Pandangan
Ulama Salaf Tentang Mu’awiyah
- Abdullah bin ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma
Berikut ini terdapat dalam At Tarikh Al Kabir-nya Al Imam Al Bukhari dengan sanad shahih:
Berkata Ibrahim bin Musa, dari Hisyam bin Yusuf, dari Ma’mar, dia berkata: saya mendengar Hammam bin Munabbih, dari Ibnu Abbas berkata: “Belum pernah saya menemukan orang yang paling ahli dalam mengatur pemerintahan selain Mu’awiyah Radhiyallahu ‘Anhu.” (At Tarikh Al Kabir, 7/327. Lihat juga Imam Ibnu ‘Asakir, Tarikh Dimasyqi, 59/174)
- Abdullah bin Umar Radhialllahu ‘Anhuma
Dari Nafi’, bahwa Ibnu Umar berkata:
“Aku belum pernah melihat seorang pun yang kepemimpinannya lebih cakap setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dibandingkan Mu’awiyah.” Aku (Nafi’) bertanya: “Dia lebih cakap dibanding Abu Bakar?” Ibnu Umar menjawab: “Abu Bakar lebih baik darinya tetapi dia lebih cakap dalam kepemimpinan dibanding Abu Bakar.” Aku bertanya: “Apakah dia lebih cakap dibanding Umar?” Ibnu Umar menjawab: “Umar, demi Allah, lebih baik darinya tetapi dia lebih cakap dalam hal kepemimpinan dibanding Umar.” Aku bertanya: “Apakah dia lebih cakap dibanding Utsman?” Ibnu Umar menjawab: “Semoga Allah merahmati Utsman, Utsman lebih baik darinya tetapi dia lebih cakap dalam kepemimpinan dibanding Utsman.”(Imam Ibnu ‘Asakir, Tarikh Dimasyqi, 59/174)
- Imam Mujahid Rahimahullah (seorang mufassir masa tabi’in, murid senior Ibnu Abbas)
Berkata Al A’masy, bahwa Mujahid berkata:
“Seandainya kalian melihat Mu’awiyah niscaya kau akan katakana: “Inilah Mahdi!” (Ibid, 56/172)
- Imam Abu Ishaq As Subai’i Rahimahullah
Abu Bakar bin ‘Iyasy berkata, dari Abu Ishaq As Subai’i:
“ Pada masa Mu’awiyah, saya belum pernah melihat orang yang sepertinya.” (Ibid)
- Imam Sa’id bin Al Musayyib Rahimahullah (Pemimpin para tabi’in)
Imam Az Zuhri berkata:
“Aku bertanya kepada Sa’id bin Al Musayyib tentang para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia berkata kepadaku: “Wahai Zuhri, dengarkan! Barangsiapa yang mati dalam keadaan mencintai Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, dan mengakui sepuluh orang yang dikabarkan masuk surge, dan memohonkan rahmat bagi Mu’awiyah, maka Allah pasti membebaskannya dari pertanyaan-pertanyaan saat hisab.” (Tarikh Dimasyqi, 59/207. Al Bidayah wan Nihayah, 8/148)
- Imam Abdullah bin Al Mubarak Rahimahullah
Muhammad bin Yahya bin Sa’id mengatakan:
Abdullah bin Al Mubarak pernah ditanya tentang Mu’awiyah,”Apa pendapatmu tentangnya?” Beliau menjawab,”Apa yang harus kukatakan terhadap lelaki, yang ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengucapkan: Sami’ Allahu liman hamidah (Allah mendengar hamba yang memujiNya), lalu Mu’awiyah menyambutnya dari belakang Rabbana wa Lakal Hamdu (Segala puji bagiMu, wahai Rabb kami).”
Lalu ada yang bertanya: “Apa pendapatmu terhadap Mu’awiyah, apakah menurutmu ia lebih utama dari pada Umar bin Abdul Aziz?” Beliau berkata,”Sungguh celaka aku ini, Mu’awiyah yang telah menyertai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tentu lebih utama dan lebih baik daripada Umar bin Abdul Aziz.” (Tarikh Dimasyqi, 59/207-208. Al Bidayah wan Nihayah, 8/148)
Imam Abdullah bin Al Mubarak juga mengatakan:
“Debu pada hidung Mu’awiyah adalah lebih utama dibanding Umar bin Abdul ‘Aziz.” (Tarikh Dimasyqi, 59/207. Al Bidayah wan Nihayah, 8/148)
- Imam Abu Mas’ud Al Ma’afi bin ‘Imran Rahimahullah
Muhammad bin Abdullah bin ‘Imar berkata:
Aku mendengar Al Ma’afi bin ‘Imran, bahwa ada seorang yang bertanya kepadanya dan aku saat itu hadir: “Mana yang lebih utama antara Mu’awiyah bin Abi Sufyan atau Umar bin Abdil Aziz?” Aku melihat nampaknya dia marah, lalu berkata: “Seharinya Mu’awiyah adalah lebih utama dibanding Umar bin Abdil Aziz.” Lalu dia menengok kepada orang itu, dan berkata: “Kau menjadikan seorang laki-laki sahabat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebanding dengan seorang tabi’in?” (Tarikh Dimasyqi, 59/207. Al Bidayah wan Nihayah, 8/148)
Ribah bin Al Jarah Al Maushili berkata:
Aku mendengar ada seorang laki-laki bertanya kepada Al Ma’afi bin ‘Imran: “Wahai Abu Mas’ud, di manakah posisi Umar bin Abdil Aziz dibanding Mu’awiyah bin Abi Sufyan?” Abu Mas’ud nampak sangat marah, dan berkata: “Jangan samakan seorang pun sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Mu’awiyah adalah sahabatnya, iparnya, juru tulisnya, dan orang kepercayaannya dalam menulis wahyu Allah ‘Azza wa Jalla.” (Ibid. Tarikh Baghdad, 1/95)
Mu’awiyah adalah ipar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena saudaranya yang perempuan yakni Ummu habibah menikah dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Al Ma’afi juga pernah berkata:
“Mu’awiyah lebih utama 100 kali dibanding semisal Umar bin Abdil Aziz.” (Imam Abu Bakar Al Khalal, As Sunnah, No. 668. Syamilah)
- Imam Al Fadhl bin ‘Anbasah Rahimahullah
Berkata ‘Isa bin Khalifah Al Hadzdza:
Dahulu Al Fadhl bin ‘Anbasah duduk bersama saya di sebuah kedai, dia ditanya apakah Mu’awiyah lebih utama atau Umar bin Abdil Aziz. Dia merasa heran dengan pertanyaan itu, dan berkata: “Subhanallah, apakah pantas disamakan orang yang telah melihat Rasulullah dengan orang yang belum pernah melihat beliau?” Ia ulangi ucapan itu tiga kali. (Ibid)
Demikianlah komentar para sahabat dan tabi’in untuk Muawiyah Radhiallahu ‘Anhu, maka lemparlah ke tembok semua komentar buruk para pendengkinya.
Mewaspadai Para Pendengki Mu’awiyah dan Para Sahabat lainnya
Hari ini gerakan para pencela sahabat nabi sangat berani, walau mereka minoritas. Paling tidak hal itu mereka tampakan di dunia maya (internet), walau dalam kenyataan sehari-hari mereka menampakkan kebaikan dan senyuman terhadap kaum sunni. Mencela para sahabat dan mendegradasikan kedudukan mereka di hati umat, sama saja telah menghancurkan variable yang sangat penting dalam Islam. Siapakah yang menyebarkan Al Quran dan As Sunnah hingga sampai ke tangan kita? Siapakah yang menyebarkan Islam di muka bumi hingga keluar dari jazirah Arab? Siapakah yang melindungi agama pada awalnya dari serangan orang kafir? Ya, mereka adalah para sahabat nabi Radhialahu ‘Anhum.
Oleh karena itu para ulama sejak dahulu senantiasa menjaga kehormatan mereka dari serangan kaum pendengki. Mereka pun telah memberikan peringatan agar waspada terhadap makar kaum munafiq yang mencoba menghilangkan eksistensi para sahabat, kecuali hanya sedikit saja.
Ada pun tentang Mu’awiyah, para salaf pun memberikan pembelaan terhadapnya, bukan pembelaannya dari perselisihannya terhadap Ali Radhiallahu ‘Anhu karena Salaf juga mencintai Ali Radhiallahu Anhu dan membenarkan Ali, tetapi pembelaan mereka dari para pendengki Mu’awiyah dari kalangan fanatikus Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu yang bersikap zalim dalam menyikapi perselisihan mereka berdua.
Ali bin Jamil berkata, aku mendengar Abdullah bin Al Mubarak berkata:
“Bagi kami Mu’awiyah telah menjadi ujian. Maka, Siapa saja yang kami lihat mengomentari Mu’awiyah dengan komentar yang miring, maka kami juga mencurigai sikapnya terhadap seluruh sahabat, yakni sahabat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. ” (Tarikh Dimasyqi, 59/209. Al Bidayah wan Nihayah, 8/148)
Abu Taubah Ar Rabi’ bin Nafi’ Al Halabi mengatakan:
“Mu’awiyah adalah tirai bagi para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jika seseorang berani membuka tirai ini maka terbukalah apa-apa yang ada di belakangnya (maksudnya para sahabat yang lain tidak akan luput dari celaan, pen).” (Tarikh Dimasyqi, 59/209. Al Bidayah wan Nihayah, 8/148. Tarikh Baghdad, 1/95. Mawqi’ Al Warraq )
Imam Ahmad bin Hambal berkata kepada Al Maimuni:
“Wahai Abul Hasan, jika kau lihat ada seorang yang membicarakan seorang sahabat nabi dengan buruk, maka curigailah keislamannya.” (Tarikh Dimasyqi, 59/209. Al Bidayah wan Nihayah, 8/148)
Na’am! Curigailah keislaman orang yang membicarakan secara miring para sahabat nabi, dan Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu adalah sahabat nabi.
Al Fudhail bin Ziyad berkata:
Aku mendengar Abu Abdillah (Imam Ahmad bin Hambal) ditanya tentang seorang yang yang merendahkan Mu’awiyah dan Amru bin Al Ash Radhiyallahu ‘anhuma , apakah boleh ia dikatakan Rafidhi (pengikut paham Rafidhah-syiah)? Dia berkata,”Sungguh, hanya orang yang memiliki keyakinan buruk sajalah yang berani mencela keduanya. Sungguh, hanya orang yang berkeyakinan buruk sajalah yang mau membenci salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Tarikh Dimasyqi, 59/210. Al Bidayah wan Nihayah, 8/148)
Ya, betapa buruk keyakinan yang mencela Mu’awiyah
Imam Waqi’ berkata:
“Posisi Mu’awiyah bagaikan daun pintu. Siapa saja yang menggesernya , maka kami akan mencurigainya.” (Tarikh Dimasyqi, 59/210)
Abul Harits berkata kepada Imam Ahmad bin Hambal:
“Apa pendapatmu –semoga Allah merahmatimu- tentang orang yang mengatakan: “Saya tidak mengatakan Mu’awiyah sebagai penulis wahyu, dan tidak mengatakan sebagai pemelihara kaum mukminin, karena dia adalah perampok yang membawa pedang?” Berkata Abu Abdillah (Imam Ahmad): “Ini adalah ucapan yang buruk lagi jelek, singkirkanlah mereka, jangan duduk bersama mereka, dan kita menjelaskan kepada manusia tentang mereka.” (Imam Abu Bakar Al Khalal, As Sunnah, No. 663. Syamilah)
Terakhir …. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun memperingatkan orang yang mencela para sahabatnya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Jangan kalian maki sahabatku, demi yang jiwaku ada di tanganNya. Seandainya salah seorang kalian menginfakan emas sebesar gunung uhud, tidaklah mampu menyamai satu mud pun amal mereka bahkan setengahnya.” (HR. Bukhari No. 3470, Muslim No. 2540, Abu Daud No. 4658, Ibnu Majah No. 161, At Tirmidzi No. 3861. Al Baihaqi dalam As Sunannya No. 20696, dan lainnya. Hadits ini diriwayatkan dari jalur Abu Hurairah dan Abu Said Al Khudri)
Sebagian kecil kalangan, justru menjadikan hadits ini untuk menyudutkan Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu, karena Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu telah memerintahkan para khathib Jumat untuk memaki Ali bin Thalib Radhiallahu ‘Anhu di atas mimbar selama Mu’awiyah hidup. Tapi, sayangnya mereka sendiri malah terjebak pada mencela sahabat nabi juga dan dalam jumlah yang lebih banyak, serta dalam kurun waktu berabad-abad sampai hari ini. Mereka bermain dengan hadits ini bahwa Muawiyah Radhiallahu ‘Anhu mencela salah seorang sahabat nabi yakni Ali Radhiallahu ‘Anhu, tetapi mereka sendiri mencela sahabat nabi dalam jumlah yang sangat banyak. Wallahul musta’an …
Menyikapi Perselisihan Para Sahabat
Para Imam salaf, telah lama memberikan peringatakan kepada umat untuk berhati-hati dalam membicarakan para sahabat nabi, termasuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiallahu ‘Anhuma. Bagi kaum yang adil (Ahlus Sunnah), membenci Ali Radhiallahu ‘Anhu dan Ahlul Bait (Fathimah, Al Hasan, dan Al Husein) adalah perbuatan kriminal yang dilakukan golongan nashibi. Mengkafirkan para sahabat, khususnya Ali, Mu’awiyah, Amr bin Al ‘Ash, dan Abu Musa Al Asy'ari berserta para sahabat yang terlibat dalam pristiwa tahkim ketika perang Shiffin, adalah perbuatan kaum menyimpang yakni khawarij. Mengkultuskan Ali dan Ahlul Bait, hingga taraf mensucikan mereka, serta merendahkan Abu Bakar, Umar, Utsman, Abu Hurairah, Mu’awiyah, Amr bin Al ‘Ash, adalah perbuatan kaum zalim, yakni umumnya kaum rafidhah (syiah) walau ada di antara mereka yang tidak seekstrim itu, yakni kalangan Zaidiyah.
Ada pun Ahlus Sunnah, mengakui keutamaan para sahabat semuanya. Masing-masing mereka memiliki keutamaan yang spesifik. Dan mengakui pula di antara mereka ada yang lebih utama dari lainnya. Ahlus Sunnah juga mengakui adanya kesalahan dan perselisihan yang pernah ada pada mereka, sebab Al ‘Ishmah (keterjagaan dari kesalahan) hanya milik kitabNya dan pribadi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Namun demikian, kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan tidaklah membuat kita lancang dengan menyebut mereka sebagai munafiq dan murtad. Ketergelinciran mereka pada satu, dua, tiga sisi kehidupan tidaklah melupakan kita terhadap beragam kebaikan yang mereka lakukan dan tinggalkan untuk Islam dan umatnya. Sebab, jika najis jatuh ke genangan air dua qullah tidaklah berpengaruh, apalagi jika air itu sebanyak samudera.
Kita hanya mengatakan: “Semoga Allah Ta’ala membalas semua kebaikan mereka, menghapuskan kesalahan mereka dengan kebaikan yang mereka perbuat, dan mengampuni kesalahan mereka yang telah lalu.” Demikianlah yang Allah dan RasulNya tunjukkan kepada kita.
Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (QS. Huud (11): 114)
Allah Ta’ala berfirman:
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS. Al Hasyr (59): 10)
Dari Abu Dzar Al Ghifari Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Bertaqwa-lah kepada Allah di mana saja kamu berada, dan susul-lah berbuatan buruk dengan melakukan kebaikan, niscaya itu akan menghapuskannya, dan berakhlak-lah kepada manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. At Tirmidzi No. 1987, katanya: hasan shahih. Al Hakim dalam Al Mustadraknya No. 178, katanya: hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim. Ad Darimi No. 2791 , Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf , 6/18. Ahmad No. 21354, Musnad Ibnu Al Ju’di No. 312. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 8026 dan dalam Az Zuhd Al Kabir No. 869. Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, 4/378. Syaikh Al Albani mengatakan: hasan. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 1987. Sedangkan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiqnya terhadap Musnad Ahmad mengatakan: hasan lighairih)
Demikianlah sikap kita dalam menimbang kebaikan dan fitnah yang terjadi pada masa sahabat Ridhawanullah ‘Alaihim, dengan neraca yang lurus dan seimbang. Al Ustadz Hasan Al Banna Rahimahullah – semoga Allah Ta’ala memasukannya bersama golongan syuhada- berkata:
Setiap masalah yang tidak dibangun di atasnya sebuah amal -sehingga menimbulkan perbincangan yang tidak produktif- adalah kegiatan yang dilarang secara syar'i. Misalnya memperbincangkan baragam hukum tentang masalah yang tidak benar-benar terjadi, atau memperbincangkan makna ayat-ayat Al-Qur'an yang kandungan maknanya tidak dipahami oleh akal pikiran, atau memperbincangkan perihal perbandingan keutamaan dan perselisihan yang terjadi di antara para sahabat, padahal masing-masing dari mereka memiliki keutamaannya sebagai sahabat Nabi dan mendapat pahala sesuai niatnya. Dan, dengan melakukan ta'wil ( atas perilaku para sahabat) kita akan terlepas dari persoalan. (Ushul ‘Isyrin No. 9)
Wallahu A’lam wal Hamdulillahi Rabbil ‘Alam
- Abdullah bin ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma
Berikut ini terdapat dalam At Tarikh Al Kabir-nya Al Imam Al Bukhari dengan sanad shahih:
Berkata Ibrahim bin Musa, dari Hisyam bin Yusuf, dari Ma’mar, dia berkata: saya mendengar Hammam bin Munabbih, dari Ibnu Abbas berkata: “Belum pernah saya menemukan orang yang paling ahli dalam mengatur pemerintahan selain Mu’awiyah Radhiyallahu ‘Anhu.” (At Tarikh Al Kabir, 7/327. Lihat juga Imam Ibnu ‘Asakir, Tarikh Dimasyqi, 59/174)
- Abdullah bin Umar Radhialllahu ‘Anhuma
Dari Nafi’, bahwa Ibnu Umar berkata:
“Aku belum pernah melihat seorang pun yang kepemimpinannya lebih cakap setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dibandingkan Mu’awiyah.” Aku (Nafi’) bertanya: “Dia lebih cakap dibanding Abu Bakar?” Ibnu Umar menjawab: “Abu Bakar lebih baik darinya tetapi dia lebih cakap dalam kepemimpinan dibanding Abu Bakar.” Aku bertanya: “Apakah dia lebih cakap dibanding Umar?” Ibnu Umar menjawab: “Umar, demi Allah, lebih baik darinya tetapi dia lebih cakap dalam hal kepemimpinan dibanding Umar.” Aku bertanya: “Apakah dia lebih cakap dibanding Utsman?” Ibnu Umar menjawab: “Semoga Allah merahmati Utsman, Utsman lebih baik darinya tetapi dia lebih cakap dalam kepemimpinan dibanding Utsman.”(Imam Ibnu ‘Asakir, Tarikh Dimasyqi, 59/174)
- Imam Mujahid Rahimahullah (seorang mufassir masa tabi’in, murid senior Ibnu Abbas)
Berkata Al A’masy, bahwa Mujahid berkata:
“Seandainya kalian melihat Mu’awiyah niscaya kau akan katakana: “Inilah Mahdi!” (Ibid, 56/172)
- Imam Abu Ishaq As Subai’i Rahimahullah
Abu Bakar bin ‘Iyasy berkata, dari Abu Ishaq As Subai’i:
“ Pada masa Mu’awiyah, saya belum pernah melihat orang yang sepertinya.” (Ibid)
- Imam Sa’id bin Al Musayyib Rahimahullah (Pemimpin para tabi’in)
Imam Az Zuhri berkata:
“Aku bertanya kepada Sa’id bin Al Musayyib tentang para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia berkata kepadaku: “Wahai Zuhri, dengarkan! Barangsiapa yang mati dalam keadaan mencintai Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, dan mengakui sepuluh orang yang dikabarkan masuk surge, dan memohonkan rahmat bagi Mu’awiyah, maka Allah pasti membebaskannya dari pertanyaan-pertanyaan saat hisab.” (Tarikh Dimasyqi, 59/207. Al Bidayah wan Nihayah, 8/148)
- Imam Abdullah bin Al Mubarak Rahimahullah
Muhammad bin Yahya bin Sa’id mengatakan:
Abdullah bin Al Mubarak pernah ditanya tentang Mu’awiyah,”Apa pendapatmu tentangnya?” Beliau menjawab,”Apa yang harus kukatakan terhadap lelaki, yang ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengucapkan: Sami’ Allahu liman hamidah (Allah mendengar hamba yang memujiNya), lalu Mu’awiyah menyambutnya dari belakang Rabbana wa Lakal Hamdu (Segala puji bagiMu, wahai Rabb kami).”
Lalu ada yang bertanya: “Apa pendapatmu terhadap Mu’awiyah, apakah menurutmu ia lebih utama dari pada Umar bin Abdul Aziz?” Beliau berkata,”Sungguh celaka aku ini, Mu’awiyah yang telah menyertai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tentu lebih utama dan lebih baik daripada Umar bin Abdul Aziz.” (Tarikh Dimasyqi, 59/207-208. Al Bidayah wan Nihayah, 8/148)
Imam Abdullah bin Al Mubarak juga mengatakan:
“Debu pada hidung Mu’awiyah adalah lebih utama dibanding Umar bin Abdul ‘Aziz.” (Tarikh Dimasyqi, 59/207. Al Bidayah wan Nihayah, 8/148)
- Imam Abu Mas’ud Al Ma’afi bin ‘Imran Rahimahullah
Muhammad bin Abdullah bin ‘Imar berkata:
Aku mendengar Al Ma’afi bin ‘Imran, bahwa ada seorang yang bertanya kepadanya dan aku saat itu hadir: “Mana yang lebih utama antara Mu’awiyah bin Abi Sufyan atau Umar bin Abdil Aziz?” Aku melihat nampaknya dia marah, lalu berkata: “Seharinya Mu’awiyah adalah lebih utama dibanding Umar bin Abdil Aziz.” Lalu dia menengok kepada orang itu, dan berkata: “Kau menjadikan seorang laki-laki sahabat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebanding dengan seorang tabi’in?” (Tarikh Dimasyqi, 59/207. Al Bidayah wan Nihayah, 8/148)
Ribah bin Al Jarah Al Maushili berkata:
Aku mendengar ada seorang laki-laki bertanya kepada Al Ma’afi bin ‘Imran: “Wahai Abu Mas’ud, di manakah posisi Umar bin Abdil Aziz dibanding Mu’awiyah bin Abi Sufyan?” Abu Mas’ud nampak sangat marah, dan berkata: “Jangan samakan seorang pun sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Mu’awiyah adalah sahabatnya, iparnya, juru tulisnya, dan orang kepercayaannya dalam menulis wahyu Allah ‘Azza wa Jalla.” (Ibid. Tarikh Baghdad, 1/95)
Mu’awiyah adalah ipar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena saudaranya yang perempuan yakni Ummu habibah menikah dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Al Ma’afi juga pernah berkata:
“Mu’awiyah lebih utama 100 kali dibanding semisal Umar bin Abdil Aziz.” (Imam Abu Bakar Al Khalal, As Sunnah, No. 668. Syamilah)
- Imam Al Fadhl bin ‘Anbasah Rahimahullah
Berkata ‘Isa bin Khalifah Al Hadzdza:
Dahulu Al Fadhl bin ‘Anbasah duduk bersama saya di sebuah kedai, dia ditanya apakah Mu’awiyah lebih utama atau Umar bin Abdil Aziz. Dia merasa heran dengan pertanyaan itu, dan berkata: “Subhanallah, apakah pantas disamakan orang yang telah melihat Rasulullah dengan orang yang belum pernah melihat beliau?” Ia ulangi ucapan itu tiga kali. (Ibid)
Demikianlah komentar para sahabat dan tabi’in untuk Muawiyah Radhiallahu ‘Anhu, maka lemparlah ke tembok semua komentar buruk para pendengkinya.
Mewaspadai Para Pendengki Mu’awiyah dan Para Sahabat lainnya
Hari ini gerakan para pencela sahabat nabi sangat berani, walau mereka minoritas. Paling tidak hal itu mereka tampakan di dunia maya (internet), walau dalam kenyataan sehari-hari mereka menampakkan kebaikan dan senyuman terhadap kaum sunni. Mencela para sahabat dan mendegradasikan kedudukan mereka di hati umat, sama saja telah menghancurkan variable yang sangat penting dalam Islam. Siapakah yang menyebarkan Al Quran dan As Sunnah hingga sampai ke tangan kita? Siapakah yang menyebarkan Islam di muka bumi hingga keluar dari jazirah Arab? Siapakah yang melindungi agama pada awalnya dari serangan orang kafir? Ya, mereka adalah para sahabat nabi Radhialahu ‘Anhum.
Oleh karena itu para ulama sejak dahulu senantiasa menjaga kehormatan mereka dari serangan kaum pendengki. Mereka pun telah memberikan peringatan agar waspada terhadap makar kaum munafiq yang mencoba menghilangkan eksistensi para sahabat, kecuali hanya sedikit saja.
Ada pun tentang Mu’awiyah, para salaf pun memberikan pembelaan terhadapnya, bukan pembelaannya dari perselisihannya terhadap Ali Radhiallahu ‘Anhu karena Salaf juga mencintai Ali Radhiallahu Anhu dan membenarkan Ali, tetapi pembelaan mereka dari para pendengki Mu’awiyah dari kalangan fanatikus Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu yang bersikap zalim dalam menyikapi perselisihan mereka berdua.
Ali bin Jamil berkata, aku mendengar Abdullah bin Al Mubarak berkata:
“Bagi kami Mu’awiyah telah menjadi ujian. Maka, Siapa saja yang kami lihat mengomentari Mu’awiyah dengan komentar yang miring, maka kami juga mencurigai sikapnya terhadap seluruh sahabat, yakni sahabat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. ” (Tarikh Dimasyqi, 59/209. Al Bidayah wan Nihayah, 8/148)
Abu Taubah Ar Rabi’ bin Nafi’ Al Halabi mengatakan:
“Mu’awiyah adalah tirai bagi para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jika seseorang berani membuka tirai ini maka terbukalah apa-apa yang ada di belakangnya (maksudnya para sahabat yang lain tidak akan luput dari celaan, pen).” (Tarikh Dimasyqi, 59/209. Al Bidayah wan Nihayah, 8/148. Tarikh Baghdad, 1/95. Mawqi’ Al Warraq )
Imam Ahmad bin Hambal berkata kepada Al Maimuni:
“Wahai Abul Hasan, jika kau lihat ada seorang yang membicarakan seorang sahabat nabi dengan buruk, maka curigailah keislamannya.” (Tarikh Dimasyqi, 59/209. Al Bidayah wan Nihayah, 8/148)
Na’am! Curigailah keislaman orang yang membicarakan secara miring para sahabat nabi, dan Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu adalah sahabat nabi.
Al Fudhail bin Ziyad berkata:
Aku mendengar Abu Abdillah (Imam Ahmad bin Hambal) ditanya tentang seorang yang yang merendahkan Mu’awiyah dan Amru bin Al Ash Radhiyallahu ‘anhuma , apakah boleh ia dikatakan Rafidhi (pengikut paham Rafidhah-syiah)? Dia berkata,”Sungguh, hanya orang yang memiliki keyakinan buruk sajalah yang berani mencela keduanya. Sungguh, hanya orang yang berkeyakinan buruk sajalah yang mau membenci salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Tarikh Dimasyqi, 59/210. Al Bidayah wan Nihayah, 8/148)
Ya, betapa buruk keyakinan yang mencela Mu’awiyah
Imam Waqi’ berkata:
“Posisi Mu’awiyah bagaikan daun pintu. Siapa saja yang menggesernya , maka kami akan mencurigainya.” (Tarikh Dimasyqi, 59/210)
Abul Harits berkata kepada Imam Ahmad bin Hambal:
“Apa pendapatmu –semoga Allah merahmatimu- tentang orang yang mengatakan: “Saya tidak mengatakan Mu’awiyah sebagai penulis wahyu, dan tidak mengatakan sebagai pemelihara kaum mukminin, karena dia adalah perampok yang membawa pedang?” Berkata Abu Abdillah (Imam Ahmad): “Ini adalah ucapan yang buruk lagi jelek, singkirkanlah mereka, jangan duduk bersama mereka, dan kita menjelaskan kepada manusia tentang mereka.” (Imam Abu Bakar Al Khalal, As Sunnah, No. 663. Syamilah)
Terakhir …. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun memperingatkan orang yang mencela para sahabatnya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Jangan kalian maki sahabatku, demi yang jiwaku ada di tanganNya. Seandainya salah seorang kalian menginfakan emas sebesar gunung uhud, tidaklah mampu menyamai satu mud pun amal mereka bahkan setengahnya.” (HR. Bukhari No. 3470, Muslim No. 2540, Abu Daud No. 4658, Ibnu Majah No. 161, At Tirmidzi No. 3861. Al Baihaqi dalam As Sunannya No. 20696, dan lainnya. Hadits ini diriwayatkan dari jalur Abu Hurairah dan Abu Said Al Khudri)
Sebagian kecil kalangan, justru menjadikan hadits ini untuk menyudutkan Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu, karena Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu telah memerintahkan para khathib Jumat untuk memaki Ali bin Thalib Radhiallahu ‘Anhu di atas mimbar selama Mu’awiyah hidup. Tapi, sayangnya mereka sendiri malah terjebak pada mencela sahabat nabi juga dan dalam jumlah yang lebih banyak, serta dalam kurun waktu berabad-abad sampai hari ini. Mereka bermain dengan hadits ini bahwa Muawiyah Radhiallahu ‘Anhu mencela salah seorang sahabat nabi yakni Ali Radhiallahu ‘Anhu, tetapi mereka sendiri mencela sahabat nabi dalam jumlah yang sangat banyak. Wallahul musta’an …
Menyikapi Perselisihan Para Sahabat
Para Imam salaf, telah lama memberikan peringatakan kepada umat untuk berhati-hati dalam membicarakan para sahabat nabi, termasuk Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiallahu ‘Anhuma. Bagi kaum yang adil (Ahlus Sunnah), membenci Ali Radhiallahu ‘Anhu dan Ahlul Bait (Fathimah, Al Hasan, dan Al Husein) adalah perbuatan kriminal yang dilakukan golongan nashibi. Mengkafirkan para sahabat, khususnya Ali, Mu’awiyah, Amr bin Al ‘Ash, dan Abu Musa Al Asy'ari berserta para sahabat yang terlibat dalam pristiwa tahkim ketika perang Shiffin, adalah perbuatan kaum menyimpang yakni khawarij. Mengkultuskan Ali dan Ahlul Bait, hingga taraf mensucikan mereka, serta merendahkan Abu Bakar, Umar, Utsman, Abu Hurairah, Mu’awiyah, Amr bin Al ‘Ash, adalah perbuatan kaum zalim, yakni umumnya kaum rafidhah (syiah) walau ada di antara mereka yang tidak seekstrim itu, yakni kalangan Zaidiyah.
Ada pun Ahlus Sunnah, mengakui keutamaan para sahabat semuanya. Masing-masing mereka memiliki keutamaan yang spesifik. Dan mengakui pula di antara mereka ada yang lebih utama dari lainnya. Ahlus Sunnah juga mengakui adanya kesalahan dan perselisihan yang pernah ada pada mereka, sebab Al ‘Ishmah (keterjagaan dari kesalahan) hanya milik kitabNya dan pribadi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Namun demikian, kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan tidaklah membuat kita lancang dengan menyebut mereka sebagai munafiq dan murtad. Ketergelinciran mereka pada satu, dua, tiga sisi kehidupan tidaklah melupakan kita terhadap beragam kebaikan yang mereka lakukan dan tinggalkan untuk Islam dan umatnya. Sebab, jika najis jatuh ke genangan air dua qullah tidaklah berpengaruh, apalagi jika air itu sebanyak samudera.
Kita hanya mengatakan: “Semoga Allah Ta’ala membalas semua kebaikan mereka, menghapuskan kesalahan mereka dengan kebaikan yang mereka perbuat, dan mengampuni kesalahan mereka yang telah lalu.” Demikianlah yang Allah dan RasulNya tunjukkan kepada kita.
Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (QS. Huud (11): 114)
Allah Ta’ala berfirman:
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS. Al Hasyr (59): 10)
Dari Abu Dzar Al Ghifari Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Bertaqwa-lah kepada Allah di mana saja kamu berada, dan susul-lah berbuatan buruk dengan melakukan kebaikan, niscaya itu akan menghapuskannya, dan berakhlak-lah kepada manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. At Tirmidzi No. 1987, katanya: hasan shahih. Al Hakim dalam Al Mustadraknya No. 178, katanya: hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim. Ad Darimi No. 2791 , Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf , 6/18. Ahmad No. 21354, Musnad Ibnu Al Ju’di No. 312. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 8026 dan dalam Az Zuhd Al Kabir No. 869. Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, 4/378. Syaikh Al Albani mengatakan: hasan. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 1987. Sedangkan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam tahqiqnya terhadap Musnad Ahmad mengatakan: hasan lighairih)
Demikianlah sikap kita dalam menimbang kebaikan dan fitnah yang terjadi pada masa sahabat Ridhawanullah ‘Alaihim, dengan neraca yang lurus dan seimbang. Al Ustadz Hasan Al Banna Rahimahullah – semoga Allah Ta’ala memasukannya bersama golongan syuhada- berkata:
Setiap masalah yang tidak dibangun di atasnya sebuah amal -sehingga menimbulkan perbincangan yang tidak produktif- adalah kegiatan yang dilarang secara syar'i. Misalnya memperbincangkan baragam hukum tentang masalah yang tidak benar-benar terjadi, atau memperbincangkan makna ayat-ayat Al-Qur'an yang kandungan maknanya tidak dipahami oleh akal pikiran, atau memperbincangkan perihal perbandingan keutamaan dan perselisihan yang terjadi di antara para sahabat, padahal masing-masing dari mereka memiliki keutamaannya sebagai sahabat Nabi dan mendapat pahala sesuai niatnya. Dan, dengan melakukan ta'wil ( atas perilaku para sahabat) kita akan terlepas dari persoalan. (Ushul ‘Isyrin No. 9)
Wallahu A’lam wal Hamdulillahi Rabbil ‘Alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar