini),
“Selama dua puluh tahun aku melayaninya, belum pernah aku melihat
beliau dalam kelalaian atau melakukan sesuatu yang tak berguna, baik
siang ataupun malam hari. Jika seorang tamu berbicara terlalu panjang
kepadanya, beliau segera berkata dengan tegas: ‘Kau telah
membuang-buang waktuku.’
Keberkahan waktu dapat
kita lihat di sejarah hidup tokoh-tokoh Islam sejak masa sahabat.
Mereka berhasil melahirkan prestasi besar hanya dalam masa yang sangat
singkat sehingga agak sukar diterima logika “zaman hilang-berkah” kita
ini. Zaid bin Tsabit, misalnya, berhasil melaksanakan perintah Nabi Saw
untuk menguasai bahasa Yahudi (Suryaniah) –percakapan dan tulisan-
hanya dalam 17 hari saja. Padahal pada saat itu belum ada alat bantu
modern audio visual seperti sekarang ini. Bandingkan dengan diri kita
yang memerlukan masa bertahun-tahun untuk mempelajari bahasa Arab atau
Inggris tanpa memperoleh hasil yang membanggakan.
Para
penulis bioghrafi menceritakan bahwa Al Hafiz Ibn Syahin (seorang
ulama hadits kenamaan) menulis 330 judul buku, salah satunya kitab
tafsir Al Qur’an setebal seribu jilid. Di akhir hayatnya, ia meminta
tukang tinta untuk menghitung berapa banyak tinta yang telah
digunakannya untuk menulis. Ternyata jumlahnya mencapai 1800 liter
tinta. Sebagian ulama meriwayatkan bahwa Syeikh Abdul Ghaffar Al Qushi
menulis sebuah kitab fiqih dalam mazhab Syafii setebal seribu jilid di
kota Akhmim.
Begitu juga, Imam Ibn Al-‘Arabi
(ahli hadits dan fiqih mazhab Maliki asal Andalusia) berhasil menulis
berbagai buku-buku besar dan penting, salah satunya sebuah tafsir
setebal delapan puluh ribu lembar halaman. Imam Jalaluddin Al-Suyuthi
berkata bahwa pemimpin Ahlusunnah wal jama’ah Syeikh Abul Hasan Al
Asy’ari pernah menulis sebuah tafsir sebanyak 600 jilid. Al-Suyuthi
berkata, “Sekarang buku itu masih berada di perpustakaan Al-Nizhamiah
di Baghdad.”
Belum lagi Imam Al-Ghazali yang
hanya hidup 55 tahun, dan Al-Nawawi yang hidup hanya 45 tahun, namun
berhasil menulis banyak buku berharga berjilid-jilid. Juga Imam Ibn
Al-Jauzi yang dikatakan Imam Al-Dzahabi, “Aku tidak mengetahui seorang
ulama yang menulis sebanyak tulisan orang ini.”
Siapa
yang pernah mencoba menulis buku pasti tahu betapa besar keberkahan
yang Allah berikan kepada waktu para ulama ini. Sebagai manusia biasa,
mereka memiliki waktu sama dengan kita: satu bulan terdiri dari empat
minggu, satu minggu terdiri dari tujuh hari, dan satu hari terdiri dari
24 jam. Namun keberkahan dalam waktu memungkinkan mereka berkarya dan
membuahkan prestasi lebih banyak dari kita. Keberkahan waktu
benar-benar kita rasakan telah hilang pada masa kita ini sehingga
sering kali sebuah buku tidak dapat kita selesaikan meski
berbulan-bulan telah berlalu.
Sebab Keberkahan Dicabut
Kehilangan
berkah dalam waktu adalah keluhan utama orang-orang kafir di akhirat.
Seringkali Al-Qur’an menceritakan bahwa ketika kiamat terjadi, semua
manusia merasa bahwa hidup mereka di dunia sangat singkat. Sebagian
mereka merasa hidup di dunia hanya sepuluh hari saja (Qs. Thaha [20]:
103) Sebagian yang lain merasa hanya satu hari atau setengah hari saja, “Allah
bertanya: berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi? Mereka
menjawab: kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari..” (Qs Al-Mukminun [23]: 112-113).
Di antara mereka ada juga yang berkata bahwa masa hidup mereka di dunia hanya beberapa jam saja, “Pada
hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan
tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau
pagi hari.” (Qs. Al-Nazi’at [79]: 46). Sebagian yang lain bahkan
berani bersumpah di hadapan Allah Swt bahwa mereka hanya tinggal di
dunia satu jam saja, “Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa; mereka tidak berdiam (di dunia) melainkan sesaat (saja).” (Qs. Al-Ruum [30]: 55).
Apakah
yang menyebabkan hilangnya keberkahan dalam waktu mereka (juga kita)
ini? Imam Ibn Abi Jamrah dalam Syarh Al-Bukhari berkata, “Penyebabnya
adalah lemah iman dan menyebarnya berbagai pelanggaran syariat di
berbagai bidang, salah satunya dalam hal makanan. Kita semua tahu sifat
haram dan syubhat yang terdapat di makanan kita. Seringkali manusia
tidak peduli (tentang hal ini) sehingga tanpa ragu-ragu mengambil
makanan yang haram setiap kali ada kesempatan. Padahal keberkahan dalam
waktu, rizki dan tumbuhan hanya datang melalui kekuatan iman dan
ketundukan terhadap perintah dan larangan. Dalilnya firman Allah
ta’ala: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan
bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari
langit dan bumi.” (Al-A’raf [7]: 96).
