Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (Surah Al Hujuraat : 11)
Ringkasan Tafsir Al Hujurat ayat 11, (Imam Ibnu Katsir)
TENTANG LARANGAN MENGHINA DAN MENGEJEK SERTA MERENDAHKAN ORANG LAIN.
Allah SWT melarang kita untuk menghina orang lain yakni dengan meremehkan dan mengolok-olok. Sebagaimana yang disebutkan Hadits shahih dari Rasulullah SAW beliau bersabda:
“Takabbur adalah menentang kebenaran dan meremehkan (merendahkan) manusia” (HR Muslim)
Makna yang dimaksud adalah menghina dan meremehkan orang. Perbuatan tersebut diharamkan, sebab barangkali orang yang tersebut memiliki kedudukan yang lebih tinggi di hadapan Allah SWT dan lebih dicintai Allah SWT daripada orang yang menghina. Karena itulah Allah SWT berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan)" Secara nash larangan tersebut ditujukan kepada lelaki dan dilanjutkan untuk kaum wanita.
Selanjutnya Allah SWT berfirman, "Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri," yakni janganlah kalian mencela orang lain. Pengumpat atau orang yang mencela adalah orang-orang tercela dan terlaknat sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah SWT berikut, "Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela” (QS. Al-Humazah: 1)
Al-hamz adalah celaan dengan perbuatan sedangkan al-lamz adalah celaan dengan lisan. Sebagaimana firman-Nya, "Yang banyak mencela yang kian kemari menghambur fitnah" (QS. Al-Qalam: 11), yakni meremehkan dan mencela orang lain secara melampaui batas kesana kemari seraya menghambur fitnah dan mengadomba dengan lisan. Karena itulah dalam surat ini, Allah Ta' ala berfirman, “Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri” Semakna dengan firman Allah SWT, "Dan jangalah kalian membunuh diri kalian sendiri." (QS. An-Nisaa': 29)
Ibnu 'Abbas RA, Mujahid, Sa'id bin Jubair, Qatadah dan Mughtil Bin Hayyan bekata, "Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri” artinya adalah janganlah kalian saling memfitnah satu sama lain.
Firman Allah SWT, "Dan janganlah kamu memanggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk." Yakni, jangalah kalian saling memanggil dengan julukan yang tidak baik untuk didengar.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Jubairah bin adh Dhahak, ia berkata: "Firman Allah: "Dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk," turun untuk kami Bani Salamah." Abu Jubairah melanjutkan, "Ketika Rasulullah SAW tiba di Madinah, kala itu setiap orang memiliki dua atau tiga nama. Siapa yang memanggil, nama-nama itulah yang dipakai. Mereka berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia akan marah dengan nama itu. Kemudian turunlah ayat, "Dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk” (HR Ahmad). Hadits yang sama juga diriwayatkan oleh Abu Dawud. (Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al Qurthubi)
Firman Allah SWT, "Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman," yakni seburuk buruk sifat dan nama panggilan adalah pemberian gelar dengan gelar yang buruk, sebagaimana yang dulu dilakukan pada masa jahiliyyah. Maka (alangkah buruknya hal itu bila kalian lakukan sekarang telah masuk Islam, sedang kalian memahami keburukannya.
FIrman Allah, “Dan barangsiapa yang tidak bertaubat,” dari kebiasaan tersebut, “Maka mereka itulah orang-orang yang zhalim”.
(Ringkasan Tafsir Imam Al Qurthubi)
"Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok). "
Pada penggalan ayat ini dibahas empat masalah:
Pertama:
Firman Allah Ta 'ala, “Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok)" Menurut satu pendapat, (maksudnya lebih baik) di sisi/menurut Allah.
Menurut satu pendapat yang lain, (yang dimaksud dari firman Allah) : "Lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok)," adalah karena dia telah memiliki akidah dan telah memeluk agama Islam di dalam hatinya.
Kedua:
Terjadi beda pendapat mengenai sebab turunnya ayat ini.
Ibnu Abbas berkata, "Ayat ini diturunkan pada Tsabit bin Qais bin Syamas yang mempunyai gangguan pendengaran di telinganya. Apabila mereka mendahuluinya datang ke majelis Nabi SAW, maka para sahabat pun selalu memberikan tempat untuknya ketika dia datang, agar dia dapat duduk di samping beliau, sehingga dia dapat mendengar apa yang beliau katakan.
Suatu hari Tsabit datang saat shalat Shubuh bersama Nabi SAW sudah berlangsung satu rakaat. Ketika Nabi SAW selesai shalat, maka para sahabat pun mengambil tempat duduknya di majelis itu. Masing-masing orang menempati tempat duduknya dan tidak mau beralih dari sana, sehingga tak ada seorang pun yang mau memberikan tempat untuk orang lain Akibatnya, orang yang tidak menemukan tempat duduk terpaksa harus berdiri.
Ketika Tsabit telah menyelesaikan shalatnya, dia melangkahi leher orang-orang dan berkata, 'Lapangkanlah, lapangkanlah' Mereka kemudian memberikan kelapangan padanya, hingga dia sampai di dekat Nabi SAW. Namun antara dia dan Nabi SAW masih terhalang oleh seseorang. Tsabit kemudian berkata kepada orang itu, Lapangkanlah' Orang itu menjawab, ‘Engkau telah menemukan tempat duduk, maka duduklah engkau.' Tsabit duduk di belakang orang itu dalam keadaan yang kesal. Dia bertanya, Siapa orang ini?' Para sahabat menjawab, `Fulan.' Tsabit berkata, 'Oh, anak si fulanah? “Tsabit mengejek orang itu dengan ungkapan tersebut. Maksudnya, apa statusnya pada masa jahiliyah. Orang itu pun menjadi malu, lalu turunlah ayat ini”
Adh-Dhahak mengatakan bahwa ayat ini diturunkan pada utusan Bani Tamim yang sudah dijelaskan di awal surah. Ketika mereka melihat keadaan para sahabat yang miskin seperti Ammar, Khabab, Ibnu Fahirah, Bilal, Shuhaib, Salman, Salim budak Abu Hudzaifah, dan yang lainnya, maka mereka pun mengejek orang-orang itu Maka turunlah ayat ini tentang orang-orang yang beriman dari orang-orang itu.
Mujahid berkata, "Olok-olokan tersebut adalah olok-olokan orang kaya terhadap orang miskin."
Ibnu Zaid berkata, "Janganlah orang-orang yang dosanya ditutupi oleh Allah mengolok-olok orang-orang yang dosanya dinampakan olehAllah. Karena boleh jadi penampakan dosa-dosanya di alam dunia itu merupakan hal yang lebih baik baginya di akhirat kelak."
Menurut satu pendapat, ayat ini diturunkan tentang lkrimah bin Abi Jahl, saat dia tiba di Madinah dalam keadaan telah memeluk agama Islam. Saat itu, apabila kaum muslim melihatnya, maka mereka pun berkata, "(Dia) anak Fir' aun ummat ini." Ikrimah mengadukan hal itu kepada Rasulullah SAW, kemudian turunlah ayat ini.
Secara global, seyogyanya seseorang tidak berani mengolok-olok seseorang lainnya yang keadaannya terlihat memprihatinkan, atau mempunyai cacat di tubuhnya, atau tidak pintar dalam berkomunikasi dengannya. Sebab boleh jadi orang itu lebih tulus perasaannya dan lebih suci hatinya dari pada orang yang keadaannya berlawanan dengannya. Dengan demikian, dia telah menzhalimi diri sendiri, karena telah menghina orang yang dimuliakan Allah dan merendahkan orang yang diagungkan Allah.
Sesungguhnya para sahabat sangat memelihara diri mereka dari perbuatan yang demikian itu. Sampai-sampai diriwayatkan bahwa Amru bin Syurahbil berkata, "Jika aku melihat seseorang menyusui anak anjing, kemudian aku menertawakannya, maka aku khawatir diriku akan melakukan apa yang dilakukannya." Dan Abdullah bin Mas'ud diriwayatkan: "Musibah itu disebabkan oleh ucapan. Jika aku mengolok-olok anjing, aku merasa takut akan berubah menjadi anjing."
Ketiga:
Firman Allah Ta’ala, "Dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok)." Allah menyebutkan kaum perempuan secara khusus, karena pengolok-olokan itu sering dilakukan oleh mereka. Allah Ta'ala berfirman, "Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya." (Qs. Nuh 71: 1).
Para mufassir berkata, "Ayat ini diturunkan tentang dua orang istri Nabi SAW yang mengolok-olok Ummu salamah. Pasalnya Ummu Salamah mengikat kedua bagian tengah (tubuh)nya dengan Sabibah, yaitu kain putih. Sesuatu yang seperti Sabiibah adalah Sab. Setelah itu, dia menjulurkan ujung kain putih itu ke bagian belakang tubulmya, sehingga dia menarik-nariknya. Aisyah kemudian berkata kepada Hafshah, `Lihatlah apa yang ditariknya di belakangnya. Itu seperti lidah anjing”. Inilah olok-olok kedua orang istri Nabi SAW tersebut.
Anas dan Ibnu Zaid, "Ayat ini diturunkan tentang istri Nabi yang mengejek Ummu Salamah karena (posturnya) yang pendek."
Menurut satu pendapat, ayat ini diturunkan pada Aisyah yang memberi isyarat dengan tangannya kepada Ummu Salamah, (seolah-olah dia mengatakan): "Wahai Nabi Allah, sesungguhnya dia itu pendek."
Ikrimah mengutip dari Ibnu Abbas: "Sesungguhnya Shafiyah binti Hay bin Akhthab datang kepada Rasulullah SAW, lalu berkata, Wahai Rasulullah, sesungguhnya perempuan-perempuan itu.mengejekku, dan mereka mengatakan kepadaku: "Wahai wanita Yahudi anak perempuan orang-orang Yahudi." Rasulullah SAW kemudian bersabda, Mengapa engkau tidak katakan: "Sesungguhnya ayahku adalah Harun, pamanku adalah Musa, dan suamiku adalah Muhammad."Allah kemudian menurunkan ayat ini"
Keempat:
Dalam Shahih At-Tirmidzi terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan dan Aisyah. Aisyah berkata, "Aku memeragakan perbuatan seseorang kepada Nabi SAW, lalu beliau bertanya tentang apa yang membuatku ingin menirukan perbuatan orang itu, dan bahwa aku (melakukan) ini dan itu. Aku kemudian berkata, `Wahai Rasulullah, sesungguhnya Shafiyah ah seorang wanita yang anu..'." Aisyah memberi isyarat dengan tangannya seperti ini. Maksudnya, Shafiyyah adalah wanita yang pendek. Beliau kemudian bersabda, "Sesungguhnya engkau telah mengatakan sebuah perkataan yang jika dicampurkan ke laut, niscaya ia akan mengeruhkannya." (HR Abu Dawud)
Dalam Shahih Al Bukhari terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Zam' ah. Abdullah berkata, "Rasulullah SAW melarang seseorang menertawakan apa yang keluar dari dalam tubuh. Beliau bersabda, "Mengapa salah seorang dari kalian memukul istrinya seperti memukul kuda pejantan, kemudian dia memeluk istrinya itu." (HR Bukhari)
Dalam Shahih Muslim terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah. Abu Hurairah berkata, "Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya Allah itu tidak memandang rupa dan harta kalian, akan tetapi Dia memandang hati dan amal perbuatan kalian" (HR Muslim)
Hadits itu merupakan hadits yang agung. Jika berdasarkan kepada hadits itu, maka seseorang tidak dapat menetapkan aib seseorang lainnya, saat dia melihatnya melakukan ketaatan atau melakukan penyimpangan. Sebab boleh jadi orang yang suka mengerjakan perbuatan baik, namun karena Allah mengetahui bahwa di dalam hatinya ada sifat tercela, maka perbuatan baiknya itu menjadi tidak sah karena adanya sifat yang tercela itu.
Boleh jadi pula orang yang kita lihat suka melakukan dosa dan kemaksiatan, namun karena Allah mengetahui bahwa di dalam hatinya adalah sifat yang terpuji, maka Allah pun mengampuni dosa-dosanya. Dengan demikian, amaliyah hanyalah sebuah tanda yang bersifat tak-pasti, bukan dalil yang bersifat pasti.
Berdasarkan kepada hal itu, kita tidak boleh berlebihan dalam memuliakan orang yang kita lihat melakukan perbuatan shalih, juga tidak boleh menghina seorang muslim yang kita lihat suka mengerjakan perbuatan yang buruk. Dalam hal ini, yang harus direndahkan dan dicela itu adalah sifat buruknya dan bukan orangnya. Renungkanlah hal ini, sebab ini merupakan hipotesa yang detil. Kepada Allahlah kita memohon taufik.
.
Firman Allah Ta 'ala, "Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri."
Dalam penggalan ayat ini dibahas tiga masalah:
Pertama
Firman Allah Ta'ala, "Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri." Al-Lamz adalah Al `Aib (cela). Kata ini sudah dijelaskan ketika membahas firman Allah Ta' ala: "Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (distribusi) zakat." (Qs. At-Taubah [9]: 54)
Ath-Thabari berkata, "Al-Lamz dapat dilakukan dengan tangan, mata, lidah dan isyarat. Sedangkan Al Hamz hanya dapat dilakukan dengan lidah."
Ayat ini seperti firman Allah Ta' ala, "Dan janganlah kamu membunuh dirimu." (Qs. An-Nisaa' [4] : 29).
Maksudnya, janganlah sebagian dari kalian membunuh sebagian yang lain. Sebab orang-orang yang beriman itu seperti jiwa yang satu, hingga membunuh saudaranya sama dengan membunuh dirinya sendiri. Juga seperti firman Allah Ta'ala
"Hendaklah kamu memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri.” (Qs. An-Nuur 24:61).
Maksudnya, (hendaklah) sebagian dari kamu (memberi salam) kepada sebagian yang lain. Makna firman Allah tersebut adalah: janganlah sebagian dan kalian mencela sebagian yang lain.
Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah dan Sa'ad bin Jubair mengatakan (bahwa makna firman Allah tersebut adalah) : janganlah sebagian dari kalian memfitnah sebagian yang lain.
Adh-Dhahak berkata, "(Makna firman Allah tersebut adalah): janganlah sebagian dan kalian melaknat sebagian yang lain."
Pada firman Allah: “Anfusakum” terdapat peringatan bahwa orang yang berakal itu tidak akan mencela diri sendiri. Maka tidak sepantasnya dia mencela orang lain, sebab orang lain itu seperti dirinya sendiri. Rasulullah SAW bersabda,
"Orang-orang yang beriman itu seperti tubuh yang satu. jika ada satu anggota tubuh yang mengeluh sakit, maka seluruh anggota tubuh akan merasakan dengan tidak dapat tidur dan demam” (hadits dengan redaksi yang sedikit berbeda diriwayatkan oleh Muslim)
Bala bin Abdullah Al Muzani berkata, "Jika engkau hendak melihat semua cela, maka renungkanlah orang yang sangat banyak celanya. Sesungguhnya orang-orang akan mencela(nya) karena kelebihan cela (aib) yang ada padanya."
Menurut satu pendapat, di antara kebahagiaan seseorang adalah jika dia sibuk dengan aib dirinya bukan dengan aib orang lain.
Penyair berkata,
"Jangan sekali-kali engkau membuka aurat orang yang telah mereka tutupi, Sebab Allah akan membuka penutup auratmu. Sebutkanlah kebaikan yang ada pada mereka, jika mereka menyebutkan. Dan janganlah engkau mencela seseorang dari mereka dengan mulutmu."
Kedua:
Firman Allah Ta 'ala, "Dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk."
Dalam Sunan At-Tirmidzi terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Jabirah bin Adh-Dhahak, dia berkata, "Seseorang dan kami mempunyai dua atau tiga nama, kemudian dia dipanggil dengan sebagian nama itu, sehingga mungkin saja diaakan tidak senang. Maka turunlah ayat ini:
`Dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk' ." At-Tirmidzi berkata, "Hadits ini adalah hadits hasan”
Dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk." Ini pendapat yang pertama.
Adapun pendapat yang kedua, Al Hasan dan Mujahid berkata, "Seseorang mencela (seseorang lainnya) setelah masuk Islam dengan kekufurannya: “Wahai Yahudi," ‘Wahai Nashrani', sehingga turunlah ayat ini. “Hal itu pun diriwayatkan dari Qatadah, Abu Al Aliyah dan Ikrimah. Qatadah berkata, "Itu adalah ucapan seseorang kepada seseorang lainnya: Wahai Fasik, wahai Munafik'." Hal itu pun dikemukakan oleh Mujahid dan juga Al Hasan.
"Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman." Maksudnya, betapa buruk jika seseorang disebut kafir atau pezina setelah dia masuk Islam dan bertobat. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Zaid.
Menurut satu pendapat, makna firman Allah tersebut adalah: bahwa orang yang memanggil saudaranya dengan panggilan yang buruk dan mengolok-oloknya adalah orang yang fasik.
Pendapat yang shahih (dalam masalah ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa makna firmanAllah itu adalah tentang) orang yang berkata kepada saudaranya: "Wahai Kafir." Sebab salah seorang dari keduanya telah mengakui hal itu (kafir), jika memang orang yang dipanggil itu seperti yang dikatakannya. Tapi jika tidak, maka panggilan itu (kafir) kembali kepada orang yang mengatakannya. (HR Bukhari)
Dengan demikian, barangsiapa yang melakukan apa yang dilarang oleh Allah yaitu mengolok-olok, mencela, dan memanggil dengan panggilan yang buruk, maka dia adalah orang yang fasik, dan hal itu merupakan tindakan yang tidak diperbolehkan.
Diriwayatkan bahwa Abu Dzar ada di dekat Nabi SAW kemudian seseorang menentangnya. Abu Dzar berkata kepada orang itu, "Wahai anak orang Yahudi." Nabi SAW bersabda, "Tidak terlihat merah dan hitam di sini. Engkau tidaklah lebih baik darinya," maksudnya (kecuali) karena ketakwaan. Lalu turunlah ayat: "Dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk."
Ibnu Abbas berkata, "Panggil-memanggil dengan panggilan yang buruk adalah jika seseorang melakukan kebaikan, kemudian dia bertobat. Dalam hal ini, Allah melarang untuk mencela (seseorang) dengan apa yang telah dia kerjakan." Hal itu ditunjukan oleh hadits yang diriwayatkan, bahwa Nabi SAW bersabda,
"Barangsiapa yang mencela seorang mukmin karena dosa yang dia telah bertobat darinya, maka adalah hak Allah untuk mengujinya dengan dosa tersebut dan menghancurkannya karena dosa tersebut di dunia dan akhirat." (HR Tirmidzi)
Ketiga:
Ada yang dikecualikan dari larangan panggil-memanggil dengan panggilan buruk, yaitu panggilan yang sudah biasa digunakan, seperti pincang dan bungkuk, dan orang yang dipanggil dengan panggilan ini tidak mempunyai kemampuan untuk lepas dari apa yang dipanggilkan kepadanya. Hal itu dibolehkan oleh ummat Islam dan telah disetujui oleh para penganut agama.
Yang patut dijadikan pedoman dalam hal ini, bahwa setiap panggilan yang tidak disukai oleh seseorang, maka jika dia dipanggil dengan panggilan yang tidak disukainya itu, maka hal itu tidak dibolehkan, karena akan menyakiti (yang dipanggilnya). Wallahu a'lam."
Menurut saya (Al Qurthubi), oleh karena itu Al Bukhari membuat sebuah bab pada pembahasan etika di dalam kitab Al Jami' Ash-Shahih, yaitu bab: Panggilan yang Boleh Digunakan untuk Memanggil Orang, Seperti Ucapan Mereka: ath-thawiil (si jangkung) dan al qashiir (si pendek), Namun Tidak Dimaksudkan untuk Menghina Seseorang. Al Bukhari berkata, "Nabi SAW bersabda, 'Apa yang Dikatakan Dzul Yadain (Pemilik Dua Tangan)'
Abu Abdillah bin Khuwaizimandad berkata, "Ayat ini mencakup larangan untuk memanggil manusia dengan panggilan yang tidak disukainya. Tapi dibolehkan memanggil mereka dengan panggilan yang disukainya. Tidakkah engkau melihat bahwa Nabi SAW menjuluki Umar denganAl Faruq, Abu Bakar denganAsh-Shiddiq, Utsman dan DzuNurain, Khuzaiman dengan Dzu Syahadatain, Abu Hurairah dengan Dzu Syimalain dan Dzul Yadain, dan yang lainnya."
Az-Zamakhsyari berkata, "Diriwayatkan dari Nabi SAW:
`Di antara kewajiban seorang mukmin atas mukmin (yang lain) adalah memanggilnya dengan nama yang paling disukainya.’ (Al Kasysyaf 4/41)
Oleh karena itu pemberian kuniyah termasuk perkara sunnah dan budi pekerti yang baik. Umar berkata, Populerkanlah kuniyah, sebab is dapat menjadi bahanpengingat. Abu Bakar dijuluki dengan Al Atiq danAsh-Shiddiq, Umar dijuluki dengan Al Faruq, Hamzah dijuluki dengan Asadullah, dan Khalid dijuluki dengan Saifullah. Jarang sekali tokoh terkenal baik pada masa jahiliyah maupun setelah Islam datang, yang tidak memiliki sebuah julukan. Julukan-julukan yang baik ini senantiasa hadir baik di kalangan bangsaArab maupun Non Arab, saat mereka berkomunikasi maupun saat mereka melakukan korespondensi, tanpa dapat diingkari."
Al Mawardi" berkata, "Adapun julukan/panggilan yang disunnahkan dan dianggap baik, hal itu tidaklah dimakruhkan. Sebab Rasulullah SAW sendiri menyifati beberapa orang sahabatnya dengan sifat-sifat yang kemudian menjadi (identitas) mereka, hanya karena mereka dijuluki (dengan sifat-sifat tersebut)."
Menurut saya (AI Qurthubi), adapun julukan yang zhahimya tidak akan disukai, jika julukan ini dimaksudkan sebagai sifat bukan untuk mencela, hal itu banyak terjadi. Abdullah bin Al Mubarak pernah ditanya tentang (julukan untuk) beberapa: "Humaid yang jangkung, Sulaiman yang rabun, Humaid yang pincang, dan Marwan yang kecil." Abdullah bin Al Mubarak berkata, "Jika engkau hendak menyifatinya dan tidak hendak menghinanya, itu tidak masalah."
Dalam Shahih Muslim terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Sirjis, dia berkata, "Aku pernah melihat Al Ashla ' (yang botak) —maksudnya Umar— mengecup Hajar Aswad." Dalam sebuah riwayat dinyatakan: Al Ushaili' (yang sedikit botak).HR Muslim.
Firman Allah Ta’ala, "Dan barangsiapa yang tidak bertobat," yakni dari perbuatan memanggil dengan panggilan yang menyakiti orang yang mendengarnya, "Maka mereka itulah orang-orang yang zhalim," terhadap diri mereka, karena mereka melakukan perbuatan yang terlarang.
Wallahua'lam
Jumat, 28 Oktober 2011
Kamis, 27 Oktober 2011
Dalil larangan Mencela Orang Tua maupun Mencela / Menghina Sembahan-sembahan orang lain (Non Muslim)
Dan Abdillah bin Amru bin Al Ash RA, dia berkata: bahwa Rasulullah SAW bersabda,
"Diantara dosa-dosa besar yaitu, seorang mencela kedua orang tuanya." Ditanyakan pada beliau, "Mungkinkah seorang itu mencela kedua orang tuanya sendiri?." Rasulullah SAW bersabda, " Ya, tatkala seseorang mencela ayah orang lain, berarti ia mencela ayahnya sendiri demikian jika ia mencela ibu orang lain, berarti ia mencela ibunya sendiri." (Muttafaq 'Alaih)
Hal-Hal Penting dan Hadits
1. Salah satu dari hak-hak kita kepada kedua orang tua dan kewajiban kita adalah untuk berbuat baik kepada keduanya, sebagaimana telah diketahui pula bahwa diantara dosa-dosa besar yaitu salah satunya adalah durhaka kepada kedua orang tua. Allah Ta'ala berfirman, "Dan janganlah engkau berkata “ahh” kepada keduanya dan jangan pula kalian menghardik keduanya." (Qs. Al Israa' 17: 23)
2. Tatkala Rasulullah SAW bersabda, "Diantara dosa-dosa besar yaitu seorang mencela kedua orang tuanya," para sahabat pun lantas merasa heran terhadap hal itu, hingga mereka bertanya kepada Rasulullah SAW: mungkinkah seseorang mencela kedua orang tuanya sendiri? Maka Nabi SAW pun menjelaskan, bahwa seorang dapat dikatakan mencela kedua orang tuanya jika ia menjadi sebab akan hal itu, yaitu tatkala ia mencela ayah seseorang, maka orang itu membalas celaannya itu dengan mencela ayahnya.
3. Dengan demikian, meskipun ia tidak secara langsung mencela ayahnya tetapi ia telah menjadi sebab akan hal tersebut. Disebutkan dalam sebuah kaidah syar'iyyah "Sesungguhnya sarana itu mempunyai hukum-hukum yang sama dengan tujuan."
4. Wajib bagi seseorang untuk menahan diri agar tidak mencela manusia dan mencela ayah-ayah mereka, karena yang demikian itu merupakan perkataan-perkataan yang wajib untuk dijauhi lagi diharamkan dan karena yang demikian itu juga merupakan sebab manusia mencelanya dan mencela ayahnya.
5. Hadits ini juga menjelaskan tentang hukum orang-orang yang menjadi sebab terjadinya sebuah peristiwa, bahwa ia akan dihukumi sama dengan orang-orang yang melakukan langsung perbuatan tersebut. Jika baik perbuatan itu, maka baik pula balasannya dan jika buruk maka buruk pulalah balasannya.
6. Ibnu Batthal berkata: Hadits ini adalah merupakan asal dari sebuah kaidah yang sangat mulia, yaitu kaidah "saddu adz-dzari’ah" (menutup jalan yang menghantarkan pada kerusakan) yang mana dari kaidah ini disimpulkan bahwa suatu perkara jika akan diakhiri dengan sesuatu yang diharamkan, maka perbuatan itu pun akan diharamkan meskipun sang pelaku itu tidak memaksudkan sesuatu yang haram.
7. Dan hal ini di tunjukkan dengan firman-Nya, "Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan." (Qs. Al An'aam 61: 108).
8. Syaikh Abdurrahman As-Sa'di menafsirkan ayat ini: Allah Ta'ala telah melarang kaum mukmin akan perkara yang pada dasarnya adalah boleh bahkan di syari'atkan, yaitu mencela sembahan-sembahan kaum musyrikin. Tetapi tatkala hal itu akan menyebabkan dicelanya Rabb semesta alam, maka Allah pun melarang hal tersebut. Karena maka ayat ini merupakan dalil akan kaidah syar'iyyah, "sesungguhnya sarana itu mempunyai hukum-hukum yang sama dengan tujuan, jika sarana itu menghantarkan pada suatu yang diharamkan, maka sarana tersebut pun diharamkan meskipun pada asalnya ia adalah sesuatu yang boleh.
9. Adapun sarana yang dicantumkan pada hadits ini, maka ia adalah merupakan sarana yang diharamkan. Dan begitu pula maksud / tujuan dari hal itu, juga merupakan sesuatu yang diharamkan.
Diambil dari Kitab Syarah Bulughul Maram.
Wallahua’alam.
Minggu, 23 Oktober 2011
Dosa Besar yang dianggap Biasa.
Thiyarah
Thiyarah adalah merasa bernasib sial atau meramal nasib buruk karena melihat burung, binatang lainnya atau apa saja. Allah Subhanahu wata’ala berfirman :
“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata : Ini adalah karena (usaha) kami”. Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya”. (Al A’raf : 131)
Dahulu diantara tradisi orang Arab adalah jika salah seorang mereka hendak melakukan suatu pekerjaan, bepergian misalnya maka mereka meramal peruntungannya dengan burung. Salah seorang dari mereka memegang burung lalu melepaskannya. Jika burung itu terbang kearah kanan maka ia optimis sehingga melangsungkan pekerjaannya, sebaliknya, jika burung itu terbang ke arah kiri maka ia merasa bernasib sial dan mengurungkan pekerjaan yang diinginkannya.
Oleh Nabi Shallallahu’alaihi wasallam hukum perbuatan tersebut diterangkan dalam sabdanya :
“Thiyarah adalah syirik”
Termasuk dalam kepercayaan yang diharamkan, yang juga menghilangkan kesempurnaan tauhid adalah merasa bernasib sial dengan bulan–bulan tertentu. Seperti tidak mau melakukan pernikahan pada bulan shafar. Juga kepercayaan bahwa hari rabu yang jatuh pada akhir setiap bulan membawa kerugian terus menerus. Termasuk juga merasa sial dengan angka 13, nama-nama tertentu atau orang cacat. Misalnya, jika ia pergi membuka tokonya lalu di jalan melihat orang buta sebelah matanya, serta merta ia merasa bernasib sial sehingga mengurungkan niat membuka toko. Juga berbagai kepercayaan yang semisalnya.
Semua hal di atas hukumnya haram dan termasuk syirik. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam berlepas diri dari mereka. Sebagaiman disebutkan dalam hadits riwayat Imran bin Hushain :
“Tidak termasuk golongan kami orang yang melakukan atau meminta tathayyur, meramal atau meminta diramalkan (dan saya kira juga bersabda) dan yang menyihir atau yang meminta disihirkan [Hadits riwayat at Thabrani dalam Al Kabir : 18 / 162, lihat shahihul jami’ no : 5435].
Orang yang terjerumus melakukan hal-hal diatas hendaknya membayar kaffarat (denda) sebagaimana yang dituntunkan Nabi Shallallahu’alaihi wasallam :
“barangsiapa yang (kepercayaan) thiyarahnya mengurungkan hajat (yang hendak dilakukannya) maka ia telah berlaku syirik, mereka bertanya : Wahai Rasulullah , apa kaffarat (tebusan) dari padanya? Beliau bersabda : Hendaklah salah seseorang dari mereka mengatakan : “ ya Allah, tiada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tiada kesialan kecuali kesialan dari Engkau dan tidak ada sembahan yang hak selain Engkau [Hadits riwayat Imam Ahmad : 2/220, As silsilah Ash shahihah no : 1065 (hadits ini lemah, sebaiknya disebutkan dengan menerangkan kelemahannya, bin Baz)]
Merasa pesimis atau bernasib sial termasuk salah satu tabiat jiwa manusia. Suatu saat, perasaan itu menekan begitu kuat dan pada saat yang lain melemah. Penawarnya yang paling ampuh adalah tawakkal kepada Allah.
Ibnu Masud Radhiallahu’anhu berkata :
“Dan tiada seorangpun di antara kita kecuali telah terjadi dalam jiwanya sesuatu dari hal ini, hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal (kepadaNya) [Hadits riwayat Abu Dawud, no : 3910, dalam silsilah Ash Shahihah hadits no : 430]
Thiyarah adalah merasa bernasib sial atau meramal nasib buruk karena melihat burung, binatang lainnya atau apa saja. Allah Subhanahu wata’ala berfirman :
“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata : Ini adalah karena (usaha) kami”. Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya”. (Al A’raf : 131)
Dahulu diantara tradisi orang Arab adalah jika salah seorang mereka hendak melakukan suatu pekerjaan, bepergian misalnya maka mereka meramal peruntungannya dengan burung. Salah seorang dari mereka memegang burung lalu melepaskannya. Jika burung itu terbang kearah kanan maka ia optimis sehingga melangsungkan pekerjaannya, sebaliknya, jika burung itu terbang ke arah kiri maka ia merasa bernasib sial dan mengurungkan pekerjaan yang diinginkannya.
Oleh Nabi Shallallahu’alaihi wasallam hukum perbuatan tersebut diterangkan dalam sabdanya :
“Thiyarah adalah syirik”
Termasuk dalam kepercayaan yang diharamkan, yang juga menghilangkan kesempurnaan tauhid adalah merasa bernasib sial dengan bulan–bulan tertentu. Seperti tidak mau melakukan pernikahan pada bulan shafar. Juga kepercayaan bahwa hari rabu yang jatuh pada akhir setiap bulan membawa kerugian terus menerus. Termasuk juga merasa sial dengan angka 13, nama-nama tertentu atau orang cacat. Misalnya, jika ia pergi membuka tokonya lalu di jalan melihat orang buta sebelah matanya, serta merta ia merasa bernasib sial sehingga mengurungkan niat membuka toko. Juga berbagai kepercayaan yang semisalnya.
Semua hal di atas hukumnya haram dan termasuk syirik. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam berlepas diri dari mereka. Sebagaiman disebutkan dalam hadits riwayat Imran bin Hushain :
“Tidak termasuk golongan kami orang yang melakukan atau meminta tathayyur, meramal atau meminta diramalkan (dan saya kira juga bersabda) dan yang menyihir atau yang meminta disihirkan [Hadits riwayat at Thabrani dalam Al Kabir : 18 / 162, lihat shahihul jami’ no : 5435].
Orang yang terjerumus melakukan hal-hal diatas hendaknya membayar kaffarat (denda) sebagaimana yang dituntunkan Nabi Shallallahu’alaihi wasallam :
“barangsiapa yang (kepercayaan) thiyarahnya mengurungkan hajat (yang hendak dilakukannya) maka ia telah berlaku syirik, mereka bertanya : Wahai Rasulullah , apa kaffarat (tebusan) dari padanya? Beliau bersabda : Hendaklah salah seseorang dari mereka mengatakan : “ ya Allah, tiada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tiada kesialan kecuali kesialan dari Engkau dan tidak ada sembahan yang hak selain Engkau [Hadits riwayat Imam Ahmad : 2/220, As silsilah Ash shahihah no : 1065 (hadits ini lemah, sebaiknya disebutkan dengan menerangkan kelemahannya, bin Baz)]
Merasa pesimis atau bernasib sial termasuk salah satu tabiat jiwa manusia. Suatu saat, perasaan itu menekan begitu kuat dan pada saat yang lain melemah. Penawarnya yang paling ampuh adalah tawakkal kepada Allah.
Ibnu Masud Radhiallahu’anhu berkata :
“Dan tiada seorangpun di antara kita kecuali telah terjadi dalam jiwanya sesuatu dari hal ini, hanya saja Allah menghilangkannya dengan tawakkal (kepadaNya) [Hadits riwayat Abu Dawud, no : 3910, dalam silsilah Ash Shahihah hadits no : 430]
Senin, 03 Oktober 2011
Benarkah Kalimat Tauhid dapat Menjamin Surga untuk Kita
Abdullah, Waki' berkata, "Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda, sedangkan Ibnu Numair berkata, "Saya mendengar
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:"Barangsiapa meninggal
dalam keadaan menyekutukan Allah dengan sesuatu, maka ia masuk neraka."
Dan aku berkata, "Orang yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah
dengan sesuatu (niscaya) masuk surga." (HR Muslim)
Benarkah Kalimat Tauhid dapat Menjamin Surga untuk kita?
Bila kita melihat statement diatas, seakan-akan orang hanya cukup dengan bekal Tauhid saja tanpa
memikirkan ibadah yang lain. Namun, bila kita telaah dan kita cermati lebih
dalam, ternyata sungguh benar, bahwa Tauhid adalah Kunci Utama yang akan
menyebabkan kita masuk surga atau tidak.
Mengapa demikian, berikut akan diberikan sedikit penjelasan, (diringkas dari
banyak penjelasan) mengapa Tauhid adalah Kunci Utama yang membuat seseorang
masuk surga atau tidak.
Ibn Abbas RA berkata, "Dikala Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam mengutus Mu'adz RA ke negeri Yaman, Nabi SAW berpesan: "Wahai Mu'adz,
engkau mendatangi kaum ahli kitab, maka jadikanlah materi dakwah pertama-tama
yang engkau sampaikan adalah agar mereka mentauhidkan Allah ta'ala. Jika mereka
telah sadar terhadap hal ini, beritahulah mereka bahwa Allah mewajibkan lima
shalat kepada mereka dalam sehari semalam. Jika mereka telah shalat,
beritahulah mereka bahwa Allah mewajibkan zakat harta mereka, yang diambil dari
yang kaya, dan diberikan kepada yang miskin, dan jika mereka telah mengikrarkan
yang demikian, ambilah harta mereka dan jagalah harta mereka yang kesemuanya
harus dijaga kehormatannya.” (HR Bukhari)
Dalam hadits diatas jelas-jelas diceritakan dari Ibnu Abbas RA
bahwa Tugas Utama Mu’adz RA pertama-tama
kali adalah menyampaikan TAUHID, baru kemudian setelah mereka menyadari betul,
baru diikuti perintah lainnya.
Mengapa begitu? Karena TAUHID adalah Perintah Allah, dan Hak
Allah dimana Allah tidak mau di sekutukan dengan selain NYA, sebagaimana
tercantum dalam hadits dibawah ini,
Mu'adz bin Jabal RA berkata,"Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Wahai Mu'adz, tahukah kamu hak Allah atas hamba?"
"Allah dan rasul-Nya yang lebih tahu, " Jawab Mu'adz RA. Nabi SAW bersabda
lagi: "Yaitu agar mereka beribadah kepada-Nya dengan tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Tahukah engkau apa hak mereka atas
Allah?" tanya Nabi selanjutnya."Allah dan Rasul-Nya yang lebih lebih
tahu." Jawab Mu'adz RA. Nabi SAW bersabda:"Yaitu agar Dia tidak menyiksa
mereka." (HR Bukhari)
Itulah sebabnya mengapa Qur’an diturunkan pertama tama
membahas tentang TAUHID (Meng esakan Allah). Selama 13 Tahun Qur’an diturunkan
di Mekkah (dikenal dengan ayat-ayat Makkiyyah) ditekankan tentang masalah TAUHID
ini (Bisa dilihat salah satunya dalam Surah Thuur, yang diturunkan pada periode
di Mekkah)
Ayat-ayat Makkiyyah ini (Surah Makkiyyah) pada umumnya
berisi tentang pemantapan atau penguatan tauhid dan akidah yang lurus,
khususnya yang berkaitan dengan tauhid uluhiyah dan iman kepada hari
kebangkitan, karena orang yang diajak bicaranya mayoritas mengingkari hal
tersebut.
Sesungguhnya hal ini (Tauhid) juga sangatlah perlu untuk
ditekankan dalam berda’wah maupun ibadah sehari-hari. Kenapa demikian? Karena sesungguhnya dijaman
yang modern dan hedonis ini dimana segala
sesuatunya diukur dengan banyaknya harta yang kita miliki, banyak para manusia
telah “bergeser akidah Tauhidnya”. Banyak manusia yang beragama Islam, namun
dalam praktek sehari-harinya masih
tercampur dengan Syirik-syirik, baik Syirik besar (dengan adanya upacara-upacara selamatan seperti yang ada di
Yogyakarta, Solo, Cirebon dan lainnya) maupun syirik kecil (mengagungkan
sesuatu, seperti mengagungkan pekerjaan maupun harta/uang, sehingga terbersit
dalam hati/yakin dalam hati, bahwa rejeki itu dari perusahaan “A” atau
perusahaan “B”, bangga bekerja diperusahaan “A” atau perusahaan “B”)
Kita lupa bahwa sesungguhnya yang memberikan rezeki itu adalah ALLAH, sedangkan perusahaan tempat
kita bekerja adalah salah satu sarana
datangnya rejeki (bukan sebab
adanya rejeki tsb). Sehingga bila
kita harus “keluar” dari perusahaan tersebut, bukan berarti Rezeki kita berhenti, karena
rezeki itu sesungguhnya dari Allah,
sebagaimana tertulis dalam ayat Al Qur’an,
Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari
langit dan dari bumi?" Katakanlah: "Allah", dan sesungguhnya
kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam
kesesatan yang nyata. (Surah Saba’:24)
Sangatlah jelas, dalam ayat diatas, dikatakan bahwa yang member
rejeki adalah ALLAH, namun pada
kenyataannya saat ini, bahwa banyak manusia “tergelincir” akidahnya dikarenakan
“ketergantungannya” kepada “pekerjaanya” sebagai anggapan tempat asalnya rejeki
itu.
Sebenarnya apakah syirik kecil itu? Asy-Syaikh As-Sa’di
rahimahullah juga menjelaskan, “Syirik kecil adalah semua bentuk perkataan
maupun perbuatan yang bisa mengantarkan kepada syirik besar, seperti ghuluw
(berlebih-lebihan dalam segala perkara)
dalam mengagungkan makhluq atau sesuatu yang tidak sampai beribadah kepadanya
(Misalnya mengutamakan pekerjaan diatas segala-galanya, hingga rela
meninggalkan sholat dan sejenisnya), bersumpah dengan nama selain Allah, riya’
yang ringan dan yang semisalnya.” (Al-Qoulus Sadid, hal. 24, lihat Al-Qoulul
Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah, 1/139)
Riya disebut syrik kecil karena hal itu tidak terlihat atau
tersembunyi dan adanya dalam hati orang itu. Maka dalam hal ini hanya orang itu
yang tahu dan Allah yang Maha Tahu tentang seseorang itu Riya atau tidak. Tapi
pada hakikatnya menduakan Allah swt.
Dalam Hadits lain juga dijelaskan,
Aku adalah orang yang paling tidak membutuhkan sekutu,
barangsiapa yang melakukan suatu amal ibadah yang ia menyekutukan selain-ku
bersama-Ku, niscaya Aku meninggalkannya dan sekutunya."(HR Muslim dari Abi Hurairah RA)
Telah menceritakan kepada kami Anas bin Malik RA bahwa Nabi
Allah SAW (dalam satu perjalanan), sedangkan Mu'adz bin Jabal RA dibonceng di atas
kendaraan beliau, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu memanggil:
"Wahai Mu'adz!" Mu'adz RA menyahut,"Aku penuhi panggilanmu wahai
Rasulullah". Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memanggil lagi:
"Wahai Mu'adz!" Aku menyahut lagi, "Aku penuhi panggilanmu wahai
Rasulullah". Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memanggil:
"Wahai Mu'adz!" Aku menyahut lagi, "Aku penuhi panggilanmu wahai
Rasulullah." Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kemudian bersabda:
"Barangsiapa yang mengucap dua Kalimah Syahadat yaitu: tidak ada tuhan
(yang berhak disembah) selain Allah dan bahwa Muhammad hamba dan utusan-Nya
niscaya dia selamat dari api Neraka." Kemudian Mu'adz
RA berkata,"Bolehkah aku memberitahu perkara ini kepada manusia agar mereka
sebarkan berita gembira ini?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Kalau (berbuat) begitu, maka mereka akan bersandar
dengannya." Lalu Mu'adz menyebarkan kabar tersebut menjelang kematiannya
khawatir menanggung salah (karena menyembunyikan hadits)." (HR Muslim)
Sesungguhnya esensi dari Hadits diatas sangatlah dalam.
Bahwa bila kita sudah meyakini tentang ajaran TAUHID ini, maka kemudian kita
pastinya akan menjalankan ke 4 rukun selanjutnya (dalam rukun Islam, dimana
rukun Islam yang pertama adalah tentang TAUHID)
Sangatlah tidak mungkin bila kita sudah meyakini bahwa ALLAH
adalah satu-satunya zat yang perlu kita sembah, namun kita tidak mau beribadah
kepadaNYA sebagai tanda Syukur atas pemberian
NYA dan janji NYA akan surga
kepada kita sesuai dengan hadits-hadits yang ada.
Oleh karenanya,
marilah kita Memurnikan TAUHID kita terlebih dahulu, dimana dijaman yang “modern” ini, keyakinan kita sangatlah mudah tergeser
dengan gemerlapnya kehidupan dunia, yang akan bisa menyebabkan kita masuk kedalam neraka (atau bisa di cuci dosa
kita dineraka dikarenakan TAUHID kita tidak sempurna, yang lamanya 1 hari di
neraka sama dengan 1000 tahun di dunia…Naudzubillah min dzalik)
Demikianlah, sebabnya mengapa TAUHID adalah KUNCI UTAMA yang
menyebabkan kita masuk surga.
Catatan :
Dari Ash Shunabihi dari Ubadah bin Ash Shamit bahwasanya dia
berkata; Saya mengunjungi Ubadah bin ash Shamit yang sedangkan berada di
(ambang) kematian, aku pun menangis, maka dia berkata; 'Tahan dulu perlahan,
kenapa kamu menangis? Demi Allah, jika aku mati syahid, niscaya aku bersaksi
untukmu, dan jika aku diberi syafaat yang dikabulkan, niscaya aku memberikan
syafaat untukmu, dan jika aku mampu, niscaya aku memberikan manfaat untukmu'.
Kemudian dia berkata; 'Demi Allah, tidaklah ada hadits yang aku dengar dari
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang ada kebaikannya bagi kalian,
melainkan aku telah menceritakannya kepada kalian kecuali satu hadits, namun
sekarang aku akan menceritakannya kepada kalian, dan sungguh aku telah
mendekati ajalku. Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: \"Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada tuhan (yang berhak
disembah) selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah niscaya Allah
mengharamkan neraka atasnya.\" Dan dalam hadits bab tersebut juga
diriwayatkan dari Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Jabir, Ibnu Umar, dan
Zaid bin Khalid. Dia berkata; saya mendengar Ibnu Abi Umar berkata, saya
mendengar Ibnu Uyainah berkata, Muhammad bin 'Ajlan adalah seorang yang tsiqah
terpercaya dalam hadits. Abu Isa berkata; 'Ini hadits hasan shahih gharib dari
jalur sanad ini. Sedangkan ash Shunabihi adalah Abdurrahman bin Usailah Abu
Abdullah, dan telah diriwayatkan dari az Zuhri bahwasanya dia ditanya tentang
sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: \"Barangsiapa yang mengucapkan;
'Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah' niscaya dia masuk surga.'
Maka dia menjelaskan; 'Hadits ini adalah pada awal Islam sebelum turunnya
ibadah Fardhu, perintah dan larangan.' Abu Isa berkata; 'segi pendalilan dari
hadits ini menurut sebagian ahli ilmu bahwa ahli tauhid akan masuk surga,
walaupun mereka diadzab di neraka disebabkan dosa mereka, namun mereka tidak
kekal di neraka. Dan telah diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud, Abu Dzar,
Imran bin Hushain, Jabir bin Abdullah, Ibnu Abbas, Abu Sa'id al Khudri, dan
Anas bin Malik dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda:
\"Akan keluar sejumlah kaum dari manusia dari golongan ahli tauhid, dan
masuk surga.\" Demikianlah diriwayatkan dari Sa'id bin Jubair, Ibrahim an
Nakha'i, dan tidak hanya satu orang dari kalangan tabi'in dalam menafsirkan
ayat ini; 'Orang-orang yang kafir itu seringkali (nanti di akhirat) menginginkan,
kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim.' (QS. 15: 2) '
Mereka memberikan penafsiran; 'Apabila ahli tauhid dikeluarkan dari neraka dan
dimasukkan ke dalam surga, maka berkeinginanlah orang-orang kafir bahwa
seandainya mereka dahulu menjadi orang-orang muslim'. (HR Muslim)
Wallahua’alam.
Langganan:
Postingan (Atom)