Assalamu'alaikum wr wb...
Banyak hal tentang puasa, yang orang "awam" sering tidak tahu hukumnya, sehingga bila menjumpai hal tersebut, mereka beranggapan bahwa puasanya batal. Berikut saya tuliskan ulang dari buku Fiqh Kehidupan milik Ust Ahmad Sarwat Lc, yang mudah-mudahan bisa menjadi penjelasan dan referensi dalam menilai permasalahan tersebut.
Berikut ini adalah hal-hal yang sering dianggap membatalkan puasa, namun para ulama UMUMNYA menolak bila hal itu dianggap membatalkan.
1. Mimpi Keluar Mani.
Bila pada saat puasa seseorang tidur dan dalam tidurnya itu dia mengalami mimpi yang mengakibatkan keluarnya mani, maka hal itu tidak membatalkan puasanya. Dan dia tetap boleh meneruskan puasanya, sebagaimana yang sudah menjadi ijma' dikalangan ulama (Al Qawanin Al Fiqhiyah hal 81)
Diantara dalil yang mendasari nya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini,
Dari Abi Said Al Khudri RA, berkata bahwa Rasululah SAW bersabda, "tiga hal yang tidak membuat batal orang yang berpuasa: berbekam, muntah dan mimpi (hingga keluar mani)" (HR. At Tirmidzy)
Dalam hal ini para ulama sepakat menyebutkan bahwa bila seseorang secara sengaja melakukan hal-hal yang dapat membangkitkan birahi baik melalui pikiran (imajinasi) atau melihat atau mendengarkan hal-hal yang merangsang birahi nya hingga mengakibatkan keluarnya mani, maka hal itu tidak dianggap membatalkan puasa.
Mengapa?
Karena batasannya adalah adanya sentuhan langsung ke alat kelamin, baik dengan lewat percumbuan, atau pun cara-cara lainnya.
Maka bila terjadi sentuhan langsung, seperti onani, atau bercumbu tanpa jima' dengan istri tetapi mengakibatkan keluar mani, maka hal itu disepakati telah membatalkan dan merusak puasa.
Namun bila seseorang mengalami janabah di malam hari, lalu melewati waktu shubuh dalam keadaan janabah, puasanya sah dan tidak diharuskan untuk mengganti puasanya di hari lain.
Al Hanafiyah menyebutkan bahwa meski seseorang sepanjang hari berada dalam keadaan janabah, puasanya tetap sah. Dasarnya adalah perkataan kedua orang istri Rasulullah SAW yaitu Aisyah dan Ummi Salamah RA.
"Kami menjadi saksi bahwa Rasulullah SAW memasuki waktu shubuh dalam keadaan janabah yang bukan karena mimpi, kemudian beliau mandi janabah dan melakukan puasa (HR Bukhari dan Muslim)
Sedangkan hadits lain yang bertentangan dengan hal itu dianggap oleh para ulama bahwa hadits itu telah dinasakh atau termasuk bab afdhaliyah.
Orang yang memasuki waktu shubuh dalam keadaan janabah maka tidak ada puasa baginya (HR Bukhari dan Muslim)
Kalimat tidak ada puasa baginya menurut para ulama maksudnya bukan puasanya tidak sah, melainkan maknanya adalah bahwa tidak ada fadhilah atu keutamaan dalam puasanya itu.
Imam An Nawawi menyebutkan bahwa kebolehan orang yang memasuki waktu shubuh dalam keadaan janabah merupakan ijma' Sebagaimana keterangan yang sama dikemukakan oleh Ibnu Daqiq Al 'Id. Sedangkan Asy Syaukani menyebutkan bahwa hal itu merupakan pendapat jumhur ulama.
2. Celak Mata, Obat tetes mata dan Semprot Asma.
Boleh memakai celak mata, atau dalam bahasa Arab sering disebut al kuhl pada saat puasa dan tidak membatalkannya. Karena Rasulullah SAW juga pernah menggunakannya pada saat berpuasa.
Dari Aisyah RA, bahwa Nabi SAW memakai celak mata pada bulan Ramadhan dan beliau dalam keadaan berpuasa (HR Ibnu Majah)
Meski obat tetes mata itu masuk ke dalam mata, namun dilihat dari arah masuknya, cairan obat itu tidak masuk ke bagian dalam tubuh, seperti lambung atau perut. Obat tetes mata adalah sejenis obat luar seperti obat lainnya seperti kompres, plester, obat luka dan lainnya.
Obat asma yang di semprot kan bagi penderita asma bila digunakan oleh orang yang puasa, juga tidak termasuk yang membatalkan puasa. Sebab secara teknis, jauh dari kriteria makan, atau minum yang membatalkan puasa. Sehingga penggunaannya bagi orang yang sedang puasa tidaklah membatalkan puasanya.
Hal ini juga di fatwa kan oleh Syeikh Abdullah bin Baz salah seorang tokoh ulama di Saudi Arabia. Dalam salah satu fatwanya, beliau menegaskan kebolehan penggunaan obat semprot ini bagi penderita asma, dalam keadaan berpuasa.
3. Bersiwak, Kumur dan Istinsyak.
Bersiwak atau membersihkan gigi tidak membatalkan puasa. Namun menurut Imam Asy Syafi'i bersiwak hukumnya makruh bila telah melewati waktu zhuhur hingga sore hari. Alasannya adalah hadits Nabi yang menyebutkan, "Bau mulut orang puasa lebih harum di sisi Allah dari aroma kesturi" (HR Bukhari)
Berkumur adalah memasukkan air ke dalam mulut untuk dibuang kembali, sedangkan istinsyak adalah memasukkan air ke dalam lubang hidung untuk dibuang kembali. Keduanya boleh dilakukan saat puasa meski bukan untuk keperluan berwudhu'. Namun harus dijaga jangan sampai tertelan atau masuk kedalam tubuh, karena akan membatalkan puasa.
4. Mandi dan Berenang.
Secara umum mandi dan berenang tidak membatalkan puasa. Namun bila karena mandi atau berengan mengakibatkan ada air yang ter minum atau tertelan secara tidak sengaja, hukum puasanya tetap batal. Sebab ketidaksengajaan tidak disamakan dengan lupa. . Sedangkan orang yang mandi atau berenang lalu telinganya kemasukan air, para ulama umumnya sepakat mengatakan bahwa air yang masuk di telinganya itu tidak membatalkan puasanya. Sebab masuknya air ke telinga itu jauh dari kriteria makan dan minum.
5. Kemasukan Asap dan menghirup aroma wangi.
Para ulama telah berijma' bahwa bila seseorang kemasukan asap, debu, atau sisa rasa obat ke dalam mulut tidak membatalkan puasa, asal sifatnya tidak disengaja dan buka bikinan, semua itu tidak membatalkan puasa, sebagaimana dikatakan oleh ibnu Juzayi, karena tidak mungkin menghindar dari hal-hal kebetulan seperti itu (Ad Dur Al Kukhtar wa Radd Al Muhtar, jilid 2 hal 103)
Demikian juga bila air mata masuk ke dalam tenggorokan nya, bila jumlahnya sedikit barang setetes dua tetes, tidak menyebabkan puasanya batal. Karena nyaris sulit untuk menghindari hal ini. Namun bila jumlahnya banyak sehingga memenuhi mulut seseorang, jelaslah hal itu membatalkan puasa.
Umumnya para ulama membolehkan orang yang sedang berpuasa untuk menghirup aroma yang wangi dari parfum.
6. Copot Gigi.
Termasuk yang tidak membatalkan puasa adalah orang yang copot giginya tanpa sengaja. Meskipun karena copot gigi itu sampai keluar darah, asalkan darahnya itu tidak ditelan ke dalam tubuh, tentu tidak membatalkan puasa.
7. Suntik.
Sebenarnya ada 2 macam suntikan yang dikenal dalam dunia kedokteran. Pertama suntikan obat, yang dimasukkan lewat jarum suntik ke urat nadi pasien. Isi suntikan itu biasanya adalah obat, yang bertugas untuk membunuh bibit penyakit yang ada didalam tubuh pasien. Untuk hal yang seperti ini, ulama sepakat bahwa suntikan obat tidak membatalkan puasa. Kedua adalah suntikan glukosa, yang biasanya dikenal sebagai infus. Meski sama-sama menggunakan jarum dan ditusuk kan ke urat nadi, namun prinsip infus jauh berbeda dengan suntikan obat. Ulama sepakat bahwa infus makanan itu hukumnya membatalkan puasa.
8. Mencicipi makanan.
Seseorang yang sedang puasa, boleh mencicipi rasa suatu makanan, asalkan langsung dibuang seketika itu juga. Dalam hal ini, belum dikatakan sebagai memakan makanan, karena tidak ditelan masuk ke dalam perut. Makanan yang dicicipi hanya dirasakan dengan lidah saja, kemudian dibuang bersama ludah itu.
Masalah ini nyaris mirip dengan orang yang berkumur-kumur, yaitu memasukkan air ke dalam mulut namun segera dikeluarkan lagi.
9. Puasa dalam keadaan janabah.
Menurut jumhur ulama apabila seseorang sedang mengalami junub dan belum sempat mandi, padahal waktu subuh sudah masuk, maka tidak ada halangan baginya untuk tetap melakukan puasanya. Meski dalam keadaan jabanah atau berhadats besar, namun puasanya tetap sah hukumnya.
Hal itu didasarkan dari apa yang pernah dialami sendiri oleh Rasulullah SAW, sebagaimana tertera dalam hadits berikut ini:
Dari Aisyah dan Ummi Salamah RA, bahwa Nabi SAW memasuki waktu shubuh dalam keadaan berjanabah karena jima' kemudian beliau mandi dan berpuasa. (HR Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itulah maka kalau kita perhatikan, para ulama tidak mencantumkan suci dari hadats sebagai salah satu syarat sah dalam melaksanakan ibadah puasa.
Memang ada hadits yang menyebutkan bahwa orang yang dalam keadaan janabah tidak sah puasanya misalnya hadits berikut ini :
"Orang yang masuk waktu shubuh dalam keadaan junub, maka puasanya tidak sah" (HR Bukhari).
Namun larangan itu ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan junub adalah seseorang meneruskan jima' setelah masuk waktu Shubuh. Sedangkan bila jima' sudah selesai, meski berjanabah karena bleum mandi, maka hal itu tidak menghalanginya dari mengerjakan ibadah puasa.
Demikian yang dapat saya rangkum dari Buku Puasa Seri Fiqh Kehidupan karya Ust Ahmad Sarwat Lc MA. Semoga bermanfaat.
Wallahu'alam
Enif
Rabu, 02 Juli 2014
Sabtu, 14 Juni 2014
PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA PADA SEBAGIAN SUMBER HUKUM
Assalamu’alaikum warrohmatullohi wabarokaatuh
Banyaknya pendapat-pendapat para ulama terkait perbedaan
status hukum suatu mu’amallah hingga ibadah sunnah semua terkait dengan
perbedaan cara pandang dan mengistimbath suatu hukum yang ada di Al Quran
maupun Hadits.
Hal ini sesungguhnya sudah ada sejak jaman dahulu, dimulai
sejak jaman tabi’in hingga para imam madzhab dan sampai sekarang.
Untuk mengetahui, mengapa terjadi perbedaan pendapat
tersebut, berikut ada tulisan ringkas, hasil rangkuman dari buku Tarikh Tasyri
yang artinya secara singkat adalah Sejarah Penentuan Hukum Syariat yang diambil
dari buku “Ikhtisar Tarikh Tasyri” karangan Dr H Abdul Majid Khon, M. Ag.
Semoga bermanfaat.
PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA PADA SEBAGIAN SUMBER HUKUM
Secara umum, sumber hukum Islam ada yang disepakati
(muttafaq ‘alaih atau mujma’ `alaih) dan ada yang diperselisihkan (mukhtalaf
fih). Sumber hukum yang disepakati adalah Al Quran dan Hadits. Sedangkan sumber
hukum yang diperselisihkan adalah ijma’, qiyas, istihsan, mashalih mursalah,
istishhab, ‘urf, dan sya’u man qablana..
Berikut akan diuraikan mengenai sumber hukum secara satu
persatu secara ringkas..
1. Al Quran.
Al Quran adalah wahyu dari Allah, tidak ada perselisihan di
kalangan ulama tentang eksistensinya sebagai sumber hukum Islam karena
petunjuknya bersifat tegas.
2. Sunnah
Sunnah yang dimaksud dalam hal ini adalah hadits.
3. Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid setelah wafatnya Nabi
SAW mengenai hukum suatu peristiwa.
4. Qiyas.
Qiyas adalah menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada teksnya
di dalam Al Quran dan hadits, tetapi mempunyai alas an (‘illat) yang sama.
Dengan kata lain, membandingkan hukum suatu peristiwa yang belum ada ketentuan
hukumnya dengan peristiwa lain yang sudah ada ketentuan hukumnya atas dasar
persamaan ‘illat. Misalnya : Minuman keras seperti, tuak, dan bir diqiyaskan
dengan khamar karena memiliki ‘illat yang sama, yaitu memabukkan. Contoh lain
adalah Haramnya memukul orang tua diqiyaskan dengan larangan berkata ah,
sebagaimana disebutkan dalam QS Al Isra’(17);23.
5. Istihsan
Istihsan artinya memandang lebih baik. Istihsan menentukan
hukum bukan berdasarkan qiyas yang jelas melainkan berdasarkan qiyas yang tidak
jelas, karena maslahat menghendaki demikian. Misalnya air bekas minuman harimau
itu najis. Akan tetapi, bekas minuman burung elang itu tidak najis.
Perbedaannya, harimau minum dengan lidahnya, sementara burung elang dengan
paruhnya.
6. Mashalih
Mursalah.
Mashalih mursalah ialah maslahat yang tidak disebut dalam
hukum. Hukum ditetapkan untuk keselamatan umum dan akan mengalami perubahan
sesuai dengan berkembangnya zaman. Misalnya, hadirnya surat nikah atau surat
cerai’ penumpasan orang-orang yang tidak mau membayar zakat pada masa Abu
Bakar’ penjatuhan hukuman penjara kepada pencuri yang kelaparan, bukan hukuman
potong tangan pada masa Umar bin Al Khaththab.
7. ‘Urf
‘Urf artinya adat atau tradisi masyarakat setempat yang
tidak bertentangan dengan Al Quran dan Hadits. Imam Malik banyak memakai ‘urf
Madinah sebagai sumber hukum. Demikian juga Imam al Syafi’I, Fatwanya di Irak
(Qaul Qadim) berbeda dengan fatwanya di Mesir (Qaul Jadid)
Beberapa contoh ‘urf antara lain membayar makanan atau
minuman setelah habis disantap, membayar taksi setelah sampai tujuan, serta
bolehnya transaksi jual-beli buah-buahan ketika sudah mulai tampak matan di
pohon. (Wahbah Al Zuhaili, Al WQajiz fi Ushul Al Fiqh, hal 99-100)
8. Istishhab
Istishhab artinya berpegang pada hukum semula selama tidak
timbul perubahan. Segala sesuatu di ala
mini memiliki hukum ibahah (boleh) selama tidak ada dalil Al Quran, hadits atau
dalil lain yang membatalkannya. Contoh-contoh lain seperti berikut ini.
a. Orang yang
yakin punya air qudhu, tetapi ragu sudah berhadas atau belum; dianggap suci
menurut jumhur, selain Malikiyyah.
b. Orang yang
meragukan benda suci yang dapat mengubah air, baik itu sedikit maupun banyak,
air tersebut tetap suci. (Wahbah Al Zuhaili, Al WQajiz fi Ushul Al Fiqh, hal
116-117)
9. Syar’u man
Qablana.
Syar’u man Qablana artinya syariat sebelum Nabi Muhammad SAW.
Hukum untuk ahli kitab ini tetap berlaku asalkan tidak bertentangan dengan
hukum Islam.
Sementara itu, sebab-sebab perbedaan pendapat pada sumber
hukum adalah sebagai berikut.
Berikut adalah factor-faktor penyebab terjadinya perbedaan
pendapat pada sumber hukum.
1. Perbedaan
Menilai shahih.
Keshahihan suatu hadits kadang-kadang diperdebatkan ulama.
Ada ulama yang menerima keshahihan suatu hadits, dan ada pula yang menlolaknya.
2. Perbedaan
dalam memahami nash
Dalam suatu nash, baik Al Quran maupun hadits, kadang-kadang
terdapat kata yang mengandung makna ganda (musytarak) dan majasi (metafora),
sehingga arti yang terkandung didalamnya tidak jelas. Misalnya kata quru’ dalam
QS Al Baqarah (2);228 yang mempunyai 2 arti, yaitu masa suci dan masa haid.
3. Perbedaan
dalam menggabungkan dan mengunggulkan nash-nash yang saling bertentangan.
Untuk memutuskan nash tsb, ulama biasanya memilih nash yang
lebih kuat atau mencari titik temu diantara nash-nash tersebut. Dalam mengambil
keputusan dan mencari titik temu inilah biasanya ulama berbeda pendapat.
4. Perbedaan
dalam kaidah-kaidah ushul sebagai sumber istinbath.
Dalam memilih suatu hadits atau mencari suatu dalil, para
mujtaqhid mempunyai cara pandang dan metode yang berbeda-beda. Ada mujtahid
yang mengambil perkataan sahabat dalam memecahkan masalah, tetapi ada pula mujtahid yang menolaknya. Begitu
pula dengan amaliah penduduk Madinah, ada mujtahid yang menjadikannya sebagai
hujjah dan ada pula yang menolaknya.
5. Perbedaan
dalam perbendaharaan hadits.
Para sahabat memiliki perbendaharaan hadits yang
berbeda-beda, karena mereka tidak mungkin selalu bersama Nabi. Hal ini
menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat dalam mengambil kesimpulan suatu
hukum.
6. Perselisihan
tentang ‘illat suatu hukum.
Perselisihan tentan ‘illat ini juga merupakan salah satu
sebab perbedaan pendapat dalam fiqh. Sebagai contoh, dalam Islam kita
diperintahkan untuk berdiri jika bertemu dengan usungan jenazah. Para
mujtahid berbeda pendapat tentang siapa
jenasazah itu’ orang Islam, orang kafir, atau kedua-duanya. Sebagian besar
mujtahid berpendapat bahwa yang dimaksudkan adalah kedua-duanya. Akan tetapi
ada yang berpendapat bahwa perintah untuk berdiri itu hanya terhadap jenazah
orang kafir. Karena dalam sebuah hadits diterangkan bahwa pada suatu hari,
ketika sedang berjalan, Rasulullah SAW bertemu dengan jenazah orang Yahudi. Beliau
lalu berhenti dan berdiri.
Selanjutnya, ulama Madzhab berbeda-beda dalam menentukan
sumber hukum Islam.
1. Abu Hanifah :
Al Quran, Sunnah, ijma’ qiyas dan istihsan.
2. Malik : Al
Quran, sunnah, ijma, amaliah ahli Madinah, dan mashalih mursalah.
3. Al Syafi’I ;
Al Quran, sunnah, ijma’, qiyas, dan istidlal (kesimpulan/pendapat sahabat)
4. Ahmad bin
Hambal; Al Quran, Sunnahy, ijma’, qiyas, dan fatwa sahabat.
Ada 3 hal yang mendasari perbedaan pendapat di kalangan
ulama mujtahidin, yaitu dasar-dasar tasyri’, kecenderungan ber istinbath dan
prinsip bahasa.
1. Dasar-dasar
tasyri’. Hanafi dan ashab[nya berhujjah dengan hadits mutawatir dan masyhur
saja. Ia juga menarjih hadits dari fuqaha yang terpercaya. Ulama lain berhujjah
dengan hadits dari perawi yang adil dan terpercaya baik, dari kalangan fuqaha
atau bukan, baik sesuai dengan amalan ahli Madinah maupun tidak. Pengaruhnya
dalam tasyri’ menimbulkan perbedaan dalam menerima atau menolak suatu hadits
serta perbedaan dalam memandang hadits yang unggul dan yang lemah.
2. Kecenderungan
ber istinbath. Ahli hadits membatasi ra’yu, sedangkan ahli ra’yu tidak
membatasinya. Berikut ini letak perbedaan ulama dalam beristinbath.
a. Imam Malik
mengambil fatwa yang dipandang kuat, tidak terpaku pada fatwa satu orang saja
dan tidak mau menyalahi fatwa
b. Imam Al
Syafi’I terkadang mengambil salah satu fatwa sahabat, tetapi terkadang berfatwa
menyalahi fatwa sahabat, karena menurutnya sahabat itu tidak maksum.
c. Golongan
Syiah dan Zhahiriyyah menolak qiyas, sedangkan jumhur ulama menerimanya.
3. Perbedaan
dalam bahasa. Sebagian ulama menetapkan hukum pada manthuq-nya (pemahaman
tersurat) dan sebagian lagi pada mafhumnya (pemahaman tersirat). Sebagian ulama
lagi menetapkan hukum pada lafal umum yang ditakhsis atau pada hal mutlak yang
dikaitkan dengna muqayyad. Al Syafi’I menjelaskan bahwa makna perintah dalam Al
Quran dan hadits ada yang bermakna boleh, petunjuk, wajib serta larangan.
Demikian ringkasan dari sebab-sebab terjadinya perbedaan
pendapat ulama pada sebagian sumber hukum. Bila kita telah mengetahuinya, ada
baiknya kita tidak mudah “menyalahkan orang lain” yang berbeda dalam memandang
suatu masalah, ataupun berbeda pendapat dengan kita. Perbedaan pendapat dalam
masalah-masalah fiqh harus disikapi dengna arif dan bijaksana. Kita tidak boleh
apriori dengan langsung menyalahkan satu pendapat dan membenarkan pendapat
lainnya. Sikap Apriori yang semacam ini dapat memicu terjadinya perpecahan di
kalangan umat. Masalah yang biasanya menimbulkan perbedaan pendapat dalam fiqh
adalah masalah-masalah furu’ (cabang), bukan masalah pokok. Oleh karena itu
mempertajam perbedaan pendapat dalam masalah cabang ini hanyalah membuang-buang
waktu dan energy.
Untuk lebih detail penjelasan tentang permasalahan timbulnya
perbedaan pendapat ini bisa merujuk pada buku Ikhtisar Tarikh Tasyri, yang
ditulis oleh Dr H Abdul Majid Khon M.Ag.
Wallahua’lam bishowab.
Enif
Kamis, 15 Mei 2014
Mau Ikut Nabi apa Ikut Ulama?
Sampai saat ini, saya pribadi masih ngga nyambung dan sulit
memahami beberapa kawan yang dengan sangat kuat meyakini bahwa tidak madzhab
itu sumbu perpecahan umat dengan banyaknya perbedaan pendapat. Dan yang harus
dilakukan adalah kembali ke al-Quran dan Sunnah.
Padahal sama sekali tidak ada satu pun ulama madzhab yang
mengarang hukum; mereka semua adalah prototype manusia paling waro’, shalih dan
takut dalam membuat hukum sendiri setelah generasi-generasi terbaik Islam (Masa
Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ al-Tabi’in). dan tidak mungkin mereka semua
mengambil hukum seenak hati dan nafsunya saja, tapi justru mereka mengambil itu
semua dari al-Quran dan Sunnah, tidak yang lainnya. Dan memang itu yang mereka
lakukan.
Sayangnya, yang mengatakan madzhab sebagai sumber perpecahan
itu tidak pernah belajar sejarah madzhab dan imam-imamnya. Mungkin terlalu naif
buat mereka untuk mempelajari perkataan manusia yang ‘tidak makshum’ nan mulia
itu, atau sudah terlanjur gengsi. Seandainya mereka mempelajarinya dengan dada
yang lapang, niscaya mereka cinta kepada sang imam-imam madzhab.
Justru karena mereka buta madzhab dan perbedaan pendapat
itulah yang akhirnya membuat mereka menjadi sangat naïf dalam ber-syariah dan
tentu rentan perpecahan. Memaksakan orang lain ikut sesuai pendapatnya, dan
mencaci serta menjauhi mereka yang berbeda bahkan tidak segan melabeli dengan
label buruk.
Jadi sejatinya siapa yang menjadi sumbu perpecahan? Para
Imam madzhab dan pengikutnya atau yang memaksakan kehendaknya di-amin-I oleh
yang lain tapi tidak bisa?
Kita sudah banyak contohnya dalam hal bahwa ulama madzhablah
pelopor persatuan dalam perbedaan pendapat mereka. Imam Malik tidak mau
memaksakan pendapatnya yang terangkum dalam kitab al-Muwaththo’ untuk jadi
regulasi hukum Abbasiyah. Karena itu pasti menjadi masalah di tengah masyarakat
yang tidak terbiasa dengan pendapat Malikiyah di Baghdad.
Imam Ibnu Mas’ud juga tidak mencemooh sayyidan Utsman bin
Affan, dan justru menjadi makmum sholatnya. Padahal beliau beranggapan qashar
bagi musafir sedang sayyidina Utsman tidak.
Tidak pula kita mendengar sejarahnya ada pengikut Imam Laits
bin Sa’d yang datang ke Madinah untuk menghina pengikut Imam Malik, dan juga
sebaliknya.
Ikut Nabi atau Ikut Ulama?
Ini yang buruk, beberapa kawan jika mendapati orang lain
beramal sesuai madzhab, tapi –menurut pemahamannya yang lemah- itu menyelisih
hadits Nabi, ia langsung mengumpat:
“Ente mau Ikut Hadits Nabi apa ikut ulama madzhab? Siapa
yang pantas diikuti?”
Umpatan seperti ini jelas merendahkan derajat seorang ulama
yang punya kapasitas tinggi sebagai orang yang mengerti syariah. Ini seperti
menuduh ikan tidak bisa berenang. Apa mereka kira ulama madzhab itu tidak
mengerti hadits?
Bagaimana bisa seorang Imam madzhab tidak mengerti hadits?
Toh untuk jadi seperti itu (imam madzhab) tidak mungkin kecuali mereka hapal
lebih dari ratusan ribu hadits dengan maqshud-nya pula. Karena seorang
mujtahid, pastilah ia seorang muhaddits (ahli hadits)
Jelas ini penghinaan yang nyata dari seorang yang bodoh
syariah, yang hanya mengaji sabtu-ahad kepada ulama madzhab yang kapasitasnya
jauh di atas mereka semua; mengerti ayat Quran beserta madlul-nya, paham hadits
beserta manthuq-nya, dan paling mengerti bahasa Arab beserta kaidah-kaidahnya.
Kita memang WAJIB mengikut Nabi, tapi lewat jalur mana kita
memahaminya? Apa mampu otak yang lemah ini memahami segitu banyak hadits?
Sedang bahasa Arab hanya baru bisa, ana-anta-akhi-ukhti?
Ikut Abu Bakr, Umar, Utsman atau Ikut Nabi?
Ini yang lebih parah! Dalam beberapa masalah, beberapa kawan
justru mengumpat sahabat ketika terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengikuti
ijtihad Umar dalam suatu masalah (Tarawih 20 rokaat misalnya) yang itu tidak
ada riwayat dari Nabi lalu ia katakan dengan pongah:
“Nabi tidak pernah melakukan itu! Mau ikut Umar apa ikut
Nabi?”
Dalam masalah adzan Jumat 2 kali yang merupakan Ijtihad
sahabat Utsman bin Affan. Karena tidak puas dengan pendapat ini, ia pun
mengumpat lagi:
“Nabi tidak pernah melakukan itu! Mau ikut Ustman apa ikut
Nabi?”
Seakan-akan bahwa apa yang dilakukan sayyidina Umar dan
sayyidina Ustman itu menyelisih sunnah Nabi saw. Dan bukan seakan-akan,
pernyataan yang kental dengan denagn umpatan itu jelas memberika arti bahwa
sahabat tidak mengikuti Nabi, berbeda dengan Nabi.
Sahabat Tidak Mengikut Nabi?
Bagaimana bisa? Padahal mereka lah orang terdekat dengan
Nabi saw, hidup bersama, selalu menemani, menyaksikan wahyu turun, mendengarkan
hadits langsung, hidup berdampingan dengan Nabi saw. Tentu mereka paling
mengerti maqhashid syariah yang turun dari langit melalui lisan Nabi saw. Lalu
ada anak kemarin sore mengatakan: “Mau ikut Nabi apa ikut Umar/Utsman?”
Tentu jelas ini bentuk men-diskredit-kan kapasitas seorang
sahabat sebagai ‘sahabat’ Nabi saw. Men-diskredit-kan sama dengan menghina dan
penghinaan kepada para sahabat jelas dosa besar bahkan bisa menjurus ke-kufuran
dalam Islam.
لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِى فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَوْ
أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا
مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ
وَلاَ نَصِيفَهُ
Janganlah kalian mencaci maki para sahabatku! Demi Dzat yg
jiwaku ditangan-Nya, seandainya seseorang menginfakkan emas sebesar gunung
Uhud, maka ia tak akan dapat menandingi satu mud atau setengahnya dari apa yg
telah diinfakkan para sahabatku.' [HR. Muslim]
Nah, jadi siapa yang menghina sahabat sekarang?
Mereka mengisi hari-hari mereka dengan teriakan keras
menghujat para penghina sahabat Nabi saw, tapi malah dengan pongah mereka
termasuk kelompok yang mereka sendiri hujat, mereka sendiri menghina sahabat.
Menghujat penghina sahabat tapi malah menanamkan benih kebencian dan
diskreditisasi sahabat dalam hati dengan bangga. Nau’udzu billah.
Abu Bakr dan Umar Menyelisih Nabi saw?
Kita ingat bagaimana pencapaian sayyidna Abu Bakr yang
memerangi kaum pembangkat zakat yang Nabi saw tidak melakukan itu ketika masih
hidup. Begitu juga wacana beliau tentang pembukuan al-Quran [tadwiin ul
Qur’an], Apa kemudian ada sahabat lain menolak ikut berperang lalu mengumpat
seperti anak-anak sekarang?
“Mau ikut khalifah Abu Bakr yang tidak makshum atau ikut
Nabi?”
Sayangnya kita tidak menemukan ada riwayat seperti ini dalam
kitab-kitab ulama syariah dan ulama sejarah. Termasuk juga inisiatif khalifah
yang lain. Lalu dari mana mereka punya umpatan itu? Mencontoh siapa mereka
kalau sahabat saja tidak melakukan?
Kita tahu bahwa ketika Nabi masih hidup, Nabi menghukumi
talak tiga sekaligus dalam satu majlis atau satu kali perkataan itu tidak
dihukumi sebagai talak tiga, tapi tetap talak satu. Jadi talak itu harus terpisah
agar terhitung lebih dari satu.
Tapi ketika sayyidina
Umar menjabat khalifah, di tahun ke-3 hijrah beliau memfatwakan hal yang
berbeda dengan Nabi saw, bahwa talak tiga sekaligus itu terjadi walaupun
diucapkan sekali.
Beliau fatwakan seperti itu karena melihat banyak dari para
suami ketika itu yang gegabah dan seenaknya dalam mentalak istrinya dengan
talak tiga, namun tetap mau kembali setelahnya. Akhirnya beliau hukum sebagai
talak tiga sebagai jera bagi para lelaki agar hati-hati.
Dan semua sahabat ketika itu tidak ada yang mengingkari,
yang akhirnya fatwa beliau menjadi ijma’ Sukuti. Dan tidak ada juga sahabat
yang mengumpat:
“Mau ikut Umar yang tidak makshum, atau ikut Nabi saw?”
Sama sekali, tidak ada riwayat umpatan ‘alay’ seperti ini.
Wallahu a’lam
Ahmad Zarkasih, Lc
Nikah Sunnah Nabi, Kok Banyak Ulama Membujang?
Berbicara tentang masalah pernikahan berarti kita sedang
membicarakan sebuah tema yang selalu hangat untuk dibahas. Sebuah tema yang
selalu menjadi topik utama pembicaraan para remaja. Hal tersebut tidaklah
salah, bahkan sah-sah saja karena para remaja memang sedang memasuki usia
matang untuk menikah. Tidak ketinggalan, Rasulullah SAW pun ikut menghangatkan
tema ini dengan sabdanya:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ
مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ؛ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ،
وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ
لَهُ وِجَاءٌ. (متفق عليه)
“Wahai para pemuda…! Siapa saja diantara kalian yang telah mampu
maka hendaklah dia menikah, karena menikah itu lebih menundukkan pandangan dan
menjaga kemaluan, dan siapa yang belum mampu maka hendaklah dia berpuasa karena
puasa itu adalah penekan nafsu syahwat. (Muttafaqun ‘Alaihi).
Menikah Adalah Sunnah Nabi
Teringat sebuah hadits yang diriwayatkan oleh dua pakar hadits
terkemuka Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dari sahabat Anas ibn Malik tentang
tiga orang sahabat Nabi SAW yang datang menemui para istri Nabi SAW dan
menanyakan tentang ibadah beliau.
Ketika mereka diberitahukan perihal ibadah Nabi SAW seakan-akan
mereka masih menganggap kecil ibadah-ibadah yang telah mereka kerjakan selama
ini. Mengapa? Karena Nabi SAW saja yang sudah mendapat jaminan ampunan dari
Allah SWT baik dosa yang terdahulu maupun dosa yang belum dilakukan, masih
terus beribadah dengan sungguh-sungguh. Sedang mereka yang belum mendapat
jaminan ampunan, maka logikanya mereka seharusnya beribadah dengan lebih keras
dan sungguh-sungguh lagi.
Lantas kira-kira apa yang ada dibenak mereka? laki-laki pertama
mengatakan: “Saya akan shalat sepanjang malam dan tidak akan tidur”. Yang kedua
lantas menimpali: “Adapun saya, saya akan puasa terus menerus”. Kemudian yang
ketiga berujar: “Adapun saya, saya akan meninggalkan wanita dan tidak akan
menikah”.
Kemudian datanglah Rasulullah SAW dan bersabda: “Kalian berbicara
begini dan begini padahal aku adalah yang seorang yang paling takut kepada
Allah SWT dan paling bertaqwa kepadanya, akan tetapi aku shalat dan juga tidur,
aku puasa dan aku juga berbuka (tidak puasa), dan aku juga menikahi wanita,
siapa saja yang tidak suka terhadap sunnahku maka dia bukan termasuk dariku
(umatku)”. (Muttafaqun ‘Alaihi).
Menikah, Kenikmatan Yang Bernilai Ibadah
Islam tidaklah seperti agama yang dianut oleh para hewan berwujud
manusia yang selalu menuhankan syahwat dan hawa nafsunya. Islam juga bukan
agama yang mengajarkan kemunafikan dengan berbalut suci baju kerahiban. Suci
dalam kepura-puraan dan hewan dalam wujud dan perbuatan.
Inilah islam, agama sempurna yang semua ajarannya bersumber dari
wahyu tuhan semesta alam. Menikah …! Ya itulah solusinya. Kenikmatan
yang bernilai ibadah. Solusi syar’i untuk menyalurkan syahwat insani.
Islam sangat memperhatikan fitrah suci manusia. Tidak mengajarkan
pemeluknya untuk mengumbar syahwatnya, tidak pula memerintahkan membuang jauh
syahwat yang memang sudah menjadi fitrah manusia. Islam sangat menganjurkan
bagi mereka yang telah mampu agar segera menikah.
Pernikahan…! Di dalamnya ada ketenangan. Di dalamnya ada
kebahagiaan. Ada suami, imam gagah dengan mahkota qawwamah. Ada
istri, sosok yang menebarkan sakinahdalam rumah tangga.
Juga ada anak-anak yang menjadi penyejuk mata.
Lantas, Kenapa Banyak Ulama Tidak Menikah…???
Satu hal yang perlu saya pertegas disini bahwa yang dimaksud
banyak bukanlah mayoritas. Banyak dalam bahasa arab bisa dikatakan sebagai jama’. Jama’ artinya
lebih dari dua.Jama’ artinya dimulai dari tiga dan juga masuk di
dalamnya bilangan-bilangan setelahnya.
Perlu kita ketahui bahwa tidak menikah adalah pilihan yang sangat
berat. Konsekuensi dari pilihan itu adalah tiadanya sosok istri yang memberikan
ketenangan jiwa dan pelayanan baginya. Tiadanya anak-anak penyejuk mata yang
berarti juga menjadikan putus nasabnya. Juga ada nafsu syahwat yang harus dikekangnya agar tidak menjadikan dirinya bermaksiat kepada tuhannya.
Tidak Ada Hadits Shahih Tentang Keutamaan Membujang
Memang ada hadits-hadits yang bertebaran dikalangan masyarakat
tentang keutamaan membujang. Tapi inilah perkataan seorang pakar hadits yang
keilmuannya telah diakui umat islam. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah di dalam
kitab al-Manar al-Munif fii ash-Shahih Wa adh-Dha’if :
أحاديث مدح العزوبة كلها
باطل
“Hadits-hadits yang memuji untuk membujang semuanya bathil”.
Antara Menuntut Ilmu Dan Menikah
Tidak ada yang meragukan bahwa menikah merupakan sunnah Nabi SAW.
Di sisi yang lain menuntut ilmu merupakan amalan yang sangat mulia. Bahkan
Rasulullah SAW dalam hadits-hadits beliau banyak memuji para penuntut ilmu.
Salah satu hadits tersebut adalah sabda beliau SAW:
{فضل العالم على العابد كفضل القمر على سائر
الكواكب وإن العلماء ورثة الأنبياء وإن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما
وإنما ورثوا العلم فمن أخذه أخذ بحظ وافر} (رواه أبو داود والترمذي).
“Keutamaan seorang yang berilmu di banding ahli ibadah (yang tidak
berilmu) seperti keutamaan bulan atas seluruh bintang-bintang, sungguh para
ulama adalah ahli waris para nabi, sesungguhnya para nabi tidak mewariskan
dinar ataupun dirham, akan tetapi mewariskan ilmu, siapa yang mengambilnya maka
hendaklah mengambil bagian yang banyak”. (HR.Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Itulah kemuliaan ilmu. Warisan para nabi wang diwariskan kepada
para ulama. Tiada yang menyamai tingkatan kenabian, akan tetapi ilmu lah yang
berada di bawah tingkat kenabian tersebut.
Para ulama bagaikan matahari yang dengan sinar ilmunya mereka
menerangi gelap kebodohan dunia. Mereka bagaikan bintang yang menjadi petunjuk
bagi umat manusia. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Nabi SAW
mengatakan kepada Ali ibn Abi Thalib jika dia menjadi sebab seorang saja
mendapat petunjuk maka hal itu lebih baik baginya dibanding unta merah. Dalam
riwayat yang lain dikatakan lebih baik dari dunia dan seluruh isinya.
Sebuah Hadits Nabi SAW Sebagai Bahan Renungan
Imam al-Hakim meriwayatkan dalam kitab al-Mustadrak juga
Imam al-Haitsami dalam kitab Majma’ az-Zawa’id sebuah hadits
dari sahabat al-Aswad ibn Khalaf dari Nabi SAW. Ketika beliau merengkuh Hasan
kemudian beliau menciumnya. Ketika para sahabat menemuinya, beliau bersabda:
{إن الولد مخبلة مجهلة مجبنة} (رواه البزار)
“Sesungguhnya anak adalah (penyebab) kekikiran, kebodohan dan
kepengecutan”. (HR.al-Bazzar)
Az-Zamakhsari dalam kitab al-Fa’iq mengatakan
bahwa: “Maksudnya adalah anak menjadikan bapaknya kikir karena dia menahan
hartanya untuk diberikan pada anaknya, menjadi sibuk dengan anaknya dari
menuntut ilmu, menjadi pengecut karena takut dibunuh dan menelantarkan
anaknya”.
Kisah Salah Seorang Ulama
Abu Bakar an-Naisaburi berkata kepada Yusuf al-Qawwas: “Kamu tahu
seorang yang shalat selama empat puluh tahun dan tidak pernah tidur malam?
Setiap hari cuma memakakan lima butir (kurma)? Shalat shubuh dengan wudhu
shalat isya’? orang tersebut adalah saya sebelum mengenal Ummu Abdirrahman. Apa
yang saya katakan kepada seorang yang menikahkanku?” Kemudian dia berkata:
“Saya tidak menginginkan kecuali kebaikan”.
Wahai Para Penuntut Ilmu…!
Sebuah nasehat berharga dari Umar ibn Khathab yang wajib kita
renungkan adalah perkataan beliau:
تفقّهوا قبلَ أَن تسودوا
“Menjadilah faqih (dengan menuntut ilmu) sebelum menjadi
pemimpin”.
Sebuah nasehat yang sangat luar biasa yang menunjukkan pentingnya
menuntut ilmu. Bahkan sebagian ulama menafsirkan perkataan Umar ibn Khathab
tersebut dengan anjuran menununtut ilmu sebelum menikah. Loh kok bisa? Bisa.
Karena pada hakekatnya seorang suami juga harus menjadi pemimpin rumah
tangganya yang otomatis dia akan sibuk dan perhatiannya terhadap ilmu pun akan
berkurang.
Perkataan-Perkataan Para Ulama Yang Perlu Kita Ketahui
Disini saya akan mencoba untuk menukil perkataan-perkataan para
ulama yang cukup menarik untuk kita ketahui. Imam al-Khathib al-Baghdadi
menjelaskan dalam kitab al-Jami’ Lii Akhlaqi ar-Rawi Wa Aadabi as-Sami’:
“Dianjurkan agar penuntut ilmu membujang sampai batas yang memungkinkan
baginya, karena kesibukannya dalam menunaikan hak-hak suami istri dan mencari
penghidupan akan menghalanginya untuk menuntut ilmu”.
Bahkan Imam Sufyan at-Tsauri mengatakan: ”Siapa yang telah menikah
berarti dia telah mengarungi samudra, jika telah lahir seorang anak maka dengan
itu perahunya hancur”. Maksudnya seorang yang telah menikah dan juga telah
dikaruniai anak maka otomatis waktunya untuk mencari ilmu akan berkurang atau bahkan
tidak ada sama sekali.
Imam Ibnul Jauzi dalam kitab Shaid al-Khathir berkata:
“Saya memilih bagi penuntut ilmu yang masih pemula agar menghindari untuk
menikah sesuai kemampuannya, bahkan Imam Ahmad ibn Hanbal tidak menikah
sehingga umur beliau mencapai empat puluh tahun”.
Sebuah hal yang mencengangkan datang dari sebuah ungkapan salah
seorang ulama:
ذُبِحَ العلمُ بين أفخاذِ
النساءِ
“Ilmu itu telah disembelih diantara paha para wanita”.
Artinya kenikmatan menikahi seorang wanita terkadang dapat
menjadikan seseorang berhenti untuk menuntut ilmu. Ungkapan yang lain
menyebutkan: “Ilmu itu telah hilang dalam paha para wanita”.
Perlu kita ingat bahwa para ulama pada masa itu harus melakukan
perjalanan melintasi kota atau bahkan melintasi negara untuk menuntut ilmu.
Maka jelas berkeluarga pada saat itu dapat menghambat dan menghalangi mereka
untuk menuntut ilmu. Hal tersebut mungkin agak berbeda dengan zaman kita
sekarang.
Para Ulama Mengharamkan Yang Dihalalkan Allah?
Mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah SWT merupakan
dosa yang sangat besar. Bahkan hal tersebut sudah menjadi bentuk kesyirikan
kepada Allah SWT. Lantas benarkah para ulama berani mengharamkan
sesuatu yang telah dihalalkan oleh Allah SWT? Bahkan Allah SWT berfirman:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ
اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ})المائدة: 87(
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengharamkan
apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian, dan janganlah kalian
melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas”. (QS.al-Maidah : 87)
Benarkah para ulama tersebut sudah jatuh ke dalam larangan ayat di
atas? Tunggu dulu! Jangan sekali-kali kita menyimpulkan sesuatu semau kita
sendiri!
Imam asy-Syathibi dalam kitab al-I’thisham menjelaskan
terkait ayat di atas. Ada beberapa hal menurut beliau yang perlu kita ketahui
terkait pengharaman yang halal. Dan gambaran dari hal tersebut ada rinciannya.
Yang pertama: Pengharaman hakiki. Dan pengharaman jenis inilah
yang dilakukan oleh orang-orang kafir seperti dalam masalah al-Bahirah dan as-Sa’ibah yang
telah Allah SWT terangkan dalam al-Qur’an.
Yang kedua: Hanya sebatas meninggalkan dan tidak ada tujuan untuk
mengharamkan. Hal tersebut juga terjadi pada Rasulullah SAW yang meninggalkan
memakan adh-Dhabb (kadal padang pasir/ biawak). Beliau bersabda:
{إنه لم يكنْ بأرضِ قومي، فأجدُنِي أعافُهُ}
(رواه الجماعة إلا الترمذي)
“Sesengguhnya dia tidak ada di negri kaumku, sehingga aku
mendapati diriku tidak menyukainya”. (HR.Jama’ah kecuali at-Tirmidzi)
Tidak Menikah Adalah Pilihan?
Tidak menikah adalah pilihan sebagian ulama berdasarkan ijtihad
mereka dengan mempertimbangkan berbagai hal dan mashlahatnya. Tidak menikah
bukanlah madzhab sebagian ulama yang kemudian mereka mengajak orang-orang untuk
mengikuti mereka. Hal tersebut tidak akan pernah kita temukan dalam kitab-kitab
para ulama. Bahkan tidak ada seorang ulama pun yang mengharamkan pernikahan dan
mengajak orang lain untuk tidak menikah.
Pilihan untuk tidak menikah merupakan pengorbanan sebagian ulama
demi memfokuskan diri mereka terhadap ilmu agama yang memang sangat dibutuhkan
oleh umat islam. Hal tersebut berdasarkan ijtihad mereka dengan
mempertimbangkan berbagai hal dan maslahatnya juga keadaan diri mereka,
lingkungan mereka dan kondisi umat islam secara keseluruhan serta kebutuhan
mereka terhadap ilmu agama.
Siapa Saja Ulama Yang Tidak Menikah?
Dalam hal ini banyak ulama yang mengorbankan diri mereka untuk
tidak menikah demi berkhidmah pada umat islam dalam hal menuntut dan
mengajarkan ilmu agama. Hanya saja pada tulisan ini saya hanya akan menyebutkan
beberapa nama di antara mereka yang memang namanya sudah sangat masyhur di
kalangan umat islam. Sebut saja Imam ibnu Jarir ath-Thabari, Imam an-Nawawi,
begitu juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Apakah Mereka Tidak Berhasrat Kepada Wanita?
Ketika mendengar pertanyaan ini, saya jadi teringat dengan kisah
seorang yang sangat luar biasa. Seorang yang oleh para ulama dianggap sebagai
khulafaurrasyidin yang kelima. Ya, dialah Umar ibn Abdul Aziz.
Lantas apa hubungan pertanyaan di atas dengan kisah Umar ibn Abdul
Aziz? Saya akan mencoba untuk menjawabnya. Ketika Umar ibn Abdul Aziz diamanahi
untuk menjadi seorang khalifah maka beliau menganggap hal tersebut sebagai
amanah dan tanggung jawab yang sangat berat, sampai-sampai beliau mengatakan
kepada istrinya bahwa sudah tidak ada waktu lagi buat istrinya. Beliau merasa
waktu beliau sudah habis untuk mengurus urusan kaum muslimin yang sudah
diamanahkan kepada dirinya.
Akan tetapi istri beliau Fathimah binti Abdul Malik adalah wanita
sholehah yang lebih memilih untuk bersabar dan terus mendampingi suaminya Umar
ibn Abdul Aziz. Dan pengakuan istrinya ketika Umar ibn Abdul Aziz sudah wafat
bisa menjadi pelajaran buat kita semua. “Umar ibn Abdul Aziz tidak pernah mandi
besar baik karena janabah atau mimpi basah sejak dia diangkat menjadi khalifah
sampai dia meninggal”.
Ilmu Adalah Warisan Para Nabi
Lantas adakah sesuatu yang lebih besar dibandingkan ilmu yang
merupakan warisan para nabi? Maka urusan wanita bagi para ulama
dibandingkan dengan ilmu merupakan hal yang kecil.
Kebutuhan umat terhadap ilmu agama sangat besar. Maka sangatlah
wajar jika ulama (ahli waris nabi) merasa mendapatkan amanah yang begitu besar
untuk berkhidmah bagi umat islam. Begitu besarnya amanah dan tanggung jawab
yang mereka emban menjadikan urusan wanita menjadi sangat kecil. Bahkan
Itulah pengorbanan para penuntut ilmu. Maka pantaslah jika Allah
SWT meninggikan derajat mereka. Allah SWT berfirman:
{يَرْفَعِ
اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ}(الحجرات : 11)
"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman
di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS.al-Mujadilah : 11)
Wallahu A’lam Bish
showab
Ali Shodiqin
Kamis, 08 Mei 2014
Memahami Sunnah Nabi
Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokaatuh...
Seringkali kita mendengar perkataan..kita harus mengikuti sunnah nabi, ibadah maupun muammalah kita belum sesuai dengan sunnah nabi dsb...namun kita belum memahami benar apa arti yang sebenarnya dari sunnah itu sendiri.
Berikut ada artikel tentang sunnah, yang cukup ringkas, dan jelas tentang makna sunnah. Apakah sunnah hanya terbatas perbuatan nabi, maupun perkataannya atau ada yang lainnya.
Semoga artikel ini bermanfaat.
Seringkali kita mendengar perkataan..kita harus mengikuti sunnah nabi, ibadah maupun muammalah kita belum sesuai dengan sunnah nabi dsb...namun kita belum memahami benar apa arti yang sebenarnya dari sunnah itu sendiri.
Berikut ada artikel tentang sunnah, yang cukup ringkas, dan jelas tentang makna sunnah. Apakah sunnah hanya terbatas perbuatan nabi, maupun perkataannya atau ada yang lainnya.
Semoga artikel ini bermanfaat.
Perbedaan Makna Sunnah dari Berbagai Sudut Pandang
1. Makna Sunnah dari Segi Bahasa
Makna kata 'sunnah' secara bahasa punya banyak arti, di antaranya adalah:
- At-Thariqah (metode)
- Al-'Aadah (kebiasaan)
- As-Sirah (sejarah/riwayat/kehidupan)
Maka jangan mudah salah paham dulu kalau mendengar ungkapan bahwa menikah adalah sunnah para nabi. Maksudnya adalah bahwa para nabi itu punya kebiasaan atau kehidupan dengan cara menikah dengan wanita, tidak hidup membujang seperti yang dipahami oleh saudara kita yang Kristiani.
Para nabi punya sunnah menikah, artinya mereka semua menikah dan hidup berumah tangga, beranak dan punya keturunan.
Dan bukan berarti menikah itu hukumnya sunnah, seperti istilah yang digunakan oleh para ahli fiqih. Sebab hukum menikah menurut para ahli fiqih bukan hanya sunnah, melainkan ada lima hukumnya.
Menikah itu hukumnya bisa wajib, bisa sunnah, bisa mubah, bisa makruh dan bisa juga haram. Itu adalah hukum menikah dalam pandangan para ulama fiqih yang memang kapasitasnya sebagai ahli hukum.
2. Sunnah Menurut Ahli Fiqih
Para ahli fiqih punya istilah sunnah yang mereka definisikan dengan beberapa batasan.
Sebagian ahli fiqih mengatakan bahwa sunnah itu adalah sebuah perbuatan yang bila dikerjakan akan mendatangkan pahala dan bila tidak dikerjakan tidak mendatangkan dosa bagi pelakunya.
Lihat kitab Al-Fatawa Al-Hindiyah jilid 1 halaman 67, juga kitab Ibnu Abidin jilid 1 halaman 70.
Sementara sebagian ahli fiqih lainnya membuat batasan bahwa sunnah adalah perbuatan yang selalu dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW, namun tidak sampai menjadi kewajiban karena tidak ada dalil yang menunjukkan atas kewajibannya.
Bisa kita baca dalam kitab Ibnu Abidin jilid 1 halaman 80 dan 404. Juga kitab Jawahirul Iklil jilid 1 halaman 73.
Ulama lain mendefinisikan sebagai metode dalam beragam yang tidak sampai difardhukan atau diwajibkan. Lihat kitab Kasyful Asrar oleh Al-Bazdawi jilid-jilid halaman 302.
3. Sunnah Menurut Ilmu Ushul (Ushuliyyin)
Yang dimaksud dengan sunnah adalah salah satu sumber hukum Islam. Kedudukannya setelah Al-Quran. Sering juga disebut dengan istilah sunnah nabi atau sunnah nabawiyah.
Pengertiannya adalah segala yang dinisbahkan kepadaNabi Muhammad SAW baik berupa perbuatan, perkataan dan taqrir. Sehingga kita mengenal ada sunnah fi'liyah, sunnah qauliyah dan sunnah taqririyah.
Dalam pengertian ini, sunnah itu merupakan muradif (sinonim) dari istilah hadits nabawi. Jelas berbeda dengan pengertian sunnah menurut para fuqaha ilmu fiqih.
Para ulama fiqih menyebut sunnah dalam kapasitas sifat atas suatu hukum. Misalnya hukumnya puasa Senin Kamis itu sunnah. Sedangkan menurut ulama ushul, sunnah itu adalah benda, yaitu kitab hadits yang berisi perkataan, perbuatan dan taqrir dari nabi Muhammad SAW.
Titik Temu Antara Semuanya
Kalau ada ungkapan bahwa kita harus berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah SAW, maka ungkapan ini harus kita pahami sebagai hadits nabi SAW, yang merupakan sumber dari sumber-sumber syariah Islam.
Maka ungkapan ini menjadi benar, tentu saja. Sebab kita memang harus menjadi hadits nabi SAW sebagai sumber dalam menjalankan agama Islam.
Namun pengertianya akan menjadi tidak selalu tepat kalau ditempatkan bukan pada tempatnya. Misalnya, ada orang yang mengatakan bahwa shalat qabilyah dan ba'diyah itu harus kita pegang teguh, bahkan wajib dilaksanakan. Sebab nabi Muhammad SAW selalu mengerjakannya.
Nah, di sini akan terlihat jelas bedanya. Shalat qabliyah dan ba'diyah itu memang selalu dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW, namun bukan berarti hukumnya wajib. Para ulama tidak pernah menghukumi kedua jenis shalat itu sebagai kewajiban, meski merupakan pekerjaan yang tidak pernah ditinggalkan oleh nabi SAW.
Mengapa demikian?
Kita tahu bahwa ternyata tidak semua pekerjaan yang dilakukanoleh nabi SAW, hukumnya menjadiwajib. Ada yang hukumnya memang wajib, tapi ada juga yang hukumnya sunnah, bahkan ada yang hukumnya mubah, makruh hingga sampai ke haram.
Lho sunnah nabi kok haram?
Ya, bisa saja sunnah nabi menjadi haram. Sebab sunnah nabi itu maksudnya adalah perbuatan nabi. Dan ada beberapa perbuatan nabi yang hukumnya haram dikerjakan oleh umatnya.
Misalnya berpuasa wishal, yaitu puasa yang bersambung terus beberapa hari tanpa berbuka. Nabi Muhammad SAW diriwayatkan secara shahih telah melakukannya, namun beliau melarang umatnya untuk melakukannya.
Contoh lain adalah beristeri lebih dari empat wanita secara bersamaan. Beliau diriwayatkan beristerikan 9 orang, atau ada yang bilang 11 orang. Jelas sekali riwayat itu sampai kepada kita dan kita semua sepakat membenarkannya.
Namun jelas juga hukumnya bagi umat Islam tentang keharaman beristri lebih dari 4 orang wanita. Walau pun nabi Muhammad SAW malah beristeri lebih dari empat orang.
Selain itu ada juga perbuatan yang menjadi wajib bagi nabi Muhammad SAW, namun bagi ummatnya malah tidak wajib. Misalnya shalat witir di malam hari (tahajjud). Sebagai umatnya, kita tidak diwajibkan untuk melakukannya, hukumnya buat kita hanya sunnah. Sedangkan buat nabi Muhammad SAW, hukumnya wajib.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc
Rabu, 09 April 2014
Ini Pendapatku, Bukan al-Quran dan Sunnah
Alasan kenapa ulama 4 madzhab tidak buat kitab "ini sifat ibadah menurut Nabi" tapi buat kitab "ini sifat ibadah menurut madzhab kami"
Kalau membaca sejarahnya, setelah Nabi saw wafat, kita pasti
akan mendapati para sahabat Nabi saw sangat menjaga sekali agar tidak ada yang
namanya pemalsuan hadits. Dari itu setiap kali mereka mendengar ada orang yang
mengaku mempunyai riwayat hadits dari Nabi saw, mereka tidak langsung
mempercayainya.
Kalau Nabi masih hidup, dengan mudah sekali para sahabat
meminta kepastian dan meurujuk kepada Nabi saw tentang kabar yang mereka
dengar. Tapi ketika Nabi saw sudah wafat, kepada siapa mereka meminta kepastian
itu?
Itu wajar saja, karena selepas kepergian Nabi saw, banyak
pembenci Islam yang masuk Islam bukan untuk Islam, tapi untuk mencederai ajaran
Islam itu sendiri. Dan salah satu jalan pencederaan syariah itu ialah melalui
jalur pemalsuan hadits. Untuk itu mereka para sahabat sanbgat ketat sekali
menerima hadits.
Di samping itu juga mereka khawatir, kalau tidak teliti
benar dalam menerima, mereka bisa salah menisbatkan kalimat tersebut kepada
Nabi saw padahal sejatinya Nabi tidak mengucapkan itu, yang mana Nabi saw telah
mengancam pelakunya dengan neraka.
وَمَنْ
كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“siapa yang berbohong atasku, maka hendaklah ia menyiapkan
tempat duduknya di neraka” (Muttafaq ‘alayh)
Ini yang banyak direkam oleh para ulama dalam kitab-kitab
mereka ketika menceritakan kondisi setelah wafatnya Nabi saw dari sisi
periwayatn hadits dan perkembangan tasyri’ Islam (pensyariatan hukum islam).
Salah satu diantara mereka yang detail menceritakan itu ialah Sheikh Muhammad
al-Khudhori Bik dalam kitabnya Tarikh Tasyri’ Al-Islami.
Singkatnya, para sahabat tidak berani asal menerima
perkataan orang yang mengaku bahwa ia mendengar hadits dari Nabi saw, kecuali
setelah melalui beberapa birokrasi yang mereka terapkan.
Khalifah pertama contohnya, Sayyidina Abu Bakr yang
mensyaratkan harus ada saksi. Jadi, jika ada yang datang lalu mengatakan “qola
Rasulullah: ….” (Rasulullah saw bersabda: ….. ), tidak sampai selesai,
sayyidina Abu Bakr telah memberhentikannya sambil menanyakan 2 pertanyaan ini:
“Man sami’a ma’aka hadza?” (siapa lagi selain kamu yang
mendengar ini?)
“Man Syahida laka fi hadza?” (siapa yang jadi saksimu di
hadits ini?)
Jadi untuk sayyidina Abu bakr, birokrasi utama dalam
periwayatan hadits itu ketat, yaitu harus ada saksi atau ada orang lain yang
sama-sama mendengar. Jadi kalau hanya satu orang yang berkata, itu hanya
pengakuan dan belum bisa diterima.
Itu yang dilakukan oleh sayyidina Abu Bakr, berbeda dengan
apa yang dilakukan oleh sayyidina Ali bin Abi Thalib di Kufah. Beliau sadar
jarak jauhnya dengan pusat wayhu (madinah), dan ketika itu tidak banyak jumlah
sahabat yang imigrasi ke Kufah dari Madinah. Beliau tidak mensyaratkan saksi,
karena itu cukup suli sekali, tapi beliau mensyaratkan adanya yamin atau
sumpah.
Jadi, siapapun yang mengatakan “qola Rasulullah: ….” (Rasulullah
saw bersabda: ….. ), ia tidak langsung diterima kecuali setelah ia bersumpah
bahwa ia telah benar punya riwayat hadits itu. Sebenarnya ini juga yang menjadi
poin atau sumbu perbedaan antara ijtihadnya ulama Madinah (basis madzhab
Maliki) dan Ulama Iraq (basis madzhab Hanafi).
Bisa jadi hadits yang diterima di Madinah tapi tidak di
Kufah, namun bisa juga sebaliknya, di Kufah diterima, namun di Madinah malah
tidak.
Sayyidina Umar Menolak Hadits
Contoh yang masyhur ialah apa yang dilakukan oleh sayyidina
Umar bin Khaththab yang mana beliau mengikuti jejak sayyidina Abu Bakr dalam
penerimaan hadits. Ketika itu beliau mengatakan bahwa wanita yang ditalak tiga
(bainunah kubra) itu masih tetap punya hak nafaqah dan tempat tingggal dari
suaminya, dengan dalil ayat 1 surat Al-Talaq.
Dalam ayat disebutkan secara tegas bahwa seorang suami tidak
boleh mengeluarkan istrinya kecuali jika si istri melakukan perzinahan. Artinya
walaupun sudah di talak 3, wanita tetap diberikan tempat tinggal, dan pemberian
tempat tinggal tidak mungkin kecuali didalamnya juga termasuk nafkah. Seperti
wanita-wanita lain yang ditalak 1 atau 2 (talak raj’i).
Jadi, menurut sayyidina Umar, wanita yang ditalak 3 (talak
bain) itu tetap punya hak tempat tinggal dan nafkah. Akan tetapi kemudian,
fatwa sayyidina Umar ini ditentang oleh salah seorang wanita yang bernama
Fatimah binti Qois.
Beliau menyanggah fatwa sayyidina Umar dan mengatakan bahwa
wanita yang ditalak 3 itu tidak punya hak nafkah dan juga tempat tinggal,
dengan dalil bahwa ia (Fatimah binti qois) itu pernah melapor ke Nabi bahwa
suaminya menceraikannya 3 kali dan Nabi saw tidak memberikannya hak nafkah
serta hak tempat tinggal. Dan hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam
Musnad-nya (no. 27344).
Akan tetapi sayyidina Umar membantah kesaksian wanita
tersebut sambil berkata:
لَا نَدَعُ كِتَابَ رَبِّنَا،
وَسُنَّةَ نَبِيِّنَا، بِقَوْلِ امْرَأَةٍ، لَا أَدْرِي أَصَدَقَتْ،
أَمْ كَذَبَتْ
“kami tidak akan meninggalkan quran dan sunnah Nabi dengan
(mengambil) perkataan seorang wanita yang kita tidak tahu, yang bisa saja ia
ingat bisa juga ia lupa.” (Musnad Ishaq bin Rohawaih, no. 2366)
Perkataan sayyidina Umar ini menjadi salah satu bukti
ketatnya birokrasi penerimaan hadits ketika itu, sebagaimana kekhawatiran
mereka akan kesalahan menisbatkan sebuah perkataan atau hadits kepada Nabi saw
yang bisa saja keliru. Ini banyak direkam oleh para ulama sejarah dan ushul. (al-Fushul fi al-Ushul
3/103)
Penisbatan Ijtihad Fiqih
Dan kehati-hatian dan kekhawatiran para sahabat dalam
penisbatanqaul atau perkataan kepada Nabi saw, yang akhirnya membuat mereka
sangat ketat karena takut salah dan akhirnya jatuh kepada ancaman neraka dari
nabi saw tersebut merambat kepada fatwa-fatwa dan ijtihad mereka dalam masalah
hukum (fiqih).
Ya. Ketika mereka berijtihad dalam sebuah masalah yang
memang tidak ada hadits atau ada hadits namun mereka tidak menerimanya, mereka
berijtihad dan hasil ijtihadnya tersebut mereka katakan sebagai hasil ijtihadnya,
dan itu pendapatnya.
Mereka sama sekali tidak mengatakan “ini adalah pendapat
yang Allah dan Rasul-Nya inginkan!”. Tidak juga mereka katakan: “ini adalah
pendapat yang benar menurut Allah dan rasul-Nya!”. Walaupun mereka orang-orang
terdekat dengan Nabi saw, orang yang paling paham dengan al-Quran dan Sunnah,
mereka tidak sampai hati menisbatkan hasil ijtihad mereka kepada Allah swt dan
rasul-Nya.
Kenapa?
Khawatir kalau apa yang mereka ijtihadkan itu bukanlah
sebuah kebenenaran yang Allah swt dan Rasul-Nya inginkan. Mereka hanya
emnjalankan tugas ijtihad, tapi tidak bertugas untuk mengaku-ngaku bahwa
ijtihadnya yang paling benar. Karena itu mereka tidak mengatakan: “ini pendapat
yang sesuai Kitab dan Sunnah!”.
Tapi justru dengan tegas mereka, para sahabat mengatakan
bahwa hasil ijtihadnya itu adalah pendapatnya sendiri. Kalimat yang masyhur
seperti ini:
“ini adalah pendapatku, kalau ini benar maka itu dari
(anugerah) Allah dan kalau salah maka itu dari aku sendiri dan dari setan. Dan
Allah serta Rasul-Nya terbebas dari (ijtihad)-ku ini.”
Kehati-hatian mereka membuat mereka menjadi sangat tawadhu’
sekali. Perkataan sahabat yang seperti ini banyak ditulis oleh ulama dalam
kitab-kitab mereka, termasuk sheikh al-Islam Ibnu Taimiyah (728 H),dalam banyak
halaman di kitab beliau Majmu’ al-Fatawa, salah satunya di Bab 10, hal. 450:
وقد قال أبو بكر
وابن مسعود وغيرهما من
الصحابة فيما يفتون فيه
باجتهادهم: إن يكن صوابا
فمن الله وإن يكن
خطأ فهو مني ومن
الشيطان والله ورسوله بريئان
منه
“dan Abu Bakr serta Ibnu Mas’ud serta sahabat lainnya telah
berkata dalam setiap fatwa yang merekaijtihadkan: ini adalah pendapatku, kalau
ini benar maka itu dari (anugerah) Allah dan kalau salah maka itu dari aku
sendiri dan dari setan. Dan Allah serta Rasul-Nya terbebas dari (ijtihad)-ku
ini.”
Jadi, tidak gampang mengatakan: “ini yang benar sesuai quran
dan sunnah!”. Sebagaimana juga para sahabat mengajarkan itu. Karena bisa saja
ijtihadnya itu salah, akhirnya ia menisbatkan pendapat yang salah kepada Allah
dan Nabi saw. Naudzubillah.
Dan cara hati-hati serta tawadhu’ inilah yang kemudian
diteruskan budayanya oleh para ulama setelahnya, termasuk para imam madzhab dan
ulama dalam setiap ijtihad yang mereka lakukan.
Kalau kita buka kitab-kitab madzhab, kita akan dapati bahwa
ulama mereka tidak pernah mengatakan: “inilah pendapat yang benar/rojih menurut
kitab dan sunnah.”. tidak seperti itu! Mereka justru menisbatkan fatwa mereka
ke imam mereka sendiri atau ke madzhab mereka.
Dalam hal ini, para fuqaha’ punya kalimat masyhur sekali
untuk menunjukkan penisbatan pendapat tersebut kepada madzhab mereka, yakni
bahwa ini adalah fatwa kami atau hasil ijtihad kami. Salah satunya dan ini yang
paling sering, yaitu kata ‘Indana [عندنا]
(menurut kami). Mereka tidak mengatakan: ‘inda al-Quran wa sunnah [عند القران والسنة]
(menurut Quran dan Sunnah).
وَأَمَّا
الصَّبِيُّ وَالْمَجْنُونُ إذَا قَتَلَ مُوَرِّثَهُ
لَمْ يُحْرَمْ الْمِيرَاثَ عِنْدَنَا
“dan adapun jika orang gila atau anak kecil membunuh
pewarisnya, ia tidak diharamkan mendapat warisan menurut kami”. (al-Mabsuth
30/48)
Madzhab Maliki
وَالْعِيدُ
مَأْخُوذٌ مِنَ الْعَوْدِ لِتَكَرُّرِهِ
فِي كُلِّ سَنَةٍ وَهُوَ
عِنْدَنَا سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ
“dan ‘Ied (sholat Ied) itu diambil dari kata al-‘aud
(kembali) karena sering terulang/kembali setiap tahun, dan sholat ini menurut
kami hukumnya sunnah muakkad” (al-Dzakhiroh 2/417)
Madzhab Al-Syafi’i
في نجاسة الآدمي بالموت:
قد ذكرنا أن الأصح
عندنا أنه لا ينجس
“dalam kenajisan manusia karena meninggal: sebagaimana yang
telah kami sebutkan, bahwa yang benar menurut kami adalah ia tidak
najis”(Al-Majmu’ 2/563)
Madzhab Al-Hanabilah
تَجِبُ
الزَّكَاةُ فِي مَالِ الصَّبِيِّ
وَالْمَجْنُونِ، بِلَا خِلَافٍ عِنْدَنَا.
“wajib (mengeluarkan) zakat dari harta anak kecil dan orang
gila tanpa ada yang menyelisih, menurut kami”
(Al-Inshaf ¾)
Ya. Mereka mengikuti apa yang dilakukan oleh para sahabat
dan guru-guru mereka dali ulama salaf yang memang seperti itu. Bukan karena mereka
tidak berhukum dengan al-Quran dan Sunnah. Bukan! Justru mereka lah para ulama
yang Allah berikan kefahaman komrehensif terhadap al-Quran dan Sunnah.
Mereka tentu sangat mengerti tentang itu semua. Mereka
melakukan itu karena memang khawatir akhirnya mereka berbohong atas Quran dan
sunnah. Karena itu lebih selamat (dan memang begitu seharusnya) mereka
menisbatkan fatwa dan ijtihadnya kepada dirinya sendiri, sambil bersyukur kalau
ijtihadnya benar, itu adalah dari Allah swt bukan dirinya sendiri.
jadi, itu dia kenapa para ulama menisbatkan ijtihad dan
fatwa mereka kepada diri mereka sendiri, mereka mengatakan: "Ini pendapat
yang benar menurut kami!". Dan sama sekali tidak mengatakan: "ini
pendapat yang benar menurut al-Quran dan Sunnah!". khawatir itu penisbatan
yang jadi dusta atas nama al-Quran dan Sunnah.
Wallahu a’lam.
Ahmad Zarkasih, Lc
Langganan:
Postingan (Atom)