Lemah
iman memang membawa kepada berbagai maksiat dalam pekerjaan seperti
melakukan korupsi, menerima rasuah dan lain-lain. Padahal perbuatan ini
hanya memberi keuntungan semu yang akan sirna dalam masa singkat.
Seorang wali Allah pada abad kesepuluh hijrian di Mesir Syeikh
Afdhaluddin pernah berkata, “Pengkhianatan (dalam pekerjaan) menghapus
berkah sebagaimana haram menghapus halal. Barangsiapa berkhianat dalam
satu dirham, Iblis akan menyeretnya untuk berkhianat dalam seribu
dirham. Begitu juga pencurian. Setiap pencuri yang kami temui, kami
melihat bahwa keberkahan hilang dari usia, harta dan agamanya.”
Tak
ada keberkahan selama haram menjadi santapan kita. Sebab makanan yang
haram atau syubhat selalu menghalangi manusia untuk menggunakan
waktunya dengan efektif. Fenomena malas dan tidur ketika beribadah,
menuntut ilmu dan bekerja lahir akibat konsumsi makanan seperti ini.
Imam ahli hakikat Syeikh Abu Al-Hasan Asy Syadzili berkata, “Kami telah
membuktikan bahwa tak ada obat yang paling mujarab untuk mengusir
kantuk selain memakan halal dan menjauhi haram atau syubhat.
Barangsiapa memakan haram dan syubhat, banyak tidurnya.”
Dan
barangsiapa yang banyak tidurnya, berarti ia telah membuang-buang
waktunya dengan sia-sia. Para ulama sepakat bahwa tidur yang melebihi
kebutuhan dapat merusak mental dan kesehatan pelakunya, juga meluputkan
dirinya daripada keuntungan duniawi dan ukhrawi. Oleh karena itu, Imam
Al-Sya’rani berkata, “Aku selalu menyesal untuk setiap tidur yang aku
lakukan baik waktu siang ataupun malam. Sebab semua kesempurnaan berada
dalam kesadaran dan terjaga. Barangsiapa yang suka tidur, berarti ia
menyukai kekurangan, meniru orang mati, lalai dari amal kebaikan dan
melewatkan keuntungan duniawi dan ukhrawinya.”
Tak ada keberkahan selama riba menjadi sumber rizki kita. Sebab Allah Swt berjanji, “Allah akan memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.”
(Qs. Al-Baqarah [2]: 276). Imam Fakhruddin Al-Razi di dalam Tafsir-nya
berkata, “Ketahuilah bahwa Allah memusnahkan riba; dapat terjadi di
dunia juga di akhirat. Adapun di dunia, dapat terjadi dengan berbagai
cara. Salah satunya; orang yang mengambil riba meskipun hartanya
berlimpah biasanya ia akan jatuh miskin pada akhir hayatnya dan hilang
keberkahan dari hartanya. Nabi Saw bersabda: Riba meskipun banyak akan
mengecil.”
Sayyid Qutb menulis, “Orang yang
hendak memikirkan hikmah Allah dan kesempurnaan agama ini dapat melihat
kebenaran firman Allah ini lebih jelas daripada orang-orang yang
mendengar firman ini pertama kali. Realitas dunia di depan matanya
membenarkan setiap kalimat dari ucapan ini. Berbagai bangsa yang sesat
dan memakan riba tertimpa berbagai musibah yang membinasakan sistem
etika, agama, kesehatan dan perekonomian mereka.”
Sikap Kita
Jika
kita telah menyadari bahwa keberkahan telah hilang, maka sungguh
merugi jika kita membuang-buang waktu yang memang sudah sedikit itu.
Sebaliknya, kita harus mampu menggunakan waktu ini dengan baik untuk
berprestasi di dunia dan mengumpulkan bekal hidup di akhirat. Abu Hazim
Salamah bin Dinar berkata, “Segala sesuatu yang ingin kau bawa ke
akhirat, siapkan dari sekarang. Dan sesuatu yang tidak ingin kau bawa,
tinggalkan dari sekarang.”
Apalagi Rasulullah Saw
memberitakan bahwa kondisi ini akan bertambah buruk pada masa-masa
yang akan datang. Beliau bersabda –sebagaimana diriwayatkan Al-Bukhari
dari Anas bin Malik, “Tidaklah datang kepadamu sebuah zaman, melainkan zaman yang setelahnya lebih buruk dari itu hingga kamu berjumpa dengan tuhanmu.”
Beliau juga bersabda, “Cepatlah
kalian beramal sebelum datang berbagai fitnah seperti kegelapan malam.
Pada saat itu, seseorang mukmin pada pagi hari lalu kafir petang
harinya. Ia mukmin pada petang hari lalu kafir pada pagi harinya. Ia
menjual agamanya demi sedikit harta dunia.” (Ibn Hibban dan Al-Hakim dari Abu Hurairah).
Wallahua'alm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar