Kamis, 22 Desember 2011

Ringkasan Tafsir Al Baqarah ayat 44 dari Beberapa Mufassirin tentang Celaan terhadap Orang yang Menyeru Kebaikan, tetapi dirinya tidak melaksanakannya.


Ringkasan Tafsir Al Baqarah ayat 44 dari beberapa Mufassirin

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?  (Al Baqarah:44)

Tafsir Al Qurthubi (Al Jami’ Lil Ahkam Al Qur’an)

Pada firman Allah ini terdapat beberapa masalah:

Pertama:

Firman Allah Ta'ala, “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian," ini merupakan (bentuk pertanyaan) yang mengandung makna celaan. Menurut Ahli Takwil, yang dimaksud dalam firman Allah ini adalah para ulama umat Yahudi.

Ibnu Abbas berkata, "Dahulu sebagian orang Yahudi Madinah berkata kepada mertuanya, keluarganya, dan saudara susuannya dari kaum muslim, “Konsistenlah terhadap apa yang kamu anut dan apa yang diperintahkan oleh orang ini “maksudnya Muhammad”. Karena sesungguhnya itu adalah benar.

Mereka memerintahkan seperti itu kepada orang-orang, namun mereka sendiri tidak melakukannya."

Diriwayatkan juga dan Ibnu Abbas: "Para pendeta memerintahkan para pengikut dan ummat mereka untuk mengikuti Taurat, namun mereka sendiri melanggarnya karena mereka mengingkari sifat Muhammad."

Ibnu Juraij berkata, "Para pendeta memerintahkan untuk taat kepada Allah, sementara mereka sendiri terjerembab dalam kemaksiatan."

Sekelompok ulama berkata, "Para pendeta memerintahkan untuk mengeluarkan shadaqah, namun mereka sendiri kikir."

Pengertian dari ungkapan-ungkapan tersebut adalah saling berdekatan. Sebagian Ahli Isyarah berkata, "Makna (dari firman Allah tersebut adalah), Apakah kalian menuntut orang-orang untuk mempercayai makna yang sesungguhnya, sementara kalian sendiri mengingkari bentuk redaksinya."

Kedua:

Siapakah orang yang dihukum dengan hukuman sepedih (berikut) ini. Hamad bin Salamah meriwayatkan dari Ali bin Zaid, dari Anas, dia berkata, "Rasulullah SAW bersabda, “Pada malam isra, aku melewati manusia yang mulutnya digunting dengan gunting yang terbuat dari api. Aku bertanya kepada Jibril, Siapa mereka?' Jibril menjawab, Mereka adalah para penceramah dunia yang memerintahkan manusia (mengerjakan) kebaikan, sedang mereka melupakan (kewajiban) mereka sendiri, padahal mereka membaca Al Kitab (Taurat). Maka tidakkah kamu berpikir '." (HR. Ahmad)

Abu Umamah meriwayatkan, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya orang yang memerintahkan manusia untuk mengerjakan kebaikan sedang mereka melupakan (kewajiban) mereka sendiri. maka usus-usus mereka akan ditarik ke dalam neraka jahanam. Dikatakan kepada mereka, "Siapa kalian?" Mereka menjawab, "Kami adalah orang-orang yang memerintahkan manusia untuk mengerjakan kebaikan, sedang kami melupakan (kewajiban) kami sendiri."

Saya (Al Qurthubi) katakan, "Meskipun hadits ini lemah, sebab dalam sanadnya terdapat Al Khushaib bin Jandar, sosok yang (haditsnya) lemah oleh imam Ahmad. Demikian pula dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Ma' in dari Abu Ghalib, dari Abu Umamah Shudi bin Ajlan Al Bahili Abu Ghalib —menurut keterangan yang diriwayatkan oleh Yahya bin Ma'in adalah Hazawwar Al Qurasyi, mantan budak Khalid bin Abdullah bin Usaid. Namun menurut satu pendapat, dia adalah mantan budak Bahilah. Sedangkan menurut pendapat yang lain, dia adalah Abdurrahman Al Hadhrami. Dia berangkat ke Syam dalam melakukan perniagaannya. Yahya bin Ma' in berkata  `Dia adalah sosok yang shahih haditsnya.'

Muslim meriwayatkan pengertian haditsnya dalam Shahih-nya dari Usamah bin Zaid, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda ‘Seseorang akan didatangkan pada hari kiamat, lalu dia akan dilemparkan ke dalam neraka, sehingga usus-usus perutnya terburai (di dalam neraka). Dia kemudian berputar di dalam neraka seperti keledai yang mengitari alat penggilingan (gandum)’. (HR Bukhari, HR Ahmad). Para penghuni neraka kemudian mendatanginya, lalu mereka bertanya, ‘Wahai Fulan, ada apa denganmu. Bukankah engkau selalu memerintahkan kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar?' Dia menjawab, ‘Benar, sesungguhnya aku memang memerintahkan kepada yang ma'ruf namun aku tidak melakukannya, dan aku pun memerintahkan agar mencegah dari yang mungkar namun aku melakukannya'." (HR Muslim)

Saya (Al Qurthubi) katakan, "Sesungguhnya hadits yang shahih dan lafazh ayat (di atas) menunjukkan bahwa hukuman bagi orang yang mengetahui kepada yang ma'ruf dan yang mungkar, serta mengetahui kewajiban untuk melaksanakan yang ma'ruf dan menjauhi yang mungkar adalah lebih pedih dari pada orang yang tidak mengetahuinya. Itu terjadi sebab dia seperti orang yang menghinakan keharaman Allah dan melecehkan hukum-hukum-Nya. Dalam hal ini, dia adalah orang yang tidak memanfaatkan ilmunya. Sementara Rasulullah SAW bersabda,

“Manusia yang paling pedih siksaannya pada hari kiamat adalah orang yang alim namun Allah tidak membuat ilmunya bermanfaat” (HR Ibnu Majah)

Ketiga:

Ketahuilah —semoga Allah memberikan taufik kepada kita - bahwa celaan tersebut muncul karena tidak mengerjakan ketaatan dan kebaikan, bukan karena memerintahkan untuk mengerjakan kebaikan. Oleh karena inilah Allah Ta 'ala melarang dalam kitab-Nya suatu kaum yang memerintahkan perbuatan bakti namun mereka tidak melaksanakannya. Allah  mencela mereka dengan celaan abadi yang dapat dibaca sampai hari Kiamat. 
Allah berfirman, "Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian…….”

Manshur Al Faqih berkata, dan alangkah baik apa yang dia katakan:
Sesungguhnya ada suatu kaum yang memerintahkan kami terhadap apa yang tidak mereka kerjakan.
Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang gila, meskipun mereka belum menjadi orang-orang yang gila.

Abu Al Atahiyah berkata,

Engkau menjelaskan tentang ketakwaaan, hingga seolah-olah engkau
adalah orang yang bertakwa,
padahal aroma dosa-dosa terpancar dari pakaianmu.

Abu Al Aswad Ad-Du` afi berkata,

Janganlah engkau melarang manusia, sementara engkau (sendiri)
melakukan apa yang engkau larang itu.
Adalah aib yang besar bagimu, jika engkau melakukan hal itu.
Maka mulailah dengan dirimu, maka cegahlah ia dari kesesatan.
Jrika ia berhenti dari kesesatan, maka (sesungguhnya) engkau adalah
seorang yang bijaksana.
Di sanalah dirimu akan diterima dan diikuti, jika engkau memberikan nasihat
dengan ucapan darimu, dan akan bermanfaat pemberian pelajaran (yang engkau sampaikan).

Abu Amru bin Mathar berkata, "Aku hadir di majlis Abu Utsman Al Hiri Az-Zahid, lalu dia keluar dan duduk di tempat yang biasa didudukinya untuk berdzikir. Dia terdiam dalam waktu yang lama. Seorang lelaki yang mengenal Abu Al Abbas kemudian menyerunya, "Engkau pikir dapat mengatakan sesuatu dalam diammu?" Abu Utsman mulai angkat bicara,

`Orang yang tidak bertakwa akan menyuruh manusia bertakwa.
Itu adalah dokter yang harus diobati dan dokter yang sakit.'
Maka meledaklah suara tangisan dan rintihan."

Keempat:

Ibrahim An-Nakha' i berkata, "Sesungguhnya aku tidak menyukai cerita karena tiga ayat:
(1) firman Allah Ta'ala: Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan
(2) firman-Nya: "Mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?," (Qs. Ash-Shaf [61:2]: dan
(3) firman Nya, "Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. (Huud, [11]: 88)

Salam bin Amru berkata,
Alangkah buruk perintah untuk berzuhud dari penasihat
yang memerintahkan manusia untuk berzuhud, sementara dia
(sendiri) tidak berzuhud.
Seandainya dalam zuhudnya ada kebenaran, maka pagi dan siang
rumahnya adalah masjid.
Jika memang dia menolak dunia, mengapa dia
Meminta dan memohon pertolongan kepada manusia
Rezeki itu dibagi (oleh Allah) kepada orang yang engkau lihat
la didapatkan oleh orang yang berkulit putih dan orang yang berkulit hitam.

Al Hasan berkata kepada Mutharrif bin Abdullah, "Nasihatilah sahabat-sahabatmu!" Mutharrif menjawab, "Sesungguhnya aku merasa khawatir akan mengatakan sesuatu yang tidak aku kerjakan." Al Hasan berkata, Semoga Allah merahmatimu! Siapakah di antara kita yang melakukan apa yang dia katakan? Syetan ingin memenangkan hal ini, sehingga tidak akan ada seseorang pun yang memerintahkan kepada yang ma'ruf dan mencegah dari mungkar."

Kelima:

Firman Allah Ta 'ala:  "Sedang kamu melupakan (kewajiban)mu sendiri." Yakni membiarkan. An-nisyaan —dengan kasrah huruf nun— itu memiliki makna at-tark (membiarkan), dan makna inilah yang dimaksud di sini. Juga yang dimaksud dalam firman Allah Ta 'ala: "Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka." (Qs. At-Taubah [9]: 67)
Dalam firman Allah, "Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka." (Qs. Al An' aam [6] : 44).
Juga yang dimaksud dalam firman Allah: "Dan janganlah kau melupakan keutamaan di antara kamu." (Qs. Al Baqarah [2] : 238) An-Nisyaan itu mengandung arti lawan kata ingat dan memelihara. Contohnya adalah hadits yang menyatakan: "Adam lalai sehingga anak-cucunya pun lalai" Hadits ini akan dijelaskan nanti.

Keenam:

Firman Allah Ta'ala,   "Padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)." Firman Allah ini merupakan celaan yang besar bagi orang yang mengerti.

Ketujuh:

Firman Allah Ta 'ala, "Maka tidakkah kamu berpikir" Yakni, tidakkah kamu mencegah dirimu agar tidak terjatuh dalam situasi yang mengenaskan bagimu ini.

Tafsir As Sa’di

Tafsir ayat:

"Mengapa kamu suruh orang lain mengerjakan kebajikan" yaitu dengan keimanan dan kebaikan, "Sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri" maksudnya kalian meninggalkannya padahal kalian memerintahkannya kepada orang lain, dan kondisinya, "Padahal kamu membaca al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?"

Dinamakan akal itu sebagai akal karena ia dipakai untuk berfikir kepada kebaikan yang bermanfaat untuknya, dan sadar dengarmya dari hal-hal yang memudharatkan dirinya, dan hal tersebut dibuktikan bahwa akal menganjurkan kepada pemiliknya untuk menjadi orang yang pertama melakukan apa yang diperintahkan dan orang yang pertama meninggalkan apa yang dilarang, maka barangsiapa yang memerintahkan orang lain kepada kebaikan lalu dia tidak melakukannya atau melarang dari kemungkaran namun dia tidak meninggalkannya maka hal itu menunjukkan tidak adanya akal padanya dan kebodohannya, khususnya bila dia telah mengetahui akan hal itu, dan hujjah benar-benar telah tegak atasnya, ayat ini walaupun turun kepada bani Israil namun ia bersifat umum kepada setiap orang karena firman Allah, "Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan." (Ash-Shaff: 2-3)

Dalam ayat ini tidak ada suatu hal pun yang menunjukkan bahwasanya seseorang bila tidak melakukan apa yang diperintahkan kepadanya bahwa dia meninggalkan perintah kepada kebaikan dan melarang dari yang mungkar karena ayat itu menunjukkan suatu kecaman menurut kedua kewajiban tersebut, bila tidak seperti itu maka suatu hal yang telah diketahui bahwasanya setiap manusia memiliki dua kewajiban yaitu memerintah orang lain dan melarangnya, dan memerintah dirinya sendiri dan melarangnya, maka meninggalkan salah satu dari kedua kewajiban itu bukanlah suatu keringanan untuk meninggalkan yang lainnya, karena idealnya adalah seseorang mampu melakukan kedua kewajiban itu dan demikian juga sangat aib sekali bila seseorang meninggalkan keduanya. Adapun jika dia melakukan salah satu dari kedua kewajiban itu tanpa lainnya maka dia tidaklah dalam posisi yang ideal dan tidak pula pada posisi sangat aib, dan nafsu juga dibuat untuk tidak tunduk kepada orang yang perbuatannya bertentangan dengan perkataannya, maka peniruan mereka dengan perbuatan adalah lebih kuat daripada peniruan mereka dengan sekedar perkataan saja.

Tafsir Fathul Qadir

Huruf Hamzah dalam firman-Nya,  (Mengapa kamu suruh orang lain [mengerjakan kebajikan) berfungsi sebagai partikel tanya, dan pertanyaan di sini mengindikasikan buruknya yang dituju, buruknya mereka itu bukan karena menyuruh orang lain mengerjakan kebaikan, karena yang demikian adalah perbuatan baik yang dianjurkan namun karena justru mereka sendiri yang tidak melakukan kebaikan tersebut yaitu seperti yang disimpulkan dari firman-Nya, (Sedang kamu melupakan diri [kewajiban]mu sendiri) dengan menganggap suci diri sendiri, dan melakukan aktivitas para penyeru kebenaran (dai) agar kondisi dirinya yang sebenarnya tidak diketahui orang lain, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Al Atahiyah.

(Padahal kamu membaca Al Kitab [Taurat]) adalah kalimat keterangan kondisi yang mengisyaratkan celaan mendalam dan sangat membungkam (membuat lisan tidak lagi sanggup membantah), yakni: Mengapa kalian meninggalkan kebaikan yang kalian perintahkan kepada orang lain, Padahal kalian ahli ilmu yang mengetahui buruknya perbuatan ini dan beratnya ancaman atasnya, sebagaimana yang kalian lihat di dalam Al Kitab yang kalian bacakan dan ayat-ayat Taurat yang kalian bacakan.

(Maka tidakkah kamu berfikir?) adalah kalimat tanya untuk mengingkari mereka dan sebagai tamparan bagi mereka, dan ini lebih keras dari yang pertama.

Tamparan Allah di sini lebih keras lagi mengenai orang berilmu yang memerintahkan orang lain berbuat baik tapi ia sendiri tidak melakukannya. Yaitu mereka yang tidak mengamalkan ilmunya. Allah mengingkari perbuatan mereka; Memerintahkan orang lain berbuat baik dengan melupakan mereka sendiri dalam hal itu, yaitu perintah yang mereka sampaikan di masjid masjid dan yang mereka serukan di majelis-majelis, untuk memberikan kesan kepada orang lain bahwa mereka adalah para penyampai perintah dari Allah yang disertai dengan argumen-argumen. Mereka menerangkan kepada hamba Allah apa yang diperintahkan kepada mereka dengan penjelasan Nya, menyampaikan kepada para makhluk-Nya apa yang diserukan-Nya kepada mereka dan mengajak mereka memeliharanya, padahal mereka adalah yang paling sering meninggalkannya, paling jauh dari manfaatnya dan jarang mengamalkannya. Kemudian Allah mengikat redaksi tadi dengan redaksi lainnya, sehingga menjadikannya sebagai keterangan tentang kondisi mereka, membeberkan aurat mereka dan menghancurkan tabir penutup keculasan mereka, yaitu bahwa sesungguhnya mereka melakukan perbuatan dan tindakan buruk ini berdasarkan pada kesadaran mereka sendiri, dan mereka telah mengetahuinya dari Al Kitab yang telah diturunkan kepada mereka dan senantiasa mereka baca. Perumpamaan mereka dalam hal in adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Al Ma’ri:

Sebenarnya para penerima Taurat yang membacakannya, hanyalah untuk mengambil keuntungan, bukan karena cinta membacanya.

Kemudian Allah beralih bersama mereka dari satu tamparan ke tamparan berikutnya, dan dari satu celaan ke celaan berikutnya,

Allah mengatakan, "Sesungguhnya, seandainya kalian bukan termasuk ahli ilmu, para pemegang hujjah dan para pengkaji kitab-kitab Allah, dan hanya sebagai orang-orang yang dapat berfikir, niscaya hal ini menjadi penghalang antara kalian dan hal tersebut, dan menjadi penghalang untuk kalian darinya. Mengapa kalian menyepelekan apa yang dituntut oleh akal setelah kalian meremehkan hal yang dituntut oleh pengetahuan?”

Makna al `aql secara bahasa adalah al man'u (menahan), Al Aql adalah lawan al jahl (bodoh).
Penafsiran al aql yang terdapat pada ayat ini bisa dengan asal makna al aql menurut Data ahli bahasa, yakni: Maka, tidakkah kalian menahan diri kalian agar tidak terjerumus ke dalam kondisi tercela ini? Bisa juga ayat ini ditafsirkan: Maka, tidakkah kalian memperhatikan akal yang telah Allah anugerahkan kepada kalian, mengapa kalian tidak memanfaatkan ilmu yang telah ada pada kalian?

Tafsir Ibnu Katsir

CELAAN ATAS AMAR MA'RUF YANG TIDAL DIIRINGI DENGAN PENGAMALAN

Allah SWT bertanya: "Wahai sekalian Ahli Kitab, apakah pantas kalian menyuruh manusia untuk berbuat kebajikan, sedang kalian melupakan diri kalian sendiri?” Kalian tidak melaksanakan apa yang kalian perintahkan kepada mereka padahal kalian membaca al-Kitab dan mengetahui kandungannya berupa ancaman bagi orang yang mengabaikan perintah-perintah Allah? Apakah tidak memikirkan apa yang kalian lakukan untuk diri kalian itu hingga kalian terjaga dari tidur dan mata kalian terbuka dari kebutaan?"

Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh `Abdurrazzaq, Ma'mar, dari Qatadah, tentang firman Allah:
"Mengapa kamu suruh orang lain mengengerjakan kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri," ia mengatakan: "Dahulu Bani Israil menyuruh menusia berbuat ketaatan, takwa dan kebajikan, namun mereka menyelisihinya” Maka Allah SWT mencela mereka.

Demikianlah perkataan as-Suddi. Ibnu Juraij menjelaskan tentang ayat: "Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan," mereka mengatakan: "Ahli Kitab dan orang-orang munafik menyuruh manusia berpuasa dan melaksanakan shalat, namun mereka tidak mengamalkan apa yang mereka serukan kepada manusia. Oleh sebab itulah Allah mencela mereka karenanya. Maka hendaklah orang yang menyeru kepada kebaikan adalah orang yang paling bersegera dan bersungguh-sungguh melaksanakan kebaikan tersebut."

Muhammad bin Ishaq meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas RA: “Sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri," yakni meninggalkan diri kalian. "Padahal kamu membaca al-Kitab (Taurat). Maka tidakkah kamu berfikir?" Yakni  melarang manusia mengkufuri apa yang ada pada kalian berupa nubuwwah dan perjanjian di dalam Taurat, sedangkan kalian meninggalkan diri kalian sendiri dengan menyelisihi janji yang telah Kami ambil dari kalian untuk membenarkan Rasul Kami, sementara kalian membatalkan perjanjian kalian dengan-Ku dan kalian mengingkari apa yang kalian ketahui dari Kitab suci-Ku.”

Tujuannya, Allah Ta'ala mencela mereka atas perbuatan tersebut, Dan memperingatkan kesalahan mereka berkenaan dengan hak mereka, yakni menyeru kepada kebaikan namun mereka sendiri tidak melaksanakan kebaikan itu. Jadi, yang dicela bukanlah usaha mereka menyeru kepada kebaikan, karena hal itu termasuk perbuatan baik dan wajib atas seorang yang berilmu. Akan tetapi yang lebih wajib dan lebih layak bagi seorang alim adalah mengerjakan kebajikan bersama orang-orang yang ia seru dan tidak menyelisihi mereka. Sebagaimana perkataan Nabi Syu'aib AS : "Hai kaumku, bagaimana pikiranmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan dianugerahi-Nya aku dari pada-Nya rezki yang baik (patutkah aku menyalahi perintah-Nya)? Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali. " (QS. Huud: 88)
Dengan demikian, amar ma'ruf dan pengamalannya merupakan suatu kewajiban yang salah satu dari keduanya tidak gugur dengan meninggalkan yang lainnya. Demikian menurut pendapat yang paling shahih dari para ulama Salaf maupun Khalaf.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Wa-il, ia menceritakan dikatakan kepada Usamah, dan ketika itu aku diboncengnya: “Tidakah engkau menasihati `Utsman?" Maka Usamah berkata: "Apakah kalian kira jika aku menasihati `Utsman aku akan menyampaikannya kepada kalian? Sesungguhnya aku telah berbicara empat mata dengan `Utsman tanpa menimbulkan masalah yang aku sangat berharap tidak menjadi orang pertama yang membukanya. Demi Allah, aku tidak akan mengatakan kepada seseorang: `Sesunggulnya engkau ini adalah sebaik-baik manusia,' meskipun yang ada dihadapanku adalah seorang penguasa, karena aku telah mendengar sabda Rasulullah SAW" Maka orang-orang pun bertanya: "Apa yang engkau dengar dari beliau?" Usamah menjawab:  "Kelak pada hari Kiamat akan didatangkan seorang laki-laki, lalu ia dicampakkan ke dalam Neraka. Kemudian ususnya ter-burai dan ia berputar-putar di dalam Neraka seperti keledai mengitari penggilingannya. Maka para penghuni Neraka me-ngelilinginya seraya berkata: `Wahai fulan, apa yang menimpa dirimu, bukankah engkau dahulu selalu menyeru kami berbuat kebaikan dan mencegah kami dari kemunkaran?' Orang itu menjawab: `Dahulu aku menyuruh kalian berbuat kebaikan namun aku tidak mengerjakannya. Dan aku melarang kalian berbuat kemunkaran namun aku sendiri mengerjakannya." (HR Ahmad)
Diriwayatkan pula oleh al-Bukhari dan Muslim)"

Wallahua’lam bishowab

Disalin dan diringkas dari kitab-kitab Tafsir Ibnu Katsir, Fathul Qodir, As Sa'di, dan Al Qurthubi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar