Jumat, 11 Oktober 2013

Pandangan Ulama Tentang Muawiyah bin Abi Sofyan RA bag.1



Assalamu’alaikum wr wb….

Sering kita dengar di beberapa pengajian, tentang ustadz-ustadz golongan/aliran tertentu yang menjelek-jelekan sahabat nabi, terutama adalah Muawiyah RA. Alasannya adalah karena dijaman beliaulah terjadinya perang saudara (perang shiffin), munculnya aliran Khawarij dan Syi’ah, berpindahnya pusat pemerintahan (yang tadinya di Madinah) karena Khalifah Hasan menyerahkan kepemimpinan khalifah kepada beliau, dan banyak lagi.
Sebenarnya, bagaimana kedudukan Sahabat Rasulullah SAW ini (Muawiyah) dimata para sahabat lain dan menurut pandangan para Ulama Salaf?

Berikut adalah penjelasan tentang kedudukan Muawiyah RA berdasarkan kitab-kitab para ulama terdahulu, yang dirangkum oleh Ust Farid Nu’man, dan sudah saya ringkas lagi (menghilangkan tulisan arab, dan beberapa hadits yang serupa dikurangi tanpa mengurangi inti penjelasan), karena tulisan ini terdiri dari 3 bagian, tanpa mengurangi inti dari isi penjelasan Ust Farid Nu’man.

Dan bila ingin membaca langsung isi artikel ini secara lengkap, bisa langsung ke website Ust Farid di www.ustadzfarid.com
 
Semoga bermanfaat.

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ba’d:


Pertama, celaan untuk Muawiyah bin Abi Sufyan Radhiallahu ‘Anhuma dari pihak yang tidak sengan dengan Muawiyah


Dalam Shahih Bukhari, Kitab Fadhail Ash Shahabah (Keutamaan-keutamaan Sahabat), Imam Al Bukhari menempatkan bab khusus untuk Muawiyah Radhiallahu ‘Anhu, yakni Bab Dzikru Mu’awiyah. Jika memang Ust tersebut adalah Sunni bukan Syi’i, pastilah dia menghormati apa yang ditulis oleh Imam Bukhari, yaitu bahwa Muawiyah Radhiallahu ‘Anhu adalah termasuk sahabat nabi. Jika memang bukan sahabat nabi, pastilah Muawiyah Radhiallahu ‘Anhu tidak akan dimasukkan di dalam Kitab Fadhail Ash Shahabah (Keutamaan-keutamaan Sahabat). Ini juga dilakukan oleh para imam muhadditsin lainnya terhadap Muawiyah Radhiallahu ‘Anhu.


Imam Al Bukhari menyebutkan tiga riwayat tentang keutamaannya:


Riwayat pertama:


“Muawiyah melakukan shalat witir setelah isya dengan satu rakaat, dan di sisinya ada pelayan Ibnu Abbas, lalu dia (pelayan) mendatangi Ibnu Abbas, lalu Ibnu Abbas berkata: “Biarkan dia, karena dia adalah sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (HR. Bukhari No. 3553)


Kedudukan Muawiyah Radhiallahu ‘Anhu sebagai sahabat nabi sudah menunjukkan keutamaannya yang tinggi, dibanding manusia setelahnya.


Riwayat kedua:


“Dikatakan kepada Ibnu Abbas: Apa pendapat anda tentang Amirul Mu’minin Muawiyah, bahwa dia tidaklah melakukan witir melainkan satu rakaat? “ Ibnu Abbas menjawab: “Dia benar, dia adalah seorang yang faqih (faham agama).” (HR. Bukhari No. 3554)


Riwayat Ketiga:


Bercerita kepadaku ‘Amru bin Abbas, bercerita kepada kami Muhammad bin Ja’far, bercerita kepada kami Syu’bah, dari Abi At Tiyah, dia berkata: Aku mendengar Humran bin Aban, dari Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu berkata: “Sesungguhnya kalian telah melakukan shalat, dan kami telah bersahabat dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan kami belum pernah melihatnya dia melakukan shalat itu, dan beliau telah melarangnya. Yakni dua rakaat setelah ‘ashar. (HR. Bukhari No. 3555)


Komentar Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah:


Peringatan : pembukaan Al Bukhari dalam biografi ini dengan ucapannya Dzikru (menyebut/mengingat), dan dia tidak menyebut dengan istilah Fadhilah (keutamaan) dan bukan pula Manqabah (kebaikan), dan dalam bab ini dia juga tidak mengambil dari hadits (bukan berarti dia tidak memiliki keutamaan, pen), karena sesungguhnya secara zahir kesaksian dari Ibnu Abbas terhadapnya sebagai orang yang faqih dan sebagai ‘sahabat’ menunjukkan keutamaannya yang banyak. (Demikian dari Al Hafizh Ibnu Hajar)


Al Hafizh melanjutkan:


Ibnu Abi ‘Ashim telah menyusun sebuah juz tentang kebaikan-kebaikan Mu’awiyah, begitu pula Abu ‘Umar Ghulam Tsa’lab, dan Abu Bakar An Niqasy. Sedangkan Ibnul Jauzi telah menyebutkan dalam Al Maudhu’at sebagian hadits-hadits yang mereka sebutkan, kemudian dia menyebutkan dari Ishaq bin Rahawaih bahwa dia berkata: Tidak ada suatu pun yang shahih tentang keutamaan Mu’awiyah. Maka, bab ini merupakan titik keadilan Al Bukhari yang di satu sisi dia mengakui dan memegang apa yang diucapkan dari perkataan gurunya (Ishaq), tetapi dengan pandangannya yang halus, beliau juga melakukan istimbath (penyimpulan) yang dijadikan sebagai bantahan untuk tokoh-tokoh rafidhah (Syiah). Kisah An Nasa’i tentang hal ini juga terkenal, seakan dia juga bersandar dengan perkataan gurunya, Ishaq. Demikian juga dalam cerita Al Hakim. Ibnul Jauzi juga meriwayatkan dari jalan Abdullah bin Ahmad bin Hambal: “Aku bertanya kepada ayahku; apa pendapat engkau tentang Ali dan Mu’awiyah?” lalu dia diam. Kemudian berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya Ali memiliki banyak musuh lalu dia menyelediki musuh-musuhnya, dan dia punya aib tetapi mereka tidak menemukannya. Lalu mereka berpegang kepada seorang laki-laki yang telah memeranginya dan menjatuhkannya, sebagai muslihat dari mereka untuk Ali.” Beliau mengisyaratkan hal ini kepada perselisihan para ulama tentang keutamaan Mu’awiyah yang mana tidak ada dasarnya. Telah datang berbagai riwayat keutamaan Mu’awiyah sejumlah hadits yang banyak, tetapi tidak terdapat padanya keshahihan sanadnya. Dan inilah yang dipastikan oleh Ishaq bin Rahawaih, An Nasa’i, dan selainnya. Wallahu A’lam (Fathul Bari, 7/104. Darul Fikr)


Inilah pandangan objektif dari Al Hafizh Ibnu Hajar, di mana dia di satu sisi mengakui bahwa riwayat-riwayat ini tidak dalam judul keutamaan (Fadhilah) dan kebaikan (Manqbah) Mu’awiyah, tetapi dia menyebutkan bahwa keutamaan Muawiyah telah ditunjukkan oleh kesaksian Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma sebagai seorang faqih dan sahabat nabi.


Benarkah Hadits-Hadits Keutamaan Mu’awiyah Tak Ada Yang Shahih?


1. Berikut tertulis dalam Sunan At Tirmidzi dalam Kitab Al Manaqib ‘an Rasulillah, pada Bab Manaqib Mu’awiyah bin Abi Sufyan.


Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Yahya, telah bercerita kepada kami Abu Mushir Abdul A’la bin Mushir, dari Sa’id bin Abdul Aziz, dari Rabi’ah bin Yazid, dari Abdurrahman bin Abi ‘Amirah, dan dia seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa dia bersabda kepada Muawiyah:

“Ya Allah jadikanlah dia sebagai orang yang bisa memberikan petunjuk dan seorang yang diberi petunjuk (Mahdi) dan berikanlah hidayah (kepada manusia) melaluinya.”(HR. At Tirmidzi No. 3842, Imam At Tirmidzi berkata: hasan gharib. Ahmad No. 17895, Al Bukhari dalam At Tarikh Al Kabir, 5/240. Ibnu Abi ‘Ashim, Al Aahaad wal Matsani No. 1129, Al Khathib dalam Tarikh Baghdad , 1/207-208, Ibnul Jauzi dalam Al ‘Ilal Al Mutanahiyah No. 442, Al Khalal dalam As Sunnah No. 699, Ibnu Qaani’ dalam Mu’jam Ash Shahabah, 2/146, Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 660, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah, 8/358. Imam Ibnu Abdil Bar dan Al Hafizh Ibnu Hajar mengisyaratkan kelemahan hadits ini. Lihat Al Ishabah, 4/342-343 dan Fathul Bari, 7/104)

Hadits ini shahih. Berkata Syaikh Syu’aib Al Arnauth:


“Rijal hadits ini tsiqat (terpercaya) dan merupakan para perawi hadits shahih, kecuali Sa’id bin Abdul Aziz, dia menjadi pokok perbincangan hadits ini, dia telah mengalami kekacauan hapalan pada akhir usianya seperti yang dikatakan oleh Abu Mushir dan Yahya bin Ma’in.” (Musnad Ahmad No. 17895, dengan tahqiq; Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Syaikh ‘Adil Mursyid, dan lainnya)


Syaikh Al Albani telah memberikan keterangan yang sangat panjang tentang shahihnya hadits ini. Kami tahu, sebagian kalangan sangat membenci Syaikh Al Albani, yakni kalangan syiah dan sebagian ‘alawiyin, dan menyebutnya sebagai salah satu gembong Wahabi zaman ini. Oleh karena itu tadinya kami enggan mengambil faedah darinya. Namun kami melihat pembahasan beliau sangat bagus, dan kami yakini bahwa bagi manusia yang objektif akan mengambil kebenaran dari mana saja asalnya. Berkata Syaikh Al Albani Rahimahullah:


“Semua rijal (perawinya) adalah tsiqat (terpercaya) dan merupakan perawi yang dipakai Imam Muslim, maka hadits ini lebih benar adalah shahih.” (As Silsilah Ash Shahihah No. 1969)


Lalu kenapa Imam At Tirmdzi ‘hanya’ menghasankan?


Dijawab oleh Syaikh Al Albani sebagai berikut:


“Karena Sa’id bin Abdul Aziz mengalami kekacauan hapalan sebelum wafatnya, sebagaimana dikatakan Abu Mushir dan Ibnu Ma’in, tetapi zahir hadits ini menunjukkan bahwa Abu Mushir meriwayatkan hadits ini darinya sebelum dia (Sa’id bin Abdul Aziz) mengalami kekacauan hapalan, seandainya tidak demikian Abu Mushir tidak akan meriwayatkan darinya jika dia mendapatkan hadits itu ketika keadaan hapalannya kacau. Apalagi Abu Hatim telah berkata: “Abu Mushir lebih mengutamakan Sa’id bin Abdul Aziz dibanding Imam Al Auza’i.” (Ibid)


Ya, benar apa yang dikatakan Syaikh Al Albani. Mana mungkin Abu Mushir di satu sisi mengetahui S’aid bin Abdul Aziz kacau hapalannya di akhir hayat, lalu di sisi lain dia mau meriwayatkan hadits ini dari Sa’id bin Abdul Aziz ketika dalam keadaan kacau hapalannya? Maka pastilah ini diriwayatkan oleh Abu Mushir dari Sa’id bin Abdul Aziz ketika Sa’id sebelum kacau hapalannya. Wallahu A’lam


Selain itu hadits ini memiliki empat riwayat lain yang dijadikan sebagai mutaba’ah (penguat) terhadapnya. (Selengkapnya lihat As Silsilah Ash Shahihah No. 1969)


Selain itu hadits ini juga dinyatakan SHAHIH oleh Imam Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq, Imam Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah (8/129), dan Imam Adz Dzahabi mengakui kehasan-an hadits ini dalam Siyar A’lamin Nubala (3/125), juga Al Jurjani menghasan-kan dalam Al Abaathil ( 1/193).


Maka, doa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa ‘Ala Aalihi wa Sallam untuk Muawiyah Radhiallahu ‘Anhu ini menunjukkan keutamaan Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu yang sangat jelas. Kelompok syiah terus-menerus mengulang bahwa sebagian sahabat –termasuk Mu’awiyah- telah berubah menjadi pelaku maksiat bahkan menjadi kafir setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Persangkaan ini membawa konsekuensi:


1. Menunjukkan bahwa doa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk Mu’awiyah tidak maqbul. Tentunya ini merupakan penghinaan atas kehormatan dan kemuliaan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

2. Teranulirnya banyak ayat dan perkataan nabi yang menyatakan keutamaan para sahabat, seakan Allah dan RasulNya salah dalam memuji mereka. Tentunya pula ini merupakan kelancangan terhada firman Allah ‘Azza wa Jalla dan perkataan RasulNya.

2. Imam Al Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya, dari hadits Ummu Haram Radhiyallahu ‘Anha, bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


“Pasukan pertama dari umatku yang berperang mengarungi lautan telah wajib bagi mereka (yakni surga)”. (HR. Bukhari No. 2924)

Mu’awiyahlah yang menjadi panglima angkatan laut tersebut. Angkatan laut kaum Muslimin berperang mengarungi lautan pada masa kekhalifahan beliau.

Hal ini diceritakan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, yang meriwayatkan dari jalan Muhammad bin Yahya bin Hibban, dari Anas bin Malik dari bibinya, Ummu Haram binti Milhan Radhiyallahu ‘Anhuma berkata: “Pada suatu hari, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidur di dekat saya. Kemudian beliau terbangun, lalu tersenyum. Saya bertanya: “Apa yang membuatmu tersenyum?” Beliau menjawab:


“Telah diperlihatkan kepadaku beberapa orang dari umatku yang mengarungi samudera biru ini, laksana para raja di atas singgasananya!”

“Mintalah kepada Allah agar aku termasuk golongan mereka!” pinta Ummu Haram. Lalu Rasulullah mendoakannya. Kemudian beliau tidur lagi. Dan beliau melakukan hal yang sama seperti sebelumnya, lalu Ummu Haram bertanya seperti di atas, dan Rasulullah menjawabnya seperti jawaban sebelumnya. Ummu Haram berkata,”Mohonlah kepada Allah agar aku termasuk golongan mereka,” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab,”Engkau termasuk golongan pertama (dari angkatan laut tersebut)!”

Kemudian Ummu Haram keluar berperang menyertai suaminya, yakni Ubadah bin Shamit Radhiyallahu ‘Anhuma, bersama pasukan angkatan laut yang pertama kali diberangkatkan di bawah kepemimpinan Mu’awiyah. Sekembalinya dari peperangan tersebut, mereka singgah di Syam, lalu diserahkan kepadanya seekor kuda tunggangan. Kuda tunggangan tersebut membuatnya jatuh, hingga ia meninggal Radhiyallahu ‘Anhuma. (HR. Bukhari No. 2799 dan Muslim No. 1912)


3. Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu adalah sekretaris Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.


Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, menceritakan bahwa Abu Sufyan Radhiallahu ‘Anhu berkata kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:


Abu Sufyan berkata: “Dan Mu’awiyah, kau jadikanlah dia sebagai juru tulis bagimu.” Beliau bersabda: “Ya.” (HR. Muslim No. 2501)


Beliau adalah salah seorang juru tulis wahyu, dan ini menunjukkan keutamaannya. Kalau bukan karena keutamaannya, karena apakah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengangkatnya?


4. Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:


“Saya bermain bersama anak-anak lalu datang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan saya bersembunyi di belakang pintu. Beliau datang dan mengeluarkan saya dan berkata: pergilah dan panggilah Muawiyah kepada saya. Maka saya mendatanginya, dan berkata: “Dia sedang makan.” Kemudian Nabi memintaku lagi: “Pergilah dan panggil Muawiyah kepadaku.” Saya katakan; “Dia masih makan.” Maka Nabi bersabda: “Semoga Allah tidak mengenyangkan perutnya.” (HR. Muslim No. 2604)


Sebagian kecil kalangan tidak menerima jika hadits ini dijadikan sebagai keutamaan Mu’awiyah, karena mereka berpegang pada lahiriyah hadits saja. Bagi mereka ini adalah doa buruk buat Mu’awiyah. Lalu mereka memutar-mutar lidah mereka dengan berbagai alasan dan kata-kata yang dibuat-buat dengan target bahwa Mu’awiyah tetaplah terhina dalam pandangan mereka.


Ada pun Ahlus Sunnah, menetapkan apa yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam katakan sendiri. Oleh karena itu hanya nabi yang berhak menjelaskan apa maksud ucapan beliau yang bernadakan buruk kepada seorang muslim.


Imam Muslim memasukkan hadits Mu’awiyah di atas dalam Bab Man La’anahu An Nabi Aw Sabbahu Aw Da’a ‘Alaihi Wa Laisa Huwa Ahlan Lidzalika Kaana Lahu Zakatan Wa Ajran Wa rahmatan (Orang yang dilaknat, dicaci maki atau dido’akan jelek oleh Nabi sedangkan orang itu tidak layak diperlakukan seperti itu maka laknatan, caci maki dan doa itu menjadi penyuci, pahala dan rahmat baginya).


Banyak hadits nabi yang menyebutkan bahwa caci makian beliau itu adalah tazkiyah (pensucian), pahala, kaffarat (tebusan) dan rahmat bagi orang yang menerimanya. Berikut akan saya paparkan bberapa saja.


Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:


Datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dua laki-laki, keduanya datang dengan sesuatu yang aku tidak tahu apa itu, lalu beliau memarahinya dan melaknat serta mencaci mereka berdua. Ketika keduanya keluar, aku bertanya: “Wahai Rasulullah! Siapa yang mendapatkan kebaikan seperti yang didapatkan oleh kedua orang itu?” Beliau menjawab dengan balik bertanya: “kebaikan apa itu?” ‘Aisyah berkata: saya menjawab: “Engkau telah melaknat dan mencaci mereka berdua.” Beliau bersabda: “Apakah engkau tidak tahu isi perjanjian yang aku buat bersama Tuhanku ?” saya berdoa: “Ya Allah! Sesungguhnya saya ini hanyalah manusia, maka siapa saja umat Islam yang saya laknat atau caci maka jadikanlah itu sebagai pensuci dan pahala baginya.” (HR. Muslim No. 2600)


Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:


“Ya Allah! Sesungguhnya saya hanyala manusia. Laki-laki mana saja dari kaum muslimin yang saya caci, atau laknat, atau cambuk, jadikanlah itu sebagai pembersih dan rahmat baginya.” (HR. Muslim No. 2601)


Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:


“Ya Allah! Sesungguhnya saya telah mengambil janji kepadaMu yang tidak pernah Kau ingkari. Sesungguhnya saya hanyalah manusia. Maka, mukmin mana saja yang saya sakiti, saya caci, saya laknat, dan saya cambuk maka jadikanlah itu sebagai doa, pensuci, dan sebagai pendekatan diri kepadaMu pada hari kiamat.” (Ibid)


Dan masih banyak riwayat serupa. Inilah sikap kita seharusnya, yaitu menyikapi sebagaimana yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam katakan, tidak merekayasa, apalagi menyimpangkannya. Oleh karena itu, doa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu: “Semoga Allah tidak mengenyangkan perutnya.” Merupakan tazkiyah, kaffarat, doa, dan rahmat bagi Mu’awiyah sebagaimana yang Nabi katakan sendiri.


Oleh karena itu Imam Ibnu ‘Asakir berkomentar tentang hadits Muawiyah di atas: sebagai hadits paling shahih tentang fadhilah (keutamaan) Muawiyah Radhiallahu ‘Anhu. Berikut ini adalah ulasan Syaikh Al Albani yang sangat bagus:


“Sebagian firqah telah menjadikan hadits ini sebagai dalil untuk mencela Mu’awiyah. Padahal hadits ini tidaklah mendukung apa yang mereka sangka. Bagaimana tidak, sebab Mu’awiyah adalah sekretaris Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam? Oleh karena itu Al Hafizh Ibnu ‘Asakir dalam kitabnya (2/349/16) mengatakan: “Ini adalah hadits yang paling shahih tentang keutamaan Mu’awiyah.” Maka, secara zahir doa buruk dari Rasulullah ini tidaklah beliau maksudkan untuk mencela. Hal ini merupakan kebiasaan orang Arab yang menyampaikan perkataan yang tidak diniatkan. Sebagaimana perkataan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada sebagian isterinya: Aqri Halqi (kemandulanku adalah nasib malangku) dan ucapan Beliau: taribat yaminuka (tangan kananmu belepotan debu). Mungkin juga hal ini merupakan gaya bahasa yang menjadi khas beliau sebagai manusia. Buktinya banyak hadits yang bernada seperti ini yang banyak lagi mutawatir.” (Ash Silsilah Ash Shahihah No. 82)


Demikian sekelumit keutamaan Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu. Keutamaan ini sudah memadai untuk membuktikan kedudukan beliau sebagai salah seorang sahabat nabi yang dimuliakan. Namun demikian, Ahlus Sunnah mengakui bahwa Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu tidaklah dapat dibandingkan dengan keutamaan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu. Bahkan Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu sendiri mengakui keutamaan Ali Radhiallahu ‘Anhu di atas dirinya.


Imam As Suyuthi Rahimahullah menyebutkan:


Al Baihaqi dan Ibnu ‘Asakir meriwayat dari Ibrahim bin Suwaid Al Armani, dia berkata: Saya bertanya kepada Ahmad bin Hambal: “Siapakah para khalifah?” Beliau menjawab: “Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali.” Saya bertanya: “Mu’awiyah?” Dia menjawab: “Tak seorang pun yang berhak menjadi khalifah pada zaman Ali dibanding Ali sendiri.” (Tarikhul Khulafa’, Hal. 152. Maktabah Nizar Mushthafa Al Baz. Tarikh Dimasyq, 6/422. Darul Fikr)


Benarkah Muawiyah Radhiallahu ‘Anhu bukan sahabat nabi?


Siapakah sahabat nabi ? Telah banyak penjelasan dari para ulama, di antaranya tercatat dalam Al Qamus Al Fiqhiy sebagai berikut:


Imam Al Jurjani Rahimahullah mengatakan:


Siapa saja yang melihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan bersahabat dalam waktu yang lama, walau pun mereka tidak meriwayatkan hadits darinya.


Pendapat ahli hadits, mayoritas ahli fiqih baik salaf dan khalaf, dan yang shahih dari Madzhab Syafi’iyah, Hanabilah, dan Ibadhiyah, sahabat nabi adalah:


Dia adalah setiap muslim yang melihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sama saja apakah dia pernah duduk bersamanya atau tidak.


Imam Sa’id bin Al Musayyib Radhiallahu ‘Anhu (menantu Abu Hurairah), menjelaskan:


Siapa saja yang menetap bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selama setahun atau lebih atau berperang bersamanya dalam sebuah peperangan.


Menurut madzhab Malikiyah:


Siapa saja yang berkumpul bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hidupnya, dia mengimaninya, dan mati dalam keadaan demikian.


Sebagian ahli ushul mengatakan:


Siapa saja yang berjumpa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai seorang muslim, dan dia mati dalam Islam, atau dia hidup sebelum masa kenabian dan mati sebelum masa kenabian dalam keadaan agama yang hanif, seperti Zaid bin Amru bin Nufail, atau orang yang murtad dan kembali kepada Islam pada masa hidupnya (Nabi). (Lihat Syaikh Sa’diy Abu Jaib, Al Qamus Al Fiqhiy, Hal. 208. Cet. 2, 1988M. Darul Fikr)


Syaikh ‘Athiyah Muhamamd Salim menjelaskan:


Siapa saja yang melihatnya walau sesaat dan dia mengimaninya dan dia mati dalam keadaan Islam. (Syarh Bulughul Maram, 7/178)


Sedangkan mayoritas ulama terdahulu dan belakangan mengatakan:


Sahabat nabi adalah siapa saja yang berjumpa dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang mengimaninya dan dia mati dalam keadaan Islam. (Imam Al ‘Ijliy, Ma’rifah Ats Tsiqat, hal. 95. Cet. 1, 1985M-1405H. Maktabah Ad Dar)


Dan inilah definisi yang anggap kuat oleh Al Hafizh Ibnu Hajar. (Al Ishabah fi Tamyizish Shahabah, 1/7)


Bagaimanakah yang termasuk perjumpaan dengan nabi?


Maka yang termasuk orang yang berjumpa dengannya adalah: siapa saja yang lama bermajelis dengannya, siapa saja yang sebentar bersamanya, yang meriwayatkan hadits darinya, yang tidak meriwayatkan hadits darinya, siapa saja yang berperang dengannya, siapa saja yang tidak berperang dengannya, siapa saja yang meilhatnya walau dari jauh, dan siapa saja yang belum melihatnya karena penghalang seperti kebutaan. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 34/81)


Jadi, jika kita rangkum semua makna ini maka sahabat nabi adalah seorang muslim yang hidup pada masa nabi, baik melihatnya atau tidak, lama atau sebentar, berinteraksi langsung atau tidak, dan dia mati dalam keadaan Islam, termasuk siapa saja yang sempat murtad lalu dia kembali kepada Islam.


Demikian tentang makna sahabat nabi, dan dari definisi ini maka jelas-jelas Muawiyah Radhiallahu ‘Anhu adalah sahabat nabi baik menurut definisi bahasa dan definisi syariah, karena dia bersahabat dengan nabi menjadi muslim sampai akhir hayatnya, dia meriwayatkan hadits darinya, dia pernah perang bersamanya dan menjadi pembelanya, dia pernah shalat bersamanya, bahkan nabi pernah mendoakannya, dan menjadikannya sebagai penulis wahyunya! Wallahu A’lam


Kritikan Kaum Pendengki Terhadap Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu dan Jawabannya


Para pendengki telah menuduh Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu dengan berbagai tuduhan yang amat dipaksakan. Berita tentang ucapan dan perilaku Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu, diselewengkan agar sesuai dengan hawa nafsu mereka.


Berikut ini kami maparkan beberapa krirtikan saja, terhadap Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu, beserta tanggapan kami.


1. Mu’awiyah menghalalkan riba


Berikut riwayatnya:


Bercerita kepada kami Hisyam bin ‘Imar, bercerita kepada kami Yahya bin Hamzah, bercerita kepada saya Burdun bin Sinan, dari Ishaq bin Qabishah dari Ayahnya bahwa Ubadah bin Shamit Al Anshari seorang Utusan Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pergi berperang bersama Muawiyah ke negeri Rum. Suatu saat Ia melihat orang-orang tukar menukar emas dengan menambah beberapa dinar sebagai tambahan dan tukar menukar perak dengan tambahan beberapa dinar. Maka Ubadah bin Shamit berkata “Wahai manusia sesungguhnya kamu melakukan riba karena aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda “Tidak ada tukar menukar antara emas dengan emas kecuali setara dengan tidak menambah dan tidak menuggu (tunai)”. Muawiyah berkata kepadanya “ Wahai Abu Walid aku tidak melihat itu sebagai riba kecuali jika memang menunggu waktu”. Ubadah berkata “Aku berkata kepadamu hadis Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang kamu berbicara dengan akal pikiranmu sendiri. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla mengeluarkan aku, aku tidak mau tinggal di negeri yang sama denganmu sedang engkau menjadi pemimpinnya”. Ketika Ubadah kembali ke Madinah maka Umar bertanya kepadanya “Apa yang membuatmu kembali wahai Abul Walid?”. Maka dia menceritakan perselisihannya dengan Muawiyah serta janjinya untuk tidak tinggal di tanah yang sama dengan Muawiyah. Umar berkata “kembalilah kamu ke negerimu Abul Walid, semoga Allah menjauhkan kebaikan suatu negeri yang tidak memiliki dirimu dan orang-orang sepertimu”. Kemudian Umar menulis surat kepada Muawiyah: “Kamu tidak berhak memerintahnya dan perintahkan orang-orang untuk mengikuti ucapannya (Abul Walid) karena dialah yang benar”. (HR. Ibnu Majah No. 18. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 18)


Hadits ini menunjukkan kelirunya Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiallahu ‘Anhuma, dan kekeliruan itu pun tidak kita ingkari. Tetapi, tidak benar membawa kekeliruan ini dengan pemaknaan bahwa dia telah menghalalkan apa-apa yang Allah Ta’ala haramkan plus dijuluki membangkang terhadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yakni riba. Yang diingkari Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu adalah kebenaran atas keberadaan hadits tersebut, ini dalam rangka kehati-hatian beliau dalam meriwayatkan hadits. Hal ini dapat kita temui dalam hadits lain yang setema dengan hal ini.


Telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Umar Al Qawariri yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Ayub dari Abi Qilabah yang berkata “Ketika berada di Syam, saya mengikuti suatu halaqah dan disana ada Muslim bin Yasar, kemudian datanglah Abul Asy’ats. Lalu orang-orang berkata “Abul Asy’ats telah datang, Abul Asy’ats telah datang”. Ketika ia duduk, aku berkata kepadanya “ceritakanlah hadis kepada saudara kami yaitu hadis Ubadah bin Shamit”. Dia menjawab “baiklah, suatu ketika kami mengikuti perperangan dan di dalamnya ada Muawiyah, lalu kami mendapatkan ghanimah yang banyak diantaranya ada wadah yang terbuat dari perak. Muawiyah kemudian menyuruh seseorang untuk menjual wadah tersebut ketika orang-orang menerima bagian harta ghanimah maka orang-orang ramai menawarnya . Hal itu terdengar oleh Ubadah bin Shamit maka ia berdiri dan berkata “Sesungguhnya saya pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam kecuali dengan takaran yang sama dan tunai, barangsiapa melebihkan maka ia telah melakukan riba”. Oleh karena itu orang-orang menolak dan tidak jadi mengambil wadah tersebut. Hal itu sampai ke telinga Muawiyah maka dia berdiri dan berkhutbah, dia berkata: “Kenapa ada beberapa orang menyampaikan hadis dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam padahal kami telah bersama Beliau dan kami tidak pernah mendengar hal itu dari Beliau”. Kemudian Ubadah bin Shamit berdiri dan mengulangi ceritanya dan berkata: “Sungguh kami akan selalu meriwayatkan apa yang kami dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meskipun Muawiyah membencinya” atau dia berkata “Saya tidak peduli walaupun akan dipecat dari tentaranya di malam hari yang gelap gulita”. Hammad mengatakan: ini atau yang seperti itu ”. (HR. Muslim No. 1587, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 10260, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf, 5/297)


Jadi, yang diingkari oleh Mu’awiyah adalah keberadaan hadits tersebut, bukan dia mengingkari keharaman riba. Walau kita menganggap bahwa ‘Ubadah bin Ash Shamit adalah pihak yang benar dan Mu’awiyah yang keliru, tetaplah kita tidak mencela dan menghinanya dengan sebutan dia telah menghalalkan riba dan inkar sunnah, sebab kejadian seperti ini cukup sering terjadi, yakni seorang sahabat meriwayatkan hadits dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu sahabat nabi yang lain –khususnya yang belum pernah dengar- mengingkarinya. Bukan karena mengingkari isinya, tetapi: benarkah adanya hadits tersebut?


Tetapi bagi orang yang di hatinya telah ada kebencian, maka bagaimana pun juga Mu’awiyah Radhiallahu ‘Ahu tetaplah salah.


Sungguh, zalim adalah perbuatan yang diharamkan. Menimbang untuk orang lain secara semena-mena, tetapi untuk diri sendiri dibuat seadil mungkin. Sungguh, para sahabat nabi –Radhiallahu ‘Anhum – tidaklah ma’shum (terjaga dari dosa). Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, dan selain mereka pernah melakukan kekeliruan. Namun, kita tidaklah mengotori lisan kita dengan mencerca mereka hanya karena kesalahan mereka yang tidak seberapa dibanding jasa mereka terhadap Islam. Na’udzubillah …. Itu bukan akhlak seorang muslim!


Apakah kita mau mencerca Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, karena beliau pernah membuat nabi marah? Sebagaimana diceritakan dalam hadits muttafaq ‘alaih (Imam Bukhari dan Imam Muslim).


Dari ‘Ali, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membangunkan Ali dan Fathimah. Beliau bersabda: “Kalian berdua sudah shalat (malam)?” Ali menjawab: “Wahai Rasulullah, jiwa kami ada di tangan Allah, jika Dia berkehendak niscaya Dia akan membangunkan kami.” Lalu nabi berpaling ketika saya mengatakan demikian, kemudian saya mendengarnya bergumam sambil memukul-mukul pahanya, dan bersabda: “Memang manusia itu suka banyak berdebat!” (HR. Muttafaq ‘Alaih)


Adakah orang yang tega mencerca Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu karena dia telah mendebat nabi dan membuatnya kesal? Lalu kenapa cercaan begitu mudah keluar ketika yang melakukan kesalahan adalah Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu? Inilah ketidakadilan alias kezaliman. Memang kebencian sangat dekat dengan perilaku zalim (tidak pada tempatnya).


2. Mu’awiyah Peminum Khamr


Tuduhan ini berdasarkan riwayat:


Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubab yang berkata kepadaku Husain yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Buraidah yang berkata “Aku dan Ayahku datang ke tempat Muawiyah, ia mempersilakan kami duduk di hamparan . Ia menyajikan makanan dan kami memakannya kemudian ia menyajikan minuman, ia meminumnya dan menawarkan kepada ayahku. Dia berkata: “Aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam”. Muawiyah berkata “aku dahulu adalah pemuda Quraisy yang paling rupawan dan aku dahulu memiliki kenikmatan seperti yang kudapatkan ketika muda selain susu dan orang yang baik perkataannya berbicara kepadaku”. (HR. Ahmad No. 22941, Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf, 11/94-95, tetapi tidak ada teks: ” …. dan menawarkan kepada ayahku. Dia berkata: “Aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam”. Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq, 27/127. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan; isnadnya qawwi-kuat )


Tentang perkataan: “Aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam”. Siapakah yang mengucapkan kalimat ini ?

Imam Ibnu ‘Asakir memberikan komentar sebagai berikut:

“Yaitu Mu’awiyah bin Abi Sufyan, barangkali dia mengatakan demikian ketika melihat adanya ketidaksukaan dan penolakan pada wajah Buraidah, yang menunjukkan dugaan bahwa dia meminum sesuatu yang diharamkan. Wallahu A’lam.” (Tarikh Dimasyq, Hal. 417)

Keterangan Imam Ibnu ‘Asakir ini adalah kemungkinan pertama, yaitu menunjukkan bahwa justru Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu bukanlah seorang pemabuk dan peminum khamr, sebab dia menjauhkan minuman tersebut sejak Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarangnya. Kemungkinan lain adalah jika kalimat : “Aku tidak meminumnya sejak diharamkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam”, adalah ucapan Buraidah, maka ini semakin menunjukkan bahwa bisa jadi Mu’awiyah belum tahu bahwa itu sudah diharamkan, atau mungkin dia sudah tahu tapi mentakwilnya, sehingga dia menghidangkan minuman itu ( dalam hadits itu tidak disebutkan jenis minumannya) lalu menyicipinya, sampai akhirnya Buraidah memberi tahu bahwa dia sudah tidak meminumnya sejak Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengharamkannya. Wallahu A’lam

3. Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu Memerintahkan Membunuh dan Makan Harta secara batil


Dari Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:


“Inlah anak pamanmu, Mu’awiyah, dia memerintahkan kami untuk memakan harta kami secara batil dan memerintahkan kami membunuh jiwa-jiwa kami.” (HR. Muslim No. 1844)


Tidak benar hadits ini dijadikan alasan untuk menyebut bahwa Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu memerintahkan pembunuhan dan makan harta haram. Hadits ini tidak berbicara secara umum, melainkan terkait perselisihan beliau dengan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu. Beliau berijtihad untuk memerangi para pembela Ali Radhiallahu ‘Anhu dan merampas harta mereka dalam konteks perang. Tentu, ini adalah ijtihad yang keliru. Oleh karena itu, Ahlus Sunnah tidaklah membela Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu dalam beberapa kesalahannya, termasuk hal ini, dan dengan tegas mengatakan Ali Radhiallahu ‘Anhu adalah pihak yang benar. Tetapi, tidaklah kesalahan itu dijadikan alat untuk melabelkan Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu sebagai seorang pembunuh dan gelar buruk lainnya. Sebab, kita paham bahwa salah dalam ijtihad diberikan satu pahala, walau diketahui kesalahan tersebut dikemudian hari berakibat fatal.


Hal ini juga ditegaskan oleh Al Imam An Nawawi Rahimahullah tentang hadits di atas:


“Maksud perkataan ini adalah bahwa orang yang mengucapkan ini ketika mendengar perkataan Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash, dan menyebutkan tentang hadits pengharaman menentang khalifah, itu yang pertama, ada pun yang kedua tentang larangan dibunuhnya (khalifah). Si pengucap meyakini bahwa sifat ini ada pada diri Mu’awiyah karena dia telah menentang ‘Ali Radhiallahu ‘Anhu.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/318. Mauqi’ Ruh Al Islam)


Peperangan antara keduanya tidak boleh membuat kita mengeluarkan tuduhan ‘murtad’ kepada salah satu di antara keduanya, atau kedua-duanya. Sebab Allah Ta’ala tetap mengisyaratkan, bisa saja terjadi kaum beriman akan saling memerangi. Allah Ta’ala pun tetap menyebut ‘mukmin’ kepada dua kelompok yang saling berperang itu.


Allah Ta’ala berfirman:


Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al Hujurat (49): 9)


Ayat ini dengan tegas menyebut dua golongan yang berperang sebagai ‘beriman.’ Wallahu A’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar