Alasan kenapa ulama 4 madzhab tidak buat kitab "ini sifat ibadah menurut Nabi" tapi buat kitab "ini sifat ibadah menurut madzhab kami"
Kalau membaca sejarahnya, setelah Nabi saw wafat, kita pasti
akan mendapati para sahabat Nabi saw sangat menjaga sekali agar tidak ada yang
namanya pemalsuan hadits. Dari itu setiap kali mereka mendengar ada orang yang
mengaku mempunyai riwayat hadits dari Nabi saw, mereka tidak langsung
mempercayainya.
Kalau Nabi masih hidup, dengan mudah sekali para sahabat
meminta kepastian dan meurujuk kepada Nabi saw tentang kabar yang mereka
dengar. Tapi ketika Nabi saw sudah wafat, kepada siapa mereka meminta kepastian
itu?
Itu wajar saja, karena selepas kepergian Nabi saw, banyak
pembenci Islam yang masuk Islam bukan untuk Islam, tapi untuk mencederai ajaran
Islam itu sendiri. Dan salah satu jalan pencederaan syariah itu ialah melalui
jalur pemalsuan hadits. Untuk itu mereka para sahabat sanbgat ketat sekali
menerima hadits.
Di samping itu juga mereka khawatir, kalau tidak teliti
benar dalam menerima, mereka bisa salah menisbatkan kalimat tersebut kepada
Nabi saw padahal sejatinya Nabi tidak mengucapkan itu, yang mana Nabi saw telah
mengancam pelakunya dengan neraka.
وَمَنْ
كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“siapa yang berbohong atasku, maka hendaklah ia menyiapkan
tempat duduknya di neraka” (Muttafaq ‘alayh)
Ini yang banyak direkam oleh para ulama dalam kitab-kitab
mereka ketika menceritakan kondisi setelah wafatnya Nabi saw dari sisi
periwayatn hadits dan perkembangan tasyri’ Islam (pensyariatan hukum islam).
Salah satu diantara mereka yang detail menceritakan itu ialah Sheikh Muhammad
al-Khudhori Bik dalam kitabnya Tarikh Tasyri’ Al-Islami.
Singkatnya, para sahabat tidak berani asal menerima
perkataan orang yang mengaku bahwa ia mendengar hadits dari Nabi saw, kecuali
setelah melalui beberapa birokrasi yang mereka terapkan.
Khalifah pertama contohnya, Sayyidina Abu Bakr yang
mensyaratkan harus ada saksi. Jadi, jika ada yang datang lalu mengatakan “qola
Rasulullah: ….” (Rasulullah saw bersabda: ….. ), tidak sampai selesai,
sayyidina Abu Bakr telah memberhentikannya sambil menanyakan 2 pertanyaan ini:
“Man sami’a ma’aka hadza?” (siapa lagi selain kamu yang
mendengar ini?)
“Man Syahida laka fi hadza?” (siapa yang jadi saksimu di
hadits ini?)
Jadi untuk sayyidina Abu bakr, birokrasi utama dalam
periwayatan hadits itu ketat, yaitu harus ada saksi atau ada orang lain yang
sama-sama mendengar. Jadi kalau hanya satu orang yang berkata, itu hanya
pengakuan dan belum bisa diterima.
Itu yang dilakukan oleh sayyidina Abu Bakr, berbeda dengan
apa yang dilakukan oleh sayyidina Ali bin Abi Thalib di Kufah. Beliau sadar
jarak jauhnya dengan pusat wayhu (madinah), dan ketika itu tidak banyak jumlah
sahabat yang imigrasi ke Kufah dari Madinah. Beliau tidak mensyaratkan saksi,
karena itu cukup suli sekali, tapi beliau mensyaratkan adanya yamin atau
sumpah.
Jadi, siapapun yang mengatakan “qola Rasulullah: ….” (Rasulullah
saw bersabda: ….. ), ia tidak langsung diterima kecuali setelah ia bersumpah
bahwa ia telah benar punya riwayat hadits itu. Sebenarnya ini juga yang menjadi
poin atau sumbu perbedaan antara ijtihadnya ulama Madinah (basis madzhab
Maliki) dan Ulama Iraq (basis madzhab Hanafi).
Bisa jadi hadits yang diterima di Madinah tapi tidak di
Kufah, namun bisa juga sebaliknya, di Kufah diterima, namun di Madinah malah
tidak.
Sayyidina Umar Menolak Hadits
Contoh yang masyhur ialah apa yang dilakukan oleh sayyidina
Umar bin Khaththab yang mana beliau mengikuti jejak sayyidina Abu Bakr dalam
penerimaan hadits. Ketika itu beliau mengatakan bahwa wanita yang ditalak tiga
(bainunah kubra) itu masih tetap punya hak nafaqah dan tempat tingggal dari
suaminya, dengan dalil ayat 1 surat Al-Talaq.
Dalam ayat disebutkan secara tegas bahwa seorang suami tidak
boleh mengeluarkan istrinya kecuali jika si istri melakukan perzinahan. Artinya
walaupun sudah di talak 3, wanita tetap diberikan tempat tinggal, dan pemberian
tempat tinggal tidak mungkin kecuali didalamnya juga termasuk nafkah. Seperti
wanita-wanita lain yang ditalak 1 atau 2 (talak raj’i).
Jadi, menurut sayyidina Umar, wanita yang ditalak 3 (talak
bain) itu tetap punya hak tempat tinggal dan nafkah. Akan tetapi kemudian,
fatwa sayyidina Umar ini ditentang oleh salah seorang wanita yang bernama
Fatimah binti Qois.
Beliau menyanggah fatwa sayyidina Umar dan mengatakan bahwa
wanita yang ditalak 3 itu tidak punya hak nafkah dan juga tempat tinggal,
dengan dalil bahwa ia (Fatimah binti qois) itu pernah melapor ke Nabi bahwa
suaminya menceraikannya 3 kali dan Nabi saw tidak memberikannya hak nafkah
serta hak tempat tinggal. Dan hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam
Musnad-nya (no. 27344).
Akan tetapi sayyidina Umar membantah kesaksian wanita
tersebut sambil berkata:
لَا نَدَعُ كِتَابَ رَبِّنَا،
وَسُنَّةَ نَبِيِّنَا، بِقَوْلِ امْرَأَةٍ، لَا أَدْرِي أَصَدَقَتْ،
أَمْ كَذَبَتْ
“kami tidak akan meninggalkan quran dan sunnah Nabi dengan
(mengambil) perkataan seorang wanita yang kita tidak tahu, yang bisa saja ia
ingat bisa juga ia lupa.” (Musnad Ishaq bin Rohawaih, no. 2366)
Perkataan sayyidina Umar ini menjadi salah satu bukti
ketatnya birokrasi penerimaan hadits ketika itu, sebagaimana kekhawatiran
mereka akan kesalahan menisbatkan sebuah perkataan atau hadits kepada Nabi saw
yang bisa saja keliru. Ini banyak direkam oleh para ulama sejarah dan ushul. (al-Fushul fi al-Ushul
3/103)
Penisbatan Ijtihad Fiqih
Dan kehati-hatian dan kekhawatiran para sahabat dalam
penisbatanqaul atau perkataan kepada Nabi saw, yang akhirnya membuat mereka
sangat ketat karena takut salah dan akhirnya jatuh kepada ancaman neraka dari
nabi saw tersebut merambat kepada fatwa-fatwa dan ijtihad mereka dalam masalah
hukum (fiqih).
Ya. Ketika mereka berijtihad dalam sebuah masalah yang
memang tidak ada hadits atau ada hadits namun mereka tidak menerimanya, mereka
berijtihad dan hasil ijtihadnya tersebut mereka katakan sebagai hasil ijtihadnya,
dan itu pendapatnya.
Mereka sama sekali tidak mengatakan “ini adalah pendapat
yang Allah dan Rasul-Nya inginkan!”. Tidak juga mereka katakan: “ini adalah
pendapat yang benar menurut Allah dan rasul-Nya!”. Walaupun mereka orang-orang
terdekat dengan Nabi saw, orang yang paling paham dengan al-Quran dan Sunnah,
mereka tidak sampai hati menisbatkan hasil ijtihad mereka kepada Allah swt dan
rasul-Nya.
Kenapa?
Khawatir kalau apa yang mereka ijtihadkan itu bukanlah
sebuah kebenenaran yang Allah swt dan Rasul-Nya inginkan. Mereka hanya
emnjalankan tugas ijtihad, tapi tidak bertugas untuk mengaku-ngaku bahwa
ijtihadnya yang paling benar. Karena itu mereka tidak mengatakan: “ini pendapat
yang sesuai Kitab dan Sunnah!”.
Tapi justru dengan tegas mereka, para sahabat mengatakan
bahwa hasil ijtihadnya itu adalah pendapatnya sendiri. Kalimat yang masyhur
seperti ini:
“ini adalah pendapatku, kalau ini benar maka itu dari
(anugerah) Allah dan kalau salah maka itu dari aku sendiri dan dari setan. Dan
Allah serta Rasul-Nya terbebas dari (ijtihad)-ku ini.”
Kehati-hatian mereka membuat mereka menjadi sangat tawadhu’
sekali. Perkataan sahabat yang seperti ini banyak ditulis oleh ulama dalam
kitab-kitab mereka, termasuk sheikh al-Islam Ibnu Taimiyah (728 H),dalam banyak
halaman di kitab beliau Majmu’ al-Fatawa, salah satunya di Bab 10, hal. 450:
وقد قال أبو بكر
وابن مسعود وغيرهما من
الصحابة فيما يفتون فيه
باجتهادهم: إن يكن صوابا
فمن الله وإن يكن
خطأ فهو مني ومن
الشيطان والله ورسوله بريئان
منه
“dan Abu Bakr serta Ibnu Mas’ud serta sahabat lainnya telah
berkata dalam setiap fatwa yang merekaijtihadkan: ini adalah pendapatku, kalau
ini benar maka itu dari (anugerah) Allah dan kalau salah maka itu dari aku
sendiri dan dari setan. Dan Allah serta Rasul-Nya terbebas dari (ijtihad)-ku
ini.”
Jadi, tidak gampang mengatakan: “ini yang benar sesuai quran
dan sunnah!”. Sebagaimana juga para sahabat mengajarkan itu. Karena bisa saja
ijtihadnya itu salah, akhirnya ia menisbatkan pendapat yang salah kepada Allah
dan Nabi saw. Naudzubillah.
Dan cara hati-hati serta tawadhu’ inilah yang kemudian
diteruskan budayanya oleh para ulama setelahnya, termasuk para imam madzhab dan
ulama dalam setiap ijtihad yang mereka lakukan.
Kalau kita buka kitab-kitab madzhab, kita akan dapati bahwa
ulama mereka tidak pernah mengatakan: “inilah pendapat yang benar/rojih menurut
kitab dan sunnah.”. tidak seperti itu! Mereka justru menisbatkan fatwa mereka
ke imam mereka sendiri atau ke madzhab mereka.
Dalam hal ini, para fuqaha’ punya kalimat masyhur sekali
untuk menunjukkan penisbatan pendapat tersebut kepada madzhab mereka, yakni
bahwa ini adalah fatwa kami atau hasil ijtihad kami. Salah satunya dan ini yang
paling sering, yaitu kata ‘Indana [عندنا]
(menurut kami). Mereka tidak mengatakan: ‘inda al-Quran wa sunnah [عند القران والسنة]
(menurut Quran dan Sunnah).
وَأَمَّا
الصَّبِيُّ وَالْمَجْنُونُ إذَا قَتَلَ مُوَرِّثَهُ
لَمْ يُحْرَمْ الْمِيرَاثَ عِنْدَنَا
“dan adapun jika orang gila atau anak kecil membunuh
pewarisnya, ia tidak diharamkan mendapat warisan menurut kami”. (al-Mabsuth
30/48)
Madzhab Maliki
وَالْعِيدُ
مَأْخُوذٌ مِنَ الْعَوْدِ لِتَكَرُّرِهِ
فِي كُلِّ سَنَةٍ وَهُوَ
عِنْدَنَا سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ
“dan ‘Ied (sholat Ied) itu diambil dari kata al-‘aud
(kembali) karena sering terulang/kembali setiap tahun, dan sholat ini menurut
kami hukumnya sunnah muakkad” (al-Dzakhiroh 2/417)
Madzhab Al-Syafi’i
في نجاسة الآدمي بالموت:
قد ذكرنا أن الأصح
عندنا أنه لا ينجس
“dalam kenajisan manusia karena meninggal: sebagaimana yang
telah kami sebutkan, bahwa yang benar menurut kami adalah ia tidak
najis”(Al-Majmu’ 2/563)
Madzhab Al-Hanabilah
تَجِبُ
الزَّكَاةُ فِي مَالِ الصَّبِيِّ
وَالْمَجْنُونِ، بِلَا خِلَافٍ عِنْدَنَا.
“wajib (mengeluarkan) zakat dari harta anak kecil dan orang
gila tanpa ada yang menyelisih, menurut kami”
(Al-Inshaf ¾)
Ya. Mereka mengikuti apa yang dilakukan oleh para sahabat
dan guru-guru mereka dali ulama salaf yang memang seperti itu. Bukan karena mereka
tidak berhukum dengan al-Quran dan Sunnah. Bukan! Justru mereka lah para ulama
yang Allah berikan kefahaman komrehensif terhadap al-Quran dan Sunnah.
Mereka tentu sangat mengerti tentang itu semua. Mereka
melakukan itu karena memang khawatir akhirnya mereka berbohong atas Quran dan
sunnah. Karena itu lebih selamat (dan memang begitu seharusnya) mereka
menisbatkan fatwa dan ijtihadnya kepada dirinya sendiri, sambil bersyukur kalau
ijtihadnya benar, itu adalah dari Allah swt bukan dirinya sendiri.
jadi, itu dia kenapa para ulama menisbatkan ijtihad dan
fatwa mereka kepada diri mereka sendiri, mereka mengatakan: "Ini pendapat
yang benar menurut kami!". Dan sama sekali tidak mengatakan: "ini
pendapat yang benar menurut al-Quran dan Sunnah!". khawatir itu penisbatan
yang jadi dusta atas nama al-Quran dan Sunnah.
Wallahu a’lam.
Ahmad Zarkasih, Lc