Rabu, 06 Oktober 2010

Hal hal yang harus diperhatikan bila menafsirkan al Quran dan ancamannya.

Hal-hal yang harus diperhatikan Sebelum Menafsirkan Al Qur'an

Untuk memahami kandungan dan maksud-maksud ayat al-Quran, diperlukan penafsiran oleh orang yang memenuhi kualifikasi. Meski kualifikasi itu tidak mutlak, namun para ulama tafsir menetapkan syarat-syarat yang sangat ketat sehingga tidak semua orang dapat menafsirkan al-Quran. Perbedaan produk tafsir selain karena kompetensi, juga karena berbeda dalam menggunakan metode tafsir. Dalam menafsirkan suatu ayat, peran akal terbatas. Akal berfungsi mencari ayat lain atau hadits yang membicarakan suatu masalah. Berikut petikan wawancara Tim Reportase CMM bersama Dr. Isnawati Rais, dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mufasir dan masalah-masalah seputar penafsiran al-Quran:

Adakah syarat-syarat seseorang menjadi mufassir?

Pertama, kelayakan untuk menafsir yang meliputi: akidah yang kokoh, niat yang ikhlas, menguasai ilmu-ilmu Alquran, sunnnah Nabi, ilmu alat, seperti bahasa Arab dan ilmu yang terkait dengan ayat yang ditafsirkan, misalnya kalau menafsirkan ayat hukum harus ahli ilmu ushul fikih dan lain sebagainya. Kedua, prosedur penafsiran. Terlebih dahulu menafsirkan ayat dengan ayat dan menafsirkan ayat dengan hadits. Ketiga, larangan Nabi Muhammad menafsirkan ayat Alquran dengan akal. Nabi bersabda, man fassaral qur’an bi ra’yihi fal yatabawwa’ maq’adahu minan nar; barang siapa yang menafsirkan Alquran dengan semata-mata dengan akal (logika), dia akan mengambil tempatnya di neraka.

Kenapa tidak boleh menafsirkan Alquran dengan akal atau logika?

Karena kebesaran Allah dan kemahatahuan Allah tidak akan bisa dijangkau oleh semata akal manusia yang terbatas. Allah berfirman, “kalian tidak diberi ilmu pengetahuan kecuali sedikit” (QS al-Isra’ [17]: 85).

Lalu, apa peran akal dalam menafsirkan Alquran?

Akal berfungsi mencari ayat lain atau hadits yang lain yang membicarakan suatu masalah. Mencari ayat yang dijelaskan oleh ayat lain, didukung oleh sebuah hadits, atau dijelaskan oleh prinsip atau tujuan umum dari penetapan syariah. Tujuan penetapan hukum dalam Alquran biasanya disebut sebagai maqashidus syariah; tujuan dari penetapan hukum oleh Allah. Tujuan syariah adalah lil mashlahatil ‘ammah (untuk kebaikan umum) sesuai yang dikehendaki Allah. (maqashidus syariah meliputi lima hal, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, harta dan keturunan).

Ketika ada seseorang yang mempunyai kualifikasi untuk menafsirkan Alquran, kemudian ia menulis sebuah kitab tafsir, siapa yang berhak memeriksa dan menetapkan bahwa kitab tafsirnya layak untuk diedarkan?


Apabila telah memenuhi prosedur yang tadi saya sebutkan, tentu ahli-ahli lain akan memberikan komentar, masukan, dan kritikan untuk perbaikan, menyetujui, atau memberikan koreksi.

Apakah penetapan layak tidaknya sebuah penafsiran ditentukan oleh sebuah lembaga atau oleh pribadi-pribadi?

Bisa lembaga, seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia) kalau di Indonesia atau lembaga-lembaga keagamaan lainnya yang berkompeten. Bisa juga individu yang dianggap lebih tahu dan lebih ahli dalam bidang itu.

Ada sekelompok orang yang melegitimasi tindak kekerasan yang dilakukannya dengan ayat-ayat Alquran yang diberi nama ayat-ayat saif (pedang). Bagaimana menafsirkan ayat-ayat saif ini dalam zaman sekarang?

Kita harus sadar, bahwa jihad dalam arti sempit bermakna perang. Tapi jihad dalam arti luas adalah bersungguh-sungguh menegakkan agama Allah. Jadi, jihad tidak selalu bermakna perang. Jihad juga bisa menggunakan pemikiran, pendidikan, politik, ekonomi dan lain sebagainya. Jihad tidak selalu bermakna memegang senjata.(CMM)

ANCAMAN TERHADAP PENAFSIRAN AL QUR'AN DENGAN PENDAPAT SENDIRI

Hadits 1:
At Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah, beliau bersabda, "Jagalah hadits dariku kecuali yang telah aku ajarkan. Siapa saja yang berdusta kepadaku secara sengaja maka hendaklah dia menempati tempat duduknya yang terbuat dari api neraka. Siapa saja yang menafsirkan Al Qur'an dengan menggunakan pendapatnya sendiri maka hendaknya dia menempati tempat duduknya yang terbuat dari api neraka" (HR. Ahmad dalam kitab musnadnya, At Tirmidzi, Ibnu Abi Syaibah).

Hadits 2:
Diriwayatkan pula dari Jundab, dia berkata, Rasulullah bersabda, "Siapa saja yang berbicara mengenai Al Qur'an dengan pendapatnya sendiri kemudian benar maka ia tetap dianggap salah" (HR Abu Dawud, HR At Tirmidzi)

Abu Bakar Muhammad bin Qasim bin Basyar bin Muhammad Al Anbari An-Nahwi Al-Lughawi dalam kitab Ar-Radd berkata,"Hadits Ibnu Abbas ditafsirkan dengan 2 penafsiran:
1. Siapa saja yang mengemukakan pendapat mengenai persoalan dalam Al Qur'an dengan pendapat yang bukan bersumber dari madzhab generasi pertama dari para sahabat dan tabi'in maka berarti dia akan menghadapi kemurkaan dari Allah. Jawaban yang ke dua yang merupakan pendapat yang paling benar maknanya adalah : siapa saja yang mengemukakan pendapat mengenai Al Qur'an, sedangkan dia sendiri sebenarnya mengetahui bahwa pendapat yang benar adalah pendapat yang lain, maka hendaknya dia mempersiapkan tempat duduknya dari api neraka."

Dia berkata pada hadits Jundab, "Sebagian ahlul 'ilmi menafsirkan hadits ini dengan mengatakan bahwasanya pendapat itu lebih cenderung mengikuti hawa nafsu. Maka siapa saja yang mengemukakan pendapat mengenai Al Qur'an dengan pendapat yang mengikuti hawa nafsunya dan tidak mengambilnya dari pendapat para pemimpin kaum salaf kemudian pendapatnya itu benar, maka sesungguhnya dia tetap salah. Karena dia telah memberikan hukum terhadap Al Quran dengan sesuatu yang dia sendiri tidak mengetahui sumbernya dan tidak bersandar pada madzhab-madzhab ahlul atsar dan menukil darinya.

Ibny Athiyyah berkata ,"ARtinya adalah bahwa seseorang bertanya mengenai suatu makna dalam Kitabullah kemudian dia mengemukakan pandangannya sendiri tanpa memperhatikan pendapat para ulama. Dia sendiri mengabaikan aturan-aturan disiplin ilmu, seperti ilmu Nahwu dan dasar-dasar agama. Pada hadits tersebut tidak berarti para ahli bahasa boleh menafsirkan bahasa Al Qur'an, ahli Nahwu menafsirkan dengan kemampuan Nahwunya, dan ahli fikih menafsirkan makna-maknanya hingga masing-masing darfi mereka berpendapat dengan ijtihadnya masing-masing, yang hanya bersandar pada aturan disiplin ilmu dan pendapat sendiri saja. Orang yang memberikan pendapat tidak boleh hanya berpendapat dengan pandangannya sendiri saja.

Saya (Al Qurthubi) katakan ,"Bahwa pendapat diatas adalah pendapat yang benar dan dipilih oleh lebih dari satu ulama. Orang-yang mengemukakan pendapat dari perkiraan dan apa yang terbertik dalam benaknya saja tanpa mengambil dalil dari ilmu ushul maka orang itu dinyatakan telah melakukan kesalahan. Sedangkan oran gyang menyimpulkan makna Al Qur'an dengan menyertakan dalil dari ilmu ushul yang telah disepakati maknyanya, maka orang itu dikatakan telah melakukan perbuatan yang terpuji"

Dikutip dari Tafsir Al Qurthubi
Terbitan Pustaka Azzam

2 komentar: