Minggu, 25 September 2011

Hati-hati bila makan masakan chinese food

Assalamu’alaikum wr wb..

Hampir dari semua orang di Jakarta pernah mencicipi masakan Cina ataupun mengunjungi restoran / rumah makan Cina. Tapi pernahkah kita mempertanyakan bumbu untuk masakan yang mereka pergunakan dalam memasak bahan makanan yang akan kita santap? Walaupun di menu resep mereka ataupun dalam spanduk rumah makan mereka tertulis label halal (dalam huruf arab tapi tidak ada sertifikasi  halal versi POM MUI)

Mungkin kita perlu lebih mengetahui salah satu hal penting yang mungkin terlewat oleh kita semua tentang kehalalan suatu makanan.

Berikut ada sebuah ulasan diambil dari beberapa sumber termasuk dari fatwa MUI no 4 tahun 2003, yang mungkin terlewat oleh kita.

Kita semua tahu bahwa hal-hal yang diharamkan oleh kita adalah :

1.    Babi
2.    Darah
3.    Daging Bangkai
4.    Khomr,
5.    Binatang  yang disembelih dengan menyebutkan nama selain Allah (seperti untuk sesembahan / sesajen).
6.    Binatang Buas berdasarkan hadits dibawah ini :

Hadits Abu Hurairah radhiallahu ’anhu, bahwasannya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : "Segala jenis binatang buas yang bertaring haram dimakan.” (HR Muslim).

Hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melarang setiap binatang buas yang bertaring dan setiap burug yang bercakar tajam.” (HR Muslim, Abu Dawud dan An-Nasa’i).

Untuk ke enam hal diatas sudahlah sangat jelas, namun yang menjadi permasalahan, bagaimana dengan beberapa jenis cairan yang dicampurkan kedalam makanan yang mengandung alcohol dan sejenisnya?

Seringkali kita makan masakan cina, baik itu dibelikan oleh seorang teman, ataupun kita yang membelinya langsung dari rumah makan / warung-warung masakan cina di pinggir jalan. Pada umumnya para pembeli makanan ini adalah saudara-saudara kita yang muslim, dikarenakan mereka melihat tulisan “halal” dalam bahasa Arab di Spanduk / Logo nama usaha mereka, serta dengan ditanyakan kepada koki / pemilik restoran/ pelayan mereka dengan pertanyaan “apakah makanan disini memasak dengan minyak babi atau ada babi nya?”. Sudah pasti dijawab oleh pelayan / pemilik restoran, “Tidak, restoran / makanan disini halal, karena tidak ada unsur babi nya”.

Pada umumnya hampir semua orang cina non Muslim mengetahui bahwa keharaman suatu makanan dikarenakan adanya unsur babi saja dalam makanan mereka. Mereka tidak mengetahui bahwa bila ada unsur alcohol, maka makanan tersebut menjadi tidak halal, karena menurut mereka (para pekerja restoran, koki ataupun pemilik kedai makanan tersebut) alcohol/khomr (dalam hal ini adalah ang ciu dan sejenisnya)  akan menguap setelah dimasak.

Mereka (para pemilik kedai, koki, juru masak, pelayan) tidak mengetahui penjelasan tentang esensi keharaman suatu makanan, dan dalam  hal ini sudah diperjelas dengan adanya fatwa MUI no 4 tahun 2003, yang memang sayangnya  tidak tersebar secara merata ke seluruh masyarakat Indonesia pada umumnya dan Kaum  Muslim pada khususnya.

Berikut adalah salah satu petikan Fatwa MUI no 4 tahun 2003, yang isinya berbunyi,

“"Tidak boleh mengkonsumsi dan menggunakan makanan/minuman yang menimbulkan rasa/aroma (flavor) benda-benda atau binatang yang diharamkan". Hal ini lebih pada Efek mencegah (preventive) untuk menyukai sesuatu yang haram, sebagai mana yang disampaikan oleh ketua komisi Fatwa MUI, KH Ma'ruf Amin; Al washilatu ilal haram haramun; segala sesuatu jalan menuju haram adalah haram”.

Berdasarkan fatwa diatas, maka semua makanan yang mengandung atau menggunakan benda-benda yang menimbulkan rasa / aroma benda-benda yang diharamkan akan menjadi Haram untuk dikonsumsi.

Hal ini  juga berlaku untuk rhum kue, dan makanan lainya yang menggunakan bahan-bahan yang  dapat menimbulkan rasa / aroma benda-benda yang diharamkan untuk dikonsumsi. 

Arak ini (rhum) biasa digunakan dalam pembuatan cake cokelat (black forest atau choco cake lainnya). Minuman Long Island Ice Tea, dibuat dengan campuran rhum plus vodka, gin dan sprite.

Sebagian besar bekery menggunakan essence rhum alias rhum sintetik. Sebab, sebotol rhum asli harganya mencapai ratusan ribu rupiah. Saat ini di Indonesia hanya bakery besar atau cake boutiques saja yang masih menggunakan rhum asli. Yaitu miras dengan kadar alkohol di atas 30%.

Sementara sebotol kecil essence rhum harganya paling banter dua puluh ribu rupiah. Hanya saja, rhum sintetik pun sebaiknya dihindari. Selain dalam pembuatannya masih menggunakan alkohol untuk pengenceran, kaum muslimin lebih baik menghindari sesuatu yang berasosiasi haram sesuai Fatwa MUI no 4 2003 tentang pedoman fatwa produk halal, bagian “penggunaan nama produk dan bahan”, menyatakan: Tidak boleh mengonsumsi dan menggunakan nama dan/atau simbol-simbol makanan/minuman yang mengarah kepada kekufuran dan kebatilan.


Mungkin sedikit akan diulas apakah Khomr dan Ang Ciu itu, agar kita lebih yakin, bahwa memang Ang Ciu tersebut adalah bagian dari jenis Khomr.

Apakah pengertian Khomr itu?

Para ulama menyebutkan bahwa khamar adalah apapun yang menghilangkan akal sehingga seseorang tidak sadar apa yang diperbuatnya. Bahkan ada yang menyebutkan bila seseorang tidak bisa membedakan istrinya dan orang lain. Bila kondisi hilang akal itu lahir dari meminum suatu minuman, maka jadilah minuman itu sebagai khamar secara hukum, meski pun namanya tidak mengandung istilah khamar. Sebaliknya, jika tidak maka bukanlah termasuk khamar meski namanya terkait dengan khamar. Dan bila sudah memenuhi kriteria khamar, haram meminumnya walaupun sedikit, meski seseorang mampu untuk kadar tertentu tidak menjadi mabuk karenanya. Sebab dalam hal ini berlaku hukum bahwa khamar itu haram meski hanya sedikit atau meski meminumnya belum sampai memabukkan. 

Sedangkan jumhur ulama (pendapat sebagian besar ulama) memberikan definisi khamar yaitu segala sesuatu yang memabukkan baik sedikit maupun banyak. Definisi ini didasarkan pada hadits Rasulullah SAW : 

Dari Ibnu Umar RA. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Segala yang memabukkan itu adalah khamar dan semua jenis khamar itu haram." (HR. Muslim dan Ad-Daruquthuny).

Rasulullah SAW bersabda, "Segala yang memabukkan adalah khamar dan segala yang memabukkan hukumnya haram". (HR. Ahmad dan Ashhabussunan).

Angciu artinya arak merah dalam bahasa cina. Jelas sekali kalau arak adalah jenis khamar yang kadar alkoholnya sangat tinggi. Biasanya ciri-ciri rumah makan yang menggunakan angciu adalah pada saat memasak akan timbul nyala api yang cukup besar. Menurut sebuah sumber banyak kegunaan yang diharapkan dari barang haram tersebut. Kegunaan pertama adalah melunakkan jaringan daging. Para juru masak meyakini bahwa daging yang direndam dalam arak akan menjadi empuk dan enak. Oleh karena itu daging yang akan dipanggang atau dimasak dalam bentuk tepanyaki seringkali direndam dalam arak.

Selain itu arak juga menghasilkan aroma dan flavor yang khas, yang oleh para juru masak dianggap dapat mengundang selera. Aroma itu muncul pada saat masakan dipanggang, ditumis, digoreng, atau jenis masakan lainnya.

Bagaimana dengan Restoran Jepang? Mereka biasanya tidak menggunakan Ang Ciu, tapi menggunakan biasanya mereka menggunakan sejenis mirin atau sake (sejenis arak)untuk bumbu masakannya. Biasanya jarang restaurant jepang yang tidak melepaskan bumbu mirin ini. Jadi Restaurant Jepang yang belum mendapatkan sertifikat halal biasanya kebanyakan memang masih menggunakan bumbu ini.  Jadi pastikan untuk restoran / rumah makan  / warung/kedai masakan jepang biarpun yang dipinggir jalan sekalipun tidak memakai mirin atau sake untuk bumbu masakannya, agar menjadi halal untuk disantap.

Mudah-mudahan setelah hari ini, kita lebih berhati-hati dalam memakan masakan cina ataupun pergi ke kedai / warung / restoran cina, walaupun dalam spanduk mereka tertulis tulisan “Halal” dengan huruf arab “versi Mereka pemilik warung / restoran cina”

Wallahua’lam bishowab.
Enif

1 komentar: