Bismillaahirrohmannirrohiimm..
Akhir-akhir ini sering kita lihat di media cetak dan elektronik,
bagaimana perceraian adalah sudah merupakan hal yang biasa. Kita pahami bahwa
sesungguhnya walaupun perceraian itu diperbolehkan, dan adalah bagian daripada
syari’at islam yang diakui dan tercantum dalam Al Qur’an, namun akan sangat
disayangkan, bahwa niat untuk membina keluarga yang Sakinnah, mawaddah dan
warohmah tidak terwujud. Apalagi bila kita sudah memiliki keturunan, maka
dampak psikologis yang akan diterima oleh sang anak adalah sangat berat
(melihat bahwa keluarga yang tidak utuh, antara ayah dan ibu yang tidak 1
rumah)
Oleh karenanya, demi tercapainya dan terbinanya keluarga yang
sakinah, mawaddah dan warohmah, ada baiknya kita mengetahui, sedikit dari
beberapa kewajiban Suami dan Istri dalam membina rumah tangga, agar rumah
tangga kita menjadi rumah tangga yang di Ridhoi oleh Allah, dan menjadi Baiti
Jannati (Rumahku adalah surgaku) serta mendapatkan perhiasan dunia sebagaimana
dikutip dalam hadits riwayat Imam Muslim, “Sesungguhnya dunia itu adalah
perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita/istri shalihah.” (HR.
Muslim no. 1467)
Berikut adalah beberapa kewajiban dari suami / istri, yang sering
kali terlewatkan oleh para suami / istri, terutama dikehidupan yang modern ini,
dimana para suami / istri banyak disibukan oleh kegiatan diluar rumah, hingga
larut malam, sampai-sampai kewajiban masing-masing suami / istri terabaikan,
dan mengakibatkan ketidakharmonisan dan ketidak langgengan dalam berumah
tangga.
Semoga bermanfaat.
Kewajiban Suami :
1. MEMPERLAKUKAN ISTRI DENGAN SOPAN DAN HORMAT.
Berikut adalah dalilnya, Allah
SWT berfirman:
" Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila
kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak
menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak."
(An-Nisaa' : 19)
Penjelasan:
Di antara kewajiban suami terhadap istrinya ialah :
a)
menghormatinya;
b) berlaku sopan
kepadanya;
c) melunakkan
hatinya;
d) bersikap halus
dan sabar kepadanya.
Di antara bukti kesempurnaan akhlak seseorang dan keteguhan
imannya yaitu bersikap santun dan halus kepada istrinya. Rasulullah saw. bersabda:
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik
akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.”
(HR. At-Tirmidzi no. 1162. Lihat Ash-Shahihah no. 284)
Menghormati istri pertanda dari kemanusiaannya yang sempurna; dan
merendahkannya sebagai tanda dari kejelekan dan kerendahannya. Di antara cara
menghormati istri yaitu bersikap lemah lembut kepadanya dan bersikap sabar.
Rasulullah saw. biasa bersikap lembut kepada 'Aisyah, bahkan beliau berlomba Iari
dengannya. Kata 'Aisyah:
"Rasulullah berlomba denganku hingga aku dapat mendahuluinya,
demikianlah aku selalu dapat mendahuluinya, sampai ketika aku menjadi gemuk,
beliau berlomba denganku dan beliau mendahului aku. Lalu Rasulullah saw bersabda:
'Kali ini penebus yang dulu’ (HR. Ahmad
dari Abu Dawud)
Di antara cara menghormati istri yaitu mengangkat martabatnya
setaraf dengan dirinya, tidak menyakiti hatinya, sekalipun dengan kata-kata
olokan. Suami wajib menjaga istrinya, memeliharanya dari segala sesuatu yang
menodai kehormatannya, menjaga harga dirinya, menjunjung kemuliaannya, menjauhkannya
dari pembicaraan yang tidak baik.
2. MENDAHULUKAN KEPENTINGAN ISTRI DARIPADA KEPENTINGAN ORANG LAIN.
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda:
"Bersedekahlah!" Lalu ada seorang laki-laki datang:
"Aku punya satu dinar." Nabi saw. bersabda: "Belanjakaniah untuk
dirimu!" Laki-laki itu berkata (lagi): "Aku masih punya satu dinar
lagi." Nabi saw. bersabda: "Belanjakanlah untuk istrimu!"
Laki-laki itu berkata (lagi): "Aku masih punya satu dinar lagi!" Nabi
bersabda: "Sedekahkanlah untuk anakmu!" Laki-laki itu berkata lagi:
"Aku masih mempunyai satu dinar lagi" Nabi saw. bersabda:
"Belanjakanlah untuk pelayanmu." Lalu laki-laki itu berkata lagi:
"Aku masih mempunyai satu dinar lagi." Sabdanya: "Engkau lebih
tahu."(HR. Ahmad, Nasa'i dan Abu Dawud; tetapi Abu Dawud mendahulukan anak
daripada istri)
Penjelasan:
Orang yang selalu terkait dengan pikiran, perasaan dan angan-angan
seseorang adalah anak dan istrinya. Bagi orang yang tidak punya anak, maka
istrinyalah yang paling dekat dan selalu memenuhi hatinya. Karena itu, logis
kalau Islam menetapkan bahwa yang paling dekat dengan sang suami atau sang ayah
itulah yang harus lebih dahulu diutamakan kepentingannya daripada orang lain.
Urutan pemberian belanja yang disebut oleh Rasulullah di atas
adalah menunjukkan suatu penyelesaian tanggung jawab yang secara menejemen
modern tepat pada sasarannya. Sebab dalam kehidupan sehari-hari, orang-orang
yang senantiasa memberikan sumbangsih paling besar untuk semangat kehidupan
seseorang adalah:
a. istrinya;
b. anak-anaknya; dan
c. para pembantunya
(karyawannya).
Selain itu, sebagaimana kita ketahui, bahwa setelah menikah, Istri
harus mengutamakan kepentingan ketaatan kepada suami (selama tidak menyuruh
kepada kemusyrikan dan meninggalkan ketaatan kepada Allah), maka sudah
seyognyanya dan sewajarnya Suami harus mendahulukan Kepentingan Istri daripada
orang lain.
Sebelum menikah, Istri kita adalah tanggung jawab orang tuanya
sendiri. Bila ada permasalahan baik dari segi ekonomi maupun non materi
(perasaan tidak aman, berkeluh kesah, dan lain sebagainya), maka orang tuanya
wajib untuk membantu menyelesaikan permasalahan tersebut, dan “anak” bisa
berkeluh kesah kepada orang tuanya. Namun selepas ijab Kabul, dimana Orang tua
istri kita telah menyerahkan seluruh tanggung jawab anaknya kepada kita, maka
pada saat itulah, kita bertanggung jawab penuh atas segala kebutuhannya, kebahagiannya,
baik jasmani maupun rohani. Kebahagiaan
dan kelanggengan berumah tangga adalah sebatas mana suami bias tetap menjaga
dan menghormati serta mendahulukan kepentingan istri dibandingkan kepentingan
orang lain (kecuali kepentingan orang tua suami). Ada hadits dibawah ini, yang
menjelaskan betapa pentingnya peran kita sebagai suami, sehingga kita perlu
mengutamakan istri kita daripada orang lain.
Dan Aisyah, ujarnya: "Saya bertanya kepada Nabi saw: Siapakah
yang paling besar haknya kepada seorang wanita?' Sabdanya: `Suaminya.' Aku
bertanya pula: `Siapakah yang paling besar haknya kepada seorang laki-laki?'
Sabda beliau: 'Ibunya.- (HR. Nasa'i)
Dari hadits diatas terlihat, bahwa Suami memiliki wewenang penuh,
untuk “diurus” dan dipenuhi segala hak-haknya oleh istrinya. Dan Suami tetap
bertanggung jawab untuk berkhidmat kepada ibunya.
3. MENJAUHKAN ISTRI DARI PERBUATAN DOSA
Allah berfirman pada surat At-Tahrim ayat 6:
"Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu
dari siksa api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah atas perintah
Allah kepadanya dan selalu taat pada apa yang diperintahkan kepada
mereka."
Penjelasan:
Ayat ini Allah tujukan kepada para penanggung jawab keluarga,
yaitu suami atau bapak. Mereka ini disuruh menjauhkan istri dan keluarga mereka
dari segala perbuatan yang mengakibatkan siksa neraka.
Apakah hal dan perbuatan yang menyebabkan orang masuk neraka?
Yaitu semua perbuatan dosa. Ini berarti setiap suami mukmin wajib tahu hukum
syari'at Islam, sehingga dapat mencegah istri dan anak-anaknya dari berbuat
dosa itu.
Dalam satu riwayat diterangkan bahwa ketika ayat ini turun, 'Umar
berkata: "Wahai Rasulullah, kami sudah menjaga diri kami, tetapi bagaimana
caranya menjaga keluarga kami?" Sabda Rasululiah saw:
"Laranglah mereka melakukan hal-hal yang kamu dilarang
melakukannya; dan suruhlah mereka mengerjakan hal-hal yang diperintahkan kepada
kamu mengerjakannya. Begitulah caranya menyelamatkan mereka dari api neraka.
Neraka itu dijaga oleh malaikat yang kasar dan keras yang pemimpinnya sebanyak
19 malaikat; mereka diberi kuasa untuk menyiksa di dalam neraka; tidak
men-durhakai Allah terhadap perintah yang mereka terima dan mereka selalu taat
pada perintah-Nya."
Bapak atau suami
yang membesarkan anak dan istrinya dalam suasana dosa atau membiarkan anak
istrinya berbuat dosa atau mengajak anak istrinya senang-senang dalam perbuatan
dosa, disebut melakukan perbuatan dayyuts. Perbuatan bapak atau suami yang
mengukirkan dosa ke dalam keluarganya adalah suatu perbuatan keji yang sangat
dicela dalam Islam.
Rasulullah saw.
mengingatkan kepada kita semua agar per-buatan dayyuts dijauhi sama sekali
sebagaimana dalam hadits berikut ini, diriwayatkan dari Imam Hakim, 'Abdullah
bin 'Umar, bersabda:
"Tiga golongan
yang tidak akan masuk surga, yaitu: sorang yang durhaka kepada ibu bapaknya;
orang yang berbuat dayyuts; wanita yang menyerupai laki-laki; (dan laki-laki
yang menyerupai wanita)."
Dan Nasai
meriwayatkan dari lbnu 'Umar juga bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"Tiga
golongan yang Allah haramkan mereka itu masuk surga, yaitu; peminum minuman
keras; orang yang durhaka kepada ibu bapaknya; dan orang yang berbuat dayyuts
yang menanamkan perbuatan dosa kepada keluarganya."
Dari kedua Hadits
di atas hendaklah menjadi perhatian agar berhati-hati dalam memilih teman
hidup. Janganlah terpedaya oleh bagusnya rupa atau kekayaan atau keturunan,
sehingga lupa memperhatikan akhlak dan agamanya. Begitu juga kaum lelaki jangan
kehilangan wibawa atas diri istrinya, sehingga tidak berani menegur istrinya
yang berbuat dosa yang merusak kebersihan rumah tangganya. Islam sangat
menghendaki rumah tangga menjadi tempat kediaman laksana surga bagi suami,
istri dan anak-anaknya.
4. MEMAAFKAN KEKURANGAN ISTRI.
Diriwayatkan dalam sebuah Hadits :
Dail Abu Hurairah ra, Rasulullah saw, bersabda: "Seorang
mukmin tidak boleh mencela seorang mukminat. Sekiranya ia tidak senang pada
salah satu dari sifat-sifat wanita itu, boleh jadi ia senang terhadap sifat-sifat
lainnya."(HR.Muslim)
Penjelasan:
Yang dimaksud dengan wanita mukminat dalam Hadits ini adalah istri. Seorang suami janganlah gemar
mencari kelemahan istrinya, karena hal ini dapat menyebabkan dia
hidup dalam kebingungan. Bila suami tidak senang terhadap salah satu perilaku
istrinya, dia tidak boleh membesar-besarkan kekurangannya itu.Tetapi hendaklah
dia memperhatikan kelebihan-kelebihan yang ada pada diri istrinya.
Kita semua tahu, bahwa manusia diciptakan dengan memiliki sifat
kekurangan dan kelebihan. Tidak semua yang ada pada pasangan kita, pasti akan
sesuai atau memenuhi “criteria” sebagai pasangan ideal. Namun jadikanlah kelebihan-kelebihan yang ada pada
pasangan kita, sebagai penutup kekurangan yang ada pada diri kita. Begitu pula
sebaliknya, jadikanlah
kekurangan-kekurangan yang adan pada pasangan kita ditutupi dengan kelebihan
yang ada pada diri kita.
Ada beberapa hal penting untuk diketahui dan dijalankan oleh
pasangan suami istri demi terciptanya rumah tangga yang sakinah mawadaah wa
rahmah; diantaranya adalah adanya saling pengertian tentang kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Kekurangan
suami tertutupi atau terpenuhi oleh kelebihan istri, demikian pula kekurangan
istri ada pada kelebihan suami. Jika pandangan seperti ini yang dikembangkan
dalam relasi di antara suami-istri, maka akan timbul sikap saling menghargai,
toleransi, dan saling menutupi kekurangan. Di dalam Alquran disebutkan “Istrimu adalah pakaian bagimu dan kamu
adalah pakaian baginya,” (QS. Al-Baqarah: 187).
Fungsi baju adalah untuk menutupi aurat dan menjaga kehormatan
“pemiliknya”. Selain itu, baju juga memiliki fungsi menambah rasa percaya diri
dan bangga bagi pemakainya. Jadi, sudah selayaknya istri harus menjadi sumber
inspirasi bagi suami, sehingga begitu percaya diri dan bangga kepada istrinya.
Bagitu pula sebaliknya, suami harus bisa menjadi inspirasi dan pendukung utama
bagi istri untuk membangun diri dan keluarga sejahtera mental serta sosialnya.
5. SEGERA PULANG BILA SELESAI URUSAN DI LUAR.
Rasulullah saw bersabda :
“Bepergian itu setitik penderitaan yang menyebabkan seseorang
diantara kamu tidak enak makan, minum dan tidur. Karena itu, bila seseorang di
antara kamu telah selesai kepentingannya di luar dengan semestinya, maka
hendaklah ia segera pulang ke keluarganya." (HR. Ahmad dan Malik, dari Abu
Hurairah)
Dan Rasulullah bersabda pula:
'Bila seseorang di antara kamu telah selesai haji, hendaklah is
segera pulang ke keluarganya, karena hal itu memberikan pahala lebih
besar." (HR. Hakim dan Baihaqi, dari 'Aisyah)
Penjelasan:
Sudah menjadi tanggung jawab suami untuk mencari nafkah bagi
dirinya dan istrinya. Hal ini sudah menjadi konsekuensi wajar dari seorang
lelaki yang memperistri seorang wanita. Ada kalanya dalam mencari nafkah itu
suami harus pergi jauh dari rumah untuk beberapa lama. Masa pergi suami ini
punya dampak psikologis bagi suami maupun istri. Suami yang berada jauh dari
istri itu banyak godaan yang menghadang. Selain kelelahan fisik, juga rasa
kerinduan kepada anak istri mendera dirinya. Karena itu, maka tidak heran kalau
di lingkungan masyarakat non-muslim, bisnis keji bertalian dengan transaksi
seks ini menjamur. Para perusak akhlak ini tahu memanfaatkan peluang setan
untuk meraih kenikmatan duniawi yang sekejap.
Untuk memecahkan kemelut ini, maka Rasulullah memperingatkan para
suami agar secepatnya pulang ke rumah istrinya bila selesai mengerjakan urusan
di luar rumah. Ketentuan ini berdampak ganda, yaitu bagi suami sendiri, dan
istri. Dengan segera pulang itu, suami dapat menyelamatkan dirinya dari jeratan
dan melampiaskan rindunya kepada istrinya. Bagi istri, rasa was-was tentang
keadaan suaminya di perjalanan dapat segera dihempaskan, sehingga rasa cemas
selama ditinggalkan suaminya pergi bisa terobati.
Suami istri yang berjauhan sangat besar peluangnya untuk teracuni
berbagai perasaan yang bisa merusak kedamaian rumah tangga mereka. Karena itu,
bila suami selalu cepat pulang dari urusannya di luar rumah, hal ini dapat
memupus perasaan-perasaan yang negatif itu.
Perintah Rasulullah saw. kepada para suami untuk segera pulang
setelah selesai urusan di luar itu tidak hanya berlaku dalam kesibukan bisnis
atau keluarga, tetapi juga setelah menjalankan ibadah haji. Jadi, begitu
selesai ibadah haji, seorang suami hendaklah segera pulang ke rumah istrinya
agar mendapatkan tambahan pahala yang lebih banyak.
6. MENASEHATI DAN MEMBINA AKHLAK ISTRI
Dari sebuah hadits diriwayatkan:
Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. "Nasehatilah para wanita
itu balk-balk, karena wanita itu diciptakan dari tulang rusuk; dan tulang rusuk
yang paling bengkok adalah yang teratas. Jika engkau berlaku keras dalam
meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Tetapi jika engkau biarkan, tentu
akan tetap bengkok. Karena itu, berilah nasehat baik-baik kepada para
wanita." (HR. Bukhari dan Muslim)
Penjelasan:
Seorang laki-laki yang telah berkedudukan sebagai suami, sejak
hari pertama sudah memikul tanggung jawab untuk membimbing istrinya. la harus
tahu lebih dahulu apa dan bagaimana peraturan-peraturan Islam tentang kehidupan
rumah tangga, tanggung jawab suami terhadap istrinya dan tanggung jawab istri
terhadap suaminya. Dengan cara demikian, suami selanjutnya dapat memberikan
bimbingan dan didikan kepada istrinya. Karena bagaimana seseorang dapat
menasehati orang lain untuk meluruskan kelakuan yang salah kalau dirinya
sendiri tidak tahu apa yang benar? Begitu juga seorang laki-laki tidak akan
mengetahui bagaimana akhlak istrinya yang tidak baik kalau dia sendiri tidak
mengerti bagaimana tuntunan agama yang sebenarnya untuk membimbing istrinya
menjadi wanita yang baik. Jadi, seorang laki-laki sebelum menikah wajib
mempelajari ketentuan-ketentuan Islam bertalian dengan rumah tangga.
Kemudian bagaimana cara suami menasehati istrinya apabila didapati
kekeliruan atau kesalahan pada diri istrinya, baik kesalahan atau kekeliruan
itu menyangkut pelayanan terhadap suami maupun pelanggaran yang dilakukan
istrinya terhadap peraturan-peraturan agama? Rasulullah saw mengatakan:
"Jangan melakukannya dengan cara yang kasar. Sebab seorang
suami dilarang melakukan cara-cara yang kasar dalam menasehati dan meluruskan
kekeliruan-kekeliruan istrinya." Kata Rasulullah saw: "Jika engkau
meluruskannya dengan cara yang kasar, maka dia akan menjadi patah."
Wanita justru akan menjadi kebingungan bila diperperlakukan kasar.
Dari sinilah kita diajari oleh Rasulullah saw tentang sifat-sifat dan karakter
wanita. Wanita kalau menghadapi hal-hal yang bersifat kasar atau keras, dia
akan menjadi bingung dan tidak mengerti. Kalau sudah mengalami kebingungan
seperti itu, akan memakan waktu yang sangat lama bagi kita untuk memperbaiki
kembali, bahkan dia bisa menjadi frustasi. Di sini Rasulullah saw mengibaratkan
karakter wanita dengan tulang rusuk yang paling atas. Karena itu, Rasulullah
menasehati para suami agar jangan berlaku kasar, tetapi jangan pula membiarkan
istri berbuat seenaknya. Kalau dibiarkan seenaknya, justru istri akan menjadi
rusak. Adapun cara mendidik wanita secara baik adalah jalan tengah, artinya
tidak kasar dan tidak lunak.
Jadi, seorang suami yang baik bukanlah suami yang memanjakan
istrinya, sehingga akhirnya menjadi musuh di dalam selimut. Begitu pula suami,
tidak boleh memberlakukan istrinya sebagai orang upahan, sehingga istri tidak
pernah merasakan hubungan yang ramah dan akrab dengan suaminya, tetapi hanya
ibarat seorang budak yang hidup hanya dibebani pekerjaan berat tanpa hak
bersuara. Karena itu, Rasulullah saw. mengingatkan kepada setiap suami agar
dalam mendidik istrinya berlaku baik. Dengan demikian, suami sejak awal harus
menyadari bahwa dirinya bertanggung jawabatas baik dan buruk perilaku istrinya.
Bila istri berkelakuan buruk, pertanda suami tidak baik pula akhlaknya.
KEWAJIBAN ISTRI
1. MEMBANTU KEHIDUPAN AGAMA SUAMI
Allah swt.
berfirman :
"(Ingatlah)
ketika istri Imran berkata: `Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku menadzarkan
kepada-Mu anak yang ada dalam kandunganku ini menjadi hamba yang shalih dan
berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu, terimalah nadzar itu dariku.
Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. "(QS. Ali
Imran : 35)
Penjelasan:
Seorang istri
mempunyai kewajiban berdakwah. Orang yang paling utama didakwahi adalah
suaminya sendiri. Karena itu, tugas seorang istri membantu kehidupan beragama
suaminya adalah fardhu 'ain. Maksudnya, kewajiban yang harus dilakukan
tiap-tiap orang. Karenanya, istri adalah orang yang paling bertanggung jawab
meluruskan perilaku suami yang tidak sejalan dengan ketentuan Islam.
Contoh kiprah
seorang istri yang membantu kehidupan agama suaminya ialah apa yang dilakukan
oleh istri 'Imran as. Istri 'Imran ini merupakan suri tauladan bagi para istri
dalam membantu suami menegakkan kehidupan beragama. Akhlak suami yang teguh
pada agama harus selalu ditopang, bahkan terus diberi semangat supaya sang
suami hidup di jalan yang diridlai Allah.
Dalam ajaran
Islam seorang istri tidak boleh acuh tak acuh terhadap kehidupan agama
suaminya. Jika suaminya menyalahi ajaran agama, ia wajib meluruskannya. Jika
suami memusuhi dakwah Islam, ia wajib menghentikannya. Dan jika suami
menegakkan kehidupan Islam, maka ia wajib membantunya. Bila suami kurang
pengetahuan Islamnya, sedang istri banyak tahu, maka ia wajib mengajari
suaminya. Karena itu, istri wajib terus menerus belajar agama agar dapat
membantu suaminya dalam menegakkan kehidupan beragama.
2. MENDAHULUKAN KEPENTINGAN SUAMI DARIPADA IBU BAPAKNYA SENDIRI
Diriwayatkan
dalam sebuah Hadits :
Dari Anas,
ujarnya: "Rasulullah saw. bersabda: Tidak patut seseorang sujud kepada
orang lain. Sekiranya seseorang patut sujud kepada orang lain, tentu aku akan
perintahkan seorang istri sujud kepada suaminya, karena begitu besar haknya
kepada istrinya itu. - (HR. Nasa'i)
Dan Aisyah, ujarnya:
"Saya bertanya kepada Nabi saw: Siapakah yang paling besar haknya kepada
seorang wanita?' Sabdanya: `Suaminya.' Aku bertanya pula: `Siapakah yang paling
besar haknya kepada seorang laki-laki?' Sabda beliau: 'Ibunya.- (HR. Nasa'i)
Penjelasan:
Pada saat seorang
anak perempuan dalam pemeliharaan orang tuanya, maka orang tuanyalah yang harus
dia taati melebihi ketaatannya kepada orang lain. Bila ia disuruh orang tuanya,
maka suruhannya itu harus ia kerjakan lebih dahulu daripada kepentingan dirinya
sendiri apalagi kepentingan orang lain. Ketika ia telah menjadi istri
seseorang, maka ketaatannya kepada suaminya harus ia nomor satukan.
Lalu bagaimana
hubungan dirinya dengan ibu bapaknya? Apakah ia tetap harus mendahulukan
ketaatan kepada ibu bapaknya seperti semasa ia lajang dahulu? Jawabannya telah
disabdakan Rasulullah saw. pada Hadits-Hadits di atas.
Begitu seorang wanita
telah menikah, maka kiblat ketaatannya berpindah kepada suaminya. Apa sebabnya
demikian? Jawaban ini dapat kita temukan dalam Al-Qur'an maupun Hadits-Hadits
Rasulullah saw.. Dalam Al-Qur'an antara lain surat An-Nisaa': 34. Pada ayat ini
Allah menjelaskan bahwa para suami adalah pemimpin, pemelihara, pembela,
pemberi nafkah dan penanggung jawab penuh terhadap istri dan anak anaknya.
Sebelum seorang
wanita menjadi istri, ia berada di bawah tanggung jawab ibu bapaknya. Karena
itu, kiblat ketaatannya adalah kepada orang tua kandungnya itu. Dalam hubungan
dengan QS. 4 : 34 itu, seorang istri yang tidak mernperoleh hak-hak penuh dari
suaminya atau suami tidak dapat memenuhi tanggung jawabnya seperti tersebut di
atas, maka istri berhak mengadukan perkaranya kepada hakim untuk menyelesaikan
perkaranya. Bahkan istri berhak mengajukan tuntutan cerai kepada suaminya.
Perceraian atas tuntutan istri ini disebut khulu’ . Dan jika istri
yang meminta perceraian, maka untuk selama-lamanya antara suami istri yang
bersangkutan tidak boleh rujuk.
Karena
tugas-tugas dan kewajiban suami yang begitu berat kepada istrinya, maka Islam
memberikan imbalan kekuasaan yang besar pada diri suami atas ketaatan istrinya
kepada dirinya. Segala kekurangan yang dialami oleh seorang istri menjadi
tanggung jawab suami. Kekurangan belanja dan keperluan perawatan kesehatan,
biaya pendidikan anak-anak, kebutuhan tempat tinggal dan berbagai keperluan
pakaian istri dan anak-anaknya. semua itu menjadi beban suami. Jadi, orang tua
kandungnya telah terbebas dari tanggung jawab terhadap anak perempuannya yang
kini telah menjadi istri orang. Karena itu, wajar bila kiblat ketaatan yang
semula kepada orang tuanya saat lajangnya, kini setelah menikah berpindah kepada
suaminya.
Jadi, bila pada
saat yang sama orang tua istri menyuruhnya melakukan "a" (misalnya),
sedangkan suaminya menyuruh "b", maka sang istri wajib mengerjakan
perintah suaminya lebih dahulu, baru kemudian mengerjakan perintah orang
tuanya. Demikianlah, ajaran Islam tentang ketaatan istri kepada suaminya.
3. BERTERIMA KASIH ATAS KEBAIKAN SUAMI
Diriwayatkan
dalam sebuah Hadits :
Dari Abdullah bin
Amr’ ujarnya: "Rasulullah saw bersabda: Allah tidak mau melihat istri yang
tidak berterima kasih atas kebaikan suaminya, padahal ia selalu memerlukannya.
- (HR. Nasa'i)
Dan lbnu 'Abbas,
ujarnya: "Seorang wanita datang kepada Nabi saw. lalu ia berkata: Saya
adalah utusan kaum wanita kepada Tuan, balk ia tahu ataupun tidak, tentu ia
ingin bertemu dengan Tuan. Allah adalah Tuhan bagi kaum laki-laki maupun kaum
wanita. Tuan juga Rasul Allah kepada kaum laki-laki dan wanita. Allah
mewajibkan jihad kepada kaum laki-laki. Kalau mereka menang, mereka dapat harta
rampasan perang. Kalau mereka mati syahid, mereka hidup di sisi Tuhan dengan
mendapat rizki. Lalu amal shalih apa yang menyamai perbuatan mereka itu?' Lalu
sabdanya: `Ketaatan seorang istri kepada suaminya dan pengakuannya atas hak-hak suaminya.
Tetapi amat sedikit di antara kalian itu yang dapat melakukannya. - (HR.
Thabarani)
Penjelasan:
Seorang suami
juga banyak kekurangan dan kesalahannya kepada istrinya, di samping banyak pula
kebaikan dan kedermawanannya kepada istrinya. Banyak memang suami yang tidak
setia kepada istrinya, yaitu tidak memberikan belanja secukupnya kepada
istrinya, padahal kekayaan atau penghasilannya besar.
Rasulullah saw.
menegaskan bahwa sangat sedikit kalangan istri yang tahu berterima kasih kepada
suaminya. Bagi istri yang tahu berterima kasih kepada suami, maka ia sudah
merasa bahagia bila suaminya dapat mencukupi kebutuhan pokok dirinya, istri dan
anaknya. la selalu menggembirakan hati suaminya dengan ucapan, senyum dan
pandangan mesra setiap kali suaminya menyerahkan hasil jerih payahnya. Kalau
suami member banyak, ia nyatakan alhamdulillah. Tidak ada gerutu dalam hatinya.
Tidak ada sesal dalam kalbunya. Setiap usaha suaminya senantiasa ia sertai
dengan panjatan do'a kepada Allah, semoga suaminya tetap dalam kebaikan di
dunia dan di akhirat. Inilah potret istri yang shalihah dan itulah istri calon penghuni
surga.
4. MENGIKUTI TEMPAT TINGGAL
SUAMI
Allah berfirman
dalam QS. Ath-Thalaaq : 6
"Tempatkanlah
mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu...."
Dan Rasulullah
saw. bersabda ketika haji Wada':
"Ketahuilah,
hendaklah kalian menasehati para wanita dengan hal-hal kebaikan. Mereka itu
adalah tawanan di sisi kalian. Kalian tidak mempunyai kewenangan lebih dari
itu, kecuali kalau mereka berbuat zina secara terang-terangan...." (HR.
Ibnu Majah dan Tirmidzi)
Penjelasan:
Dalam surat
Thalaaq ayat 6, Allah memerintahkan seorang suami menyediakan tempat tinggal
bagi istrinya yang telah diceraikan, selama istri menjalani masa iddah. Kalau
istri yang dicerai saja punya hak memperoleh jaminan tempat tinggal tersebut,
tentu seorang istri yang mempunyai kewajiban melayani, mengurus dan menjaga
harta kekayaan suami lebih patut mendapatkan hak itu.
Kemudian pada
Hadits di atas Rasulullah saw. menyebutkan bahwa istri itu adalah tawanan bagi
suaminya. Seorang tawanan tentu saja mengikuti ke mana dan di mana penawannya
menempatkan dirinya. Istri sebagai tawanan tidak berarti bahwa seorang istri
kehilangan hak untuk tidak setuju terhadap keputusan suaminya menempatkan
dirinya dalam berumah tangga.
Istri memang
wajib mengikuti tempat tinggal yang disediakan suaminya. Tetapi apabila
lingkungan tempat tinggal yang ditetapkan oleh suami ternyata merusak akhlak
atau tidak aman, baik dari segi bangunan maupun keselamatan badan, maka si
istri punya hak menolak.
Adapun jika suami
telah memilihkan lingkungan yang dapat memelihara akhlak istri dan keluarga,
tetapi menurut istri rumahnya kurang bagus sedangkan suami tidak mampu
menyediakan yang lebih baik, maka istri tetap wajib tinggal di rumah suaminya
itu.
Mengapa istri
wajib mengikuti di mana suami bertempat tinggal? Apakah tidak boleh istri
tinggal di rumahnya sendiri berpisah dari rumah suami? Apakah tidak ada hak
bagi istri untuk memilih rumah sendiri sekalipun suami tidak setuju? Jika istri
wajib ikut tinggal di mana suami tinggal, bukankah berarti hak istri tidak sama
dengan hak suami?
Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan di atas perlu setiap istri memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
a) Istri bertanggung
jawab menjadi wakil dalam mengurus rumah tangga suaminya.
b) Istri wajib
memelihara keamanan dan keselamatan harta kekayaan suami.
c) Istri wajib
mengasuh, mendidik dan membina anak-anak suami.
d) Istri wajib
memelihara kelanjutan semangat cinta dan asmara suami kepada dirinya. Bila
sewaktu-waktu suami ingin menyalurkan syahwatnya, maka istri dengan segera
dapat mengabulkannya.
Apakah tanggung
jawab dan kewajiban istri seperti tersebut di atas dapat ditunaikan oleh istri
jika tempat tinggal mereka berpisah, jauh ataupun dekat?
Adanya keharusan
istri serumah dengan suami, dan istri mengikuti ke mana suami bertempat
tinggal, sebenarnya adalah lebih menguntungkan kaum istri itu sendiri. Dengan
menjadi satu dengan suaminya, maka ia lebih dapat membentengi suaminya dari
kemungkinan tergoda wanita lain. Tentu tak seorang istri pun rela suaminya
terbawa wanita lain, sekalipun wanita lain itu dinikahi secara sah oleh
suaminya. Karena itu, ketentuan Islam yang menetapkan istri wajib mengikuti
tempat tinggal suaminya, adalah untuk melindungi istri itu sendiri.
5. MENGALAH KEPADA SUAMI
Allah swt.
berfirman :
"Dan jika
seorang istri khawatir suaminya berbuat nusyuz atau bersikap acuh, maka tidak
mengapa mereka mengadakan perdamaian sungguh-sungguh dan perdamaian itu lebih
baik (bagi mereka), sekalipun nafsu manusia itu tabiatnya kikir. Dan jika kamu
berlaku baik (kepada istrimu) dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu lakukan."(QS. An-Nisaa': 128)
Penjelasan:
Ayat ini
menerangkan sikap yang harus diambil oleh seorang istri bila ia melihat sikap
nusyuz (Nusyuz dari pihak suami ialah bersikap keras terhadap isterinya; tidak
mau menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya) suaminya, seperti tidak
melaksanakan kewajibannya terhadap dirinya sebagaimana mestinya, tidak memberi
nafkah, tidak menggauli dengan baik, berkurang rasa cinta dan kasih sayangnya
dan sebagainya. Hal ini mungkin ditimbulkan oleh kedua belah pihak atau oleh
salah satu pihak.
Jika demikian
halnya, maka hendaklah istri mengadakan musyawarah dengan suaminya, mengadakan
pendekatan perdamaian di samping berusaha mengembalikan cinta dan kasih sayang
suaminya yang telah mulai pudar. Dalam hal ini tidak berdosa jika istri
bersifat mengalah kepada suaminya, seperti bersedia beberapa haknya dikurangi
dan sebagainya.
Usaha mengadakan
perdamaian yang dilakukan istri itu bukanlah berarti bahwa istri harus bersedia
merelakan sebagian haknya yang tidak terpenuhi oleh suaminya, melainkan untuk
memperlihatkan kepada suaminya keikhlasan hatinya, sehingga dengan demikian
suami ingat kembali akan kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan. Allah swt.
berfirman:
Dan para wanita
mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi,
para suami mempunyai satu tingkat kelebihan daripada istrinya...." (QS.
Al-Baqarah : 228)
Damai dalam
kehidupan keluarga menjadi tujuan agama dalam mensyari’atkan pernikahan. Karena
itu, hendaklah kaum muslimin menyingkirkan segala macam kemungkinan yang dapat
menghilangkan suasana damai dalam keluarga. Hilangnya suasana damai dalam
keluarga membuka kemungkinan terjadinya perceraian.
Allah swt.
mengingatkan bahwa kikir itu termasuk tabiat manusia. Sikap kikir timbul karena
manusia mementingkan dirinya sendiri, kurang memperhatikan orang lain, walaupun
orang lain itu adalah istrinya sendiri atau suaminya. Karena itu, waspadalah
terhadap sikap kikir itu. Hendaklah masing-masing pihak dari suami atau istri
bersedia beberapa haknya dikurangi untuk menciptakan suasana damai di dalam
keluarga.
Jika suami
berbuat baik dengan menggauli istrinya kembali, memupuk rasa cinta dan kasih
sayang, melaksanakan kewajiban-kewajibannya terhadap istrinya, maka Allah swt.
mengetahuinya dan memberi balasan yang berlipat ganda.
6. TIDAK MENYAKITI HATI SUAMI
Dari Mu’adz bin
Jabal, dari Nabi saw, sabdanya: “Jangan seorang istri menyakiti suaminya di
dunia ini. Karena bidadari dari surga berkata kepadanya: ‘Janganlah engkau
sakiti dia. Semoga Allah membinasakanmu. Sebab dia (suamimu) hanya sebentar di
sisimu. Ia segera akan berpisah dari dirimu untuk pergi kepada kami’” (HR.
Tirmidzi)
Dari Hushain bin
Mihshan bahwa salah seorang bibinya datang kepada Nabi sa,. Lalu Nabi bersabda
kepadanya: "Apakah engkau mempunyai suami?" Jawabnya: "Ya."
Sabdanya: "Bagaimana keadaanmu dengan dia?" Jawabnya: "Saya
selalu mendahulukan keperluannya selama saya mampu melakukannya." Sabdanya
lagi: "Bagaimana engkau hidup bersamanya? Sesungguhnya (suamimu) adalah
surgamu dan nerakamu." (HR. Ahmad dan Nasa'i)
Penjelasan:
Bagaimana yang
dikatakan "menyakiti" hati suami itu? Apakah kalau suami berkata atau
berbuat salah, lalu ditegur istrinya, tetapi tidak berkenan di hatinya, maka
hal itu disebut "menyakiti" hati suami?
Bagaimana
konkretnya perbuatan yang disebut menyakiti hati suami itu?
Istri dikatakan
menyakiti hati suami, bila sikap atau perbuatannya dapat dinilai merendahkan
martabat suaminya.
Misalnya salah
satu contoh istri yang menyakiti hati
suami adalah dimana Istri bermalas-malasan untuk mengerjakan pekerjaan rumah,
karena lebih suka menonton film televisi. Karena sikap malasnya itu,
pembersihan rumah menjadi beban suami. Bila ditegur sikapnya tak acuh saja.
Istri yang
menyakitkan hati suaminya diancam oleh Islam tidak mendapatkan balasan surga
kelak di akhirat. Karena itu, wahai para istri, berhati-hatilah dalam bersikap
dan bertindak terhadap suami Anda.
7. TIDAK BOLEH MENTAATI ORANG LAIN DI RUMAH SUAMI
Diriwayatkan
dalam sebuah Hadits:
Dari Mu'adz bin
Jabal, dari Nabi saw., sabdanya: "Tidak halal seorang istri yang beriman
kepada Allah mengizinkan seseorang berada di rumahnya, padahal suaminya tidak
merelakannya. Juga ia tidak boleh keluar rumah bila suami tidak mengizinkannya;
tidak boleh mentaati seseorang, (selain suaminya di rumah suaminya); tidak
boleh meninggalkan tempat tidurnya; dan tidak boleh memukulnya...." (HR.
Hakim)
Penjelasan:
Dalam sebuah
rumah tangga, kekuasaan terletak pada suami, sekalipun di rumah itu ada ibu
bapak suami atau anak kandungnya. Anak-anak tidak punya kekuasaan dalam rumah
tangga ibu bapaknya, apalagi mertua suami. Contoh, di rumah Anda turut serta
ibu dan ayah mertua Anda. Sebagai istri, Anda tak boleh mengerjakan
perintah-perintah mereka tanpa seizin suami Anda, karena komando tunggal yang berhak
memerintah Anda (sebagai istri) hanyalah suami Anda. Karena orang lain tidak
punya hak memerintah Anda, maka jika Anda melayani perintahnya tanpa
persetujuan suami Anda, berarti Anda telah berbuat salah dan berdosa.
Mengapa mematuhi
perintah orang lain di rumah suami dikategorikan perbuatan dosa? Karena di
rumah suami hanya ada satu orang saja yang boleh istri patuhi perintahnya,
yaitu suaminya. Karena itu, jika suatu saat di rumah Anda tinggal ibu dan ayah
Anda, lalu mereka menyuruh Anda menyetrika baju mereka dan saat itu suami Anda
ada di rumah, maka Anda wajib minta izin suami untukmengerjakan-nya. Jika suami
Anda tidak mengizinkan, maka Anda tidak boleh mengerjakan perintah ibu ayah
Anda itu.
Lalu bagaimana
kalau pada saat yang sama anak minta dibuatkan roti dan suami minta dicucikan
bajunya? Anda wajib memenuhi permintaan suami Anda, sedang permintaan anak
tidak wajib Anda penuhi. Jika Anda ternyata mendahulukan kepentingan anak,
yaitu membuatkan susu dan menomerduakan suami, maka Anda telah durhaka kepada
suami Anda. Karena itu, jika Anda hendak mendahulukan membuatkan susu anak,
mintalah persetujuan suami Anda dulu. Kalau ia tidak mengizinkan, maka Anda
berkewajiban mendahulukan kepentingan suami daripada kepentingan anak.
Mungkin sekali
banyak orang akan berkata:"Bukankah melayani suami itu sudah rutin, apakah
suami masih harus selalu dan terus diutamakan segalanya daripada orang lain,
sekalipun itu anak dan orang tuanya sendiri?" Jawabannya: "Ya."
Sebagai istri, kiblat ketaatan Anda hanya kepada suami tercinta, yaitu orang
yang pertama dan utama Anda khidmati setelah Anda tunaikan kewajiban-kewajiban
Anda kepada Allah. Jadi, bagi seorang istri yang shalihah, suami adalah
pimpinan pertamanya, tempat baktinya yang utama dan kiblat kepatuhan hidupnya
sampai saat yang ditetapkan oleh Allah. Karenanya, perlu sekali setiap istri
menyadari bahwa di bawah atap rumah suaminya, hanya ada satu komandan, yaitu
suaminya. Orang lain, siapa pun dia, tidak boleh dipatuhi perintahnya bila
suaminya tidak mengizinkannya.
Demikian
ringkasan beberapa kewajiban suami / istri yang mulai atau kalau tidak mau
dikatakan hampir terlewatkan pada pasangan suami istri di era modern ini.
Semoga kita tetap bisa menjaga kewajiban-kewajiban kita sebagai suami / istri,
dan bisa membina rumah tangga kita menuju rumah tangga yang sakinah, mawaddah
dan warohmah, sehingga tercipta rumah tangga baiti jannati..
Amin ya Robbal
Alamiin..
Wallahua’lam
bishowab…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar