Abad kedua dan ketiga hijriyyah bisa dikatakan abad dimana
banyak ulama fiqih mencapai kematangan ijtihadnya. Sebut saja imam madzhab
empat; Imam Abu Hanifah (w. 150 H), Imam Malik bin Anas (w. 179 H), Imam
Syafi’i Muhammad bin Idris (w. 204 H), dan Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H)
adalah bukti nyata akan hal itu.
Mereka semua berijtihad, kadang hasil ijtihad itu sama dan
tak jarang juga berbeda. Tetapi meski berbeda, kita tak meragukan rasa hormat
antar mereka. Imam Malik dengan terang-terangan memuji kejeniusan Imam Abu
Hanifah dalam ber-istidlal, Imam Syafi’i mengakui keluasan ilmu Imam Malik,
Imam Ahmad bin Hanbal tak jemu-jemunya mendo’akan sang guru; Imam Syafi’i
sepanjang hayatnya. Tidak mengapa mereka berbeda, karena bersama tak harus
sama.
Tak jarang kita temukan perbedaan ijtihad mereka itu masih
selalu dibicarakan hingga sampai saat ini, di abad ke-15 atau sekitar 1200-an
tahun berlalu. Salah satunya tentang sujud, manakah yang lebih didahulukan;
tangan atau lutut.
Semakin Luas Semakin Bijak
Semakin banyak tahu adanya perbedaan itu, memang diharapkan
bisa semakin bijak dalam beragama. Karena yang berijtihad bukanlah seorang
awam, melainkan para mujtahid. Itulah pentingnya belajar fiqih perbedaan.
Selama bukan perbedaan yang bersifat prinsipil, antara iman dan kufur, antara
tauhid dan syirik, antara surga dan neraka.
Disebut khilafiyyah abadi karena memang hal itu sudah pernah
dibahas para ulama sejak dahulu, dan masih tetap diperbincangan sampai saat
ini. Contohnya tentang sujud; antara tangan dan lutut, manakah yang lebih
didahulukan saat turun.
Ada beberapa pendapat dikalangan ulama’. Ada yang
berpendapat mendahulukan lutut, ada yang mendahulukan tangan, adapula yang
mempersilahkan untuk memilih diantara keduanya. Sepertinya pendapat ketiga
inilah yang cukup pertengahan dalam melihat perbedaan ini.
Pendapat ini sebagaimana diungkapkan Ibnu Taimiyyah (w. 728
H) ketika ditanya tentang hal itu. Ibnu Taimiyyah menjawab:
أما الصلاة بكليهما فجائزة
باتفاق العلماء إن شاء
المصلي يضع ركبتيه قبل
يديه وإن شاء وضع
يديه ثم ركبتيه وصلاته
صحيحة في الحالتين باتفاق
العلماء. ولكن تنازعوا في
الأفضل
Shalat dengan kedua model itu boleh saja menurut kesepakatan
ulama. Silahkan lututnya dahulu atau tangannya dahulu .[1]
Jumhur ulama dari madzhab Hanafiyyah[2], Syafi’iyyah[3],
Hanbaliyyah[4] dan beberapa ulama salaf; seperti an-Nakha’i, Sufyan at-Tsauri,
Ishaq, Muslim bin Yasar, Ibnu al-Mundzir bahwa yang sunnah didahulukan dalam
sujud adalah lutut dan mengakhirkan tangan, sedangkan ketika berdiri dari sujud
itu dengan mendahulukan tangan terlebih dahulu[5].
Pendapat Malikiyyah dan satu riwayat dari Imam Ahmad bahwa
mereka lebih memilih mendahulukan tangan terlebih dahulu, sebagaimana juga
dipilih oleh Nashiruddin al-Albani[6].
Ibnu Qayyim
Ada hal menarik ketika kita berbicara hal ini, karena
sebagian dari umat islam saat ini, mereka semangat mengamalkan hadits yang
mereka anggap shahih dan membuang hadits yang mereka anggap lemah.
Bagaimana tidak, dalam hal ini sekali lagi Ibnu Qayyim al-Jauziyyah
(w. 751 H) berbeda pendapat dengan al-Albani (w. 1420 H). Sedangkan Abdullah
bin Aziz bin Bazz (w. 1420 H) dan Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (w. 1421 H)
mendukung pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 728 H).
Syeikh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 728 H) berkata dalam
kitabnya Zaad al-Ma’ad[7]:
(وكان صلى الله عليه
وسلم يضع ركبتيه قبل
يديه، ثم يديه بعدهما،
ثم جبهته وأنفه) هذا
هو الصحيح الذي رواه
شريك، عن عاصم بن
كليب، عن أبيه، عن
وائل بن حجر: ( «رأيت
رسول الله صلى الله
عليه وسلم إذا سجد
وضع ركبتيه قبل يديه،
وإذا نهض رفع يديه
قبل ركبتيه» )
Rasulullah meletakkan lututnya dahulu baru tangannya, lalu
dahi dan hidunya. Ini adalah yang SHAHIH sebagaimana diriwayatkan Syuraik dari
Ashim bin Kulaib dari Bapaknya dari Wail bin Hujr, saya melihat Rasulullah ketika
sujud beliau meletakkan lututnya dahulu sebelum tangannya, ketika bangun dari
sujud beliau mendahulukan tangannya sebelum lututnya
Ibnu Bazz
Syeikh Bin Bazz (w. 1420 H) dalam kitabnya Majmu’ Fatawa Bin
Bazz[8] menjelaskan:
والأرجح
في ذلك أن الأفضل
تقديم الركبتين عند السجود ثم
اليدين ثم الوجه
Yang lebih rajih adalah mendahulukan dua lutut ketika sujud,
lallu tangan kemudian wajah
Dalam kesempatan lain, beliau berkata dalam Fatawa Nur ala
ad-Darbi[9]
الأفضل
كما فعلتم تقديم الركبتين
على اليدين، كما جاء
في حديث وائل وغيره
Yang lebih utama adalah mendahulukan dua lutut daripada dua
tangan
Ibnu Utsaimin
Ibnu Utsaimin (w. 1421 H) dalam Fatwanya[10] juga merajihkan
pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 728 H), beliau berkata:
فإن السنة التي أمر
بها الرسول صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ في السجود أن
يضع الإنسان ركبتيه قبل
يديه
Hal yang menjadi kesunnahan yang diperintahkan Rasulullah
dalam sujud adalah mendahulukan lutut daripada kedua tangannya
Fatwa beliau bisa juga diakses via youtube di: http://www.youtube.com/watch?v=8GuRu48x2z8
Hadits Shahih dan Dhaif Sebagai Hujjah
Tentu para ulama sepakat bahwa hadits shahih itu menjadi
salah satu instrumen sumber hujjah dalam beragama, mereka juga sangat menjauhi
hadits dhaif apalagi jika masih ada hadits shahih lain.
Tetapi penilaian shahih dan dhaifnya suatu hadits adalah
produk ijtihadi juga. Maka, salah satu sebab perbedaan ulama adalah perbedaan
mereka dalam menshahihkan atau mendhaifkan suatu hadits. Waallahua’lam
bisshawab
Hanif Luthfi, Lc
[1] Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah (w. 728 H), Majmu’ al-Fatawa,
(Riyadh: Majma’ al-Malik Fahd, 1416 H), hal. 22/ 449
[2] Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Imam Abu Ja’far
at-Thahawi al-Hanafi (w. 321 H), Syarhu Ma’ani al-Atsar, Bairut: Daar Alam
al-Kutub, 1414 H), hal. 1/ 256
[3] Imam Nawawi Yahya bin Syarah (w. 676 H) menjelaskan
cukup panjang hal ini di kitab-kitab beliu; lihat: Minhaju at-Thalibin,
(Bairut: Daar al-Fikr, 1425 H), hal. 27 dan di kitab Raudhatu at-Thalibin,
(Bairut: al-Maktab al-Islami, 1412 H), hal. 1/ 258 dan juga Imam Nawawi juga
menukil pendapat Imam Syafi’i (w. 204 H) dalam kitabnya al-Majmu’, (Bairut:
Daar al-Fikr, t.t), hal. 3/ 422
[4] Ibnu Quddamah al-Maqdisi (w. 676 H), al-Mughni, (Kairo:
Maktabah al-Qahirah, 1388 H), hal. 1/ 370
[5] Wizarat al-Auqaf, Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah
al-Kuwaitiyyah, )Kuwait: Thaba’ al-Wizarah, 1404 H), hal. 24/ 205,
[6] Muhammad Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H), Aslu Sifat
Shalat Nabi, (Riyadh: Maktabah al-Maarif, 1427 H), Hal. 2/ 715
[7] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H), Zaad al-Ma’ad,
(Bairut: Muassasah ar-Risalah, 1415 H), hal. 1/ 215
[8] Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz (w. 1420 H), Majmu’
Fatawa Bin Bazz, hal. 12/ 121
[9] Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz (w. 1420 H), Majmu’
Fatawa Bin Bazz, hal. 12/ 121
[10] Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (w. 1421 H), Majmu’
Fatawa wa Rasail, (Riyadh: Daar al-Wathan, 1413 H), hal. 13/ 174
Hanif Luthfi, Lc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar