A. Pendahuluan
Tidak bisa
dipungkiri lagi bahwa munculnya ikhtilaf dalam ranah ijtihad para ulama
merupakan sebuah keniscayaan. Bahkan hal tersebut sudah tidak lagi menjadi
sesuatu yang tabu di sebagian besar kalangan masyarakat, khususnya bagi mereka
sarjana muslim yang bergelut dalam bidang ilmu syariah. Karena itulah
konsekuensi yang harus terjadi sebagai implementasi dari praktek ijtihad itu
sendiri. Karena ijtihad bertolak dari pemahaman seorang ulama terhadap suatu
dalil, sedangkan tingkat pemahaman seseorang dengan yang lainnya tentu
berbeda-beda.
Suatu proses
ijtihad, tentunya akan melibatkan pemahaman seorang ulama terhadap suatu dalil
baik itu dari al-quran maupun hadits yang keduanya menjadi input dalam suatu
proses ijtihad, untuk kemudian didapati suatu kesimpulan hukum yang merupakan
output dari proses ijtihad tersebut. Dan output yang dihasilkan seringkali
berbeda antara satu ijtihad dengan ijtihad yang lain, tergantung bagaimana cara
mengolah input-nya itu sendiri.
Cara
mengolah input inilah yang seringkali menjadi faktor timbulnya perbedaan hukum
dalam suatu masalah. Termasuk ketika ada suatu input berupa hadits atau atsar
dimana ada dua hadits atau atsar yang berkaitan dengan suatu masalah, namun
keduanya mempunyai kontradiksi makna secara lahir (dzahir), atau dalam ilmu
hadits dikenal dengan istilah mukhtalif al-ahadits atau musykil al-atsar.
Namun
sebelumnya, perlu kita garis bawahi bahwa hadits yang merupakan sabda Nabi
Muhammad SAW dan menjadi salah satu sumber hukum (mashdar al-tasyri’) dalam
agama islam, tidak mungkin terjadi kontradiksi di dalamnya. Karena kita tahu
bahwa apa yang beliau sabdakan semata-mata adalah wahyu dari Allah SWT. seperti
yang tertera dalam al-quran surah an-Najm ayat 3 dan 4. Adapun kontradiksi yang
dimaksud disini adalah kontradiksi makna jika dilihat secara lahirnya saja.
Namun jika diteliti lebih dalam maka kontradiksi itu akan hilang dengan
sendirinya.
Ibnu
Khuzaimah pernah berkata, “Aku tidak pernah mengetahui ada dua hadits yang
diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, dengan sanad yang sama-sama shahih namun
maknanya saling bertentangan. Maka jika ada orang yang mengetahuinya,
berikanlah kepadaku niscaya akan aku padukan keduanya.”
Oleh karena
itu, praktek pengolahan input seperti ini (mukhtalif al-ahadits) tidak bisa
dilakukan oleh sembarang orang. Paling tidak orang yang hendak melakukannya
harus menguasai minimal dua bidang ilmu sekaligus yaitu ilmu hadits dan ilmu
fiqih. Mengingat kedua disiplin ilmu tersebut mempunyai kaitan yang sangat erat
satu sama lain. Al-A’masy salah seorang muhaddits (ahli hadits) dari kalangan
tabi’in pernah berkata di tengah perbincangannya dengan Imam Abu Hanifah untuk
menggambarkan kaitan antara kedua ilmu ini, “Wahai para ahli fiqih! kalian
adalah dokter dan kami (ahli hadits) adalah apoteker.”
Dalam ilmu
mukhtalaf al-hadits sendiri para ulama telah merumuskan beberapa cara atau
solusi dalam menyikapi hadits-hadits yang bertentangan tersebut. Antara lain
adalah dengan al-jam’u (memadukan/mencari titik temu), al-tarjih (mencari yang
paling kuat/dominan), dan ma’rifah an-nasikh wal mansukh (mengetahui mana yang
menasakh dan mana yang dimansukh).
Namun
permasalahannya tidak berhenti sebatas dengan mengetahui cara-cara di atas.
permasalahan lain yang sering muncul adalah timbulnya perbedaan pandangan di
antara para ulama dalam mempertimbangkan cara yang paling tepat untuk
diprioritaskan dan yang lebih mungkin untuk diaplikasikan dalam menyikapi
hadits-hadits yang bertentangan itu.
Yang pada
akhirnya akan menimbulkan perbedaan dalam pengambilan kesimpulan hukum sesuai
cara yang ditempuh oleh masing-masing ulama. Dan hal itu membuat
perbedaan-perbedaan hukum dalam satu masalah dalam koridor masail fiqhiyyah
menjadi sangat wajar adanya.
B. Mukhtalif Al-Ahadits mengenai Shalat
Sunnah Sebelum Maghrib
Kali ini
penulis akan mengambil salah satu contoh kasus yang berkaitan dengan mukhtalaf
al-hadits, yaitu mengenai hukum shalat dua rakaat sebelum maghrib. Berkaitan
dengan hal tersebut, ada dua hadits yang akan menjadi pokok bahasan kita di
sini. Yang pertama adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abullah bin al-Muzani :
صَلُّوا قَبْلَ صَلاَةِ المَغْرِبِ، قَالَ: فِي الثَّالِثَةِ لِمَنْ شَاءَ كَرَاهِيَةَ أَنْ يَتَّخِذَهَا النَّاسُ سُنَّةً
“Shalatlah
kalian sebelum shalat maghrib, (kemudian) bersabda Rasulullah SAW setelah yang
ketiga kalinya : “bagi siapa saja yang berkehendak!” karena takut orang
menjadikannya sebagai sunnah.”
Dan yang
kedua adalah atsar yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Thowus :
سئل
بن عُمَرَ عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ فَقَالَ مَا رَأَيْتُ أَحَدًا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّيهِمَا وَرَخَّصَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ
“Ibnu Umar
ditanya tentang dua rakaat sebelum maghrib kemudian dia berkata aku tidak
pernah melihat seseorang pada masa Rasulullah SAW melakukan shalat tersebut
namun Beliau memberikan keringanan pada dua rakaat setelah ashar”
Dua hadits
di atas jika dilihat secara dzahir, maknanya saling bertentangan. Yang pertama
menunjukkan kebolehan shalat sunnah sebelum maghrib, namun yang kedua
manafyikan kesunnahannya. Maka disini kita akan melihat bagaimana para ulama
menyikapi kedua hadits di atas.
1. Al-Jam’u
Sebagian
ulama hanafiyah menggunakan cara al-jam’u dalam menyikapi kedua hadits di atas
sebagaimana disebutkan oleh Badruddin al-‘Aini dalam kitabnya ‘Umdah al-Qori
Syarh Shohih Al-Bukhori, penjelasannya adalah sebagai berikut.
Hadits yang
pertama berkaitan dengan kondisi kaum muslimin pada awal kemunculan islam,
untuk menunjukkan telah berlalunya waktu terlarang untuk shalat dengan
terbenamnya matahari sehingga rasulullah SAW menganjurkan untuk melakukan
shalat dua rakaat sebelum maghrib sebagai pertanda bahwa waktu tersebut sudah
diperbolehkan untuk melakukan shalat, baik itu shalat sunnah atau shalat fardu.
Kemudian
setelah itu kaum muslimin terbiasa untuk menyegerakan shalat fardu di awal
waktu agar tidak terlambat untuk melaksanakannya di waktu yang utama, maka
shalat dua rakaat sebelum maghrib pun tidak dilakukan. Dengan demikian hadits
kedua yang diriwayatkan dari Ibnu Umar tidak bisa dijadikan hujjah untuk
menafyikan kesunnahan shalat dua rakaat sebelum maghrib.
2. At-Tarjih
Cara yang
kedua adalah dengan melakukan tarjih terhadap salah satu hadits yang dianggap
lebih kuat atau dominan. Penjelasannya adalah sebagai berikut :
Hadits yang
pertama yaitu hadits yang diriwayatkan dari Abullah bin al-Muzani adalah hadits
shahih, diriwayatkan oleh Imam al-Bukhori. Selain itu hadits ini juga
diriwayatkan oleh banyak ulama ahli hadits yang termaktub dalam kitab-kitabnya
antara lain Musnad-nya Imam Ahmad, Shahih Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Hibban,
Sunan Abu Daud, Sunan al-Daruqutni, al-Sunan al-Shagir dan al-Sunan al-Kubro
karya Imam al-Baihaqi.
Selain itu,
hadits ini juga diperkuat oleh hadits lain yang juga merupakan hadits shahih.
yaitu hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik :
كَانَ المؤذّن إِذَا أَذَّنَ قَامَ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبْتَدِرُونَ السَّوَارِيَ، حَتَّى يَخْرُجَ النَّبِيُّ صلّى الله عليه وسلم وَهُمْ كَذَلِكَ، يُصَلُّونَ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ المَغْرِبِ
“Adalah
muadzin apabila adzan, para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersegera berdiri menuju tiang masjid untuk shalat dua rakaat sebelum maghrib
sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar sementara mereka dalam keadaan
demikian”
Hadits di
atas adalah hadits yang muttafaq ‘alaih (diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim).
Dengan demikian hadits ini menjadi penguat bagi hadits pertama yang
diriwayatkan dari Abdullah bin al-Muzani yang menunjukkan pensyariatan shalat
dua rakaat sebelum maghrib. Walaupun nantinya ada perbedaan di antara fuqoha
dalam derajat ke-masyru’iyyah-annya. Ada yang mengatakan sunnah atau mustahab
dan ada yang berpendapat hanya sekedar mandub.
Sedangkan
hadits kedua yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa dia tidak melihat seorang
pun dari sahabat Nabi yang melakukan shalat dua rakaat sebelum maghrib, hadits
ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan Al-Baihaqi.
Namun hadits
ini mendapat komentar dari beberapa ulama diantaranya Ibnu Hazm yang mengatakan
bahwa hadits ini tidak shahih karena dalam sanadnya terdapat seorang rowi
majhul (tidak diketahui/dikenal) yang bernama Syuaib. Di samping itu Imam
Al-bani juga mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits dha’if.
Dari sisi
lain, metode tarjih juga bisa dilakukan dengan cara memandang dari sisi itsbat
dan nafyi-nya. Hadits pertama dianggap sebagai hadits yang menetapkan atau
meng-itsbat (mutsbit) kebolehan shalat sunnat dua rakaat sebelum maghrib.
Dan hadits
yang kedua dianggap sebagai hadits yang menafyikan (nafi) kebolehannya. Maka
jika ada dua hadits, yang satu mutsbit dan yang satu nafi, yang didahulukan
adalah hadits yang mutsbit. Karena boleh jadi yang menafyikan kesunnahan shalat
tersebut tidak mengetahui apa yang diketahui oleh yang meng-itsbat (menetapkan)
kesunnahannya.
3. An-Naskh
Ibnu Syahin
berpendapat bahwa hadits pertama yaitu hadits Abdullah bin al-Muzani, dinasakh
oleh hadits kedua yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dan hadits yang diriwayatkan
oleh abdullah bin Buraidah berikut :
إِن
عِنْد كل أذانين رَكْعَتَيْنِ مَا خلا الْمغرب
“Sesungguhnya
di setiap dua adzan (adzan dan iqomah) ada dua rakaat, kecuali shalat maghrib”
Namun
sayangnya pendapat ini mendapat sanggahan dari Ubaidullah al-Rahmani
al-Mubarakfuri dalam kitab Mir’ah al-Mafatih. Beliau mengatakan bahwa pendapat
nasakh ini tidak perlu dianggap karena merupakan pendapat yang tidak berdasar.
C. Penutup
Jika melihat
beberapa cara dalam menyikapi mukhtalaf al-ahadits seperti yang telah
dijelaskan di atas, sangatlah wajar jika kita mendapati perbedaan para ulama
dalam menentukan hukum shalat dua rakaat sebelum maghrib. Karena memang setiap
ulama mempunyai pendapat dan metode masing-masing dalam hal ini bahkan dalam
masalah-masalah fiqih lainnya.
Dalam
madzhab empat yang kita kenal pun punya pendapat yang berbeda-beda. Di
antaranya madzhab Hanafi dan maliki berpendapat bahwa shalat dua rakaat sebelum
maghrib hukumnya makruh. Lain lagi dengan madzhab Syafi’i yang justru
mengatakan hukumnya sunnah.
Perbedaan
tersebut tidak terlepas dari adanya keberagaman metode atau cara yang bisa
diaplikasikan dalam menyikapi suatu kasus fiqih yang berkaitan dengan mukhtalaf
al-ahadits seperti yang telah dibahas di atas.
Karena pada
umumnya dalil yang dipakai para ulama dalam menentukan suatu hukum merupakan
dalil yang sama, namum cara memahami dan sudut pandang masing-masing ulama
terhadap dalil-lah yang membedakan output dari hasil suatu proses ijtihad yang
dilakukan oleh masing-masing ulama tersebut.
Muhammad
Abdul Wahab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar