Seringkali
kita melihat adanya Polemik perbedaan pandangan hukum dalam suatu permasalahan.
Ulama A mengatakan hal tersebut terlarang, (atau bila boleh dikatakan haram),
namun Ulama B mengatakan hal tersebut boleh (bila boleh dikatakan halal). Harusnya
kita sebagai orang awam, tidaklah boleh mengatakan bahwa yang paling benar
adalah kesimpulan dari Ulama A saja, (atau bila boleh dikatakan, “kelompoknya”
saja), tanpa melihat alasan yang dikemukakan oleh Ulama B. Kebenaran itu (dalam
hal hukum, bukan dalam hal tata cara beribadah kepada Allah yang sudah
dicontohkan oleh Rasulullah SAW) adalah tergantung darimana kita pokok
permasalahannya, dan bagaimana kita melihat dalil-dalil dari Al Qur’an dan
Hadits yang mendukungnya.
Berikut
adalah salah satu contoh tentang perbedaan khilafiyah tentang boleh / tidaknya
perempuan yang sedang haid / seseorang yang sedang junub untuk masuk atau
berdiam di Mesjid.
Kenapa
hal ini saya kemukakan, karena saat ini Ghirah mempelajari ilmu agama sedang
dalam puncaknya, sehingga, kadangkala ada beberapa ukhti yang sedang Haid,
namun sangat ingin mendengarkan pengajian yang berlangsung, bahkan ingin pula
berinteraksi untuk melakukan Tanya jawab terhadap nara sumber.
Semoga
bermanfaat.
Bolehkah bagi
perempuan yang haid dan seorang yang junub untuk masuk dan berdiam diri di
mesjid?
Jumhur
ulama dari empat imam dan yang lainnya - kecuali Adz-Dzahiri - berpendapat diharamkan
berdiam diri di mesjid bagi wanita yang sedang mengalami haid, nifas atau
janabah, ini adalah riwayat dari Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud dari kalangan sahabat.
(Al
Majmu’ (2/184), Al Mughni (1/145), Al Lubab Syarh Al Kitab (1/43), Imam Syafi’I
dan Imam Ahmad membolehkan untuk melewati masjid bukan tinggal didalamnya, Al
Muhalla (2/184) dst)
Ulama
yang "tidak membolehkan" menggunakan dalil-dalil berikut:
1.
Firman
Allah Ta'ala, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang
kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan
pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar
berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir
atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan,
kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang
baik (silo); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi
Maha Pengampun. (Qs. An-Nisaa' 4 : 43)
Mereka
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan shalat adalah tempat untuk shalat, yaitu
mesjid. Jadi dalam ayat itu ditunjukkan seorang yang junub dilarang untuk
memasuki mesjid kecuali ketika safar, kemudian mereka mengqiyaskan orang yang
haid dan nifas seperti orang yang junub.
Adapun
kelompok yang "membolehkan" menjawab bahwa tafsiran seperti itu
adalah salah satu dari dua pendapat di kalangan salaf, akan tetapi tafsiran
lain mengatakan bahwa yang dimaksud adalah shalat itu sendiri, sehingga
maknanya, `Jangan mendekati shalat ketika junub sampai engkau mandi kecuali
orang yang dalam keadaan safar, maka shalatlah dengan tayamum, oleh karenanya
dikatakan pada kalimat berikutnya, "Dan jika kamu sakit atau sedang dalam
musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan,
kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik
(suci); sapulah mukamu dan tanganmu."
Kemudian
mengqiyaskan orang yang haid dengan orang yang junub perlu dicermati, sebab
orang yang haid dimaafkan, tidak mungkin baginya mandi sebelum suci, dia juga
tidak bisa mengangkat haidnya, berbeda dengan seorang yang junub dia bisa
mandi.
2.
Hadits
Jasrah binti Dujajah dari Aisyah bahwa Nabi SAW bersabda,
"Aku
tidak menghalalkan mesjid untuk orang yang haid atau junub.
(Dhaif, HR. Abu Daud
(232), Baihaqi (2/442), Ibnu Khuzaimah (2/284) dam lihat At al Irwa’ (193)
Ulama
yang "membolehkan" menyatakan bahwa hadits ini dhaif dan tidak bisa
dijadikan sebagai dalil lantaran adanya Jasrah yang haditsnya diragukan
manakala
meriwayatkannya
sendiri.
3.
Hadits
Ummu Athiyah, bahwa Nabi SAW memerintahkan untuk membawa keluar para gadis dan
wanita-wanita yang haid pada shalat ied agar mereka bisa ikut serta menyaksikan
kebaikan, dan doa bersama kaum muslimin, dan para wanita yang haid hendaknya
menjauhkan diri dari tempat shalat." (Shahih
Al Bukhari (324) dan Muslim (890))
Mereka
menyatakan, "Jika tempat shalat ied saja hendaknya dijauhi, maka mesjid
lebih utama untuk dijauhi."
Ulama
yang "membolehkan" menjawab, "Yang dimaksud dengan tempat shalat
dalam hadits tersebut adalah shalat itu sendiri, sebab dahulu Nabi SAW dan para
sahabat melakukan shalat ied di tanah lapang, dan bukan di mesjid, dan bumi
semuanya adalah mesjid, maka tidak boleh mengkhususkan sebagian tempat mesjid
untuk larangan dan sebagian yang lain tidak.
Kemudian
dalam lafadz hadits itu sendiri pada sebuah riwayat disebutkan, "Hendaknya
wanita yang haid menjauhi shalat." Yaitu dalam Shahih Muslim dan lainnya.
4.
Hadits
Aisyah, dia berkata, "Nabi SAW dahulu memasukkan kepalanya (melongok)
kepadaku, saat beliau berada di mesjid, aku menyisimya dalam keadaan
haid."(Shahih Al Bukhari (2029)
Mereka
mengatakan bahwa Aisyah tidak menyisirnya di mesjid karena semata-mata dia
dalam keadaan haid.
Ulama
yang "membolehkan" menjawab, "Hadits itu sebenarnya tidak sharih
untuk menjadi dalil mereka, bisa jadi alasan tidak masuknya ke mesjid adalah
alasan lain dan bukan karena haid, seperti keberadaan banyak lelaki di mesjid
dan sebagainya.
Adapun
ulama yang membolehkan orang yang haid dan junub memasuki mesjid, mereka
membawakan dalil sebagai berikut:
- Hukum asal segala sesuatu adalah boleh,
manakala dalil yang melarang tidak sah maka dikembalikan kepada hukum asal
yaitu boleh, seorang Muslim diperbolehkan melakukan shalat di mana saja ketika
waktu shalat tiba.
- Telah ditetapkan bahwa orang-orang
musyrik pernah memasuki mesjid, dan Nabi SAW menahan mereka di dalamnya. Allah
SWT berfirman, "...Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka
janganlah mereka mendekati mesjidil Haram sesudah tahun ini (At-Taubah [9]: 28)
- Adapun orang Muslim adalah suci dalam
keadaan apapun, berdasarkan sabda Nabi SAW, "Sesungguhnya seorang Muslim
itu tidak najis”
Bagiamana mungkin
seorang Muslim dilarang masuk mesjid sementara orang kafir dibolehkan?!
Ulama yang
"melarang" menjawab, "Syariat telah membedakan antara seorang
Muslim dengan kafir, dalil yang melarang tinggal di mesjid bagi orang junub
atau haid telah jelas! dan dalil penahanan terhadap orang kafir waktu itu juga
jelas. Apabila syariat telah membedakan, maka tidak boleh disamakan, adapun
qiyas dengan adanya nash adalah qiyas yang batil! Aku katakan, "Hal ini
karena keberadaan nash telah jelas dan tidak samar!"
-
Hadits
Aisyah bahwa dahulu ada seorang perempuan hitam milik sebuah perkampungan Arab,
kemudian mereka membebaskannya, dan dia datang kepada Rasulullah serta masuk
Islam, hingga dia dibuatkan sebuah tenda di mesjid."(Shahih, Al Bukhari)
Mereka menyatakan, adalah
seorang perempuan yang tinggal di mesjid Nabi SAW, sementara kebiasaan wanita
mengalami haid, Nabi SAW tidak melarangnya tinggal di mesjid, dan tidak
memerintahkannya untuk menjauhi mesjid pada saat haid."
Ulama yang
"melarang" menjawab, "Yang nampak dalam riwayat tersebut bahwa
wanita ini tidak mempunyai keluarga atau tempat, selain mesjid, jadi tinggalnya
di mesjid adalah sebuah keadaan terpaksa. Maka tidak bisa diqiyaskan kepada
selainnya, sebab ini merupakan kasus yang khusus, dan dalil yang sharih tidak
dapat menyalahinya!
-
Hadits
Abu Hurairah yang berbicara tentang wanita yang mengurus (membersihkan) mesjid,
kemudian meninggal dunia dan Rasulullah SAW menanyakan beritanya..." (Al Hadits)" (Shahih, Al Bukhari (485), Muslim
(956),
tapi pada keduanya ada keraguan, apakah ia
seorang lelaki atau seorang wanita, namun keberadaannya sebagai seorang wanita
dikuatkan pada riwayat Ibnu Khuzaimah dan Al Baihaqi (4/48), dengan sanad
hasan.)
- Kondisi perempuan ini bukan karena
terpaksa, setiap waktu membersihkan mesjid dan Nabi SAW tidak melarangnya agar
menjauhi mesjid ketika haid.
- Hadits Abu Hurairah tentang kelompok
Ahlu Shuffah yang bermalam di mesjid pada masa Rasulullah SAW. (Shahih, Al Bukhari (2/645) dan At-Tirrnidzi (479)
Ulama yang
"tidak membolehkan" menjawab, "Ahlu Shuffah tidak punya keluarga
dan harta, sebagaimana telah jelas disebutkan dalam nash hadits yang
dimaksud."
-
Telah
ditetapkan sebuah riwayat yang shahih bahwa Ibnu Umar dahulu pernah tidur di
mesjid pada saat masih lajang dan belum mempunyai keluarga." (Shahih, Al Bukhari (3530) dan Muslim (2479)
Seorang pemuda
terkadang pasti bermimpi junub, namun dia tidak dilarang tinggal di mesjid pada
saat junub.
Ulama yang
"melarang" mengatakan, "Tidak ada yang menyebutkan bahwa Nabi
SAW mengetahui dan mengiyakan hal itu!"
Sedangkan ulama yang
membolehkan membantah, "Kalaupun perihal Ibnu Umar tidak diketahui oleh
Rasulullah, tetapi diketahui oleh Allah SWT, dan pastilah akan dikabarkan
kepadanya melalui wahyu untuk melarangnya." Pernyataan ini dikomentari
lagi, "Tidak harus diturunkan wahyu untuk memberitahukan setiap kesalahan
yang terjadi dari seorang sahabat, berapa banyak sahabat yang melakukan
kesalahan pada masa Nabi SAW karena mereka belum mengetahui hukum yang
diturunkan pada masa tersebut."
-
Ketika
Aisyah RA mengalamai haid saat melaksanakan ibadah haji, Rasulullah
memperbolehkannya untuk melakukan seluruh manasik yang dilakukan seorang yang
tengah melaksanakan ibadah haji, tidak ada larangan apapun selain thawaf di
Ka'bah, (Shahih, Al Bukhari (1650)), ini menunjukkan
bahwa Aisyah diperbolehkan masuk mesjid, karena orang yang berhaji boleh
memasukinya.
Ulama yang "melarang" mengatakan
bahwa Nabi SAW ingin mengajarkan kepada Aisyah bahwa bagi orang yang haid boleh
melakukan manasik haji selain thawaf, adapun hukum memasuki mesjid sudah
diketahui oleh Aisyah bahwa hal itu tidak boleh, sebab dialah yang meriwayatkan
haditsnya. Kemudian Nabi SAW tidak melarangnya melakukan shalat padahal dia
dalam keadaan haid -orang yang berhaji melakukan shalat-, apakah itu artinya
dia boleh melakukan shalat dalam keadaan haid?
Penulis kitab ini berkata, "Ini adalah
jawaban yang mengarah, tetapi kalau saja hadits pelarangan telah tetap, padahal
haditsnya adalah dha’if
-
Hadits
Aisyah, dia berkata, "Rasulullah SAW berkata kepadaku,
Ambilkan tikar kecil di mesjid 'Aku
menjawab, `Aku sedang haid.' Beliau bersabda, "Sesungguhnya haidmu bukan
di tanganmu (tidak dalam kekuasanmu). (HR.
Muslim (298), Abu Daud (261), At-Tirmidzi (134), An-Nasal (2/192))
Riwayat ini memberikan pengertian kepada
kita bahwa tikar kecil itu berada di dalam mesjid, dan Nabi SAW tetap
menghendaki agar Aisyah masuk ke dalam mesjid untuk mengambilnya.
Ulama yang "melarang" mengomentari
bahwa hadits ini dengan lafadz yang lain: Ketika Rasulullah SAW berada di
mesjid, beliau berkata, "Wahai Aisyah ambilkan untukku sebuah pakaian.
"Dia menjawab, "Aku sedang haid." maka Nabi SAW bersabda,
"Sesungguhnya haidmu bukan di tanganmu. '(HR.
Muslim (299) dan An-Nasa'i (1/192))
Riwayat ini menjelaskan bahwa Nabi SAW
berada di dalam mesjid, sedangkan Aisyah dan tikar kecil itu di luar mesjid,
maka Nabi SAW memerintahkannya untuk memasukkan tangannya saja, dan tidak perlu
masuk ke dalam mesjid."
Aku (Penulis kitab ini) katakan:
Hadits ini mempunyai beberapa kemungkinan,
maka sebaiknya digugurkan dari keberadaannya sebagai dalil dari kedua pendapat.
Atsar dari Atha' bin Yasar, dia berkata,
"Aku melihat sekelompok sahabat Rasulullah SAW sedang duduk di mesjid
dalam keadaan junub, kemudian mereka berwudhu layaknya wudhu untuk
shalat."
Aku (Penulis kitab ini) katakan:
Setelah memaparkan berbagai macam dalil dan
hujjah ulama yang melarang dan yang membolehkan, sekarang yang nampak olehku
bahwa dalil-dalil ulama yang melarang tidak sampai menghasilkan hukum haram
secara pasti, meskipun penulis kitab ini sendiri abstain dalam hal ini.
Kesimpulan dari hasil pembahasan diatas
adalah, jangan saling “menjelekkan, memandang salah setiap bentuk Ijtihad dari
saudara kita sesama muslim”, dalam hal permasalahan yang bersifat khilafiyah
diantara ulama. Karena tentunya setiap ulama (yang benar tentunya dan tsiqah),
Insya Allah telah berusaha mencari dalil dari setiap permasalahan yang ada,
tinggal dari sudut pandang mana mereka mengambil kesimpulan hokum tersebut. Dan
yang terakhir yang tidak kalah penting, dalam mengikuti pendapat suatu ulama
(hasil ijtihad mereka), jangan hanya mengambil “enaknya” saja (maunya yang
menguntungkan pribadi kita saja). Selalu berusaha mempelajari dalil dan alasan,
kenapa ulama tersebut mengambil kesimpulan hukum yang mengakibatkan terjadinya
perbedaan dalil hukum (khilafiyah)
Wallahu A'lam.
Disalin dari kitab Shahih Fiqh Sunnah karya Abu
Malik Kamal bin as-Sayyid Salim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar