Seringkali kita mendengar perkataan ulama, tentang keharusan zuhud terhadap dunia, sahabat-sahabat RA, dahulu hampir semuanya zuhud terhadap dunia, Rosulullah SAW pun adalah pribadi yang zuhud terhadap dunia. Adapula kita dengar, bahwa Zuhud artinya hidup miskin, sederhana, meninggalkan harta benda. Namun tahukah kita sebenarnya hakikat atau pengertian dari zuhud itu sendiri. Apa manfaatnya, apakah ada dalil-dalilnya untuk zuhud terhadap dunia. Berikut ada sebuah artikel tentang pengertian zuhud, beserta dalil-dalilnya. Semoga bermanfaat.
Zuhud bukanlah meninggalkan dunia beserta isinya, menjauhkan diri dari kehidupan dunia, tinggal di tempat yang jauh dari keramaian (tempat sepi), beribadah saja tanpa memikirkan kehidupan dunia dimana dia mengarunginya saat ini. Bahkan sebagian orang salah paham dengan istilah zuhud. Dikira zuhud adalah hidup tanpa harta. Dikira zuhud adalah hidup miskin
Definisi zuhud: menurut bahasa, lafahz zahidha fiihi wa 'anhu, zuhdan wa zahaadatan artinya berpaling dari sesuatu, meninggalkan sesuatu itu karena kehinaannnya atau karena kekesalan kepadanya atau untuk membunuhnya. Lafazh zahuda fi asy-syai'i artinya tidak membutuhkannya, jika dikatakan zahida fi ad-dunyaa artinya meninggalkan hal-hal yang haram, dari dunia, karena takut hisabnya (perhitungan di akherat kelak ) dan meninggalkan yang haram dari dunia itu karena takut siksaan-Nya. Tazahhada artinya pun menjadi orang zuhud dan ahli ibadah. az-Zahid adalah ahli ibadah. bentuk jama'nya adalah zuhad wa zuhaad . Lafazh az-Zhaadah fi asy-syai'i kebalikan dari kesenangan kepadanya, ridho kepada yang sedikit dan yang jelas kehalalannya, meninggalkan yang lebih dari itu karena Alloh SWT semata.
Pengertian zuhud jika ditilik dari makna kata zahaadah . Makna zuhud secara terminologis, ada beberapa ulama' yang mengartikan diantaranya Ibnul Jauzi mengatakan ," azzuhud merupakan ungkapan tentang pengalihan keinginan dari sesuatu kepada sesuatu yang lain yang lebih baik darinya. Syarat sesuatu yang tidak disukai haruslah berupa sesuatu yang memang tidak disukai dengan pertimbangan tertentu. Siapa yang tidak menyukai sesuatu yang bukan termasuk hal yang disenangi dan dicari jiwanya, tidak harus disebut orang zuhud, seperti orang yang tidak makan tanah, yang tidak dapat disebut orang yang zuhud.
Jadi zuhud itu tidak sekedar meninggalkan harta dan mengeluarkannya degna suka rela, ketika badan kuat dan kecendrungan hati kepadanya, tapi zuhud itu ialah meninggalkan dunia karena didasarkan pengetahuan tentang kehinaan dunia itu jika dibandingkan nilai akhirat."
Menurut syaikhul islam Ibnu Taimiyah, " az-Zuhd adalah menghindari sesuatu yang tidak bermanfaat, entah karena memang tidak ada manfaatnya, atau memang karena keaadaannya yang tidak diutamakan, karena ia dapat menghilangkan sesuatu yang lebih bermanfaat, atau dapat mengancam manfaatnya, entah manfaat yang sudah pasti maupun manfaat yang diprediksi. zuhud di dunia merupakan kebodohan."
Zuhud dalam pandangan IMAM AL QUSYAIRI adalah "tidak merasa bangga terhadap kemewahan dunia yg telah ada ditangannya,dan tidak pula merasa sedih dengan hilangnya kemewahan dari tangannya.
Sementara pengertian zuhud menurut IBNU QUDAMAH AL MUQODDASI adalah Pengalihan keinginan atau kehendak dari sesuatu kepada sesuatu hal yang jauh lebih baik".
Sedangkan menurut Ibnu Rajab Al Hambali- Zuhud adalah berpaling darinya dengan sedikit dalam memilikinya, menghinakan diri darinya serta membebaskan diri darinya (Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 11/232)
Pengertian zuhud yang lebih bagus dan mencakup setiap pengertian zuhud yang disampaikan oleh para ulama, maka pengertian yang sangat bagus adalah yang disampaikan oleh Abu Sulaiman Ad Daroni. Beliau mengatakan, “Para ulama berselisih paham tentang makna zuhud di Irak. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah enggan bergaul dengan manusia. Ada pula yang mengatakan, “Zuhud adalah meninggalkan berbagai macam syahwat.” Ada pula yang memberikan pengertian, “Zuhud adalah meninggalkan rasa kenyang” Namun definisi-definisi ini saling mendekati. Aku sendiri (Abu Suliaman Ad Daroni) berpendapat,
أَنَّ الزُهْدَ فِي تَرْكِ مَا يُشْغِلُكَ عَنِ اللهِ
“Zuhud adalah meninggalkan berbagai hal yang dapat melalaikan dari mengingat Allah.” (Disebutkan oleh Abu Nu’aim Al Ashbahani dalam Hilyatul Awliya’, 9/258)
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Definisi zuhud dari Abu Sulaiman ini amatlah bagus. Definisi telah mencakup seluruh definisi, pembagian dan macam-macam zuhud.” (Jaami’ul Ulum, hal. 3509)
Jika bisnis yang dijalani malah lebih menyibukkan pada dunia sehingga lalai dari kewajiban shalat, maka sikap zuhud adalah meninggalkannya. Begitu pula jika permainan yang menghibur diri begitu berlebihan dan malah melalaikan dari Allah, maka sikap zuhud adalah meninggalkannya. Demikian pengertian zuhud yang amat luas cakupan maknanya.
Ada sebuah perkataan dari ‘Ali bin Abi Tholib namun dengan sanad yang dikritisi. ‘Ali pernah mendengar seseorang mencela-cela dunia, lantas beliau mengatakan, “Dunia adalah negeri yang baik bagi orang-orang yang memanfaatkannya dengan baik. Dunia pun negeri keselamatan bagi orang yang memahaminya. Dunia juga adalah negeri ghoni (yang berkecukupan) bagi orang yang menjadikan dunia sebagai bekal akhirat. ...”( Jaami’ul Ulum, hal. 350)
Oleh karena itu, Ibnu Rajab mengatakan, “Dunia itu tidak tercela secara mutlak, inilah yang dimaksudkan oleh Amirul Mukminin –‘Ali bin Abi Tholib-. Dunia bisa jadi terpuji bagi siapa saja yang menjadikan dunia sebagai bekal untuk beramal sholih.”
Ingatlah baik-baik maksud dunia itu tercela agar kita tidak salah memahami! Dunia itu jadi tercela jika dunia tersebut tidak ditujukan untuk mencari ridho Allah dan beramal sholih.
Zuhud Bukan Berarti Hidup Tanpa Harta
Sebagaimana sudah ditegaskan bahwa dunia itu tidak tercela secara mutlak. Namun sebagian orang masih salah paham dengan pengertian zuhud. Jika kita perhatikan pengertian zuhud yang disampaikan di atas, tidaklah kita temukan bahwa zuhud dimaksudkan dengan hidup miskin, enggan mencari nafkah dan hidup penuh menderita. Zuhud adalah perbuatan hati. Oleh karenanya, tidak hanya sekedar memperhatikan keadaan lahiriyah, lalu seseorang bisa dinilai sebagai orang yang zuhud. Jika ada ciri-ciri zuhud sebagaimana yang telah diutarakan di atas, itulah zuhud yang sebenarnya. Berikut satu kisah yang bisa jadi pelajaran bagi kita dalam memahami arti zuhud.
Abul ‘Abbas As Siroj, ia berkata bahwa ia mendengar Ibrahim bin Basyar, ia berkata bahwa ‘Ali bin Fudhail berkata, ia berkata bahwa ayahnya (Fudhail bin ‘Iyadh) berkata pada Ibnul Mubarok,
أنت تأمرنا بالزهد والتقلل، والبلغة، ونراك تأتي بالبضائع، كيف ذا ؟
“Engkau memerintahkan kami untuk zuhud, sederhana dalam harta, hidup yang sepadan (tidak kurang tidak lebih). Namun kami melihat engkau memiliki banyak harta. Mengapa bisa begitu?”
Ibnul Mubarok mengatakan,
يا أبا علي، إنما أفعل ذا لاصون وجهي، وأكرم عرضي، وأستعين به على طاعة ربي.
“Wahai Abu ‘Ali (yaitu Fudhail bin ‘Iyadh). Sesungguhnya hidupku seperti ini hanya untuk menjaga wajahku dari ‘aib (meminta-minta). Juga aku bekerja untuk memuliakan kehormatanku. Aku pun bekerja agar bisa membantuku untuk taat pada Rabbku”. (Siyar A'lam An Nubala, Adz Dzahabi, 8/387)
Berdasarkan penjelasan diatas, berikut kurang lebih ciri-ciri Zuhud.
Sifat-sifat Zuhud, setelah kita lihat dalam penjelasan para ulama, kurang lebih dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Sedikit sekali menggemari dunia,sederhana dalam menggunakan segala yang dimilikinya, menerima apa yg ada,serta tidak merisaukan sesuatu yg sudah tak ada,tetapi tetap dengan tidak meninggalkan kewajibannya dalam mencari rejeki.
2. Dalam pandangannya, pujian yang datang dari makhluk tidak akan membuat dia jadi takabur, begitu pula celaan dan cacian tidak akan membuat dia bersusah hati, tetapi itu malah jadi jalan untk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
3. Mendahulukan ridho Allah SWT dari pada ridho manusia, dan akan merasa tenang jiwannya ketika hanya bersama Allah SWT. Dan merasa bahagia dengan mengerjakan syari'atNYA
Untuk memperjelas dalil-dalil tentang zuhud, berikut kami paparkan dalil-dalil yang ada dari Qur’an dan Hadits.
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِىِّ قَالَ أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ دُلَّنِى عَلَى عَمَلٍ إِذَا أَنَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِىَ اللَّهُ وَأَحَبَّنِىَ النَّاسُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « ازْهَدْ فِى الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا فِى أَيْدِى النَّاسِ يُحِبُّوكَ ».
Dari Sahl bin Sa’ad As Sa’idi, ia berkata ada seseorang yang mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah padaku suatu amalan yang apabila aku melakukannya, maka Allah akan mencintaiku dan begitu pula manusia.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Zuhudlah pada dunia, Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada di sisi manusia, manusia pun akan mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah dan selainnya. An Nawawi mengatakan bahwa dikeluarkan dengan sanad yang hasan)
وَقَالَ الَّذِي آَمَنَ يَا قَوْمِ اتَّبِعُونِ أَهْدِكُمْ سَبِيلَ الرَّشَادِ (38) يَا قَوْمِ إِنَّمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَإِنَّ الْآَخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ (39)
“Orang yang beriman itu berkata: "Hai kaumku, ikutilah aku, aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang benar. Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (QS. Ghafir: 38-39)
Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman,
بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا (16) وَالْآَخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى (17)
“Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al A’laa: 16-17)
Mustaurid berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَاللَّهِ مَا الدُّنْيَا فِى الآخِرَةِ إِلاَّ مِثْلُ مَا يَجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هَذِهِ - وَأَشَارَ يَحْيَى بِالسَّبَّابَةِ - فِى الْيَمِّ فَلْيَنْظُرْ بِمَ يَرْجِعُ
“Demi Allah, tidaklah dunia dibanding akhirat melainkan seperti jari salah seorang dari kalian yang dicelup -Yahya berisyarat dengan jari telunjuk- di lautan, maka perhatikanlah apa yang dibawa.” (HR. Muslim no. 2858)
Semoga pembahasan ini dapat memahamkan arti zuhud yang sebenarnya. Raihlah kecintaan Allah lewat sifat zuhud. Semoga Allah menganugerahkan pada kita sekalian sifat yang mulia ini.
Jumat, 17 Juni 2011
Rabu, 15 Juni 2011
Keutamaan ahli ilmu dibandingkan dengan ahli ibadah
Assalamu’alaikum wr wb…
Beberapa saat yang lalu saya mendengarkan pengajian di dekat rumah saya, dan sang Ustadz membawakan tentang tema keutamaaan beribadah di Bulan Rajab. Pada saat ceramah berlangsung, ustadz itu menceritakan bahwa di tempat yang lain, dimana dia menjelaskan tema ini, hadits yang dijelaskan tersebut ditanyakan tentang keshahihannya (Yaitu tentang Keutamaan puasa 1 hari dibulan Radjab). Dan dengan tegas dia mengatakan bahwa hadits tersebut adalah shohih, berdasarkan penjelasan dari sang guru yang mengajarinya, bukan berdasarkan dari criteria Ulama Hadits (yang mana saat ini sudah banyak beredar buku-buku tentang silsilah hadits dhoif dan hadits maudhu)
Inilah fenomena yang kita dapati akhir-akhir ini, dimana banyak sekali para da’i-da’i. yang berceramah di depan masyarakat awam, tanpa dibekali ilmu yang cukup, apalagi bila berbicara tentang hadits, dimana para dai atau ustadz tersebut sering mengatakan Qo-la Rosulullah, dan sejenisnya, yang mana telah jelas Rosulullah SAW bersabda, "Janganlah kalian berdusta terhadapku (atas namaku), karena barangsiapa berdusta terhadapku dia akan masuk neraka.\" (HR Bukhari).
Memang bila saya lihat dari kegiatan beliau sehari-hari, beliau adalah seorang yang ahli ibadah. Namun, akan sangat disayangkan bila ibadah-ibadah yang beliau lakukan akan menjadi tidak bermakna, bahkan bisa menjadi perbuatan yang bid’ah, bila tanpa dilandasi dengan ilmu yang cukup/ sesuai dengan syari’at tentang ibadah yang dilakukan tersebut.
Oleh Karena itu, ada baiknya kita mempelajari ilmu sebelum melakukan ibadah ritual tertentu (mempelajari dalilnya) atau minimal adalah mengetahui ibadah-ibadah yang telah kita lakukan, dengan dalilnya.
Berikut ada sebuah artikel tentang keutamaan Ahli ilmu dibandingkan dengan Ahli Ibadah.
Sudah sangat nyata, bahwa Allah SWT sangat menjunjung tinggi ahli Ilmu, berdasarkan Firman Allah SWT sebagai berikut :
“…….niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al Mujadilah:11)
Allah mensejajarkan Malaikat dengan Manusia yang memiliki ilmu dalam firmanNya,
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Al Imran:18)
Kita diwajibkan beribadah (melakukan suatu perbuatan) harus dengan ilmu, karena telah dijelaskan dalam Al Quran sbb :
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabnya." [Al-Isra': 36]
Bila sudah jelas seperti ini, maka kenapa kita masih juga “beribadah” hanya berdasarkan “ikut-ikutan”? Padahal juga jelas dalam Al Quran mencela orang yang suka beribadah tanpa dalil (contoh dari nabi maupun dalil syar’i) sbb :
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (Al Baqarah:170)
Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul." Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya." Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?. (Al Maidah:104)
Ayat-ayat diatas memang menjelaskan tentang orang-orang kafir jaman Jahilliyah. Namun isi dan konteksnya hampir sama dengan kondisi saat ini dimana, banyak orang-orang melakukan suatu ibadah / perbuatan / amal yang tidak ada dasarnya / dalilnya berdasarkan Al Qur’an atau hadits nabi, namun hanya berdasarkan dari “perkataan gurunya”, tanpa menyelidiki, dari mana guru tersebut mengambil dalil.
Sesungguhnya telah ada informasi yang jelas dari para pendahulu kita, Imam 4 Madzhab yang terkenal, yang mana mereka selalu mengatakan
1. Abu Hanifah
Tidak di halalkan bagi seseorang untuk berpegang kepada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya
2.Malik Bin Anas
Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang salah dan benar.Maka perhatikanlah pendapatku,setiap pendapat yang sesuai dengan kitab dan Sunnah, ambilah dan yang tidak sesuai tinggalkanlah.
3.Asy Syafi'i
Kaum muslimin telah sepakat barang siapa yg telah terang baginya sunnah Rosululloh SAW,maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena untuk mengikuti perkataan seseorang.
4.Ahmad bin Hanbal
Janganlah engkau mengikuti aku dan jangan engkau menikuti Malik,Syafi'i,Auza'i dan Tsauri,tapi ambilah dari mana mereka mengambil.
Akhir-akhir ini, Alhamdulillah, Islam berkembang sangat pesat, salah satunya dinegara kita. Namun seiring dengan pesatnya perkembangan ini, tidak diikuti dengan perkembangan SDM peningkatan ilmu Syari’at. Banyak sekali para ahli ibadah, berlomba-lomba dalam mengamalkan hadits-hadits yang bukan saja dho’if, namun hingga hadits Maudhu mereka amalkan, semata-mata demi mengejar pahala tanpa diikuti dengan dasar ilmu syari’at. Sebagai salah satu contohnya, dibulan Rajab ini, banyak para da’I menganjurkan puasa tanggal – tanggal tertentu di bulan Rajab, Sholat Roghoib, dsb, dimana jelas bahwa hadits tersebut mencapai derajat Maudhu (bukan sekedar Dho’if lagi).
Rosulullah SAW sendiri sangat menyanjung orang-orang yang berilmu bila diperbandingkan dengan orang yang ahli ibadah, tanpa dasar ilmu.
Berikut adalah beberapa Hadits tentang keutamaan Ahli Ilmu dibandingkan dengan Ahli Ibadah :
Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khidasy Al Baghdadi, Seseorang dari Madinah mendatangi Abu Darda` di Damaskus, ……………..Abu Darda` berkata; "Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah SWT akan menuntunnya menuju surga dan para malaikat akan meletakkan sayap-sayapnya karena senang kepada pencari ilmu, sesungguhnya orang berilmu itu akan dimintakan ampunan oleh (makhluq) yang berada di langit dan di bumi hingga ikan di air, keutamaan orang yang berlilmu atas ahli ibadah laksana keutamaan rembulan atas seluruh bintang, sesungguhnya ulama adalah pewaris pada nabi dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanya mewariskan ilmu, maka siapa yang mengambilnya berarti ia telah mengambil bagian yang banyak.\" (HR Tirmidzi, Abu Dawud, Shahih)
Rasulullah SAW bersabda:
"Keutamaan ahli ilmu terhadap ahli ibadah itu seperti keutamaanku terhadap yang terendah di antara kamu." Lalu beliau berkata: "Allah dan para malaikat, dan penduduk langit dan bumi, hingga semut di dalam lubangnya dan ikan, mengirimkan shalawat kepada orang-orang yang mengajari manusia kebaikan." [HR. at-Tirmidzi dishahihkan al-Albani]
Kita lihat bahwa begitu besar perbedaan tingkat seorang yang ahli ilmu dibandingkan dengan ahli Ibadah. Dalam hal ini tentu saja seorang yang ahli ibadah tersebut bukanlah seorang ahli ilmu. Bila seorang ahli Ilmu, juga ahli Ibadah, tentu saja derajatnya akan semakin tinggi, karena dia beribadah berdasarkan ilmunya dan terus mencari ilmu untuk dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari.
Mengapa hal ini bisa terjadi, karena seorang ahli ilmu akan membagi-bagikan atau mengajarkan ilmunya kepada orang lain, sehingga orang lain bisa beribadah berdasarkan ilmu yang diberitakan dari si Ahli Ilmu, sehingga sesuai dengan hadits yang menjelaskan, bahwa barang siapa mengajarkan sunnah kebaikan, maka yang mengajarkan akan mendapatkan pahala dari yang mengerjakan sunnah kebaikan tersebut, tanpa dikurangi. Sementara si Ahli ibadah (yang mendapatkan ilmu dari ahli ilmu) hanya mendapatkan pahala dari ibadahnya itu sendiri (pahala ibadah pribadi).
Ilmu yang kita bicarakan dalam hal ini tentunya adalah ilmu Syar’I / Ilmu Syariat, baru kemudian ilmu dunia. Mengapa ilmu syari’at yang diutamakan, karena dengan ilmu ini, kita bisa beribadah dengan benar, mengenal Allah, mengetahui segala perintah dan larangannya dan lain sebagainya yang membuat kita bisa kembali dengan selamat setelah kita wafat. Kita tahu bahwa Jihad adalah sebaik-baiknya ibadah dan seutama-utamanya ibadah. Namun dalam perintah Allah, dijelaskan bahwa bila ada perintah Jihad, tidak semua orang boleh berjihad. Harus ada yang tetap belajar dan menyampaikan ilmu kepada orang-orang agar Ilmu tetap bisa disampaikan kepada semua khalayak.
Berikut ayatnya,
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (At Taubah:122)
Sekali lagi kita lihat, betapa banyak kemuliaan seorang penuntut ilmu dari hadits-hadits berikut ini,
Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memasukkan orang tersebut pada salah satu jalan menuju surga. Sesungguhnya malaikat mengatupkan sayapanya karena ridha kepada seluruh penuntut ilmu. Penghuni langit dan bumi, sampai ikan sekalipun yang ada di dalam air memohonkan ampun untuk seorang alim. Keutamaan seorang alim dibandingkan seorang ahli ibadah seperti keutamaan cahaya bulan purnama dibandingkan cahaya bintang-bintang. Para ulama adalah pewaris para nabi, namun mereka tidak mewariskan dinar maupun dirham. Mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambil ilmu tersebut sungguh ia telah mendapatkan bagian yang banyak dari warisan tersebut” [HR. Bukhari dalam kitab Shahihnya no. 6412]
Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk, maka ia akan mendapatkan pahala sebanyak pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala mereka. Barangsiapa yang menyeru kepada kesesatan, maka ia akan menanggung dosa sebanyak dosa orang yang mengikutinya itu tanpa mengurangi sedikitpun dari dosa mereka” [Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim no. 2674]
Nah, sekarang sudah kita lihat betapa tingginya kedudukan seorang ahli ilmu, tinggal bagaimana kita bisa menyikapinya agar bisa mendapatkan kedudukan yang mulia disisi Allah. Semoga kita semua bisa mendapatkan ridha Allah dengan mengejar Ilmu dan mempraktekannya…Amin…
Beberapa saat yang lalu saya mendengarkan pengajian di dekat rumah saya, dan sang Ustadz membawakan tentang tema keutamaaan beribadah di Bulan Rajab. Pada saat ceramah berlangsung, ustadz itu menceritakan bahwa di tempat yang lain, dimana dia menjelaskan tema ini, hadits yang dijelaskan tersebut ditanyakan tentang keshahihannya (Yaitu tentang Keutamaan puasa 1 hari dibulan Radjab). Dan dengan tegas dia mengatakan bahwa hadits tersebut adalah shohih, berdasarkan penjelasan dari sang guru yang mengajarinya, bukan berdasarkan dari criteria Ulama Hadits (yang mana saat ini sudah banyak beredar buku-buku tentang silsilah hadits dhoif dan hadits maudhu)
Inilah fenomena yang kita dapati akhir-akhir ini, dimana banyak sekali para da’i-da’i. yang berceramah di depan masyarakat awam, tanpa dibekali ilmu yang cukup, apalagi bila berbicara tentang hadits, dimana para dai atau ustadz tersebut sering mengatakan Qo-la Rosulullah, dan sejenisnya, yang mana telah jelas Rosulullah SAW bersabda, "Janganlah kalian berdusta terhadapku (atas namaku), karena barangsiapa berdusta terhadapku dia akan masuk neraka.\" (HR Bukhari).
Memang bila saya lihat dari kegiatan beliau sehari-hari, beliau adalah seorang yang ahli ibadah. Namun, akan sangat disayangkan bila ibadah-ibadah yang beliau lakukan akan menjadi tidak bermakna, bahkan bisa menjadi perbuatan yang bid’ah, bila tanpa dilandasi dengan ilmu yang cukup/ sesuai dengan syari’at tentang ibadah yang dilakukan tersebut.
Oleh Karena itu, ada baiknya kita mempelajari ilmu sebelum melakukan ibadah ritual tertentu (mempelajari dalilnya) atau minimal adalah mengetahui ibadah-ibadah yang telah kita lakukan, dengan dalilnya.
Berikut ada sebuah artikel tentang keutamaan Ahli ilmu dibandingkan dengan Ahli Ibadah.
Sudah sangat nyata, bahwa Allah SWT sangat menjunjung tinggi ahli Ilmu, berdasarkan Firman Allah SWT sebagai berikut :
“…….niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al Mujadilah:11)
Allah mensejajarkan Malaikat dengan Manusia yang memiliki ilmu dalam firmanNya,
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Al Imran:18)
Kita diwajibkan beribadah (melakukan suatu perbuatan) harus dengan ilmu, karena telah dijelaskan dalam Al Quran sbb :
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabnya." [Al-Isra': 36]
Bila sudah jelas seperti ini, maka kenapa kita masih juga “beribadah” hanya berdasarkan “ikut-ikutan”? Padahal juga jelas dalam Al Quran mencela orang yang suka beribadah tanpa dalil (contoh dari nabi maupun dalil syar’i) sbb :
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (Al Baqarah:170)
Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul." Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya." Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?. (Al Maidah:104)
Ayat-ayat diatas memang menjelaskan tentang orang-orang kafir jaman Jahilliyah. Namun isi dan konteksnya hampir sama dengan kondisi saat ini dimana, banyak orang-orang melakukan suatu ibadah / perbuatan / amal yang tidak ada dasarnya / dalilnya berdasarkan Al Qur’an atau hadits nabi, namun hanya berdasarkan dari “perkataan gurunya”, tanpa menyelidiki, dari mana guru tersebut mengambil dalil.
Sesungguhnya telah ada informasi yang jelas dari para pendahulu kita, Imam 4 Madzhab yang terkenal, yang mana mereka selalu mengatakan
1. Abu Hanifah
Tidak di halalkan bagi seseorang untuk berpegang kepada perkataan kami, selagi ia tidak mengetahui dari mana kami mengambilnya
2.Malik Bin Anas
Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang manusia yang salah dan benar.Maka perhatikanlah pendapatku,setiap pendapat yang sesuai dengan kitab dan Sunnah, ambilah dan yang tidak sesuai tinggalkanlah.
3.Asy Syafi'i
Kaum muslimin telah sepakat barang siapa yg telah terang baginya sunnah Rosululloh SAW,maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena untuk mengikuti perkataan seseorang.
4.Ahmad bin Hanbal
Janganlah engkau mengikuti aku dan jangan engkau menikuti Malik,Syafi'i,Auza'i dan Tsauri,tapi ambilah dari mana mereka mengambil.
Akhir-akhir ini, Alhamdulillah, Islam berkembang sangat pesat, salah satunya dinegara kita. Namun seiring dengan pesatnya perkembangan ini, tidak diikuti dengan perkembangan SDM peningkatan ilmu Syari’at. Banyak sekali para ahli ibadah, berlomba-lomba dalam mengamalkan hadits-hadits yang bukan saja dho’if, namun hingga hadits Maudhu mereka amalkan, semata-mata demi mengejar pahala tanpa diikuti dengan dasar ilmu syari’at. Sebagai salah satu contohnya, dibulan Rajab ini, banyak para da’I menganjurkan puasa tanggal – tanggal tertentu di bulan Rajab, Sholat Roghoib, dsb, dimana jelas bahwa hadits tersebut mencapai derajat Maudhu (bukan sekedar Dho’if lagi).
Rosulullah SAW sendiri sangat menyanjung orang-orang yang berilmu bila diperbandingkan dengan orang yang ahli ibadah, tanpa dasar ilmu.
Berikut adalah beberapa Hadits tentang keutamaan Ahli Ilmu dibandingkan dengan Ahli Ibadah :
Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khidasy Al Baghdadi, Seseorang dari Madinah mendatangi Abu Darda` di Damaskus, ……………..Abu Darda` berkata; "Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah SWT akan menuntunnya menuju surga dan para malaikat akan meletakkan sayap-sayapnya karena senang kepada pencari ilmu, sesungguhnya orang berilmu itu akan dimintakan ampunan oleh (makhluq) yang berada di langit dan di bumi hingga ikan di air, keutamaan orang yang berlilmu atas ahli ibadah laksana keutamaan rembulan atas seluruh bintang, sesungguhnya ulama adalah pewaris pada nabi dan sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanya mewariskan ilmu, maka siapa yang mengambilnya berarti ia telah mengambil bagian yang banyak.\" (HR Tirmidzi, Abu Dawud, Shahih)
Rasulullah SAW bersabda:
"Keutamaan ahli ilmu terhadap ahli ibadah itu seperti keutamaanku terhadap yang terendah di antara kamu." Lalu beliau berkata: "Allah dan para malaikat, dan penduduk langit dan bumi, hingga semut di dalam lubangnya dan ikan, mengirimkan shalawat kepada orang-orang yang mengajari manusia kebaikan." [HR. at-Tirmidzi dishahihkan al-Albani]
Kita lihat bahwa begitu besar perbedaan tingkat seorang yang ahli ilmu dibandingkan dengan ahli Ibadah. Dalam hal ini tentu saja seorang yang ahli ibadah tersebut bukanlah seorang ahli ilmu. Bila seorang ahli Ilmu, juga ahli Ibadah, tentu saja derajatnya akan semakin tinggi, karena dia beribadah berdasarkan ilmunya dan terus mencari ilmu untuk dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari.
Mengapa hal ini bisa terjadi, karena seorang ahli ilmu akan membagi-bagikan atau mengajarkan ilmunya kepada orang lain, sehingga orang lain bisa beribadah berdasarkan ilmu yang diberitakan dari si Ahli Ilmu, sehingga sesuai dengan hadits yang menjelaskan, bahwa barang siapa mengajarkan sunnah kebaikan, maka yang mengajarkan akan mendapatkan pahala dari yang mengerjakan sunnah kebaikan tersebut, tanpa dikurangi. Sementara si Ahli ibadah (yang mendapatkan ilmu dari ahli ilmu) hanya mendapatkan pahala dari ibadahnya itu sendiri (pahala ibadah pribadi).
Ilmu yang kita bicarakan dalam hal ini tentunya adalah ilmu Syar’I / Ilmu Syariat, baru kemudian ilmu dunia. Mengapa ilmu syari’at yang diutamakan, karena dengan ilmu ini, kita bisa beribadah dengan benar, mengenal Allah, mengetahui segala perintah dan larangannya dan lain sebagainya yang membuat kita bisa kembali dengan selamat setelah kita wafat. Kita tahu bahwa Jihad adalah sebaik-baiknya ibadah dan seutama-utamanya ibadah. Namun dalam perintah Allah, dijelaskan bahwa bila ada perintah Jihad, tidak semua orang boleh berjihad. Harus ada yang tetap belajar dan menyampaikan ilmu kepada orang-orang agar Ilmu tetap bisa disampaikan kepada semua khalayak.
Berikut ayatnya,
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (At Taubah:122)
Sekali lagi kita lihat, betapa banyak kemuliaan seorang penuntut ilmu dari hadits-hadits berikut ini,
Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah memasukkan orang tersebut pada salah satu jalan menuju surga. Sesungguhnya malaikat mengatupkan sayapanya karena ridha kepada seluruh penuntut ilmu. Penghuni langit dan bumi, sampai ikan sekalipun yang ada di dalam air memohonkan ampun untuk seorang alim. Keutamaan seorang alim dibandingkan seorang ahli ibadah seperti keutamaan cahaya bulan purnama dibandingkan cahaya bintang-bintang. Para ulama adalah pewaris para nabi, namun mereka tidak mewariskan dinar maupun dirham. Mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambil ilmu tersebut sungguh ia telah mendapatkan bagian yang banyak dari warisan tersebut” [HR. Bukhari dalam kitab Shahihnya no. 6412]
Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk, maka ia akan mendapatkan pahala sebanyak pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun dari pahala mereka. Barangsiapa yang menyeru kepada kesesatan, maka ia akan menanggung dosa sebanyak dosa orang yang mengikutinya itu tanpa mengurangi sedikitpun dari dosa mereka” [Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim no. 2674]
Nah, sekarang sudah kita lihat betapa tingginya kedudukan seorang ahli ilmu, tinggal bagaimana kita bisa menyikapinya agar bisa mendapatkan kedudukan yang mulia disisi Allah. Semoga kita semua bisa mendapatkan ridha Allah dengan mengejar Ilmu dan mempraktekannya…Amin…
Senin, 06 Juni 2011
Kewajiban mengingkari Thaghut
Penyembahan / peribadahan kita kepada Allah tidak ada artinya bagi seseorang selama dia tidak menolak sesembahan selain-Nya.
Berikut penjelasannya yang diambil dari Syarah Kitab Tauhid Muhammad Ibnu Wahhab.
Allah SWT berfirman:
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah SWT (saja) dan jauhilah Thaghut itu maka di antara umat-umat itu ada arang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah SWT dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (para Rasul).- (QS. 16: 36)
Allah SWT menerangkan kita dengan ayat ini bahwasanya Dia SWT telah mengirim kepada setiap umat manusia seorang utusan, yang menyampaikan pesan Tuhannya serta menyeru manusia agar beriman kepada Tuhan yang Esa, Allah SWT, dan menyeru mereka agar menolak tuhan-tuhan palsu selain Allah SWT. Umat manusia yang mendengar seruan ini terbagi menjadi dua golongan: Pertama, yaitu mereka yang dibimbing oleh Allah SWT ke jalan kebaikan maka mereka memenuhi seruan sang utusan dan menjauhi segala yang dilarang. Golongan kedua yang merugi, di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang berjalan di muka bumi ini untuk mempelajari hikmah dari hal tersebut, akan menjumpai bukti dari pembalasan Allah terhadap mereka yang menolak petunjuk-Nya serta mendustakan utusan-Nya, seperti Kaum Aad, Tsamuud dan Fir'aun.
Dalam ayat ini juga jelas bahwa kita disuruh untuk menjauhi Thaghut. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah Thaghut itu?
Menurut penjelasan Syaikh Abdul Wahhab 'Thaghut adalah segala yang dipuja dan disembah sebagai bentuk kekufuran terhadap Allah dan Rasul-Nya (Syarah Kitab Tauhid, Muhammad bin Abdul Wahhab)
Ibnul Qoyyim berkata: “Thoghut adalah segala sesuatu yang mana seorang hamba itu melampaui batas padanya, baik berupa sesuatu yang diibadahi atau diikuti atau ditaati. Maka thoghut adalah segala sesuatu yang dijadikan pemutus perkara oleh suatu kaum, selain Alloh dan rosulNya, atau mereka ibadahi selain Alloh, atau mereka ikuti tanpa berdasarkan petunjuk dari Alloh, atau mereka taati pada perkara yang mereka tidak tahu bahwa itu ketaatan kepada Alloh. Inilah thoghut didunia ini, apabila engkau renungkan keadaan manusia bersama thoghut ini engkau akan melihat mereka kebanyakan berpaling dari berhukum kepada Alloh dan RosulNya lalu berhukum kepada thoghut, dan berpaling dari mentaati Alloh dan mengikuti rosulNya lalu mentaati dan mengikuti thoghut.” (A’lamul Muwaqqi’in I/50)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan: “Thoghut itu pengertiannya umum; maka setiap apa yang diibadahi selain Alloh dan dia rela dengan peribadahan itu, baik berupa sesuatu yang disembah atau diikuti atau ditaati selain ketaatan kepada Alloh dan rosulNya adalah thoghut. Thoghut itu banyak dan kepalanya ada lima:
Pertama; Syetan yang menyeru untuk beribadah kepada selain Alloh, dalilnya adalah:
ألم أعهد إليكم يابني آدم أن لاتعبدوا الشيطان إنه لكم عدو مبين
Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagi kamu", (QS. 36:60)
Kedua; Seorang penguasa yang dzolim yang merubah hukum-hukum Alloh. Dalilnya adalah:
ألم تر إلى الذين يزعمون أنهم آمنوا بما أنزل إليك وماأنزل من قبلك يريدون أن يتحاكموا إلى الطاغوت وقد أمِروا أن يكفروا به ويريد الشيطان أن يضلهم ضلالا بعيداً
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (QS. 4:60)
Ketiga; Orang yang memutuskan perkara dengan selain apa yang diturunkan Alloh.
Dalilnya adalah:
ومن لم يحكـم بما أنـزل اللـه فأولئــك هم الكافرون
Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir. (QS. 5:44)
Keempat; Orang yang mengaku mengetahui hal-hal yang ghoib selain Alloh. Dalilnya adalah :
عالـم الغيب فلا يُظهر على غيبه أحداً، إلا من ارتضى من رسول، فإنه يسلك من بين يديه ومن خلفه رصداً
(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. (QS. 72: 26 - 27)
Dan Alloh berfirman:
وعنده مفاتح الغيب لايعلمها إلا هو، ويعلم مافي البر والبحر، وماتسقط من ورقة إلا يعلمها ولا حبة في ظلمات الأرض ولا رطب ولا يابس إلا في كتاب مبين
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melaimkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. 6:59)
Kelima; Orang yang diibadahi selain Alloh dan dia rela dengan ibadah itu. Dalilnya adalah:
ومن يقل منهم إني إله من دونه فذلك نجزيه جهنم، كذلك نجزي الظالمين
Dan barangsiapa diantara mereka mengatakan:"Sesungguhnya aku adalah ilah selain daripada Allah", maka orang itu Kami beri balasan dengan Jahanam, demikian Kami memberi balasan kepada orang-oramg zhalim. (QS. 21:29)
(Diambil dari Risalah Ma’na Ath-Thoghut, Muhammad bin Abdul Wahhab, 260.)
Imam Ibnu Katsir, menukil dari Imam Malik bahwa thoghut itu artinya adalah; segala sesuatu yang diibadahi selain Alloh swt.
Hikmah yang Terkandung dalam Ayat Ini
1. Bukti bahwa manusia tidak pernah dibiarkan dan ditinggalkan sendiri tanpa bimbingan.
2. Universalitas ajaran yang dibawa mencakup seluruh bangsa. serta bukti bahwasanya setiap ajaran yang dibawa oleh rasul yang baru membatalkan ajaran rasul terdahulu.
3. Misi dari setiap utusan Allah menyeru manusia adalah untuk menyembah Allah SWT dan menolak segala sesem¬bahan yang lain (Thaghut)
4. Bahwasanya pertunjuk/hidayah itu hanya di tangan Allah.
5. Bahwasanya bukti bahwa Allah mentakdirkan sesuatu bagi seseorang bukan berarti dia menyukai sesuatu itu. Anjuran agar melakukan perjalanan untuk merenungi apa yang terjadi dengan umat terdahulu, umat yang Allah SWT binasakan karena kekufuran mereka.
Wallahua'lam
Berikut penjelasannya yang diambil dari Syarah Kitab Tauhid Muhammad Ibnu Wahhab.
Allah SWT berfirman:
"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah SWT (saja) dan jauhilah Thaghut itu maka di antara umat-umat itu ada arang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah SWT dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (para Rasul).- (QS. 16: 36)
Allah SWT menerangkan kita dengan ayat ini bahwasanya Dia SWT telah mengirim kepada setiap umat manusia seorang utusan, yang menyampaikan pesan Tuhannya serta menyeru manusia agar beriman kepada Tuhan yang Esa, Allah SWT, dan menyeru mereka agar menolak tuhan-tuhan palsu selain Allah SWT. Umat manusia yang mendengar seruan ini terbagi menjadi dua golongan: Pertama, yaitu mereka yang dibimbing oleh Allah SWT ke jalan kebaikan maka mereka memenuhi seruan sang utusan dan menjauhi segala yang dilarang. Golongan kedua yang merugi, di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang berjalan di muka bumi ini untuk mempelajari hikmah dari hal tersebut, akan menjumpai bukti dari pembalasan Allah terhadap mereka yang menolak petunjuk-Nya serta mendustakan utusan-Nya, seperti Kaum Aad, Tsamuud dan Fir'aun.
Dalam ayat ini juga jelas bahwa kita disuruh untuk menjauhi Thaghut. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah Thaghut itu?
Menurut penjelasan Syaikh Abdul Wahhab 'Thaghut adalah segala yang dipuja dan disembah sebagai bentuk kekufuran terhadap Allah dan Rasul-Nya (Syarah Kitab Tauhid, Muhammad bin Abdul Wahhab)
Ibnul Qoyyim berkata: “Thoghut adalah segala sesuatu yang mana seorang hamba itu melampaui batas padanya, baik berupa sesuatu yang diibadahi atau diikuti atau ditaati. Maka thoghut adalah segala sesuatu yang dijadikan pemutus perkara oleh suatu kaum, selain Alloh dan rosulNya, atau mereka ibadahi selain Alloh, atau mereka ikuti tanpa berdasarkan petunjuk dari Alloh, atau mereka taati pada perkara yang mereka tidak tahu bahwa itu ketaatan kepada Alloh. Inilah thoghut didunia ini, apabila engkau renungkan keadaan manusia bersama thoghut ini engkau akan melihat mereka kebanyakan berpaling dari berhukum kepada Alloh dan RosulNya lalu berhukum kepada thoghut, dan berpaling dari mentaati Alloh dan mengikuti rosulNya lalu mentaati dan mengikuti thoghut.” (A’lamul Muwaqqi’in I/50)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan: “Thoghut itu pengertiannya umum; maka setiap apa yang diibadahi selain Alloh dan dia rela dengan peribadahan itu, baik berupa sesuatu yang disembah atau diikuti atau ditaati selain ketaatan kepada Alloh dan rosulNya adalah thoghut. Thoghut itu banyak dan kepalanya ada lima:
Pertama; Syetan yang menyeru untuk beribadah kepada selain Alloh, dalilnya adalah:
ألم أعهد إليكم يابني آدم أن لاتعبدوا الشيطان إنه لكم عدو مبين
Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagi kamu", (QS. 36:60)
Kedua; Seorang penguasa yang dzolim yang merubah hukum-hukum Alloh. Dalilnya adalah:
ألم تر إلى الذين يزعمون أنهم آمنوا بما أنزل إليك وماأنزل من قبلك يريدون أن يتحاكموا إلى الطاغوت وقد أمِروا أن يكفروا به ويريد الشيطان أن يضلهم ضلالا بعيداً
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (QS. 4:60)
Ketiga; Orang yang memutuskan perkara dengan selain apa yang diturunkan Alloh.
Dalilnya adalah:
ومن لم يحكـم بما أنـزل اللـه فأولئــك هم الكافرون
Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir. (QS. 5:44)
Keempat; Orang yang mengaku mengetahui hal-hal yang ghoib selain Alloh. Dalilnya adalah :
عالـم الغيب فلا يُظهر على غيبه أحداً، إلا من ارتضى من رسول، فإنه يسلك من بين يديه ومن خلفه رصداً
(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. (QS. 72: 26 - 27)
Dan Alloh berfirman:
وعنده مفاتح الغيب لايعلمها إلا هو، ويعلم مافي البر والبحر، وماتسقط من ورقة إلا يعلمها ولا حبة في ظلمات الأرض ولا رطب ولا يابس إلا في كتاب مبين
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melaimkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. 6:59)
Kelima; Orang yang diibadahi selain Alloh dan dia rela dengan ibadah itu. Dalilnya adalah:
ومن يقل منهم إني إله من دونه فذلك نجزيه جهنم، كذلك نجزي الظالمين
Dan barangsiapa diantara mereka mengatakan:"Sesungguhnya aku adalah ilah selain daripada Allah", maka orang itu Kami beri balasan dengan Jahanam, demikian Kami memberi balasan kepada orang-oramg zhalim. (QS. 21:29)
(Diambil dari Risalah Ma’na Ath-Thoghut, Muhammad bin Abdul Wahhab, 260.)
Imam Ibnu Katsir, menukil dari Imam Malik bahwa thoghut itu artinya adalah; segala sesuatu yang diibadahi selain Alloh swt.
Hikmah yang Terkandung dalam Ayat Ini
1. Bukti bahwa manusia tidak pernah dibiarkan dan ditinggalkan sendiri tanpa bimbingan.
2. Universalitas ajaran yang dibawa mencakup seluruh bangsa. serta bukti bahwasanya setiap ajaran yang dibawa oleh rasul yang baru membatalkan ajaran rasul terdahulu.
3. Misi dari setiap utusan Allah menyeru manusia adalah untuk menyembah Allah SWT dan menolak segala sesem¬bahan yang lain (Thaghut)
4. Bahwasanya pertunjuk/hidayah itu hanya di tangan Allah.
5. Bahwasanya bukti bahwa Allah mentakdirkan sesuatu bagi seseorang bukan berarti dia menyukai sesuatu itu. Anjuran agar melakukan perjalanan untuk merenungi apa yang terjadi dengan umat terdahulu, umat yang Allah SWT binasakan karena kekufuran mereka.
Wallahua'lam
Rabu, 01 Juni 2011
Fiqh Wanita Menjadi Kepala Negara bag 3
3. Sanggahan bahwa wanita boleh menjadi kepala Negara
Pertama, sanggahan atas hujjah mereka yang menggunakan dalil-dalil syari'at.
Sesungguhnya hujjah yang dikemukakan oleh pihak yang membolehkan wanita menjadi kepala negara itu tidak ada kaitannya dengan bidang hukum dan pemerintahan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Akan tetapi, dalil-dalil yang mereka kemukakan itu hanya menggambarkan kepada kita tentang asal penciptaan manusia, yaitu berasal dari seorang pria dan seorang wanita, yang memiliki kedudukan yang setara. Masing-masing dari keduanya dibebani dengan berbagai kewajiban, apabila mereka sudah mencapai usia baligh. Salah satu kewajiban yang disebutkan dalam dalil-dalil tersebut adalah amar ma'ruf nahi munkar (memerintahkan kepada yang makruf dan melarang dari yang munkar).
Adapun memerintahkan kepada yang makruf dan melarang dari yang munkar, perbuatan ini merupakan perkara yang dituntut dari setiap Muslim, sesuai dengan kadar kesanggupan tiap-tiap individu, sebagaimana yang disabdakan Nabi SAW
"Barang siapa di antara kalian yang melihat kemunkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Apabila ia tidak mampu, maka hendaklah ia mengubahnya dengan perkataannya. Apabila ia tidak mampu, maka hendaklah ia mengubahnya dengan hatinya, dan itulah tingkat keimanan yang paling lemah." (HR Muslim I/69, no 49)
Alangkah indah kritik yang dikemukakan Dr. Fuad Ahmad ketika dia berkata: "Kita bisa membahas argumentasi yang menggunakan ayat ini dengan mengatakan bahwa, meskipun ayat ini memang menetapkan adanya persamaan secara umum antara pria dan wanita, tetapi ayat ini tidak ada kaitannya dengan hak-hak politik. Ayat ini juga tidak secara gamblang menjelaskan perihal pemerintahan. Justru, ayat ini hanya menerangkan masalah beban kewajiban yang berkaitan dengan kesempurnaan akal. Dengan demikian, dapat ditetapkan bahwa hakikat umat manusia adalah makhluk yang asalnya sama, namun hal ini tidak berarti adanya kesamaan mutlak antara laki-laki dan wanita dalam hal boleh menjabat kepemimpinan publik." (Fu-ad Ahmad, Mabda-ul Musaawaah fil Islaam (hlm. 230)
Kedua, sanggahan atas dalil kedua, yaitu peranan `Aisyah RA
Orang-orang yang membolehkan wanita menjadi pemimpin berdalil dengan peranan Sayyidah `Aisyah RA pada Perang Jamal. Maka, di sini, kami mengatakan seperti yang dikatakan oleh 'Ammar bin Yasir : "Sungguh, aku benar-enar tahu bahwa dia (Aisyah RA) adalah isterinya—yakni isteri Rasulullah SAW dunia dan akhirat. Namun, Allah hendak menguji kalian, apakah kalian mengikuti beliau SAW atau mengikuti dia RA.” (Al-Bukhari, ash-Shahih (III/1357, no. 1375)
Ibunda kita, `Aisyah RA , sebetulnya tidak membenarkan apa yang dilakukannya (memimpin pasukan dalam perang Jamal), ketika muncul tanda-tanda yang menjelaskan bahwa kebenaran berpihak kepada 'Ali RA . Di antara tanda-tanda itu adalah:
Dari Qais bin Abu Hazim," dia bercerita: "Tatkala `Aisyah RA tiba di daerah Bani `Amir, tiba-tiba sekawanan anjing menyalak ke arahnya. `Aisyah RA bertanya: `Oase milik siapakah ini?' Orang-orang menjawab: `Hau-ab’. ‘Aisyah RA berkata : `Menurutku, aku harus kembali pulang.' Az-Zubair RA berkata: `Tidak, (engkau tidak boleh pulang) setelah (tiba di sini). Majulah dan orang-orang akan melihatmu, sehingga Allah SWT mendamaikan pertikaian di antara mereka." ‘Aisyah RA berkata: `Menurutku, aku harus kembali pulang, karena aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: `Bagaimanakah mungkin salah seorang di antara kalian (berada di pihak yang benar), jika ia digonggongi oleh anjing-anjing Hau-ab.'' (Ahmad, al-Musnad (VI/52, no. 24299); Ibnu Hibban, ash-Shahiih (XV/126, no. 6732); al-Hakim, al-Mustadrak (III/129, no. 4613); Abu Ya'la, al-Musnad (VIII/282, no. 4868); `Abdurrazzaq, al-Mushannaf (XI/365, no. 20753); Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf (VII/536), dan hadits ini shahih)
Dari Abu Rafi', dia bercerita: "Rasulullah SAW berkata kepada 'Ali bin Abi Thalib RA:
`Sesungguhnya akan terjadi suatu perkara antara dirimu dan `Aisyah.' `Ali RA bertanya: `Apakah aku berada di pihak yang celaka, wahai Rasulullah?' Beliau SAW menjawab: `Tidak. Jika hal itu sudah terjadi, maka kembalikanlah ia (Aisyah RA) ke tempat yang aman. (HR Ath-Thabrani, al-Mu’jamul Kabiir (I/332, no. 995); Nuruddin bin Abu Bakar al-Haitsami, Majma'uz Zawaa-id wa Manba'ul Fawaa-id (VII/474), terbitan Daar al-Fikr, Beirut, tahun 1412 H, dan ia berkata: "Para perawinya tsiqah.)
Subbanallah, hadits ini merupakan salah satu mukjizat Nabi SAW. Dalam hadits ini Nabi SAW, mengabarkan kejadian yang akan terjadi di masa yang akan datang, dan peristiwa yang terjadi itu tepat seperti yang beliau kabarkan: ibunda kita, `Aisyah RA, menunggang unta adbab (unta yang bulu wajahnya lebat-Pent), lalu anjing-anjing Hau-ab menyalakinya, dan saat itu ia tengah bertikai dengan 'Ali RA.
Berdasarkan penjelasan ini, kita dapat melihat bahwa pada asalnya perbuatan `Aisyah RA tidak sesuai dengan syari'at. Bahkan, para Sahabat RA menyelisihinya.
Dari 'Ammar bin Yasir RA, bahwasanya dia berkata kepada `Aisyah RA sekembalinya dari Perang Jamal: "Alangkah jauhnya perjalanan ini dari perintah yang telah disampaikan kepada kalian (kaum wanita)." Dengan perkataannya ini, Ammar RA mengisyaratkan firman Allah SWT :
"Dan, bendaklah kamu tetap di rumabmu ...." (QS. Al-Ahzaab: 33) `Aisyah RA bertanya: "Abul Yaqzhan?" 'Ammar RA menjawab: "Benar." `Aisyah RA berkata: "Demi Allah, sesungguhnya sepengetahuanku, kamu sering mengatakan hal yang benar." `Ammar RA menjawab: "Segala puji bagi Allah yang telah memberi keputusan untukku melalui ucapanmu." (Ibnu Hajar, Fat-hul Baari (XIII/58).
Sekarang, Anda tahu bahwa `Aisyah RA telah menyadari perbuatannya dan mengakui kesalahannya. Jika demikian, bagaimana mungkin seseorang berdalil—tentang bolehnya wanita menjadi pemimpin—dengan perbuatan Aisyah RA yang salah itu, yang kemudian disadari oleh `Aisyah RA, hingga ia pun kembali kepada kebenaran dan mengakui bahwasanya dulu berada di pihak yang salah?
Salah satu kritik paling menohok yang dikemukakan kepada orang-orang yang berdalil dengan perbuatan `Aisyah RA untuk membolehkan wanita menjadi kepala negara adalah bantahan Lajnah Ulama Al Azhar (Lihat Dandel, al-Mar-ah wal Wilaayaat al- Aammah fis Siyaasah asy-Syar'iyyah (hlm 235-236) (Mesir) yang mengatakan:
"Meriwayatkan peristiwa tersebut dengan cara seperti ini bukanlah cara yang adil dalam menyikapi kenyataan dan sejarah. Sungguh, tidaklah Sayyidah `Aisyah RA keluar untuk berperang ataupun memimpin pasukan perang, melainkan ia keluar sebagai wanita yang menyerukan tuntutan persidangan atas pembunuhan `Utsman RA. Perbuatannya ini didorong oleh perasaan tidak senang, sebagaimana yang dirasakan juga oleh kalangan keluarga dan rekan-rekan `Utsman RA. Maksudnya, mereka tidak setuju terhadap (keputusan 'Ali RA yang) menunda, menangguhkan dan tidak segera mencari pembunuh `Utsman RA dan meng-qishash mereka, sebelum melakukan apapun.
Peristiwa ini tidak ada kaitannya dengan kepemimpinan publik sama sekali, sebagaimana telah kami jelaskan. Meskipun demikian, perbuatan Sayyidah `Aisyah RA ini tidak mengandung dalil syar'i yang dapat dijadikan sandaran. Apabila perbuatan ini merupakan ijtihad dari `Aisyah RA, maka ijtihadnya dianggap keliru. Keluarnya `Aisyah RA telah diingkari oleh sebagian Sahabat RA. `Aisyah RA sendiri telah mengakui kesalahannya. Ia menyesali perbuatannya. Diriwayatkan bahwa `Aisyah RA mengirim utusan kepada Abu Bakrah RA untuk mengajaknya keluar pada Perang Jamal bersamanya, lalu Abu Bakrah RA berkata: `Sesungguhnya engkau adalah seorang ibu, dan kedudukanmu sungguh mulia. Tetapi, aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:
Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang urusan mereka dikuasai oleh seorang wanita." (Al-Hakim, al-Mustadrak (IV/570, no. 8599)
Hal ini dikuatkan dengan perkataan Ibnul 'Arabi: "Ulama kami berkata: `Jika ia (Aisyah RA) tidak melibatkan diri pada tragedi ini, niscaya kebenaran berpihak kepadanya." (Ibnul 'Arabi, Ahkaamul Qur-aan (111/1536)
Ibnu Taimiyyah berkata: "Aisyah RA mengira bahwa keluarnya ia (ke Perang Jamal) mengandung kebaikan bagi kaum Muslimin. Namun kemudian, ia menyadari bahwa tidak keluar rumah adalah lebih utama baginya. Dahulu, setiap kali mengingat peristiwa keluarnya ia ke medan perang, `Aisyah RA pun menangis hingga kerudungnya basah." (Al-Hafizh Abu `Abdullah Muhammad bin `Utsman adz-Dzahabi, al-Muntaqaa min Minhaajil I'tidaal fii Nafdhi Kalaam Ahlir Rafdh wal I'tizaal (hlm. 222-223), ringkasan dari kitab Minhaajus Sunnah karya Ibnu Taimiyyah)
Ketiga, sanggahan atas dalil ketiga (catatan sejarah yang menyebutkan bahwa wanita menduduki posisi pemimpin negeri) yang mereka gunakan.
1) Tidak ada dalil yang bisa diambil dari kisah Ratu Saba' yang disebutkan di dalam al-Qur-an untuk membolehkan seorang wanita memimpin negara, karena beberapa alasan berikut:
Pertama, al-Qur-an hanya menyebutkan kisah nyata yang terjadi pada kaum tersebut, sementara disebutkannya kisah nyata itu tidak mengandung suatu dalil pensyari'atan. Di samping itu, penyebutan ini sendiri datang dengan pengingkaran. Dalil pengingkaran ini disebutkan melalui lisan burung hud-hud:
"Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba' suatu berita penting yang diyakini. Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar." (QS. An-Naml: 22-23)
Kedua, seandainya kita mengatakan bahwa ayat ini mengandung dalil pensyari'atan, maka syari'at ini berlaku untuk umat sebelum kita. Syari'at ini tidaklah berlaku untuk kita, kecuali jika ada dalil yang menunjukkannya untuk kita. Faktanya, dalil tersebut tidak ada. (Dr. 'Abdul Hamid Isma'il al-Anshari, asy-Syuuraa wa Atsaruha fi Diimuqraathiyyah (hlm. 311).
Ketiga, ayat ini bukanlah dalil tentang pemberian hak-hak politik kepada kaum wanita, karena ayat ini termasuk Makkiyah yang berkaitan dengan masalah tauhid, bukan berkaitan dengan pensyari'atan. Ayat ini juga merupakan penguatan tambahan untuk meneguhkan Nabi SAW dalam menghadapi gangguan dari kaumnya, cacian mereka, sikap keras kepala mereka dalam kekafiran, dan berpalingnya mereka dari beliau. Ayat ini memberitahukan kepada Rasulullah SAW, bahwa keadaan umat-umat terdahulu dengan Nabi-Nabi mereka adalah mirip dengan keadaan yang beliau alami. Karena itu, dalil yang bisa diambil darinya adalah penjelasan bahwa Ratu Saba' telah beriman kepada Allah SWT dan keesaan-Nya, sama sekali tidak berkaitan dengan hak-hak politik. (Dandel Jabar, al-Mar-ah wal Wilaayaat al- Aammah fis Siyaasah asy-Syar'iyyah (hlm. 228).
2) Sesungguhnya berdalil dengan pendapat kelompok asy-Syubaibiyyah—yang termasuk kelompok sesat—tidak cukup kuat untuk dipertentangkan dengan ijma' umat Islam. Ini juga jika mereka memiliki sesuatu yang terkesan sebagai dalil padahal bukan. Bagaimana jika mereka sama sekali tidak memiliki hal itu? Sebab, yang mereka gunakan sebagai dalil tak lain hanyalah perbuatan Syubaib yang membiarkan ibunya naik mimbar dan berkhutbah. Tidak samar lagi bagi orang yang memiliki pikiran waras bahwa penetapan hal ini sebagai dalil merupakan suatu hal yang konyol. Sebab, perbuatan `Aisyah RA saja diingkari oleh mereka, apalagi hanya perbuatan ibu Syubaib
Alangkah indah apa yang dikatakan al-Baghdadi saat mengemukakan sanggahan terhadap kelompok yang sesat ini. Al-Baghdadi berkata (kepada mereka): "Kalian mengingkari keberangkatan `Aisyah RA Ummul Mukminin ke Bashrah bersama pasukannya, yang semuanya merupakan mahramnya, sebab di dalam al-Qur-an dinyatakan bahwa `Aisyah RA adalah ibu bagi kaum laki-laki yang beriman. Kalian juga mengira bahwa `Aisyah RA telah kafir karena perbuatannya itu, kemudian kalian membacakan firman Allah SWT : "Dan, hendaklah kamu tetap di rumahmu," (QS. Al-Ahzaab: 33) kepadanya. Mengapa kalian tidak membacakan ayat ini kepada Ghazalah, ibunya Syubaib? Tidakkah kalian menghukuminya kafir? Juga menghukumi kafir wanita-wanita Khawarij yang ikut keluar bersamanya untuk memerangi pasukan al-Hajjaj?
Apabila kalian memperbolehkan perbuatan ini bagi wanita-wanita Khawarij hanya karena mereka didampingi oleh suami-suami mereka, putera-putera mereka, atau saudara¬saudara mereka, maka sesungguhnya `Aisyah RA keluar bersama saudara kandungnya, yaitu `Abdurrahman RA, dan putera saudarinya, yaitu `Abdullah bin az-Zubair RA. Kedua orang ini adalah mahram bagi `Aisyah SAW. Di lain pihak, seluruh kaum Muslimin seperti anak bagi `Aisyah, sehingga setiap orang Mukmin adalah mahram baginya. Maka, mengapa kalian tidak membolehkan `Aisyah melakukan itu?
Seandainya di antara kalian masih ada yang membolehkan kepemimpinan Ghazalah, maka kepemimpinan Ghazalah itu memang pantas baginya dan bagi agamanya. Segala puji bagi Allah yang telah menjaga kita dari perkara bid'ah." (Al-Baghdadi, al-Farq bainal Firaq (1/92).
3) Adapun berdalil dengan cacatan sejarah yang menyatakan wanita memegang tampuk pimpinan hukum, sesungguhnya di dalamnya tidak ada dalil yang membolehkan wanita memegang kepemimpinan negara. Akan tetapi, hal itu hanya sebatas penyebutan peristiwa yang pernah terjadi. Dan, tidak semua peristiwa yang terekam dalam sejarah kehidupan manusia dapat dijadikan dalil syar'i. Yang menjadi patokan di sini hanya dalil syari'at dari al-Qur-an, as-Sunnah, ijma', qiyas, serta dalil-dalil syar'i lain yang berkaitan dengannya. Dalil-dalil syar'i ini tidak samar lagi atas setiap Muslim, terlebih lagi bagi para ulama.
Apabila kita lebih perhatikan persoalan ini, niscaya akan kita dapati bahwa peristiwa ini (wanita memegang tampuk kepemimpinan hukum) merupakan peristiwa yang jarang terjadi, bila dibandingkan laki-laki yang memegang tampuk kepemimpinan di bidang hukum. Lalu, bagaimana mungkin mereka berdalil dengan sesuatu yang jarang terjadi, dan meninggalkan sesuatu yang umum dan biasa terjadi? Yang lebih utama di sini adalah berdalil dengan perbuatan para khalifah Rasulullah dan fakta yang terjadi pada kurun tiga generasi pertama Islam, agar sesuai antara sunatullah syar'iyyah (aturan syari'at) dan sunnatullah kauniyyah (aturan alam raya). Karena itu, pahamilah.
Keempat, sanggahan atas dalil keempat (logika) yang mereka gunakan.
Tidaklah mungkin menjauhkan suatu masalah yang tentangnya muncul berbagai nash syari'at dari ruang lingkup syari'at Islam, kemudian dikatakan bahwa masalah itu bukanlah urusan agama. Bagaimana mungkin perkataan ini dapat terucap, sementara Nabi SAW telah memasukkan masalah itu ke dalam urusan syari'at, yaitu ketika beliau SAW bersabda:
"Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita."
Di tambah lagi, para ahli fiqih kaum Muslimin di sepanjang waktu telah membahas masalah itu secara mendalam. Tidak hanya itu, bahkan Nabi SAW juga tidak akan meninggalkan suatu perkara melainkan beliau SAW mengajarkannya kepada kita. Hal ini dikuatkan dengan firman Allah SWT :
"... tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al Kitab ….” (Al-An'aam: 38)
Maka dari itu, bagaimana mungkin dapat dikatakan bahwa masalah kepemimpinan wanita bukan urusan agama?
Alangkah indah pernyataan yang dikemukakan Dr. `Abdul Hamid al-Anshari ketika dia berkata: "Meskipun dapat disetujui bahwa masalah (kepemimpinan wanita) ini merupakan masalah sosial, politik dan akhlak; namun jika kita berusaha mencari solusi untuk mengatasi permasalahan ini, maka hal itu tidak akan terlepas dari kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip Islam yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan, pemerintahan, dan perekonomian.
Adalah tidak cukup bila kita mengatakan bahwa solusi yang dituntut dalam mengatasi permasalahan ini harus sesuai dengan kondisi sosial, politik dan ekonomi suatu tempat, serta kecenderungan opini publik yang ada. Kita tidak mungkin mengatakan pernyataan tersebut begitu saja, tanpa mengaitkannya dengan ketentuan-ketentuan agama dalam bidang ini.
Karena itu, kami tegaskan bahwa masalah kepemimpinan wanita ini merupakan masalah sosial dan politik, sehingga kita harus mencari solusi untuknya sesuai prinsip-prinsip dasar Islam dalam bidang sosial, moral, politik dan ekonomi.
Namun, jangan lupa bahwa menurut Islam, kewajiban dasar seorang isteri adalah mengurusi rumah. Menurut Islam, hubungan antara suami dan isteri adalah hubungan saling menolong dan melengkapi satu sama lain, bukan saling persaingan sebagaimana yang terjadi pada kebudayaan Barat." (" Al-Anshari, asy-Syuuraa wa Atsaruha fii Diirnuqraathiyyah (hlm. 320).
Menurut kami, bahkan pekerjaan isteri ini—maksudnya mengurusi rumah—tidak boleh digantikan dengan orang lain. Sementara bolehnya isteri bekerja di bidang yang lain sangat terbatas, tergantung pada pembolehan syari'at untuknya dan harus sesuai dengan tabiat dasar penciptaannya. Lalu, sampai kapankah keangkuhan seperti ini terus dipertahankan?
Kenyataan ini sudah sangat jelas bagi setiap orang. Semua orang pasti mengakui bahwa kemampuan wanita itu lebih lemah daripada laki-laki. Semuanya juga mengakui bahwa wanita tidak akan mampu mengerjakan semua hal.
Pendapat yang rajih
Setelah memaparkan dalil-dalil dari kedua belah pihak, menurut kami, pendapat yang paling kuat adalah pendapat jumhur ulama yang memutuskan bahwa wanita tidak di perbolehkan menjabat sebagai kepala negara. Hal ini berdasarkan dalil-dalilnya yang kuat, di samping memang tidak ada dalil lain yang bertentangan dengannya, serta kritik yang terarah terhadap dalil-dalil pihak yang membolehkan, sekaligus membatalkan argumentasi mereka dengannya.
Selesai.
Wallahua’lam.
Pertama, sanggahan atas hujjah mereka yang menggunakan dalil-dalil syari'at.
Sesungguhnya hujjah yang dikemukakan oleh pihak yang membolehkan wanita menjadi kepala negara itu tidak ada kaitannya dengan bidang hukum dan pemerintahan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Akan tetapi, dalil-dalil yang mereka kemukakan itu hanya menggambarkan kepada kita tentang asal penciptaan manusia, yaitu berasal dari seorang pria dan seorang wanita, yang memiliki kedudukan yang setara. Masing-masing dari keduanya dibebani dengan berbagai kewajiban, apabila mereka sudah mencapai usia baligh. Salah satu kewajiban yang disebutkan dalam dalil-dalil tersebut adalah amar ma'ruf nahi munkar (memerintahkan kepada yang makruf dan melarang dari yang munkar).
Adapun memerintahkan kepada yang makruf dan melarang dari yang munkar, perbuatan ini merupakan perkara yang dituntut dari setiap Muslim, sesuai dengan kadar kesanggupan tiap-tiap individu, sebagaimana yang disabdakan Nabi SAW
"Barang siapa di antara kalian yang melihat kemunkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Apabila ia tidak mampu, maka hendaklah ia mengubahnya dengan perkataannya. Apabila ia tidak mampu, maka hendaklah ia mengubahnya dengan hatinya, dan itulah tingkat keimanan yang paling lemah." (HR Muslim I/69, no 49)
Alangkah indah kritik yang dikemukakan Dr. Fuad Ahmad ketika dia berkata: "Kita bisa membahas argumentasi yang menggunakan ayat ini dengan mengatakan bahwa, meskipun ayat ini memang menetapkan adanya persamaan secara umum antara pria dan wanita, tetapi ayat ini tidak ada kaitannya dengan hak-hak politik. Ayat ini juga tidak secara gamblang menjelaskan perihal pemerintahan. Justru, ayat ini hanya menerangkan masalah beban kewajiban yang berkaitan dengan kesempurnaan akal. Dengan demikian, dapat ditetapkan bahwa hakikat umat manusia adalah makhluk yang asalnya sama, namun hal ini tidak berarti adanya kesamaan mutlak antara laki-laki dan wanita dalam hal boleh menjabat kepemimpinan publik." (Fu-ad Ahmad, Mabda-ul Musaawaah fil Islaam (hlm. 230)
Kedua, sanggahan atas dalil kedua, yaitu peranan `Aisyah RA
Orang-orang yang membolehkan wanita menjadi pemimpin berdalil dengan peranan Sayyidah `Aisyah RA pada Perang Jamal. Maka, di sini, kami mengatakan seperti yang dikatakan oleh 'Ammar bin Yasir : "Sungguh, aku benar-enar tahu bahwa dia (Aisyah RA) adalah isterinya—yakni isteri Rasulullah SAW dunia dan akhirat. Namun, Allah hendak menguji kalian, apakah kalian mengikuti beliau SAW atau mengikuti dia RA.” (Al-Bukhari, ash-Shahih (III/1357, no. 1375)
Ibunda kita, `Aisyah RA , sebetulnya tidak membenarkan apa yang dilakukannya (memimpin pasukan dalam perang Jamal), ketika muncul tanda-tanda yang menjelaskan bahwa kebenaran berpihak kepada 'Ali RA . Di antara tanda-tanda itu adalah:
Dari Qais bin Abu Hazim," dia bercerita: "Tatkala `Aisyah RA tiba di daerah Bani `Amir, tiba-tiba sekawanan anjing menyalak ke arahnya. `Aisyah RA bertanya: `Oase milik siapakah ini?' Orang-orang menjawab: `Hau-ab’. ‘Aisyah RA berkata : `Menurutku, aku harus kembali pulang.' Az-Zubair RA berkata: `Tidak, (engkau tidak boleh pulang) setelah (tiba di sini). Majulah dan orang-orang akan melihatmu, sehingga Allah SWT mendamaikan pertikaian di antara mereka." ‘Aisyah RA berkata: `Menurutku, aku harus kembali pulang, karena aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: `Bagaimanakah mungkin salah seorang di antara kalian (berada di pihak yang benar), jika ia digonggongi oleh anjing-anjing Hau-ab.'' (Ahmad, al-Musnad (VI/52, no. 24299); Ibnu Hibban, ash-Shahiih (XV/126, no. 6732); al-Hakim, al-Mustadrak (III/129, no. 4613); Abu Ya'la, al-Musnad (VIII/282, no. 4868); `Abdurrazzaq, al-Mushannaf (XI/365, no. 20753); Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf (VII/536), dan hadits ini shahih)
Dari Abu Rafi', dia bercerita: "Rasulullah SAW berkata kepada 'Ali bin Abi Thalib RA:
`Sesungguhnya akan terjadi suatu perkara antara dirimu dan `Aisyah.' `Ali RA bertanya: `Apakah aku berada di pihak yang celaka, wahai Rasulullah?' Beliau SAW menjawab: `Tidak. Jika hal itu sudah terjadi, maka kembalikanlah ia (Aisyah RA) ke tempat yang aman. (HR Ath-Thabrani, al-Mu’jamul Kabiir (I/332, no. 995); Nuruddin bin Abu Bakar al-Haitsami, Majma'uz Zawaa-id wa Manba'ul Fawaa-id (VII/474), terbitan Daar al-Fikr, Beirut, tahun 1412 H, dan ia berkata: "Para perawinya tsiqah.)
Subbanallah, hadits ini merupakan salah satu mukjizat Nabi SAW. Dalam hadits ini Nabi SAW, mengabarkan kejadian yang akan terjadi di masa yang akan datang, dan peristiwa yang terjadi itu tepat seperti yang beliau kabarkan: ibunda kita, `Aisyah RA, menunggang unta adbab (unta yang bulu wajahnya lebat-Pent), lalu anjing-anjing Hau-ab menyalakinya, dan saat itu ia tengah bertikai dengan 'Ali RA.
Berdasarkan penjelasan ini, kita dapat melihat bahwa pada asalnya perbuatan `Aisyah RA tidak sesuai dengan syari'at. Bahkan, para Sahabat RA menyelisihinya.
Dari 'Ammar bin Yasir RA, bahwasanya dia berkata kepada `Aisyah RA sekembalinya dari Perang Jamal: "Alangkah jauhnya perjalanan ini dari perintah yang telah disampaikan kepada kalian (kaum wanita)." Dengan perkataannya ini, Ammar RA mengisyaratkan firman Allah SWT :
"Dan, bendaklah kamu tetap di rumabmu ...." (QS. Al-Ahzaab: 33) `Aisyah RA bertanya: "Abul Yaqzhan?" 'Ammar RA menjawab: "Benar." `Aisyah RA berkata: "Demi Allah, sesungguhnya sepengetahuanku, kamu sering mengatakan hal yang benar." `Ammar RA menjawab: "Segala puji bagi Allah yang telah memberi keputusan untukku melalui ucapanmu." (Ibnu Hajar, Fat-hul Baari (XIII/58).
Sekarang, Anda tahu bahwa `Aisyah RA telah menyadari perbuatannya dan mengakui kesalahannya. Jika demikian, bagaimana mungkin seseorang berdalil—tentang bolehnya wanita menjadi pemimpin—dengan perbuatan Aisyah RA yang salah itu, yang kemudian disadari oleh `Aisyah RA, hingga ia pun kembali kepada kebenaran dan mengakui bahwasanya dulu berada di pihak yang salah?
Salah satu kritik paling menohok yang dikemukakan kepada orang-orang yang berdalil dengan perbuatan `Aisyah RA untuk membolehkan wanita menjadi kepala negara adalah bantahan Lajnah Ulama Al Azhar (Lihat Dandel, al-Mar-ah wal Wilaayaat al- Aammah fis Siyaasah asy-Syar'iyyah (hlm 235-236) (Mesir) yang mengatakan:
"Meriwayatkan peristiwa tersebut dengan cara seperti ini bukanlah cara yang adil dalam menyikapi kenyataan dan sejarah. Sungguh, tidaklah Sayyidah `Aisyah RA keluar untuk berperang ataupun memimpin pasukan perang, melainkan ia keluar sebagai wanita yang menyerukan tuntutan persidangan atas pembunuhan `Utsman RA. Perbuatannya ini didorong oleh perasaan tidak senang, sebagaimana yang dirasakan juga oleh kalangan keluarga dan rekan-rekan `Utsman RA. Maksudnya, mereka tidak setuju terhadap (keputusan 'Ali RA yang) menunda, menangguhkan dan tidak segera mencari pembunuh `Utsman RA dan meng-qishash mereka, sebelum melakukan apapun.
Peristiwa ini tidak ada kaitannya dengan kepemimpinan publik sama sekali, sebagaimana telah kami jelaskan. Meskipun demikian, perbuatan Sayyidah `Aisyah RA ini tidak mengandung dalil syar'i yang dapat dijadikan sandaran. Apabila perbuatan ini merupakan ijtihad dari `Aisyah RA, maka ijtihadnya dianggap keliru. Keluarnya `Aisyah RA telah diingkari oleh sebagian Sahabat RA. `Aisyah RA sendiri telah mengakui kesalahannya. Ia menyesali perbuatannya. Diriwayatkan bahwa `Aisyah RA mengirim utusan kepada Abu Bakrah RA untuk mengajaknya keluar pada Perang Jamal bersamanya, lalu Abu Bakrah RA berkata: `Sesungguhnya engkau adalah seorang ibu, dan kedudukanmu sungguh mulia. Tetapi, aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:
Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang urusan mereka dikuasai oleh seorang wanita." (Al-Hakim, al-Mustadrak (IV/570, no. 8599)
Hal ini dikuatkan dengan perkataan Ibnul 'Arabi: "Ulama kami berkata: `Jika ia (Aisyah RA) tidak melibatkan diri pada tragedi ini, niscaya kebenaran berpihak kepadanya." (Ibnul 'Arabi, Ahkaamul Qur-aan (111/1536)
Ibnu Taimiyyah berkata: "Aisyah RA mengira bahwa keluarnya ia (ke Perang Jamal) mengandung kebaikan bagi kaum Muslimin. Namun kemudian, ia menyadari bahwa tidak keluar rumah adalah lebih utama baginya. Dahulu, setiap kali mengingat peristiwa keluarnya ia ke medan perang, `Aisyah RA pun menangis hingga kerudungnya basah." (Al-Hafizh Abu `Abdullah Muhammad bin `Utsman adz-Dzahabi, al-Muntaqaa min Minhaajil I'tidaal fii Nafdhi Kalaam Ahlir Rafdh wal I'tizaal (hlm. 222-223), ringkasan dari kitab Minhaajus Sunnah karya Ibnu Taimiyyah)
Ketiga, sanggahan atas dalil ketiga (catatan sejarah yang menyebutkan bahwa wanita menduduki posisi pemimpin negeri) yang mereka gunakan.
1) Tidak ada dalil yang bisa diambil dari kisah Ratu Saba' yang disebutkan di dalam al-Qur-an untuk membolehkan seorang wanita memimpin negara, karena beberapa alasan berikut:
Pertama, al-Qur-an hanya menyebutkan kisah nyata yang terjadi pada kaum tersebut, sementara disebutkannya kisah nyata itu tidak mengandung suatu dalil pensyari'atan. Di samping itu, penyebutan ini sendiri datang dengan pengingkaran. Dalil pengingkaran ini disebutkan melalui lisan burung hud-hud:
"Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba' suatu berita penting yang diyakini. Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar." (QS. An-Naml: 22-23)
Kedua, seandainya kita mengatakan bahwa ayat ini mengandung dalil pensyari'atan, maka syari'at ini berlaku untuk umat sebelum kita. Syari'at ini tidaklah berlaku untuk kita, kecuali jika ada dalil yang menunjukkannya untuk kita. Faktanya, dalil tersebut tidak ada. (Dr. 'Abdul Hamid Isma'il al-Anshari, asy-Syuuraa wa Atsaruha fi Diimuqraathiyyah (hlm. 311).
Ketiga, ayat ini bukanlah dalil tentang pemberian hak-hak politik kepada kaum wanita, karena ayat ini termasuk Makkiyah yang berkaitan dengan masalah tauhid, bukan berkaitan dengan pensyari'atan. Ayat ini juga merupakan penguatan tambahan untuk meneguhkan Nabi SAW dalam menghadapi gangguan dari kaumnya, cacian mereka, sikap keras kepala mereka dalam kekafiran, dan berpalingnya mereka dari beliau. Ayat ini memberitahukan kepada Rasulullah SAW, bahwa keadaan umat-umat terdahulu dengan Nabi-Nabi mereka adalah mirip dengan keadaan yang beliau alami. Karena itu, dalil yang bisa diambil darinya adalah penjelasan bahwa Ratu Saba' telah beriman kepada Allah SWT dan keesaan-Nya, sama sekali tidak berkaitan dengan hak-hak politik. (Dandel Jabar, al-Mar-ah wal Wilaayaat al- Aammah fis Siyaasah asy-Syar'iyyah (hlm. 228).
2) Sesungguhnya berdalil dengan pendapat kelompok asy-Syubaibiyyah—yang termasuk kelompok sesat—tidak cukup kuat untuk dipertentangkan dengan ijma' umat Islam. Ini juga jika mereka memiliki sesuatu yang terkesan sebagai dalil padahal bukan. Bagaimana jika mereka sama sekali tidak memiliki hal itu? Sebab, yang mereka gunakan sebagai dalil tak lain hanyalah perbuatan Syubaib yang membiarkan ibunya naik mimbar dan berkhutbah. Tidak samar lagi bagi orang yang memiliki pikiran waras bahwa penetapan hal ini sebagai dalil merupakan suatu hal yang konyol. Sebab, perbuatan `Aisyah RA saja diingkari oleh mereka, apalagi hanya perbuatan ibu Syubaib
Alangkah indah apa yang dikatakan al-Baghdadi saat mengemukakan sanggahan terhadap kelompok yang sesat ini. Al-Baghdadi berkata (kepada mereka): "Kalian mengingkari keberangkatan `Aisyah RA Ummul Mukminin ke Bashrah bersama pasukannya, yang semuanya merupakan mahramnya, sebab di dalam al-Qur-an dinyatakan bahwa `Aisyah RA adalah ibu bagi kaum laki-laki yang beriman. Kalian juga mengira bahwa `Aisyah RA telah kafir karena perbuatannya itu, kemudian kalian membacakan firman Allah SWT : "Dan, hendaklah kamu tetap di rumahmu," (QS. Al-Ahzaab: 33) kepadanya. Mengapa kalian tidak membacakan ayat ini kepada Ghazalah, ibunya Syubaib? Tidakkah kalian menghukuminya kafir? Juga menghukumi kafir wanita-wanita Khawarij yang ikut keluar bersamanya untuk memerangi pasukan al-Hajjaj?
Apabila kalian memperbolehkan perbuatan ini bagi wanita-wanita Khawarij hanya karena mereka didampingi oleh suami-suami mereka, putera-putera mereka, atau saudara¬saudara mereka, maka sesungguhnya `Aisyah RA keluar bersama saudara kandungnya, yaitu `Abdurrahman RA, dan putera saudarinya, yaitu `Abdullah bin az-Zubair RA. Kedua orang ini adalah mahram bagi `Aisyah SAW. Di lain pihak, seluruh kaum Muslimin seperti anak bagi `Aisyah, sehingga setiap orang Mukmin adalah mahram baginya. Maka, mengapa kalian tidak membolehkan `Aisyah melakukan itu?
Seandainya di antara kalian masih ada yang membolehkan kepemimpinan Ghazalah, maka kepemimpinan Ghazalah itu memang pantas baginya dan bagi agamanya. Segala puji bagi Allah yang telah menjaga kita dari perkara bid'ah." (Al-Baghdadi, al-Farq bainal Firaq (1/92).
3) Adapun berdalil dengan cacatan sejarah yang menyatakan wanita memegang tampuk pimpinan hukum, sesungguhnya di dalamnya tidak ada dalil yang membolehkan wanita memegang kepemimpinan negara. Akan tetapi, hal itu hanya sebatas penyebutan peristiwa yang pernah terjadi. Dan, tidak semua peristiwa yang terekam dalam sejarah kehidupan manusia dapat dijadikan dalil syar'i. Yang menjadi patokan di sini hanya dalil syari'at dari al-Qur-an, as-Sunnah, ijma', qiyas, serta dalil-dalil syar'i lain yang berkaitan dengannya. Dalil-dalil syar'i ini tidak samar lagi atas setiap Muslim, terlebih lagi bagi para ulama.
Apabila kita lebih perhatikan persoalan ini, niscaya akan kita dapati bahwa peristiwa ini (wanita memegang tampuk kepemimpinan hukum) merupakan peristiwa yang jarang terjadi, bila dibandingkan laki-laki yang memegang tampuk kepemimpinan di bidang hukum. Lalu, bagaimana mungkin mereka berdalil dengan sesuatu yang jarang terjadi, dan meninggalkan sesuatu yang umum dan biasa terjadi? Yang lebih utama di sini adalah berdalil dengan perbuatan para khalifah Rasulullah dan fakta yang terjadi pada kurun tiga generasi pertama Islam, agar sesuai antara sunatullah syar'iyyah (aturan syari'at) dan sunnatullah kauniyyah (aturan alam raya). Karena itu, pahamilah.
Keempat, sanggahan atas dalil keempat (logika) yang mereka gunakan.
Tidaklah mungkin menjauhkan suatu masalah yang tentangnya muncul berbagai nash syari'at dari ruang lingkup syari'at Islam, kemudian dikatakan bahwa masalah itu bukanlah urusan agama. Bagaimana mungkin perkataan ini dapat terucap, sementara Nabi SAW telah memasukkan masalah itu ke dalam urusan syari'at, yaitu ketika beliau SAW bersabda:
"Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita."
Di tambah lagi, para ahli fiqih kaum Muslimin di sepanjang waktu telah membahas masalah itu secara mendalam. Tidak hanya itu, bahkan Nabi SAW juga tidak akan meninggalkan suatu perkara melainkan beliau SAW mengajarkannya kepada kita. Hal ini dikuatkan dengan firman Allah SWT :
"... tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al Kitab ….” (Al-An'aam: 38)
Maka dari itu, bagaimana mungkin dapat dikatakan bahwa masalah kepemimpinan wanita bukan urusan agama?
Alangkah indah pernyataan yang dikemukakan Dr. `Abdul Hamid al-Anshari ketika dia berkata: "Meskipun dapat disetujui bahwa masalah (kepemimpinan wanita) ini merupakan masalah sosial, politik dan akhlak; namun jika kita berusaha mencari solusi untuk mengatasi permasalahan ini, maka hal itu tidak akan terlepas dari kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip Islam yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan, pemerintahan, dan perekonomian.
Adalah tidak cukup bila kita mengatakan bahwa solusi yang dituntut dalam mengatasi permasalahan ini harus sesuai dengan kondisi sosial, politik dan ekonomi suatu tempat, serta kecenderungan opini publik yang ada. Kita tidak mungkin mengatakan pernyataan tersebut begitu saja, tanpa mengaitkannya dengan ketentuan-ketentuan agama dalam bidang ini.
Karena itu, kami tegaskan bahwa masalah kepemimpinan wanita ini merupakan masalah sosial dan politik, sehingga kita harus mencari solusi untuknya sesuai prinsip-prinsip dasar Islam dalam bidang sosial, moral, politik dan ekonomi.
Namun, jangan lupa bahwa menurut Islam, kewajiban dasar seorang isteri adalah mengurusi rumah. Menurut Islam, hubungan antara suami dan isteri adalah hubungan saling menolong dan melengkapi satu sama lain, bukan saling persaingan sebagaimana yang terjadi pada kebudayaan Barat." (" Al-Anshari, asy-Syuuraa wa Atsaruha fii Diirnuqraathiyyah (hlm. 320).
Menurut kami, bahkan pekerjaan isteri ini—maksudnya mengurusi rumah—tidak boleh digantikan dengan orang lain. Sementara bolehnya isteri bekerja di bidang yang lain sangat terbatas, tergantung pada pembolehan syari'at untuknya dan harus sesuai dengan tabiat dasar penciptaannya. Lalu, sampai kapankah keangkuhan seperti ini terus dipertahankan?
Kenyataan ini sudah sangat jelas bagi setiap orang. Semua orang pasti mengakui bahwa kemampuan wanita itu lebih lemah daripada laki-laki. Semuanya juga mengakui bahwa wanita tidak akan mampu mengerjakan semua hal.
Pendapat yang rajih
Setelah memaparkan dalil-dalil dari kedua belah pihak, menurut kami, pendapat yang paling kuat adalah pendapat jumhur ulama yang memutuskan bahwa wanita tidak di perbolehkan menjabat sebagai kepala negara. Hal ini berdasarkan dalil-dalilnya yang kuat, di samping memang tidak ada dalil lain yang bertentangan dengannya, serta kritik yang terarah terhadap dalil-dalil pihak yang membolehkan, sekaligus membatalkan argumentasi mereka dengannya.
Selesai.
Wallahua’lam.
Langganan:
Postingan (Atom)