Oleh : Ust Farid Nu'man
Imam
Ibnu Jama’ah mengatakan masalah lagu dan musik, para ulama terbagi menjadi
delapan pendapat (Az Zubaidy, Al ittihaf syarah al Ihya, VII/7)
Bahkan Imam Ibnu Hajar al Haitsami menyebutkan ada sebelas pendapat para
ulama.(Ibnu Hajar al Haitsami, Kaffur Ri’a ’an Muharramat al lahwy was
Sima’, II/277-278)
Alangkah
baiknya pihak yang mengharamkan lagu dan musik tabuhan, mau jujur mengakui,
bahwa tidak ada kesepakatan dalam masalah ini. Bukan saja mengakui, tetapi juga
menghargai pandangan orang-orang yang berbeda dengan mereka, yaitu yang
menyatakan mubah. Pandangan ini bukanlah pandangan manusia ‘kemarin
sore’, melainkan pandangan para imam dan ahli ilmu, bahkan sejak zaman sahabat,
tabi’in, tabi’ut tabi’in. Insya Allah akan kami paparkan siapa saja sahabat,
tabi’in, tabi’ut tabi’in yang memubahkan lagu dan musik tabuhan (bahkan ada
yang membolehkan ‘aud/gitar-kecapi masa lalu).
Bahkan
telah ada dua puluh kitab yang disusun oleh ulama klasik tentang pembelaan
mereka terhadap lagu dan musik, sebagaimana yang disebutkan dalam At
Taratib Al Idariyah Juz II, hal. 132, di antaranya:
1. Kitab Ar Rukhshah fis Sima’ yang ditulis oleh
Imam Ibnu Qutaibah, di dalamnya banyak sekali riwayat tentang sahabat, tabi’in,
tabi’ut tabi’in yang mendengarkan lagu, dengan atau tanpa musik.
2. Kitab Al Muhalla oleh Imam Ibnu Hazm, di
dalamnya dia menyebutkan: “Semua riwayat yang mengharamkannya itu batil dan
maudhu’.”
3. Kitab Muhammad bin Thahir al Maqdisy, dia
menyebutkan di dalamnya: “Tidak ada perbedaan mendengarkan suara senar gitar
dengan suara burung.” Dia juga mengatakan, “Tak ada satu huruf pun yang shahih tentang
(pengharaman) ini.”
4. Kitab Bawariqul Ilma’ fi Takfiri man Yuharrimu
Muthlaqas Sima’ karya Ahmad al Ghazali (saudara kandung Imam al
Ghazali)
5. Kitab Ibthalul Da’wal Ijma’ ‘ala Tahrimi Muthlaqis
Sima’ karya Imam Asy Syaukani (dalam karyanya yang lain yakni Nailul
Authar juga ada pembahasan tentang ini)
6. Kitab Nuzhatul Asma’ fi Mas’alatis Sima’ karya
Imam Ibnu Rajab al Hambali murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ada pula yang
mengatakan murid Imam Ibnul Qayyim al jauziyah.
7. Kitab Ahkamul Qur’an karya Imam Abu Bakar
Ibnul ‘Arabi al Maliki. Dia mengatakan keringanan pada walimah, bukan hanya
alat musik tabuh, melainkan seluruh alat musik (Jilid III, hal. 1494). Ia
menegaskan tak ada di dalam Al Quran dan As Sunnah tentang pengharaman lagu dan
musik (Jilid III, hal. 1053)
8. Kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam al Ghazali,
dan karya-karya lainnya
Sekarang
kita simak apa kata Imam Ibnu Nahwi dalam al Umdah, atau
Imam Asy Syaukani (Nailul Authar, VIII/264-266):
“Kebolehan menyanyi dan mendengarnya ini diriwayatkan dari
segolongan sahabat dan tabi’in. Golongan sahabat di antaranya Umar, Utsman,
Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Ubaidah bin al Jarrah, Abu Mas’ud al Anshari, Bilal,
Abdullah bin al Arqam, Usamah bin Zaid, Hamzah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin
Ja’far, Abdullah bin Zubair, Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Amr, Qurzhah bin
Ka’ab, Khuwat bin Jubair, Ribah bin al Mu’tarif, Mughirah bin Syu’bah, Amr bin
al Ash, ‘Aisyah, dan Rubayyi’ binti Mu’awwidz.
Sedangkan kalangan tabi’in adalah Said bin al Musayyib,
Salim bin Abdullah bin Umar, Ibnul Hasan, Kharijah bin Zaid, Syuraih al Qadhi,
Said bin Jubair, Amr asy Sya’bi, Abdullah bin Abi ‘Atiq, Atha’ bin Abi Rabah,
Ibnu Syihab Az Zuhri, Umar bin Abdul ‘Aziz, dan Sa’ad bin Ibrahim az Zuhri.
Adapun orang yang mengikuti mereka adalah sejumlah manusia
yang tidak terhitung, imam empat madzhab, Sufyan bin ‘Uyainah, dan jumhur ulama
Syafi’iyah.”
Demikian.
Insya Allah nama-nama sahabat di atas akan kami buktikan satu persatu bahwa
mereka memang membolehkan lagu dan musik. Walau ada di antara mereka jarang
mendengarkan lagu atau bisa jadi hanya sekali saja, itu tetap menunjukkan bahwa
mereka tidak mengharamkannya.
Sebenarnya
para ulama sepakat bahwa lagu yang mengandung kekejian, syirik, cabul, cinta
picisan, dan seluruh akhlak kotor, sebagaimana umumnya nyanyian saat ini adalah
haram tak ragu lagi. Nah, kita tidak membahas lagu-lagu seperti itu. Yang kita
bahas adalah bagaimana dengan nyanyian yang baik-baik, di dalamnya tidak
terdapat kekejian sama sekali, melainkan sesuatu yang netral dan fitrah saja,
misal seperti lagu anak-anak NINA BOBO, TOPI SAYA BUNDAR, BURUNG KAKAK TUA,
atau Nasyid-Nasyid Islam yang marak saat ini.
Saya
akan paparkan hujjah yang sangat kuat tentang mubahnya nyanyian dan alat musik
(khususnya alat musik pukul): Menurut Al Quran dan As Sunnah Ash Shahihah,
petunjuk para sahabat dan tabi'in, maqashid syariah dan tabiat Islam. Lalu,
silakan para pengunjung treadh ini membandingkan, mana yang paling
argumentatif, mana yang berdalil menggunakan Al Quran dan As Sunnah Ash
Shahihah, mana yang berdalil dengan ucapan para ulama saja, apakah pihak yang
membolehkan atau yang mengharamkan.
Maka,
perhatikanlah baik-baik, baik yang pro nasyid atau yang kontra, dan
bersabarlah atas panjangnya tulisan ini ...
I.
Dalil Al Quran.
A. Al A'raf ayat 157:
"Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban
dan belenggu yang ada pada mereka."
Ayat
ini menunjukkan bahwa syariat menghalalkan segala hal yang baik. Ath
Thayyibat (segala yang baik) adalah kalimat jamak dengan alif dan lam
yng menunjukkan makna umum, meliputi segala hal yang baik, tidak dibatasi, dan Ath
Thayyibat menurut mayoritas biasanya identik dengan hal-hal yang bisa
dinikmati, thahir (suci) dan halal.
Berkata
Imam Asy Syaukani, bahwa Imam Al Izz bin Abdus Salam menegaskan dalam Dalailul
Ahkam, yang dimaksud dengan Ath Thayyibat dalam ayat
tersebut adalah hal-hal yang dapat dinikmati.(Imam Asy Syaukany,
Nailul Authar, VIII/32) Ulama kenamaan abad ini, Imamul Akbar Syaikh Mahmud
Syaltut al Mishry juga mengatakan demikian. Dan kita tahu bahwa nyanyian adalah
sesuatu untuk dinikmati, maka ia termasuk Ath Thayyibat. (maaf,
sekali lagi, kita tidak bicara tentang lagu-lagu seronok, munkar, syirik, cinta
picisan, tetapi lagu-lagu yang mengandung semangat patriotisme, jihad, ukhuwah,
mahabbatullah, sebagaimana yang terekam dalam nasyid-nasyidnya –seperti- Moslem
Muwahhid, Izzatul Islam, Shautul Harakah)
Dalam
ayat lain, diterangkan pula tentang halalnya Ath Thayyibat:
"Mereka bertanya kepadamu: 'Apa sajakah yang dihalalkan
bagi mereka?' Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik (ath
Thayyibat)." (QS. Al Maidah: 4)
Justru,
Allah Ta’ala mengecam pihak-pihak yang begitu mudah mengharamkan apa-apa
baik, yang Allah Ta’ala berikan untuk hamba-hambaNya, yang dengan itu
mereka telah mempersempit karuniaNya.
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah
Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Maidah: 87)
B. Al Jumu’ah ayat 11
“Dan
apabila mereka melihat perniagaan atau permainan (lahwun), mereka bubar untuk
menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah).
Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan
perniagaan", dan Allah Sebaik-baik pemberi rezki.
Sebab
turunnya ayat ini, adalah –sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim dan lainnya-
bahwa ketika datangnya kafilah dagang yang telah ditunggu-tunggu oleh
orang-orang Islam (saat itu sedang melaksanakan shalat jum’at), tiba dengan
membawa barang-barang dagangan, maka serta merta mereka menyambutnya dengan
nyanyian dan tabuh-tabuhan, sebagai ungkapan rasa senang atas kedatangan
kafilah tersebut dengan selamat, juga sebagai ungkapan harapan mereka agar
barang dagangannya bisa menghasilkan dan keuntungan yang banyak.
Karena
itu, mereka berebut mengambil dagangan, sehingga Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam yang sedang khutbah mereka tinggalkan, dalam riwayat lain
disebutkan sampai-sampai yang tersisa dari jamah shalat jumat hanya dua belas
orang saja.
Lihatlah
ayat tersebut, Allah Ta’ala menyebut permainan dan perniagan dalam satu susunan
kalimat, lalu kenapa hanya nyanyian saja yang diharamkan, sedang perniagaan
tidak? Padahal kedua-duanya saat itu telah memalingkan mereka dari shalat
jumat! Jadi, sebenarnya yang diharamkan bukanlah permainan dan perniagaannya
secara zat atau perbuatan, melainkan efek ‘melalaikannya’ itu. Sedangkan
kelalaian bisa terjadi karena hal lainnya di dunia ini, bahkan dunia hakikatnya
adalah permainan (lahwun) yang melalaikan, maka seharusnya yang
diharamkan bukan hanya nyanyian, tetapi seluruh isi dunia.
Allah
Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda
gurau. dan jika kamu beriman dan bertakwa, Allah akan memberikan pahala
keppadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu.” (QS. Muhammad: 36)
Sedangkan
bagian ayat pada surat Jumuah di atas, yang berbunyi: Katakanlah:
"Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan"
merupakan kalimat yang berfungsi optional (pilihan) dan pembanding, tidak ada
kaitannya dengan pengharaman permainan (lahwun) dan perdagangan. Ayat itu
menegaskan bahwa pada sisi Allah yakni menunaikan shalat jumat adalah lebih
baik dari pada permainan dan perdagangan.
C. Surat Al Baqarah ayat 29
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi
untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh
langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah: 29)
Tidak
ada yang diharamkan keculi oleh nash yang shahih dan sharih (jelas-tegas) dalam
kitab Allah Ta’ala dan Sunah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Jika tidak ada dalam keduanya, atau ijma’, atau ada nashnya yang shahih tapi
tidak sharih, atau sharih tapi tidak shahih, maka ia tetap dalam batas kemaafan
Allah Ta’ala yang luas dan lapang.
“ ...Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan
kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu
memakannya.”(QS. Al An’am: 119)
Rasulullah
Shallallau ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya adalah halal,
dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah haram, dan apa-apa yang
didiamkanNya adalah dimaafkan. Maka, terimalah kemaafan dari Allah, karena
sesungguhnya Allah tidak lupa terhadap segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca
(Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali Rabbmu itu lupa.” (HR. Al Hakim dari Abu Darda’, beliau menshahihkannya. Juga
diriwayatkan oleh Al Bazzar)
Sabda
lainnya:
“Sesungguhnya Allah telah menentukan kewajiban-kewajiban
maka janganlah kamu menyia-nyiakannya, dan menetapkan batasan-batasan maka
janganlah kamu melanggarnya, dan Dia diamkan beberapa perkara sebagai rahmat
buat kamu, bukan karena Dia lupa, maka janganlah kamu mencari-carinya.” (HR. Daruquthni dari Abu Tsa’labah al Khusyani, dihasankan
oleh Imam An Nawawi dalam Arbain)
D. Surat Luqman ayat 6
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan
perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa
pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. mereka itu akan
memperoleh azab yang menghinakan.”
Ayat
ini sering dijadikan dalil untuk mengharamkan lagu, yaitu dengan menafsirkan
perkataan yang tidak berguna (lahwul hadits) sebagai nyanyian. Sebagaimana tafsiran dari Ibnu
Mas’ud, Ibnu Abbas dan Ibnu Umar. Bahkan Ibnu Mas’ud bersumpah, “Demi Allah,
itu adalah lagu.” (HR. Al Baihaqi, Sunanul Kubra, X/23)
Imam Ibnul Qayyim, yang memang
terkenal paling bersemangat mengharamkan nyanyian, sampai-sampai mengatakan
bahwa tafsiran di atas dapat dihukumi sebagai hadits marfu’ (Ibnul
Qayyim, Ighatsatul lahfan, I/258-259)
Al Wahidi mengatakan bahwa
maksud lahwul hadits adalah nyanyian, itu juga penafsiran dari
Mujahid dan Ikrimah. (Ibnul Qayyim, ibid, hal. 257)
Perlu diketahui, tafsiran bahwa lahwul
hadits adalah lagu, bukanlah satu-satunya tafsiran yang bersifat final.
Imam Asy Syaukany, dalam Fathul
Qadir-nya mengatakan bahwa maksud lahwul hadits adalah apa-apa yang
bisa melalaikan dari kebaikan, bisa berupa nyanyian, pemainan, perkataan dusta,
dan segala yang munkar. Ia meriwayatkan bahwa Imam Hasan al Bashri
menafsiri makna lahwul hadits adalah ma’azif
(alat-alat musik) dan ghina’ (nyanyian), tetapi juga diriwayatkan
darinya, bahwa maksud lahwul hadits adalah kufr
(kekafiran) dan syirk (kesyirikan).
Kalimat, “Liyudhilla (untuk
menyesatkan (manusia) ...” menunjukkan bahwa huruf lam pada
kata li yudhilla berfungsi sebagai lam ta’lil (lam yang
menunjukkan sebab –‘illat hukum). Demikian dalam Fathul Qadir.
Jadi, sebenarnya, perilaku apa saja
–ingat! bukan hanya nyanyian- jika bertujuan untuk menyesatkan manusia dari
jalan Allah Ta’ala, jelas perbuatan haram. Mafhum mukhalafah
(pemahaman implisit)nya adalah jika tidak ada maksud menyesatkan manusia maka
tidak mengapa.
Imam Ibnu Jarir at Thabari
menegaskan dalam tafsirnya, dari Ibnu Wahhab, bahwa Ibnu Zaid mengatakan ayat
“Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkatan yang
tidak berguna ....” maksudnya adalah orang-orang kafir. Tidakkah
memperhatikan ayat selanjutnya:
“Dan apabila dibacakan kepadanya
ayat-ayat Kami Dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah Dia belum
mendengarnya, seakan- akan ada sumbat di kedua telinganya; Maka beri kabar
gembiralah Dia dengan azab yang pedih.” (QS.
Luqman: 7)
Manusia
yang diceritakan dalam ayat ini, jelas bukan berkepribadian muslim. Memang,
sebagian ada yang membantah bahwa itu juga berlaku untuk orang Islam. Dan
lahwul hadits merupakan perkataan batil (sia-sia) yang mereka gunakan untuk
kelalaian. (Abu Ja’far Ibnu Jarir Ath Thabari, Jami’ul Bayan, I/41, tafsir
surat Luqman)
Imam
Ibnul ‘Athiyah mengatakan, bahwa pendapat yang rajih (kuat)
adalah bahwa ayat tersebut diturunkan tentang orang-orang kafir, oleh karena
itu ungkapan ayat tersebut sangat keras yaitu “untuk menyesatkan
(manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu
olok-olokan.” Dan disertai ancaman siksaan yang amat hina. (Tafsir
Ibnu ‘Athiyah, XI/484)
Pemahaman
ini juga dikuatkan oleh Imam Fakhr ar Razi dalam tafsirnya, bahwa Allah Ta’ala
sedang menceritakan keadaan orang-orang kafir, mereka meninggalkan Al Quran dan
sibuk dengan selainnya. (Tafsir Al Kabir, XIII/141-142)
Imam
Ibnu Hazm telah membantah tafsiran bahwa lahwul hadits adalah
lagu, dan bantahan ini sangat masyhur dan sering diulang-ulang oleh kelompok
yang membolehkan lagu dan musik (yang dipukul). Bantahan ini sebenarnya telah
diketahui dan sudah dibantah pula oleh para ulama yang mengharamkannya, tetapi
nampaknya pandangan Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm sangat kokoh sehingga
bantahan-bantahan untuknya masih bisa didiskusikan lagi.
Imam
Ibnu Hazm Rahimahullah menolak tafsiran Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu,
dengan perkataannya:
Pertama, Perkataan
seseorang tidak bisa dijadikan hujjah kecuali perkataan Rasulullah.
Keduan, Para sahabat
dan tabi’in berbeda pendapat.
Ketiga, nash ayat
tersebut (Luqman ayat 6) justru membatalkan argumentasi mereka sendiri, karena
dalam ayat tersebut berbunyi, “Dan diantara manusia ada orang yang
menggunakan perkataan yang tidak berguna (lahwul hadits) untuk menyesatkan
manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu
olok-olokan, “ ini menunjukkan bahwa yang melakukannya adalah
kafir, jika menjadikan jalan Allah sebagai olok-olokan, hal ini tanpa
perselisihan lagi. Beliau juga mengatakan: “Jika seorang menggunakan
perkataan sia-sia untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah, maka orang
tersebut kafir.“ Iniah yang dicela Allah. Sedangkan orang yang menggunakan
perkataan sia-sia untuk tujuan hiburan atau menenangkan diri, bukan bertujuan
menyesatkan manusia dari jalan Allah, tidaklah tercela. Maka terbantahlah
argumen mereka dengan ucapan mereka sendiri. Bahkan, jika seseorang membaca Al
Quran atau hadits, atau obrolan, atau lagu, sehingga sengaja melalaikan
shalat, itu termasuk kefasikan dan berdosa kepada Allah. Tetapi siapa yang
tidak melalaikan atau meninggalkan kewajiban sebagaimana yang kami katakan,
maka itu tetap kebaikan.” (Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, IX/10)
Hujjatul
Islam, Imam al Ghazali Rahimahullah juga ikut membantah, katanya,
“Adapun makna ‘menggunakan perkataan tak berguna ‘ untuk agama, artinya merubah
hukum agama dan menyesatkan manusia dari jalan Allah, jelas hukumnya haram dan
tercela, tak ada perselisihan. Tidak semua nyanyian mengganti agama dan
menyesatkan dari jalan Allah, inilah yang dimaksud ayat tersebut. Seandainya
membaca Al Quran untuk menyesatkan dari jalan Allah, maka jelas haram.”
Hal
ini diperkuat tentang perilaku sebagian orang munafik ketika menjadi Imam
Shalat secara sengaja selalu membaca surat ‘Abasa karena didalamnya terdapat
celaan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka Umar Radhiallahu
‘Anhu hendak membunuhnya, karena menilai perbuatan mereka itu haram dan
menyesatkan. Apalagi menggunakan syair dan lagu.(Imam al Ghazali, Ihya
Ulumuddin, hal. 260-261, Darul Ma’rifah, Beirut )
II.
Dalil Al Hadits
A. Hadits pertama, Imam Bukhari dan
Imam Muslim meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, tentang nyanyian
dua jariyah (budak wanita yang masih remaja) di rumah ‘Aisyah, dan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ada di situ.
Dari
Aisyah, suatu hari Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu masuk ke rumah
Rasulullah, di sana ada dua jariyah yang sedang bernyanyi dengan memainkan
rebana, mereka sudah biasa bernyanyi, sedang Rasulullah terhalang oleh tirai.
Abu Bakar melarang keduanya, sampai Rasulullah membuka tirai dan bersabda:
“Wahai Abu Bakr, biarkanlah karena hari ini hari raya.”
Dalam
riwayat lain, Abu Bakar berkata, “Apakah pantas seruling setan ini terdengar di
rumah Rasulullah?” dan itu terjadi ketika hari ‘Ied (hari raya), maka
Rasulullah bersabda: “Wahai Abu bakar, sesungguhnya setiap kaum memiliki hari
raya, dan inilah hari raya kita.”
Atau
dalam riwayat lain, bahwa Rasulullah menegur kecaman Abu Bakar, untuk
mengajarkan kepada orang Yahudi bahwa Islam itu luas dan Nabi diutus dengan
agama hanafiyatus sam-hah (hanif dan toleran). (HR. Ahmad dari ‘Aisyah)
‘Aisyah
juga berkata, “Ketika utusan Habasyah (Etiopia) datang kepada Rasulullah,
mereka mengadakan permaianan di mesjid. Rasulullah menutupi dengan kainnya dan
aku sendiri menyaksikan mereka bermain di dalam mesjid, sampai saya merasa
bosan. Saya pun memerintahkan jariyah itu untuk berhenti (bernyanyi) meskipun
ia masih ingin benyanyi.
Dari
hadits ini bisa diketahui bahwa nyanyian identik dengan duff (rebana)
sebagaimana yang dilakoni dua jariyah tersebut, dan ternyata Aisyah dan
Rasulullah mendengarkan itu, dan Abu Bakar mengecamnya. Justru Rasulullah melarang
apa yang dilakukan oleh Abu Bakar tersebut, sehingga dua jariyah tersebut tetap
bernyanyi hingga ‘Aisyah memberikan perintah untuk disudahi. Sebagian kalangan
mengatakan, ini menunjukkan bolehnya laki-laki mendengarkan nyanyian wanita
asing, sebagaimana Rasulullah mendengar dua jariyah tersebut, dan Rasulullah
tidak ada hubungan nasab apa pun dengan mereka berdua.
Namun
kalangan yang anti lagu tetap mengharamkan, menurut mereka dua jariyah itu
masih anak-anak, alias belum baligh, jadi belum mengerti apa yang sedang mereka
lakukan. Pendapat ini tertolak, sebab tidak ada keterangan yang menunjukkan
itu. Lagi pula, jika betul dua jariyah itu masih kanak-kanak, apa mungkin Abu
Bakar melakukan pengingkaran yang sangat keras kepada anak kecil, dengan ucapannya
“Apakah pantas di rumah Rasulullah terdengar suara seruling syetan?” Tentu ini
adalah celaan yang tidak pantas diterima anak kecil bukan? Tidak mungkin Abu
Bakar setega itu.
Ada
juga alasan lain, menurut mereka, pembolehan ini karena bertepatan dengan hari
raya saja. Alasan ini juga tertolak, sebab mana mungkin sesuatu yang haram, kok
bisa berubah menjadi halal hanya karena hari raya. Padahal perbuatan tersebut
secara zat adalah sama saja walau hari raya. Ingat, dalam hadits Imam Bukhari
secara Mu’allaq ada hadits, “Akan datang waktunya umatku menghalalkan
zina, sutera, khamr dan ma’azif (alat-alat musik).” (HR. Bukhari, no.
5590)
Lihatlah
.., zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik digandengkan menjadi satu susunan
kalimat. Ketiga hal itu seolah haram menurut hadits tersebut. Sungguh, haramnya
zina, sutera, dan khamr adalah jelas. Tetapi, apakah zina, sutera, dan khamr
menjadi halal ketika datang hari raya? Bukankah musik yang diharamkan dalam
hadits itu, justru menjadi halal ketika hari raya? Lalu, kenapa musik
dibolehkan pada hari raya sementara yang lain, khamr dan zina tetap haram,
bukankah ketiganya disebutkan secara bersamaan dalam hadits tersebut? Nah, ini
bukti kuat bahwa pendapat bahwa musik hanya dibolehkan khusus ketika hari Ied
saja adalah pendapat lemah. Ini sekaligus bukti, sebagaimana sebagaian
ulama, seperti Imam Ibnu Hazm, Imam Ibnul Araby, dan Syaikh Yusuf al Qaradhawy,
bahwa tak ada satu pun hadits –termasuk hadits Imam Bukhari ini- yang shahih
yang mengharamkannya, atau sekalipun shahih, tak ada korelasi yang menunjukkan
keharamannya. Wallahu A’lam. Insya Allah, pada gilirannya nanti akan kami
paparkan tentang hadits bolehnya lagu dan musik pukul, walau bukan hari Ied
atau pernikahan.
Fakta
di lapangan, hadits Imam Bukhari tersebut memang para ulama berselisih tentang
status keshahihannya. Di dalamnya ada Hisyam bin Amr yang menjadi
pembicaraan para pakar (Imam Ibnu Hajar, Taghliq at Ta’liq, V/17-22)
Yahya
bin Main dan Al Ajili menyatakan bahwa dia tsiqah. Abu Daud mengatakan bahwa
Hisyam bin Amr meriwayatkan empat ratus hadits yang tidak ada asalnya.
Abu
Hatim menyatakan bahwa, “ Dia shaduq, tetapi kemudian dia berubah, maka
setiap yang datang darinya harus dikaji ulang, dan setiap yang disampaikannya
mesti ditanyakan kembali.”
Ibnu
Sayyar juga mengungkapkan bahwa ini merupakan bencana besar yang membuat kami
bertawaqquf (no coment) terhadap riwayatnya. Karena bisa jadi apa yang
disampaikannya telah terjadi perubahan.
Imam
Ahmad mengatakan, “Ia kurang hafalannya.” An Nasa’i mengatakan bahwa, “Dia laa
ba’sa bihi” (tidak ada masalah).
Sedangkan Imam Adz Dzahabi
mendukungnya, dan berkata,”Ia dapat dipercaya, tetapi banyak yang mengingkari
haditsnya.” (Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, IV/302, 9234. Ibnu Hajar, Tahzib
at Tahzib, XI/51-54. Al Mizzi,
Tahzibul Kamal, III/242-255, no. 6586)
B. Hadits Kedua,
tentang pernikahan kerabat ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha yang bersuamikan
orang Ashar. Pada pesta pernikahan itu, nampak sepi-sepi saja tak ada hiburan
apa pun, lalu Nabi Shallallahu ‘laihi wa Sallam menanyakan hal tersebut
seakan ia mengkritiknya.
Dari
‘Aisyah, bahwa beliau menghadiri pernikahan seorang wanita Anshar, maka Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Wahai ‘Aisyah, Apakah mereka tidak memainkan
‘lahwun’? Bukankah orang Anshar sangat menyukai permaianan (al lahwu)?” (HR.
Bukhari dan Ahmad)
Imam
Ibnu Hibban dalam Shahihnya, meriwayatkan dari ‘Aisyah, beiiau berkata:
“Di kamarku ada jariyah dari Anshar, kemudian aku menikahkannya, maka ketika
Rasulullah masuk pada hari pernikahannya, ia sama sekali tidak mendengar
nyanyian ataupun lahwun, kemudian dia bersabda: “Wahai ‘Aisyah, apakah engkau
tidak memberikan nyanyian untuknya?” lalu ia bersabda: “Bukankah ini kampungnya
orang Anshar, dan mereka sangat menyukai nyanyain?” (HR. Ibnu Hibban, no.5875,
rijalnya tsiqat)
Imam
Ibnu Majah, meriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:
“Aisyah menikahkan kerabat dekatnya, orang Anshar, kemudian Rasulullah datang
dan bertanya: “Sudahkah engkau memberikan hadiah untuknya?” ‘Aisyah menjawab:
“Ya, sudah.” Rasulullah bertanya lagi, “Sudahkah engkau mengirim orang untuknya
bernyanyi?” ‘Aisyah menjawab: “Belum.” Kemudian Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya kaum Anshar adalah kaum yang suka senda gurau, alangkah bagusnya
engkau kirimkan baginya orang yang menyambut tamu tamu dengan syair:
Aku datang kepadamu .... Aku datang kepadamu ....
Semoga Allah mencukupkan kami, dan mencukupkan kamu sekalian!” (HR. Ibnu Majah, no. 1900)
Ada riwayat lain yang hampir serupa,
dimana Rasulullah bertanya: “Kenapa engkau tidak mengundang orang yang akan
menyambut dengan syair:
Aku datang kepadamu ....aku datang kepadamu ...
Semoga Allah mencukupkan kami dan
kamu
Jika bukan karena emas yang merah
Niscaya aku tidak akan mendatangi
kampungmu
Jika bukan karena habbatus sauda
Niscaya aku tidak akan mendatangi
gadis-gadismu..
Pada riwayat lain (no. 1995)
menyebutkan: “Niscaya para gadismu tidak akan gemuk.” Syaikh al
Albany dalam Al Irwa’-nya.
Dari
beberapa riwayat ini, pelajaran berharga yang bisa kita ambil, yakni pertama,
sikap Rasulullah yang menghargai kebiasaan dan tradisi orang lain
yakni Anshar (Madinah) yang suka nyanyian, sedangkan dia orang Muhajirin
(Mekkah). Kedua, ternyata Rasulullah pun melantunkan syair atau mencontohkan
nyanyian untuk menyambut para undangan.
C. Hadits Rubayyi’ binti Mu’awwidz,
Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahihnya dalam Kitab Nikah, Bab
Dharb al Duff fin Nikah wal Walimah (Memukul rebana selama pernikahan dan
walimah).
Dari
Rubayyi’ binti Mu’awwidz beliau berkata, “Pada pagi hari, Rasulullah datang ke
pernikahan saya, kemudian beliau duduk dikursiku seperti halnya kamu duduk di
depan saya sekarang ini. Lalu, aku memerintahkan para jariyah memainkan duff,
dengan menyanyikan lagu-lagu perjuangan orang tua kami yang gugur pada perang
Badar, mereka terus bernyanyi dengan syair yang mereka kuasai, hingga salah
seorang jariyah mengucapkan sebuah syair:
Diantara kita telah hadir, seorang Nabi yang mengetahui hari
yang akan datang ...
Maka
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menanggapi, “Sya’ir yang ini,
janganlah kamu nyanyikan.” (HR. Bukhari, Bab al Maghazi no. 4001, Juga Bab
Nikah no. 5147)
Imam Ibnu majah meriwayatkan dari
Ibnu Abi Syaibah, dari Al Hasan al Madani: “Ketika hari ‘Asyura kami di
Madinah, di antara kami ada jariyah yang memainkan duff dan
bernyanyi-nyanyi, lalu kami masuk ke rumah Rubayyi’ binti Mu’awwidz, sahabat
Nabi yang tenar. Lalu kami menceritakan kepadanya apa yang dilakukan jariyah
tadi. Dia menjawab: “Rasulullah pernah datang ke rumahku disaat hari
pernikahanku, saat itu ada dua jariyah yang bernyanyi, mereka menyanyikan kisah
syahidnya para orang tua kami dalam perang Badar, sampai mereka mengatakan apa
yang tidak seharusnya mereka ucapkan, yaitu:
...diantara kita telah hadir seorang
Nabi yang mengetahui tentang hari depan ..
Rasulullah menanggapi: “Adapun
kalimat ini, jangan kau katakan, karena tidak satu pun yang tahu hari esok
kecuali Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. Ibnu Majah no. 1897, Ahmad VI/359-360)
Riwayat ini membuktikan bahwa
Rasulullah pun mendengarkan hiburan dan duff, dan itu sekaligus
menunjukkan kemubahannya. Sedangkan yang ia ingkari adalah kalimat yang bernada
kultus, bukan mengingkari nyanyian itu sendiri. Nah, benarkah anggapan bahwa
kebolehannya hanya pada hari raya dan walimah saja sebagaimana hadits-hadits
ini? Jawab: tidak! Apa dalilnya? Jangan kemana-mana dulu, kita kan kembali
setelah ini.
D. Hadits tentang
seorang jariyah hitam yang bernadzar dihadapan Rasulullah, bahwa jika
Rasulullah selamat dan pulang dari peperangannya, maka ia berjanji akan menabuh
duff dan bernyanyi di depan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Dari Buraidah: “Rasulullah hendak
menuju peperangan, ketika kembali dari peperangan, ada seorang jariyah hitam
datang kepada Rasulullah, dan berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh aku telah
bernadzar, apabila engkau kembali dengan selamat, aku akan menabuh duff
dan bernyanyi di hadapanmu,” Maka Rasulullah bersabda: “Apabila engkau telah
bernadzar, maka tabuhlah sekarang, karena apabila tidak maka engkau telah
melanggar nadzarmu.” Kemudian jariyah tersebut menabuh duff dan
bernyanyi, kemudian ketika Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu datang, jariyah
itu masih menabuh dan bernyanyi lalu ketika Ali Radhiallahu ‘Anhu
datang jariyah itu masih menabuh dan bernyanyi, lalu ketik Utsman Radhiallahu
‘Anhu datang ia juga masih menabuh dan bernyanyi. Tetapi, ketika Umar Radhiallahu
‘Anhu datang, ia (Umar) langsung melemparkan duff itu ke arahnya, lalu
jariyah itu duduk. Lalu, rasulullah bersabda: “Wahai Umar, sungguh setan akan
takut kepadamu, sungguh ketika aku duduk ia menabuh, begitu pula ketika Abu
Bakar, Ali dan ‘Utsman, ia tetap menabuh. Tetapi, ketika engkau masuk wahai
Umar, engkau lemparkan duff itu.” (HR.
Ahmad no. 22989, dan Tirmidzi no. 3690, katanya hasan shahih gharib)
Riwayat
ini menunjukkan bahwa Rasulullah, Abu Bakar, Utsman, dan Ali ikut mendengarkan
nyanyian dan tabuhan. Saat itu bukan hari raya dan walimah, maka ini merupakan
bantahan bagi yang mengatakan bahwa pembolehannya hanya ketika hari Ied dan
walimah saja.
Kita
tahu bahwa bernadzar tidak boleh dengan perkara maksiat. Jadi, ketika
Rasulullah memerintahkan agar jariyah itu menunaikan nadzarnya dengan
menabuhkan duff, itu menunjukkan bahwa manabuh duff dan bernyanyi bukan
maksiat. Jika itu maksiat, maka mustahil Rasulullah meridhai bahkan
memerintahkan untuk memainkannya. Ya hadits ini sangat jelas.
E.Hadits
tentang Qaynah (wanita yang suka bernyanyi)
Dari
Said bin Yazid, bahwa ada seorang wanita datang menemui Nabi, kemudian Nabi
bertanya kepada ‘Aisyah: “Wahai ‘Aisyah, apakah engkau kenal dia?” ‘Aisyah
menjawab: “Tidak, wahai Nabi Allah.” Lalu, Nabi bersabda: “Dia itu Qaynah dari
Bani Fulan, apakah kamu mau ia bernyanyi untukmu?”, maka bernyanyilah qaynah
itu untuk ‘Aisyah. (HR. An Nasa’i, kitab Asyratun Nisa’, no. 74)
Jelaslah
... bolehnya mendengarkan nyanyian walau bukan hari raya. Riwayat ini tak ada
kaitan apapun dengan hari raya dan walimah.
Kemubahannya
sangat terlihat jelas, sebab tak mungkin Rasulullah memerintah orang lain
bernyanyi untuk ‘Aisyah, jika memang bernyanyi itu haram. Sebenarnya
masih banyak riwayat dari Rasulullah yang menguatkan bahwa lagu dan musik
tabuhan adalah mubah, namun hadits-hadits ini, kami kira cukuplah. Al
hamdulillah ...
III.
Para sahabat Nabi yang membolehkan bernyanyi dan mendengarkannya, dan
mereka sebaik-baiknya kaum dan salaf (pendahulu)
Mereka
para sahabat merupakan murid madrasah nabawiyah. Kita akan dapati, bahwa sikap
mereka terhadap nyanyian tidaklah sekeras generasi setelahnya. Karena
memang saat itu nyanyian dan tabuhan bukanlah sebuah ancaman terhadap ketaatan,
sehingga mereka tidak merasa perlu khawatir. Adapun generasi selanjutnya, manusia
banyak tenggelam dalam hura-hura, syahwat, dan lalai, karena lagu dan nyanyian.
Maka, wajar
bila ulama masa itu menjadi lebih keras dibanding para sahabat. Jadi, yang
harusnya dipermasalahkan bukanlah lagu dan musik itu sendiri, melainkan sikap israf
(berlebihan) manusianya dalam menikmati lagu dan musik tabuhan, sehingga banyak
hal-hal utama yang mereka tinggalkan. Namun, tidak semua orang bersikap israf
dalam perkara ini. Maka, sekali lagi, keharaman lagu dan musik bukan dilihat
dari lagu dan musik itu sendiri, tetapi efek lalai atau potensi lalai sangat
mungkin terjadi karenanya.
Sikap
Umar bin al Khathab Radhiallahu ‘Anhu
Dialah
Al Faruq, yang paling keras dalam melaksanakan perintah Allah Ta’ala,
sebagaimana hadits: “Yang disayangi dari umtku adalah Abu Bakar, dan yang
paling keras dlam melaksanakan perintah Allah dikalangan umatku adalah Umar,
dan sejujurnya manusia adalah pemalunya Utsman ... dst.” (HR. Ahmad, Tirmidzi,
An Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Al Hakim, dan Al Baihaqi, Al jami’ush
Shaghir, 895)
Kita
tahu sikapnya yang keras terhadap orang Habasyah yang sedang bermain tarian
pedang di Mesjid Nabawi saat hari Ied. Namun, sebenarnya ia sangat suka
bersenandung, dan toleran sahabat lainnya yang suka menghibur diri, atau
bernyanyi dalam perjalanan di gurun.
Dari
Abdullah bin Auf, dia berkata: “Aku menghampiri pintu rumah Umar bin Al
Khathab, kemudian aku mendengar ia sedang bernyanyi:
Wahai, bagaimanakah nasib rumahku di
Madinah
Setelah maksud jahat Jamil bin
ma’mar terpenuhi
Yang
dimaksud adalah Jamil al Jamahi, karena hanya dia yang punya nama itu. Aku
datang minta izin masuk ke rumahnya, beliau berkata, “Apakah engkau mendengar
apa yang aku nyanyikan tadi?, “ Aku menjawab, “Ya.” Beliau berkata:”
Sesungguhnya aku, apabila sedang kesepian, aku juga sering bersenandung seperti
orang lain juga.” (Imam al Alusi, Tafsir al Alusi, XXI/71) Ya .. inilah Umar, ia
bersenandung ...
Khawat bin Jubair dia berkata: “Aku pergi haji bersama
Umar bin al Khathab, kami berangkat dengan berkendaraan bersama Abu Ubaidah bin
al Jarrah, Abdurrahman bin Auf, tiba-tiba manusia berkata, “Nyanyikanlah buat
kami syairnya dhirar, “ lalu Umar menanggapi, “Biarkanlah mereka wahai Abu
Abdillah”, maka mereka pun bernyanyi sesuka seleranya –yaitu syair dhirar. Aku
pun terus menyanyikan lagu buat mereka, sampai waktu sahur tiba, dan Umar
berkata, “Sudahilah nyanyianmu wahai Khawat, karena kita sudah hampir
waktu sahur.” (Imam Ibnu Hajar, Al Ishabah, I/457, no. 2298. Al Baihaqi, V/69)
Waktu sahur maksudnya waktu berdzikir dan istighfar
pada sepertiga malam terakhir (QS. Adz Dzariyat: 18), bukan makan sahur.
Riwayat ini, nampak bukan hanya Umar saja yang
mendengarkan nyanyian, tetapi Abu Ubaidah bin Al Jarrah dan Saad bin Abi
Waqqash, dan kedunya merupakan termasuk sahabat yang mubasysyiruna bil
jannah (diberitakan akan masuk surga).
Al Harits bin Ubaidillah bin ‘Ayyas menceritakan bahwa
ia pernah bersama Umar berjalan di suatu jalan di Mekkah di masa
kekhalifahannya, kaum muhajirin dan Anshar juga turut serta. Sesampainya di
rumah, Umar berdendang dengan suara yang merdu, sehingga ada orang dari Irak
yang berkata, “Kenapa tidak meminta orang lain saja (untuk bernyanyi) wahai
Amirul Mu’minin?! Umar pun menjadi malu, lalu ia memacu kudanya dan berpisah
dari rombongan. Imam Ibnu Thahir al Maqdisi mengatakan sanad riwayat ini kuat.
Imam Ibnu Thahir meriwayatkan dari Zaid bin Aslam dari
Ayahnya, bahw Umar Radhiallahu ‘Anhu lewat di depan orang yang sedang
bernyanyi, kemudian beliau berkata: “Nyanyian adalah bekal bagi musafir.” (Muhammad
bin Thahir al Maqdisy, hal. 42)
Diterima dari Yahya bin Abdurrahman, dia berkata,
“Kami berhaji bersama Umar dalam haji Akbar, hingga sampai di suatu tempat
bernama Rauha’, lalu Ribah bin al Mu’tarif yang terkenal merdu suaranya
dalam menyanyikan lagu Arab Badui diminta oleh orang-orang: “Perdengarkanlah
suaramu kepada kami dan menarilah,” Dia menjawab: Aku harus jauh karena malu
terhadap Umar.” Kemudian orang-orang meminta izin kepada Umar bin Khathab, dan
berkata: “Kami minta kepada Ribah untuk menyanyikan lagu dan menari buat kami
selama istirahat diperjalanan, tetpi dia tidak mau tanpa seizinmu.” Maka
Umar berkata kepada Ribah; “Wahai Ribah bernyanyi dan menarilah untuk
mereka, tetapi jika sudah waktu sahur, hendaknya berhentilah.”(An Nihayah,
190/4)
Dan Ribah membiarkan mereka mendengarkan syair Dhirar
bin Khatthab, lalu ribah meninggikan suaranya (‘uqayrah) dan terus
bernyanyi padahal mereka semua sedang ihram!” (Ibnu Thahir, hal. 41-42)
Az Zubair bin Bakkar menceritakan, bahwa Umar Radhiallahu
‘Anhu lewat dihadapan Ribah bin al Mu’tarif, lalu berkata kepadanya, “Ada
apa ini?”, lalu Abdurrahman bin ‘Auf menjawab, “Suatu hal yang biasa, sekedar
untuk mempersingkat perjalanan kita,” Kemudian Umar berkata, “Kalau begitu
bernyanyilah dengan syairnya Dhirar bin al Khatthab.(Al Ishabah,
I/502. Sunanul Kubra X/224)
Saya kira riwayat-riwayat ini sangat memadai bahwa
Umar, Saad bin Abi Waqqash, Abu Ubaidah bin Al Jarrah, Abdurrahman bin ‘Auf,
Khawat bin Jubair, dan sahabat nabi lainnya, baik Ansha dan Muhajirin,
mereka semua pernah bahkan biasa mendengarkan nyanyian. Selain mereka, berikut akan kami paparkan sahabat Nabi
lainnya.
Sikap
Utsman bin Affan Radhiallahu ‘Anhu
Sikap
Utsman, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Abu Hasan al Mawardi mengatakan
dalam kitabnya Al hawy fi fiqh Imam Asy Syafi’i, “Bahwa Utsman bin Affan
memiliki dua jariyah yang sering mendendangkan nyanyian untuknya, apabila
datang waktu Sahur, beliau berkata kepada keduanya: “Berhentilah, sekarang
sudah waktunya istighfar.” (Az Zubaidi, al ittihaf as sadah al muttaqin,
VII/567)
Sikap
Abdullah bin Ja’far Radhiallahu ‘Anhu
Dia
adalah anak Ja’far bin Abu Thalib Radhiallahu ‘Anhu, ketua
rombongan hijrah pertama ke Habasyah. Abdullah bin Ja’far terkenal
sebagai sahabat nabi yang suka mendengarkan nyanyian dengan mengunakan musik.
Al ‘Allamah Kamaluddin Abul fadhl Ja’far bin Tsa’lab al Adfawy mengatakan dalam
al imta’: Adalah Abdullah bin ja’far bin Abi Thalib, dia cukup terkenal
dalam hal mendengarkan nyanyian dan lagu. Banyak para ahli fiqih, huffazh, dan
ahli tarikh yang menimba ilmu darinya.
Imam
Ibnu Abdil Barr berkata: “Beliau berpandangan bahwa dalam nyanyian itu tidak
ada masalah apapun.” (Al Isti’ab, II/276)
Abdullah
bin ja’far pernah bermalam di rumah Mu’awiyah. Ia sangat dihormati luar biasa oleh
Mu’awiyah, sampai isteri Mu’awiyah jengkel. Ketika datang malam, Abdullah bin
Ja’far bernyanyi hingga suaranya terdengar ke luar kamar. Berkatalah isteri
Mu’awiyah: “Apakah engkau dengar sesuatu dari kamar orang yang sangat kau
hormati, sekan ia daging dan darahmu?” lalu Mu’awiyah mendengarkannya hingga ia
meninggalkan Abdullah bin Ja’far. Pada akhir malam Mu’awiyah mendengar bacaan Al
Quran dari Abdullah bin Ja’far, lalu ia mendatanginya dan berkata:
“Perdengarkanlah kepadaku apa yang engau dendangkan semalam.” (Ibid)
Abu Manshur al Baghdadi mengatakan dalam As Sima’
bahwa, Abdullah bin ja’far dengan penuh perasaan sering membuat syair lagu
untuk tetangga-tetangganya dan diperdengarkan kepada mereka dengan alat musik.
Az Zubeir bin Bakr menceritakan bahwa Abdullah bin
ja’far sering ke kedai Manzil Jamilah, sebuah kedai yang terkenal pada
masa sahabat, di dalamnya sering diperdengarkan nyanyian dari seorang penyanyi.
(Al Ihya’, VII/566)
Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar-nya
berkata: “Penduduk Madinah dan orang-orang yang menyetujuinya dari kalangan
ulama Ahli Zhahir dan sejumlah ahli tasawwuf berpendapat membolehkan nyanyian.
Meskipun dengan ‘Aud dan seruling. Abu Manshur al Baghdadi Asy Syafi’i
menceritakan dalam As Sima’ bahwa Abdullah bin Ja’far tidak menganggap
terlarang masalah nyanyian, bahkan ia membuat lagu untuk budak-budak
perempuannya, serta mendengarkan nyanyian mereka dengan menggunakan alat
musiknya, Ini terjadi pada masa kekhalifahan Ali Radhiallahu ‘Anhu.”
Sikap
Abdullah bin Zubeir Radhiallahu ‘Anhu
Dia
adalah anak dari Zubeir bin Awwam Radhiallahu ‘Anhu dan Asma’ binti Abu
Bakar. Ia wafat di tangan gubernur zalim Al Hajjaj pada masa khalifah Abdul
Malik bin Marwan tahun 73H. Banyak manusia meriwayatkan hadits darinya. Imam
Ibnu Daqiq al Id meriwayatkan dalam Iqtinash Sawanih dengan sanadnya
dari Wahhab bin Sannan, di berkata: “Aku mendengar Abdullah bin Zubeir Radhiallahu
‘Anhu bersenandung dengan nyanyian.”
Imam
Haramain (dalam An Nihayah) dan Ibnu Abid Dunya mengatakan, menurut
perkataan yang bisa dipercaya dari para sejarawan, mereka menukil bahwa
Abdullah bin Zubeir memiliki beberapa ‘Aud (gitar zaman dulu). Ketika Ibnu Umar
masuk ke rumahnya dan melihat ‘Aud itu, ia bertanya: “Apa ini wahai sahabat
Rasulullah?” lalu Abdullah bin Zubeir memberikan ‘Aud itu kepada Ibnu Umar, dan
dia mengamatinya. Lalu bertanya: “Apakah ini timbangan negeri Syam?” Abdullah
bin Zubeir menjawab, “Ini timbangan untuk akal.”
Sikap
Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘Anhu
Kita dapati ada beberapa riwayat yang berbeda tentang
sikap Abdullah bin Umar ini. Ketika sedang berjalan bersama Nafi’, Ia pernah
menutup telinganya ketika terdengar suara seruling merdu sekali.lalu ia
bertanya: “apakah engkau masih mendengar?” Nafi’ menjawab: “Tidak.” Ketika
suara seruling sudah hilang barulah ia melepaskan jarinya. Lalu ia berkata:
“Begitulah aku melihat Rasulullah melakukannya.”(HR. Abu Daud no. 4924)
Hadits
ini sering dijadikan dalil untuk mengharamkan, padahal tidak. Jika benar haram,
tentu Ibnu Umar juga memerintah Nafi’ untuk menutup telinga, tidak mungkin ia
mendiamkan Nafi’ untuk tetap mendengarkan sesuatu yang haram. Bisa jadi ia
sekedar tidak menyukainya, dan ‘tidak suka’ tidaklah bermakna haram.
Sebagaimana kita ketahui, para sahabat nabi memang tidak menyukai kenikmatan
duniawi, namun sikap itu tidak berarti haram sacara syara.’
Ternyata,
hadits ini pun dinyatakan munkar oleh perawinya yakni Imam Abu Daud,
begitu pula menurut Al hafizh al Mundziri dalam Mukhtashar lis Sunan, ia
tidak mengingkari kemungkaran hadits tersebut. walau ada juga yang menyatakan
shahih yakni pensyarahnya (kitab Aunul Ma’bud) menyatakan sanadnya kuat
dan tsiqat.
Al
‘Allamah Abu Umar al Andalusi meriwayatkan dalam Al ‘Aqd, bahwa Abdullah
bin Umar pernah datang ke rumah Abdullah bin Ja’far, lalu di dapatinya seorang
budak perempuan milik Abdullah bin Ja’far yang di dalam kamarnya terdapat
alat musik ‘Aud (kecapi). Kemudian Abdullah bin Ja’far bertanya kepada Ibnu
Umar, “Apakah Anda menganggapnya terlarang?” Ibnu Umar menjawab: “Tidak
apa-apa.”
Sikap
Mu’awiyah dan Amr bin al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhuma
Dalam
Al Hawy, diceritakan oleh Al Mawardi, bahwa Mu’awiyah dan Amr bin al Ash
sering mengunjungi Abdullah bin Ja’far, yang dilihatnya sering sibuk dengan
nyanyian, dan mereka menasihatinya. Mereka berdua pernah datang untuk bertanya
kepada Abdullah bin Ja’far, ketika mereka berdua masuk ke rumah Ibnu Ja’far,
semua jariyah terdiam. Berkatalah Mu’awiyah kepada mereka, “Saya harap kalian
kembalilah bernyanyi seperti tadi.” Maka, Jariyah-jariyah kembali bernyanyi
untuk Mu’awiyah, terlihat Mu’awiyah menggerak-gerakan kakinya di kursi. Lalu,
Amr bin al Ash bertanya, “Apa yang sedang kau nikmati?” Mu’awiyah menjawab:
“Wahai Amr, sesungguhnya orang mulia sedang bernyanyi.”
Imam
Ibnu Qutaybah juga meriwayatkan bahwa Mu’awiyah pernah menemani anaknya –Yazid-
yang sedang memainkan ‘Aud. Mu’awiyah menemaninya dengan memainkan tharb
(rebab-alat musik pukul). Masih banyak lagi kisah tentang masalah ini dari
Mu’awiyah.
Sikap
Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu ‘Anhu
Seorang
pemikir Arab, Mughirah bin Syu’bah, termasuk sahabat Nabi yang suka
mendengarkan nyanyian. Syaikh Tajuddin al Fazari menceritakan ketertarikan
Mughirah bin Syu’bah dalam mendengarkan nyanyian. Beliau juga termasuk sahabat
yang sering nikah dan menikahkan orang lain.
Sikap
Usamah bin Zaid Radhiallahu ‘Anhu
Dari
Abdullah bin al Harits bin Naufal, beliau berkata, “Aku melihat Usamah bin Zaid
sedang duduk di mesjid engan mengangkat sebelah kakinya di atas yang lainnya,
ia sedikit meninggikan suaranya.” Anandungbdullah bin Al Harits berkata, “Saya
kira beliau sedang bersenandung dengan nyanyian syair An Nashab.”
(Riwayat Abdurrazzaq, XI/5, Al Atsar, 91739. Al Baihaqi, X/224)
An
Nashab adalah salah satu syair Arab Badui
yang mirip nyanyian (untuk bersenandung), sebagaimana dikatakan Abu Ubaid.
Sikap
Abdullah bin Al Arqam Radhiallahu ‘Anhu
Dia adalah anak Arqam bin Abi al Arqam. Dalam As
Sunan-nya Imam al Baihaqi, meriwayatkan dari Az Zuhri dari Ubaid bin
Abdillah bin Utbah: “Sesungguhnya Ayahnya menceritakan kepadanya bahwa beliau
pernah mendengar Abdullah bin al Arqam meninggikan suaranya dan beliau
bersenandung.” Abdullah bin Utbah berkata: “Demi Allah, setahu saya,
tidak pernah saya melihat dan menemukan orang yang paling takut kepada Allah
selain Abdullah bin al Arqam.”(As Sunan al Kubra, X/225)
Sikap
Imran bin Hushain Radhiallahu ‘Anhu
Imam
Bukhari meriwayatkan dalam Adabul Mufrad, dari Mathraf bin Abdullah, ia
berkata: Aku ditemani Imran dari Kuffah ke Bashrah, sedikit-dikit ia
bersenandung dengan melantunkan syair.(Adabul Mufrad, hal. 124)
Abdur
Razzaq meriwayatkan, sebenarnya dari Bashrah ke Mekkah beliau melantunkan
nasyid setiap hari, kemudian ia berkata kepadaku: “Sesungguhnya syair itu sama
dengan ucapan, dan setiap ucapan ada yang baik dan ada juga yang batil.” (Abdurrazzaq,
XI/5, Al Atsar no. 19740)
Sikap
Bilal bin Rabah Radhiallahu ‘Anhu
Imam
Abdur Razzaq meriwayatkan, juga Imam Baihaqi dengan sanadnya –lafaz ini dari
Baihaqi, dia berkata: Abdullah bin az Zubair berkata sambil bersandar: “Wahai
Bilal bernyanyilah!” Kemudian seorang bertanya: “Bernyanyi?” Kemudian dia duduk
dengan tegak, dan berkata: “Tiada seorang pun Muhajirin yang belum pernah
mendengar Bilal menyanyikan An Nashab?”
Sikap
Hasaan bin Tsabit Radhiallahu ‘Anhu
Penulis
kitab al Aghani meriwayatkan dalam al Kamil dan juga yang
lainnya, dari Kharijah bin Zaid, dia mengatakan kami diundang dalam sebuah
npesta pernikahan, di sana hadir pula Hassan bin Tsabit, saat itu sudah buta,
ia bersama anaknya –Abdurahman. Setelah selesai makan, tuan rumah mendatangkan
dua jariyah penyanyi, Rab’ah dan ‘Izzah al Maila’. Keduanya mengambil alat
musik gambus lalu menabuhnya dengan merdu dan indah serta menyanyilan syairnya
Hassan bin Tsabit.
Aku
rasa, pandanganku senantiasa sempit
Sehingga
angin dan hujan memalingkan wajahnya dari ku ..
Ketika
Hassan mendengar syair tersebut ia berkata: “Sungguh kini aku bisa melihat dan
mendengar.” Matanya mulai berkaca-kaca. Ketika dua jariyah itu berhenti
menyanyi, air matanya mengering, ketika bernyanyi, ia menangis lagi. Aku
melihat Abdur Rahman mengahmpiri dua jariyah tersebut dan berkata, “Teruslah
nyanyikan syair ini.”(Al Aghani, XVII/176-179)
Sikap
sahabat-sahabat yang lain
Sahabat
lain yang mendengarkan nyanyian di antaranya adalah Hamzah bin Abdul Muthalib,
kisahnya ada dalam Ash Shahihain. Abdullah bin Umar dalam riwayat Ibnu
Hazm dan Ibnu Thahir, Barra bin Malik yang diriwayatkan oleh al Hafizh Abu
Nu’aim dan ibnu Daqiq al Ied, An Nu’man bin Basyir yang diriwayatkan oleh
ahli lagu dan al Aqd serta Syarhul Miqna, Abdullah bin Amr yang
diriwayatkan oleh Zubair bin Bakr dalam kitab al Mawfiqiyyat, juga
‘Aisyah, banyak hadits-hadits yang menceritakan bahwa beliau suka mendengarkan
nyanyian. (Al ittihaf, VII/568)
IV.
Para Tabi’in yang membolehkan Bernyanyi dan Mendengarkannya
Mereka
adalah murid-murid para sahabat nabi, merekalah pengisi zaman khairul qurun
yang kedua setelah masa sahabat nabi.
Sikap
Said bin al Musayyib
Ia adalah tabi’in utama, setelah
Uwais al Qarny. Sebagian lagi mengatakn ia adalah junjungan para tabi’in. Ia termasuk
tujuh ahli fiqih (Fuqaha as Sab’ah) Madinah pada zamannya.
Ternyata beliaupun pernah mendengarkan nyanyian.
Dari Ibrahim bin Muhammad al Abbas al Muthallibi,
bahwa Said bin al Musayyib pernah melewati suatu tempat di Mekkah, dan beliau
mendengar Al Akhdhar sedang menyanyikan sebuah syair di Darul ‘Ash
bin Wail dengan syair:
Hilang harum kesturi di perutnya Nu’man secara
tiba-tiba
Zainab berjalan di antara wanita-wanita yang
mengelilinginya
Kemudian
Said menepuk Nu’man dengan kakinya. Kemudian Nu’man berkata: “Ini, Demi Allah!
Hanya untuk didengarkan dan dinikmati saja.”
Lalu,
Said bin al Musayyib menjawab dengan menyanyikan syair:
Dia
tidak seperti wanita lain yang menebarkan sakunya sehasta
Dan
kedatangannya memanjangkan kuku jarinya
Dan
mencat ujung jari dengan wangi misk dan
Kakinya yang halus seperti bulan purnama ....dst
Ibrahim
mengatakan: Mereka beranggapan bahwa syair ini adalah buatan Said bin al
Musayyab. Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Ini bukanlah Syair buatan An Namiri
sebagaimana yang pernah aku riwayatkan, dan dalam syair dia tidak ada bait
seperti ini. Jelas ini adalah bait syair buatan Said bin al Musayyib.
Kisah
ini juga dikutip oleh Ibnul Jauzy dalam Talbisul Iblis, dan Ath Thabrani
serta As Sam’ani dalam Awail adz Dzail.
Sikap
Salim bin Abdullah
Dia
adalah Salim bin Abdullah bin Umar bin Al Khathab. Imam Ibnu Thahir mengatakan,
dengan sanadnya yang sampai pada Abdul Aziz bin Abdul lathif dia berkata,
ayahku mengatakan: “Aku pernah masuk ke rumah Salim bin Abdullah bin Umar. Di
sana ada Asy’ab yang sedang menyanyikan syair:
Perubahan
di wajahnya bagai purnama setahun penuh
Yang terbebas dari dosa dan kesalahan
Yang
nampak hanyalah kekayaan
Sesuai
dengan kesucian jiwa
Memisahkan
setiap hal yang jelek dan menjijikan dari sesuatu yang suci ...dst
Lalu
Salim berkata kepada Asy’ab: “Ulangi lagi untukku.” Maka Asy’ab melanjutkan sampai
selesai.
Kemudian Salim berkata: “Hai demi Allah, kalaulah
engkau tidak bergantian mengisahkan syair ini, niscaya akan aku beri hadiah
untukmu.
Kemudian Imam ibnus Sam’ani mengutip akhir sanadnya,
dan juga Abdul Aziz bin Abdul muthallib, beliau adalah Qadhi di Madinah, ada
pula yang menyebut Qadhi di Mekkah.
Sikap Qadhi Syuraih
Dinukil dari Al Ustadz Abu Manshur al Baghdadi dalam
As Sima’ menceritakan tentang Qadhi Syuraih, bahwa beliau menyusun syair,
mendendangkan dan mendengarkannya sendiri dengan penuh penghayatan.
Sikap Kharijah bin Zaid
Dia adalah salah seorang dari tujuh ahli fiqih
Madinah. Tentang kisahnya mendengarkan musik sudah kami sebutkan dalam Sikap
Hassan bin Tsabit Radhiallahu ‘Anhu. Silahkan diperiksa.
Sikap Said bin Jubair
Al hafizh Abu Fadhl Muhammad bin Thahir menceritakan
dengan sanadnya yang sampai kepada al Ashmu’i tentang Al Qadhi Said bin Jubair;
Umar bin Zaidah menceritakan kepada kami, Isteri Amr bin Al Asham menceritakan:
“Kami nelewati sebuah tempat dan di samping kami ada Said bin Jubair dan di
antara kami ada seorang jariyah yang bernyanyi dengan memukul duff,
dengan mendendangkan syair:
Kalaulah kamu tidak kagum kepadaku, maka kemarilah
Said
mengagumiku,
Dengan berkurban yang kaum muslimin
Sedikit sekali yang melakukannya ...dst
Maka
Said menimpali:
“Kau dusta, kau dusta!”
Al
Faqihi meriwayatkan dalam Tarikh Mekkah, bahwa Said mendengarkan lagu yang
diiringi duff dengan tidak mengecam perbuatan itu. Namun, ketika
diperbincangkan hal itu, ia menyanggahnya dengan tanpa mengecam.
Sikap Amir Asy Sya’bi
Dia adalah tabi’in generasi pertama. Dalam Shafwat
at Tashawwuf Al Hafizh Abu Fadhl Muhammad bin Thahir mengatakan, Al Ashmu’i
berkata, Amr bin Abi Zaidah menceritakan: “Asy Sya’bi lewat di depan jariyahnya
yang sedang bernyanyi, Asy Sya’bi menyenanginya, namun jariyah itu diam ketika
melihat Amir Asy Sya’bi. Lalu Asy Sya’bi berkata: “Tinggikan ujung lagu itu.”
Kisah ini juga terdapat dalam Awailudz Dzaili-nya
Ibnu Sam’ani.
Sikap Ibnu Abi ‘Atiq
Ia seorang faqih, zuhud, dan mengajarkan syair
nyanyian. Shahihain meriwayatkan hadits darinya. Dalam Al
Mawfiqiyat Thayyibah, dari Ummi Sulaiman binti Nafi’, bahwa Ibnu Abi ‘Atiq
pernah masuk ke rumah Jariyah di kota Madinah, yang mendendangkan nyanyian
kepada Ibnu Suraij:
Hati telah mengatakan yang sebenarnya
Sebagaimana diceritakan Ummi Zaid
Sedangkan hewan tunggangan kelam kelabu
Kelabu karena penunggangnya ... dst
Kemudian Ibnu Abi ‘Atiq meminta jariyah itu mengulangi
nyanyiannya, tetapi jariyah tersebut menolaknya, sehingga Ibnu Abi ‘Atiq keluar
rumah karena kesal. Kisah ini sangat tenar dan sanadnya
kuat.
Sikap
‘Atha bin Abi Rabah
Dia
adalah tokoh tabi’in terkenal. Luas ilmunya, wara’, zuhud, ‘abid dan penghapal
hadits dan atsar. Imam al Baihaqi mengatakan, dengan sanad sampai Ibnu
Juraij, aku pernah bertanya kepada ‘Atha tentang masalah syair yang diiringi
musik, beliau menjawab: “Aku berpendapat hal itu tidak mengapa, selama tidak
terdapat hal yang buruk di dalamnya.”
Ibnu
Abdil Barr dalam sanadnya yang sampai kepada Ibnu Juraij berkata: “Aku bertanya
kepada ‘Atha tentang bersenandung syair dan lagu, beliau menjawab: “Tidak
apa-apa selama tidak mengandung hal yang buruk.”
Muhammad
bin Ishaq al Faqihy dalam Tarikh Makkah, menceritakan bahwa ketika
Imam Atha’ mengkhitan anaknya, di dalamnya ada nyanyian dua orang pemuda
yakni al ‘Aridh dan Ibnu Suraij. ‘Atha menyukai suara Ibnu Suraij sehingga ia
berkata: “Yang terbaik di antara kalian adalah yang lembut suaranya yaitu Ibnu
Suraij.”
Sikap
Umar bin Abdul Aziz
Ibnu
Qutaibah meriwayatkan dari Ishaq tentang Umar bin Abdul Aziz. Ishaq ditanya
tentang nyanyian menurut Umar bin Abdul Aziz. Dia mengatakan: “Ketika menjadi
khalifah tidak pernah sama sekali mendengarkan nyanyian, sedangkan ketika masih
menjadi pangeran beliau menyedikan waktu khusus untuk mendengar nyanyian tapi
yang baik-baik saja. Dia sendiri yang mendendangkan dan memainkan alat
musiknya. Di kamarnya ada tharb (gendang), kadang-kadang ia memukul tharb
itu dengan kakinya.”
Dalam
Al Mawfiqiyat, Zubair bin Bakr mengatakan saya pernah mendengar paman
mengatakan, “Saya pernah bertemu orang-orang Madinah yang menyanyikan lagu yang
disandarkan sebagai gubahan Umar bin Abdul Aziz.”
Al
Adfawi menceritakan bahwa Umar bin Abdul Aziz, sebelum menjadi khalifah, suk
mendengarkan budak-budaknya bernyanyi.
Sikap
Sa’ad bi Ibrahim
Ibnu
Hazm menceritakan tentang pendapat Sa’ad bin Ibrahim (seorang Qadhi di Madinah,
cucu Abdurrahman bin ‘Auf), bahwa ia termasuk tabi’in yang membolehkan
nyanyian.
V. Para Imam setelah tabi’in juga membolehkan nyanyian
Sikap Ibnu Juraij
Dalam At tadzkirah al Hamduniyah diceritakan
oleh Daud al Makky, bahwa Ibnu Juraij sedang mengisi ta’lim, dan di dalamnya
ada rombongan dari Irak di antaranya ada Abdullah bin Mubarak. Saat itu
lewatlah seorang penyanyi, maka Ibnu Juraij berkata, “Maukah engkau bernyanyi?”
penyanyi itu menjawab, “Aku sedang terburu-buru,” tetapi kemudian ia bernyanyi
juga. Ibnu Juraij berkata, “Suaramu bagus.” Kemudian ia menghadap ke jamaah
dari Irak, “Apakah kalian tidak suka nyanyian?” mereka menjawab:
“sesungguhnya di Irak kami tidak menyukai nyanyian.” Beliau bertanya, “Kalau
bersenandung bagaimana?” mereka menjawab: “Bersenandung tidak masalah bagi
kami.” Ibnu Juraij menimpali, “lalu, apa bedanya bersenandung dengan bernyanyi?”
Ibnu Qutaibah berkata dalam Ar rukhshah fis Sima’:
Ibnu Juraij bercerita, bahwa beliau pernah bermaksud pergi Jumat dan melewati
sebuah rumah seorang penyanyi, kemudian ia singgah dan pemilik rumah keluar,
dan duduk bersamanya di pinggir jalan. Ibnu Juraij berkata: “Bernyanyilah.”
Maka menyanyialah ia, sampai Ibnu juraij mengalir air matanya hingga membasahi
janggutnya, karena syairnya menceritakan kenikmatan surga.
Sikap Muhammad bin Sirin
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ibnu ‘Aun (murid
Ibnu Sirin). Beliau berkata: Pada keluarga Muhammad bin Sirin terdpat
kumpulan malak (para suami) yang berkumpul-kumpul di saat senggang. Di
saat Mumammad bin Siri pulang ke rumah ia berkata kepada isterinya: “Di mana
makananmu?” Ibnu ‘Aun berkata: “Yang dimaksud
dengan mkanan adalah duff.” (Al Mushannif, IV/193)
Sikap
Imam Abu Hanifah
Dalam
Ibnu Abdi Rabbah dalam al ‘Aqd menyebutkan, Hafash bin Ghiyats
menerima langsung dari Muhamamd bin Hasan dari Abu Yusuf, dia (Abu Hanifah)
berkata: “Adapun aku cukup menyukainya sebagai hutang yang mesti aku lunasi,
dan aku berjanji pada pada diriku sendiri, bila dilantunkan lagu, aku akan
mendengarkannya.”
Ibnu
Qutaibah juga menceritakan tentang Abu Hanifah yang sering mendengarkan
nyanyian dan musik tetangganya yang bernama ‘Amr. Hingga suatu hari ‘Amr dipenjara,
mendengar dia dipenjara, Abu hanifah pergi menemui khalifah meminta pembebasan
‘Amr.
Sikap Imam Malik
Al Adfawy dalam Al Imta’ bi Ahkamis Sima’ meriwayatkan,
Khalifah Harun ar Rasyid pernah bertanya kepada Ibrahim bin Said, “Apakah
Anda tahu sikap Imam Malik terhadap musik?” Ibrahim menjawab: “Demi Allah,
tidak! Tetapi ayahku pernah memberitahu bahwa dia pernah berkumpul pada
undangan Bani Yarbu’. Saat itu mereka termasuk kaum yang lebih dalam
pengetahuannya, sedangkan Malik paling sedikit ilmu dan kemampuannya, mereka
membawa duff sambil bernyanyi dan bersenda gurau, sedangkan Malik hanya
memegang duff. Beliau menyanyikan sebuah lagu untuk mereka:
Keselamatanku terancam di antara kita, dan
Di
manakah aku temukan penyelasaian, di mana?
Sedangkan
ucapan Imam malik, bahwa beliau mengharamkan penjualan jariyah yang suka
bernyanyi, bukan berarti bernyanyi haram. Melainkan ia mencela jariyah yang
selalu menyanyi, sehingga melupakan tugas pelayanan lainnya.
Ar
Ruyani meriwayatkan dari Al Qaffal bahwa madzhab Malik bin Anas memperbolehkan
nyanyian dengan menggunakan alat-alat musik. Ustadz Abu Manshur al Faurani
meriwayatkan dari Imam Malik kebolehan menggunakan ‘Aud. Imam Malik adalah
Imamnya Penduduk Madinah, berkata Ibnu Thahir bahwa tidak ada perbedaan
pendapat di kalangan ulama Madinah tentang bolehnya memainkan ‘Aud/kecapi. Ibnu
Nahwi dalam al Umdah menyatakan bahwa, Ibnu Thahir berkata, “Pendapat
itu sudah menjadi ijma’ penduduk Madinah.”
Sikap
Imam Asy Syafi’i
Imam
al Ghazali menerangkan dalam Al Ihya’, “pada dasarya madzhab ini tidak
mengharamkan nyanyian.” Yunus bin Abdil A’la mengatakan, Aku bertanya kepada
Imam Asy Syafi’i tentang dibolehkannya orang Madinah mendengarkan nyanyian dan
musik, maka Imam Asy Syafi’i menjawab: “Sama sekali aku tidak tahu, ulama Hijaz
mana yang melarang mendengarkan nyanyian kecuali yang jelas-jelas diharamkan,
adapun bersenandung, Al athlal dan Al Marabi; itu adalah termasuk memperindah
suara dengan dibarengi syair atau sajak, itu boleh-boleh saja.”
Al
Mawardi meriwayatkan tentang kebolehan memainkan ‘Aud oleh sebagian ulama
syafi’iyyah. Bahkan Ibnu Nahwi mengatakan jumhur ulama syafi’iyyah menyatakan
kebolehannya. Hal ini juga dikatakan oleh Abu ishaq Asy Syairazi Asy Syafi’i.
Imam
Ahmad bin Hambal
Imam
Abul Wafa bin Aqil al Hambali dalam al Fushul berkata: Ada riwayat yang
shahih sampai kepada Imam Ahmad bahwa dia pernah mendengarkan nyanyian dari
anaknya yang bernama shalih. Dia hanya membenci nyanyian yang diikuti sesuatu
yang dibenci.
Pensyarah
al Muqaffai mengatakan: diriwayatkan dari Ahmad, bahwa beliau mendengar
sebuah ungkapan syair dari anaknya, shalih dan dia tidak mengecamnya. Shalih
bertanya kepada Imam Ahmad, “Wahai Ayah, bukankah engkau mengingkari dan
membencinya?”. Imam Ahmad menjawab: “itu dituduhkan sebagai pendapatku, maka
mereka melakukan sebuah kemungkaran bersamanya.”
Imam
Sufyan bin ‘Uyainah
Murid
Sufyan bin ‘Uyainah, yakni Zubair bin Bakr bercerita dalam Al Mawfiqiyat,
ketika beliau mengunjungi Ibnu jami’ di Mekkah, Ibnu
jami memberi mereka banyak harta, Sufyan bertanya, “Dengan apa kita membalas
harta sebanyak ini?” mereka menjawab, “Dengan nyanyian saja.” Lalu Zubair berkata, “lantas dengan
apa mereka membalasnya?” Mereka menjawab:
Aku
thawaf memutari ka’bah
Beserta
yang lainnya
Sambil aku angkat kain sarungku sebatas mata kaki
Sufyan
menjawab; “Bagus, itu sunnah. Lanjutannya?’ Mereka menjawab:
Aku bersujud malam hari sampai subuh
Dan
kubaca ayat-ayat yang Allah turunkan
Sufyan
berkata: “Sangat baik, bagus, lanjutannya?” mereka meneruskan ...dst
Demikianlah,
uraian panjang, tentang mubahnya nyanyian dan musik tabuh, menurut Al Quran, Al
hadits, perilaku para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, Imam empat, dan
lain-lain.
VI.
Lagu dan Musik –walaupun nasyid Islam- bisa haram, jika ...
1.
Tinjauan isi syairnya, jika isinya menodai aqidah, jorok, mesum, menyesatkan
manusia dari jalan Allah Ta’ala, maksiat, cinta picisan dan rayuan kepada
wanita. Inilah kebanyakan lagu yang ada saat ini.
2.
Tinjaun penyanyi dan pendengar, yakni penampilannya; apakah meniru orang
kafir? Pakaiannya pamer aurat. Ada tarian dan jogetnya. Wanita tidak boleh
bernyanyi untuk laki-laki yang bukan mahramnya.
3.
Tinjauan waktu, jika nyanyian dapat memalingkan manusia dari kewajiban agama
dan dunia maka wajib ditinggalkan. Termasuk nyanyian yang akhirnya menyita
waktu, atau berlebihan, maka wajib ditinggalkan. Setiap manusia, dia yang
paling tahu tentang keadaan dirinya, saat bagimanakah sudah layak disebut
melampaui batas.
4.
Tinjauan tempat, jika di dalamnya terdapat kemunkaran seperti khamr, wanita,
judi, seperti di bar dan diskotik. Berbaurnya laki-laki dan perempuan.
5.
Dari dampaknya, ini tolok ukurnya masing-masing individu. Jika ternyata
mendengar nyanyian dan musik membuatnya lahir rasa takut dan cemas tak
berdasar, atau lahir syahwat, atau lahir keinginan untuk melakukan pebuatan
haram, maka langsunglah ia menjauhi lagu dan nyanyian.
Sekian,
wa akhiru da’wana alhamdulillah ....
(Diringkas dari kitab Fiqhul Ghina
wal Musiqy karya Dr, Yusuf al Qaradhawy, cet 1, 2001M, Maktabah Wahbah, dan
sumber-sumberlainnya)