Pertanyaan yang Masyhur di kalangan para Ushul Fiqih dalam masalah ini
adalah, “Apakah boleh bertaklid kepada ulama yang tingkat keutamaannya “kurang”,
karena ada ulama yang lebih utama?”
Ada 2 Pendapat dalam masalah ini (1)
- Sebagian
Ulama (yaitu satu riwayat dalam madzhab Imam Ahmad, Ibnu Suraij Asy
Syafi’i, Abu Ishaq al Isfirayini, Abul Hasan ath Thabari, pendapat yang
dipilih oleh Imam al Ghazali) menyatakan bahwa meminta fatwa (al
istifta’(2)) kepada ulama yang lebih utama dalam ilmu, ke wara’an, dan
perilaku agamanya adalah wajib.
Imam al Ghazali dalam al Mustashfa
berkata, “Menurut pendapat saya, adalah lebih utama untuk orang yang meminta
fatwa, wajib mengikuti ulama yang lebih utama. Barangsiapa berkeyakinan bahwa
imam asy Syafi’i adalah ulama yang lebih pandai, dan biasanya pendapat
madzhabnya adalah benar, maka orang tersebut tidak boleh mengambil pendapat
lain dengan maksud mengikuti selera saja (tasyahhi)
- Al
Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi dan kebanyakan ahli fiqih beserta Ushul Fiqih
(2) mengatakan bahwa orang yang akan bertanya mengenai dibolehkan memilih
ulama siapa saja yang dia kehendaki, baik tingkat keilmuan ulama yang akan
ditanya itu sama dengan tingkat keilmuan ulama yang lain, ataupun lebih
tinggi. Dengan kata lain, orang tersebut boleh bertaklid kepada ulama yang
tingkatan ilmunya lebih rendah, meskipun ada ulama yg tingkatan ilmunya
lebih tinggi. Dasarnya adalah Keumuman firman Allah, “... maka Tanyakanlah
kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui” (al Anbiya;7). Dan
juga atas dasar ijma sahabat, dimana diantara sahabat ada mujtahid yang
utama, dan ada juga mujtahid yang lebih rendah tingkatannya. Dan tidak ada
informasi dari salah satu dari mereka, yang mewajibkan orang awam
dikalangan mereka untuk berijtihad memilih mujtahid tertentu yang ada
diantara mereka (para sahabat)
Dari uraian diatas, penulis Prof Dr
Wahbah az Zuhaili berpendapat bahwa pendapat yang lebih rajih adalah pendapat
ke 2 sesuai ijma sahabat dalam hal bolehnya memilih berbagai pendapat ulama dan
bertanya kepada ulama yg dikehendaki (3)
Wallahualam
Diambil dari kitab Fiqh Islam wa Adilatuhu karya Prof Dr Wahbah az Zuhaili
Catatan kaki.
(1) Lihat At Taqrir wat Tahbir jilid 3 hal 345, Fawatih At
Rahamut jilid 2, hal 403, Asy Syairazi, al Luma’ fi Ushul Fiqh hal 68, Hasyiyah
Ibnu ‘Abidin, jilid 1 hal 45, ibnu Arabi, Risalah fi Ushul al Fiqh hal 32.
(2) istifta adalah bertanya tentang pendapat seorang mujtahid dalam masalah
hukum tertentu dengan maksud diamalkan, baik orang yang ditanya itu adalah
mujtahid itu sendiri ataupun orang yang menukilkan pendapat mujtahid tersebut
meskipun antara orang tersebut dengan mujtahid ada orang yang menjadi perantara
(Ahmad al Husaini, Tuhfah Ar Ra’yi as Sadid hal 239)
(3) Ibnu Abidin dalam Hasyiyah (dikutip dari kitab At Tahrim dan syarahnya)
mengatakan, “Madzhab Hanafi, Maliki, dan sebagian besar Hambali, dan juga
Syafi’i juga berpendapat seperti ini”. Fatwa terakhir ibnu Hajar juga
menyatakan, “Pendapat yang paling shahih dikalangan madzhab Syafi’i adalah
seorang Muqallid boleh memilih ulama siapa saja yang dikehendaki, meskipun
ulama tersebut tingkatannya lebih rendah (al Mafdhul) dan meskipun dia meyakini
kerendahan tingkatan ulama yang ditaklidi tersebut. Namun dalam keadaan
demikian, orang tersebut tidak boleh berkeyakinan atau berprasangka kuat, bahwa
mujtahid tersebut adalah benar, melainkan orang tersebut hendaklah berkeyakinan
bahwa pendapat imam yang diikuti itu berkemungkinan untuk benar (Hasyiyah
Ibnu Abidin jilid 1 hal 45)