Senin, 07 April 2014

Hadits-hadits Yang Saling Bertentangan

A.         Pendahuluan

Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa munculnya ikhtilaf dalam ranah ijtihad para ulama merupakan sebuah keniscayaan. Bahkan hal tersebut sudah tidak lagi menjadi sesuatu yang tabu di sebagian besar kalangan masyarakat, khususnya bagi mereka sarjana muslim yang bergelut dalam bidang ilmu syariah. Karena itulah konsekuensi yang harus terjadi sebagai implementasi dari praktek ijtihad itu sendiri. Karena ijtihad bertolak dari pemahaman seorang ulama terhadap suatu dalil, sedangkan tingkat pemahaman seseorang dengan yang lainnya tentu berbeda-beda.

Suatu proses ijtihad, tentunya akan melibatkan pemahaman seorang ulama terhadap suatu dalil baik itu dari al-quran maupun hadits yang keduanya menjadi input dalam suatu proses ijtihad, untuk kemudian didapati suatu kesimpulan hukum yang merupakan output dari proses ijtihad tersebut. Dan output yang dihasilkan seringkali berbeda antara satu ijtihad dengan ijtihad yang lain, tergantung bagaimana cara mengolah input-nya itu sendiri.

Cara mengolah input inilah yang seringkali menjadi faktor timbulnya perbedaan hukum dalam suatu masalah. Termasuk ketika ada suatu input berupa hadits atau atsar dimana ada dua hadits atau atsar yang berkaitan dengan suatu masalah, namun keduanya mempunyai kontradiksi makna secara lahir (dzahir), atau dalam ilmu hadits dikenal dengan istilah mukhtalif al-ahadits atau musykil al-atsar.

Namun sebelumnya, perlu kita garis bawahi bahwa hadits yang merupakan sabda Nabi Muhammad SAW dan menjadi salah satu sumber hukum (mashdar al-tasyri’) dalam agama islam, tidak mungkin terjadi kontradiksi di dalamnya. Karena kita tahu bahwa apa yang beliau sabdakan semata-mata adalah wahyu dari Allah SWT. seperti yang tertera dalam al-quran surah an-Najm ayat 3 dan 4. Adapun kontradiksi yang dimaksud disini adalah kontradiksi makna jika dilihat secara lahirnya saja. Namun jika diteliti lebih dalam maka kontradiksi itu akan hilang dengan sendirinya.

Ibnu Khuzaimah pernah berkata, “Aku tidak pernah mengetahui ada dua hadits yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, dengan sanad yang sama-sama shahih namun maknanya saling bertentangan. Maka jika ada orang yang mengetahuinya, berikanlah kepadaku niscaya akan aku padukan keduanya.”

Oleh karena itu, praktek pengolahan input seperti ini (mukhtalif al-ahadits) tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Paling tidak orang yang hendak melakukannya harus menguasai minimal dua bidang ilmu sekaligus yaitu ilmu hadits dan ilmu fiqih. Mengingat kedua disiplin ilmu tersebut mempunyai kaitan yang sangat erat satu sama lain. Al-A’masy salah seorang muhaddits (ahli hadits) dari kalangan tabi’in pernah berkata di tengah perbincangannya dengan Imam Abu Hanifah untuk menggambarkan kaitan antara kedua ilmu ini, “Wahai para ahli fiqih! kalian adalah dokter dan kami (ahli hadits) adalah apoteker.”

Dalam ilmu mukhtalaf al-hadits sendiri para ulama telah merumuskan beberapa cara atau solusi dalam menyikapi hadits-hadits yang bertentangan tersebut. Antara lain adalah dengan al-jam’u (memadukan/mencari titik temu), al-tarjih (mencari yang paling kuat/dominan), dan ma’rifah an-nasikh wal mansukh (mengetahui mana yang menasakh dan mana yang dimansukh).

Namun permasalahannya tidak berhenti sebatas dengan mengetahui cara-cara di atas. permasalahan lain yang sering muncul adalah timbulnya perbedaan pandangan di antara para ulama dalam mempertimbangkan cara yang paling tepat untuk diprioritaskan dan yang lebih mungkin untuk diaplikasikan dalam menyikapi hadits-hadits yang bertentangan itu.

Yang pada akhirnya akan menimbulkan perbedaan dalam pengambilan kesimpulan hukum sesuai cara yang ditempuh oleh masing-masing ulama. Dan hal itu membuat perbedaan-perbedaan hukum dalam satu masalah dalam koridor masail fiqhiyyah menjadi sangat wajar adanya.

B.         Mukhtalif Al-Ahadits mengenai Shalat Sunnah Sebelum Maghrib

Kali ini penulis akan mengambil salah satu contoh kasus yang berkaitan dengan mukhtalaf al-hadits, yaitu mengenai hukum shalat dua rakaat sebelum maghrib. Berkaitan dengan hal tersebut, ada dua hadits yang akan menjadi pokok bahasan kita di sini. Yang pertama adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abullah bin al-Muzani :

صَلُّوا قَبْلَ صَلاَةِ المَغْرِبِ، قَالَ: فِي الثَّالِثَةِ لِمَنْ شَاءَ كَرَاهِيَةَ أَنْ يَتَّخِذَهَا النَّاسُ سُنَّةً

“Shalatlah kalian sebelum shalat maghrib, (kemudian) bersabda Rasulullah SAW setelah yang ketiga kalinya : “bagi siapa saja yang berkehendak!” karena takut orang menjadikannya sebagai sunnah.”

Dan yang kedua adalah atsar yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Thowus :

سئل بن عُمَرَ عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ فَقَالَ مَا رَأَيْتُ أَحَدًا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّيهِمَا وَرَخَّصَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ

“Ibnu Umar ditanya tentang dua rakaat sebelum maghrib kemudian dia berkata aku tidak pernah melihat seseorang pada masa Rasulullah SAW melakukan shalat tersebut namun Beliau memberikan keringanan pada dua rakaat setelah ashar”

Dua hadits di atas jika dilihat secara dzahir, maknanya saling bertentangan. Yang pertama menunjukkan kebolehan shalat sunnah sebelum maghrib, namun yang kedua manafyikan kesunnahannya. Maka disini kita akan melihat bagaimana para ulama menyikapi kedua hadits di atas.

1.         Al-Jam’u

Sebagian ulama hanafiyah menggunakan cara al-jam’u dalam menyikapi kedua hadits di atas sebagaimana disebutkan oleh Badruddin al-‘Aini dalam kitabnya ‘Umdah al-Qori Syarh Shohih Al-Bukhori, penjelasannya adalah sebagai berikut.

Hadits yang pertama berkaitan dengan kondisi kaum muslimin pada awal kemunculan islam, untuk menunjukkan telah berlalunya waktu terlarang untuk shalat dengan terbenamnya matahari sehingga rasulullah SAW menganjurkan untuk melakukan shalat dua rakaat sebelum maghrib sebagai pertanda bahwa waktu tersebut sudah diperbolehkan untuk melakukan shalat, baik itu shalat sunnah atau shalat fardu.

Kemudian setelah itu kaum muslimin terbiasa untuk menyegerakan shalat fardu di awal waktu agar tidak terlambat untuk melaksanakannya di waktu yang utama, maka shalat dua rakaat sebelum maghrib pun tidak dilakukan. Dengan demikian hadits kedua yang diriwayatkan dari Ibnu Umar tidak bisa dijadikan hujjah untuk menafyikan kesunnahan shalat dua rakaat sebelum maghrib.
  
2.         At-Tarjih

Cara yang kedua adalah dengan melakukan tarjih terhadap salah satu hadits yang dianggap lebih kuat atau dominan. Penjelasannya adalah sebagai berikut :

Hadits yang pertama yaitu hadits yang diriwayatkan dari Abullah bin al-Muzani adalah hadits shahih, diriwayatkan oleh Imam al-Bukhori. Selain itu hadits ini juga diriwayatkan oleh banyak ulama ahli hadits yang termaktub dalam kitab-kitabnya antara lain Musnad-nya Imam Ahmad, Shahih Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Hibban, Sunan Abu Daud, Sunan al-Daruqutni, al-Sunan al-Shagir dan al-Sunan al-Kubro karya Imam al-Baihaqi.

Selain itu, hadits ini juga diperkuat oleh hadits lain yang juga merupakan hadits shahih. yaitu hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik :

كَانَ المؤذّن إِذَا أَذَّنَ قَامَ نَاسٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبْتَدِرُونَ السَّوَارِيَ، حَتَّى يَخْرُجَ النَّبِيُّ صلّى الله عليه وسلم وَهُمْ كَذَلِكَ، يُصَلُّونَ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ المَغْرِبِ

“Adalah muadzin apabila adzan, para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersegera berdiri menuju tiang masjid untuk shalat dua rakaat sebelum maghrib sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar sementara mereka dalam keadaan demikian”

Hadits di atas adalah hadits yang muttafaq ‘alaih (diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim). Dengan demikian hadits ini menjadi penguat bagi hadits pertama yang diriwayatkan dari Abdullah bin al-Muzani yang menunjukkan pensyariatan shalat dua rakaat sebelum maghrib. Walaupun nantinya ada perbedaan di antara fuqoha dalam derajat ke-masyru’iyyah-annya. Ada yang mengatakan sunnah atau mustahab dan ada yang berpendapat hanya sekedar mandub.

Sedangkan hadits kedua yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa dia tidak melihat seorang pun dari sahabat Nabi yang melakukan shalat dua rakaat sebelum maghrib, hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan Al-Baihaqi.

Namun hadits ini mendapat komentar dari beberapa ulama diantaranya Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih karena dalam sanadnya terdapat seorang rowi majhul (tidak diketahui/dikenal) yang bernama Syuaib. Di samping itu Imam Al-bani juga mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits dha’if.

Dari sisi lain, metode tarjih juga bisa dilakukan dengan cara memandang dari sisi itsbat dan nafyi-nya. Hadits pertama dianggap sebagai hadits yang menetapkan atau meng-itsbat (mutsbit) kebolehan shalat sunnat dua rakaat sebelum maghrib.
Dan hadits yang kedua dianggap sebagai hadits yang menafyikan (nafi) kebolehannya. Maka jika ada dua hadits, yang satu mutsbit dan yang satu nafi, yang didahulukan adalah hadits yang mutsbit. Karena boleh jadi yang menafyikan kesunnahan shalat tersebut tidak mengetahui apa yang diketahui oleh yang meng-itsbat (menetapkan) kesunnahannya.

 3.         An-Naskh

Ibnu Syahin berpendapat bahwa hadits pertama yaitu hadits Abdullah bin al-Muzani, dinasakh oleh hadits kedua yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dan hadits yang diriwayatkan oleh abdullah bin Buraidah berikut :

إِن عِنْد كل أذانين رَكْعَتَيْنِ مَا خلا الْمغرب

“Sesungguhnya di setiap dua adzan (adzan dan iqomah) ada dua rakaat, kecuali shalat maghrib”

Namun sayangnya pendapat ini mendapat sanggahan dari Ubaidullah al-Rahmani al-Mubarakfuri dalam kitab Mir’ah al-Mafatih. Beliau mengatakan bahwa pendapat nasakh ini tidak perlu dianggap karena merupakan pendapat yang tidak berdasar.

C.         Penutup

Jika melihat beberapa cara dalam menyikapi mukhtalaf al-ahadits seperti yang telah dijelaskan di atas, sangatlah wajar jika kita mendapati perbedaan para ulama dalam menentukan hukum shalat dua rakaat sebelum maghrib. Karena memang setiap ulama mempunyai pendapat dan metode masing-masing dalam hal ini bahkan dalam masalah-masalah fiqih lainnya.

Dalam madzhab empat yang kita kenal pun punya pendapat yang berbeda-beda. Di antaranya madzhab Hanafi dan maliki berpendapat bahwa shalat dua rakaat sebelum maghrib hukumnya makruh. Lain lagi dengan madzhab Syafi’i yang justru mengatakan hukumnya sunnah.

Perbedaan tersebut tidak terlepas dari adanya keberagaman metode atau cara yang bisa diaplikasikan dalam menyikapi suatu kasus fiqih yang berkaitan dengan mukhtalaf al-ahadits seperti yang telah dibahas di atas.

Karena pada umumnya dalil yang dipakai para ulama dalam menentukan suatu hukum merupakan dalil yang sama, namum cara memahami dan sudut pandang masing-masing ulama terhadap dalil-lah yang membedakan output dari hasil suatu proses ijtihad yang dilakukan oleh masing-masing ulama tersebut.


Muhammad Abdul Wahab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar