Minggu, 06 April 2014

Sujud Dengan Tangan atau Lutut: Khilafiyyah Abadi

  
Abad kedua dan ketiga hijriyyah bisa dikatakan abad dimana banyak ulama fiqih mencapai kematangan ijtihadnya. Sebut saja imam madzhab empat; Imam Abu Hanifah (w. 150 H), Imam Malik bin Anas (w. 179 H), Imam Syafi’i Muhammad bin Idris (w. 204 H), dan Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) adalah bukti nyata akan hal itu.

Mereka semua berijtihad, kadang hasil ijtihad itu sama dan tak jarang juga berbeda. Tetapi meski berbeda, kita tak meragukan rasa hormat antar mereka. Imam Malik dengan terang-terangan memuji kejeniusan Imam Abu Hanifah dalam ber-istidlal, Imam Syafi’i mengakui keluasan ilmu Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal tak jemu-jemunya mendo’akan sang guru; Imam Syafi’i sepanjang hayatnya. Tidak mengapa mereka berbeda, karena bersama tak harus sama.

Tak jarang kita temukan perbedaan ijtihad mereka itu masih selalu dibicarakan hingga sampai saat ini, di abad ke-15 atau sekitar 1200-an tahun berlalu. Salah satunya tentang sujud, manakah yang lebih didahulukan; tangan atau lutut.

Semakin Luas Semakin Bijak

Semakin banyak tahu adanya perbedaan itu, memang diharapkan bisa semakin bijak dalam beragama. Karena yang berijtihad bukanlah seorang awam, melainkan para mujtahid. Itulah pentingnya belajar fiqih perbedaan. Selama bukan perbedaan yang bersifat prinsipil, antara iman dan kufur, antara tauhid dan syirik, antara surga dan neraka.

Disebut khilafiyyah abadi karena memang hal itu sudah pernah dibahas para ulama sejak dahulu, dan masih tetap diperbincangan sampai saat ini. Contohnya tentang sujud; antara tangan dan lutut, manakah yang lebih didahulukan saat turun.

Ada beberapa pendapat dikalangan ulama’. Ada yang berpendapat mendahulukan lutut, ada yang mendahulukan tangan, adapula yang mempersilahkan untuk memilih diantara keduanya. Sepertinya pendapat ketiga inilah yang cukup pertengahan dalam melihat perbedaan ini.

Pendapat ini sebagaimana diungkapkan Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) ketika ditanya tentang hal itu. Ibnu Taimiyyah menjawab:

أما الصلاة بكليهما فجائزة باتفاق العلماء إن شاء المصلي يضع ركبتيه قبل يديه وإن شاء وضع يديه ثم ركبتيه وصلاته صحيحة في الحالتين باتفاق العلماء. ولكن تنازعوا في الأفضل

Shalat dengan kedua model itu boleh saja menurut kesepakatan ulama. Silahkan lututnya dahulu atau tangannya dahulu .[1]

Jumhur ulama dari madzhab Hanafiyyah[2], Syafi’iyyah[3], Hanbaliyyah[4] dan beberapa ulama salaf; seperti an-Nakha’i, Sufyan at-Tsauri, Ishaq, Muslim bin Yasar, Ibnu al-Mundzir bahwa yang sunnah didahulukan dalam sujud adalah lutut dan mengakhirkan tangan, sedangkan ketika berdiri dari sujud itu dengan mendahulukan tangan terlebih dahulu[5].

Pendapat Malikiyyah dan satu riwayat dari Imam Ahmad bahwa mereka lebih memilih mendahulukan tangan terlebih dahulu, sebagaimana juga dipilih oleh Nashiruddin al-Albani[6].

Ibnu Qayyim

Ada hal menarik ketika kita berbicara hal ini, karena sebagian dari umat islam saat ini, mereka semangat mengamalkan hadits yang mereka anggap shahih dan membuang hadits yang mereka anggap lemah.

Bagaimana tidak, dalam hal ini sekali lagi Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H) berbeda pendapat dengan al-Albani (w. 1420 H). Sedangkan Abdullah bin Aziz bin Bazz (w. 1420 H) dan Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (w. 1421 H) mendukung pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 728 H).

Syeikh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 728 H) berkata dalam kitabnya Zaad al-Ma’ad[7]:

(وكان صلى الله عليه وسلم يضع ركبتيه قبل يديه، ثم يديه بعدهما، ثم جبهته وأنفه) هذا هو الصحيح الذي رواه شريك، عن عاصم بن كليب، عن أبيه، عن وائل بن حجر: ( «رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا سجد وضع ركبتيه قبل يديه، وإذا نهض رفع يديه قبل ركبتيه» )

Rasulullah meletakkan lututnya dahulu baru tangannya, lalu dahi dan hidunya. Ini adalah yang SHAHIH sebagaimana diriwayatkan Syuraik dari Ashim bin Kulaib dari Bapaknya dari Wail bin Hujr, saya melihat Rasulullah ketika sujud beliau meletakkan lututnya dahulu sebelum tangannya, ketika bangun dari sujud beliau mendahulukan tangannya sebelum lututnya

Ibnu Bazz

Syeikh Bin Bazz (w. 1420 H) dalam kitabnya Majmu’ Fatawa Bin Bazz[8] menjelaskan:

والأرجح في ذلك أن الأفضل تقديم الركبتين عند السجود ثم اليدين ثم الوجه

Yang lebih rajih adalah mendahulukan dua lutut ketika sujud, lallu tangan kemudian wajah

Dalam kesempatan lain, beliau berkata dalam Fatawa Nur ala ad-Darbi[9]

الأفضل كما فعلتم تقديم الركبتين على اليدين، كما جاء في حديث وائل وغيره

Yang lebih utama adalah mendahulukan dua lutut daripada dua tangan

Ibnu Utsaimin

Ibnu Utsaimin (w. 1421 H) dalam Fatwanya[10] juga merajihkan pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 728 H), beliau berkata:

فإن السنة التي أمر بها الرسول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ في السجود أن يضع الإنسان ركبتيه قبل يديه

Hal yang menjadi kesunnahan yang diperintahkan Rasulullah dalam sujud adalah mendahulukan lutut daripada kedua tangannya

Fatwa beliau bisa juga diakses via youtube di: http://www.youtube.com/watch?v=8GuRu48x2z8

Hadits Shahih dan Dhaif Sebagai Hujjah

Tentu para ulama sepakat bahwa hadits shahih itu menjadi salah satu instrumen sumber hujjah dalam beragama, mereka juga sangat menjauhi hadits dhaif apalagi jika masih ada hadits shahih lain.

Tetapi penilaian shahih dan dhaifnya suatu hadits adalah produk ijtihadi juga. Maka, salah satu sebab perbedaan ulama adalah perbedaan mereka dalam menshahihkan atau mendhaifkan suatu hadits. Waallahua’lam bisshawab

Hanif Luthfi, Lc
[1] Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah (w. 728 H), Majmu’ al-Fatawa, (Riyadh: Majma’ al-Malik Fahd, 1416 H), hal. 22/ 449

[2] Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Abu Ja’far at-Thahawi al-Hanafi (w. 321 H), Syarhu Ma’ani al-Atsar, Bairut: Daar Alam al-Kutub, 1414 H), hal. 1/ 256

[3] Imam Nawawi Yahya bin Syarah (w. 676 H) menjelaskan cukup panjang hal ini di kitab-kitab beliu; lihat: Minhaju at-Thalibin, (Bairut: Daar al-Fikr, 1425 H), hal. 27 dan di kitab Raudhatu at-Thalibin, (Bairut: al-Maktab al-Islami, 1412 H), hal. 1/ 258 dan juga Imam Nawawi juga menukil pendapat Imam Syafi’i (w. 204 H) dalam kitabnya al-Majmu’, (Bairut: Daar al-Fikr, t.t), hal. 3/ 422

[4] Ibnu Quddamah al-Maqdisi (w. 676 H), al-Mughni, (Kairo: Maktabah al-Qahirah, 1388 H), hal. 1/ 370

[5] Wizarat al-Auqaf, Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, )Kuwait: Thaba’ al-Wizarah, 1404 H), hal. 24/ 205,

[6] Muhammad Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H), Aslu Sifat Shalat Nabi, (Riyadh: Maktabah al-Maarif, 1427 H), Hal. 2/ 715

[7] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H), Zaad al-Ma’ad, (Bairut: Muassasah ar-Risalah, 1415 H), hal. 1/ 215

[8] Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz (w. 1420 H), Majmu’ Fatawa Bin Bazz, hal. 12/ 121

[9] Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz (w. 1420 H), Majmu’ Fatawa Bin Bazz, hal. 12/ 121

[10] Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (w. 1421 H), Majmu’ Fatawa wa Rasail, (Riyadh: Daar al-Wathan, 1413 H), hal. 13/ 174


Hanif Luthfi, Lc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar