Beberapa petunjuk Rasulullah dalam Makanan.
Mengenai Makanan, Rasulullah SAW tidak terbiasa makan dari satu jenis makanan saja dan tidak memakan yang lain. Karena hal ini sangat membahayakan kekuatan tabiat tubuh. Jadi, selalu mengkhususkan diri pada satu jenis makanan -meskipun makanan tersebut adalah yang terbaik- dapat menimbulkan ancaman dan membahayakan.
Daging Kesukaan Rasulullah.
Beliau senang makan daging, dan daging yang paling disukainya adalah paha dan bagian depan kambing.
Dhuba'ah binti Az-Zubair menyebutkan bahwa ia pernah menyembelih seekor kambing dirumahnya. Kemudian Rasulullah SAW mengutus seseorang kepadanya. Utusan tsb mengatakan, "Berilah kami makan dari kambing kalian." Dhuba'ah pun mengatakan, "Kami tidak mempunyai apa-apa kecuali tinggal leher. Dan sungguh, saya malu jika harus mengirimkannya kepada Rasulullah SAW" Akhirnya utusan tsb kembali dan memberitahukannya kepada Rasulullah SAW. Maka beliau berkata, "Kembalilah kepadanya dan katakan kepadanya, "Antarkan saja leher tersebut, karena itu adalah penunjuk kambing, lebih dekat pada kebaikan dan paling jauh dari penyakit" (HR Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Tidak diragukan bahwa daging kambing yang paling ringan (jauh dari penyakit) adalah daging leher, daging paha dan lengan atas.
Roti dan Lauknya.
Beliau juga makan roti yang disertai lauknya jika ada. Terkadang beliau memakan roti dengan lauk daging dan mengatakan, "Ini adalah makanan terbaik para penduduk dunia dan penghuni akhirat" (HR Ibnu Majah) Adakalanya beliau memakannya dengan lauk semangka atau kurma. Beliau menggunakan kurma untuk menambah kelembaban pada gandum. Beliau mengatakan, "Ini lauknya ini" (HR Abu Dawud dan At Tirmidzi)Dalam beberapa hadits ini terdapat pelajaran mengenai pengaturan menu makan dan komposisinya. Roti gandum mempunyai sifat dingin dan kering, sedangkan kurma -berdasarkan pendapat yang paling kuat- mengandung kelembaban. Sehingga memasangkan roti gandum dengan kurma merupakan penyajian menu yang paling tepat, terutama bagi mereka yang telah terbiasa dengan sajian menu tersebut, seperti penduduk Madinah.
Kombinasi Makanan.
Diantara cara Rasulullah SAW mengatur menu makannya dan apa yang dimakannya adalah bahwasanya beliau sama sekali tidak pernah menyatukan antara susu dengan ikan, atau susu dengan makanan yang asam rasanya. Beliau juga tidak menggabung antara 2 makanan yang sama-sama panas atau sama-sama dingin, 2 makanan yang sama-sama liat, 2 makanan penyebab kerut dan sembelit, mencairkan atau membuat diare, terlalu keras, terlalu lembek, Pun, beliau tidak menyatukan 2 makanan yang tidak mungkin bertemu dalam 1 campuran, 2 makanan yang berbeda seperti makanan yang menyebabkan sembelit dengan makanan yang menyebabkan diare, yang cepat dicerna dengan yang sangat lambat untuk dicerna, makanan yang dibakar dengan makanan yang direbus, yang segar dengan dendeng, susu dengan telur, atau pun daging dengan susu.
Beliau tidak memakan makanan yang sangat panas, juga tidak memakan makanan yang disimpan yang dapat dihangatkan besok (makanan kemarin). TIdak pula memakan makanan yang sudah basi dan asin atau kecut seperti asinan dan semacam cuka dan sangat asin. Semua makanan ini sangat berbahaya dan dapat mengakibatkan sakit dan membuat tubuh tidak seimbang.
Penetralan Makanan.
Ancaman bahaya dari suatu makanan dapat dinetralkan dengan beberapa makanan yang lain jika memungkinkan. Panasnya suatu makanan dapat dinetralkan dengan dinginnya makanan yang lain. Keringnya suatu makanan dapat disandingkan dengan lembabnya makanan yang lain. Demikian yang pernah beliau lakukan pada mentimun dan kurma ruthab. Sebagaimana beliau memakan kurma dengan mentega atau minyak samin. Beliau pernah minum air kurma untuk melembutkan makanan yang keras atau mempunyai rasa tajam.
Perintah untuk Makan Malam.Rasulullah SAW memerintahkan agar kita makan diwaktu sore atau malam meskipun hanya berupa segenggam kurma. Beliau mengatakan, "Meninggalkan makan malam adalah kepikunan" (HR Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Tidak Makan Saat Hendak Tidur.
Abu Nu'aim menyebutkan bahwasanya Rasulullah SAW melarang makan ketika hendak tidur. Disebutkan pula bahwa makan saat hendak tidur akan membuat hati menjadi keras.Karena itulah para dokter menyarankan orang-orang yang membpunyai kepedulian menjaga kesehatan untuk berjalan beberapalangkah setelah makan malam, meskipun hanya seratus langkah, dan tidak langsung tidur setelah makan. Sebab hal ini sangat membahayakan kesehatan.
Wallahua'lam
Sabtu, 23 Oktober 2010
Mengutuk sesama muslim
MENGUTUK ORANG MUSLIM
Yang dimaksudkan dengan mengutuk ialah mendoakan orang lain agar mendapat kecelakaan. Mengutuk adalah satu perbuatan yang terlarang kita lakukan sesama muslim. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Rasulullah SAW. di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas'ud:
" Mencaci orang Islam itu termasuk fasik dan membunuhnya termasuk kafir."
Rasulullah SAW. bersabda: "Mengutuk seorang mukmin itu seperti membunuhnya."[HR Jamaah selain Ibnu Majah, hadis riwayat Tsabit bin Adl-Dlahak]
Nabi SAW. bersabda: " Sesungguhnya seorang hamba bila melaknat seseorang niscaya laknat itu akan naik ke langit kemudian menutup pintu pintu langit di bawahnya, lalu turun ke bumi menutup pintu pintu yang lain, kemudian mengambil tangan kanan di tangan kirinya, apabila tidak memenuhi sasarannya, ia kembali kepada orang yang dilaknat dan jika tidak bisa ia akan kembali kepada orang yang melaknatnya." [ HR Abu Daud]
Rasulullah SAW. bersabda " Tidaklah para pelaknat itu dapat jadi penolong dan saksi di hari kiamat." [ HR Muslim dan Abu Daud]
Rasulullah SAW. bersabda: " Tidak pantas seorang teman baik, mengutuk temannya" [HR Muslim dari Abu Hurairah]
Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah SAW. bersabda:
" Seorang mukmin bukanlah orang yang suka mencerca, bukan yang suka menjuluki, bukan yang suka berbuat keji, dan bukan juga orang yang suka membicarakan yang keji".
Dari hadis hadis tersebut di atas telah diterangkan bahwa mengutuk orang mukmin itu termasuk perbuatan yang berdosa, karena kutukan dan laknat itu menjadi hak dan wewenang ALLAH SWT saja, dalam menghukum setiap hambanya. Sehingga kita dilarang mengutuk karena kegunaan kutukan itu mengharapkan supaya ALLAH SWT. mencabut semua nikmat yang telah diberikan kepada hamba tersebut baik nikmat lahir maupun nikmat batin, supaya dia (orang yang dilaknat) tidak memperoleh nikmat dan anugerahNya. Oleh kerana itu Rasulullah SAW. melarang perbuatan itu, bahkan menganjurkan sebaliknya yaitu supaya saling mendoakan sesama muslim agar mendapat nikmat dan kurnia dari ALLAH SWT.
Best Regards Miftachul Arifin
Yang dimaksudkan dengan mengutuk ialah mendoakan orang lain agar mendapat kecelakaan. Mengutuk adalah satu perbuatan yang terlarang kita lakukan sesama muslim. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Rasulullah SAW. di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas'ud:
" Mencaci orang Islam itu termasuk fasik dan membunuhnya termasuk kafir."
Rasulullah SAW. bersabda: "Mengutuk seorang mukmin itu seperti membunuhnya."[HR Jamaah selain Ibnu Majah, hadis riwayat Tsabit bin Adl-Dlahak]
Nabi SAW. bersabda: " Sesungguhnya seorang hamba bila melaknat seseorang niscaya laknat itu akan naik ke langit kemudian menutup pintu pintu langit di bawahnya, lalu turun ke bumi menutup pintu pintu yang lain, kemudian mengambil tangan kanan di tangan kirinya, apabila tidak memenuhi sasarannya, ia kembali kepada orang yang dilaknat dan jika tidak bisa ia akan kembali kepada orang yang melaknatnya." [ HR Abu Daud]
Rasulullah SAW. bersabda " Tidaklah para pelaknat itu dapat jadi penolong dan saksi di hari kiamat." [ HR Muslim dan Abu Daud]
Rasulullah SAW. bersabda: " Tidak pantas seorang teman baik, mengutuk temannya" [HR Muslim dari Abu Hurairah]
Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah SAW. bersabda:
" Seorang mukmin bukanlah orang yang suka mencerca, bukan yang suka menjuluki, bukan yang suka berbuat keji, dan bukan juga orang yang suka membicarakan yang keji".
Dari hadis hadis tersebut di atas telah diterangkan bahwa mengutuk orang mukmin itu termasuk perbuatan yang berdosa, karena kutukan dan laknat itu menjadi hak dan wewenang ALLAH SWT saja, dalam menghukum setiap hambanya. Sehingga kita dilarang mengutuk karena kegunaan kutukan itu mengharapkan supaya ALLAH SWT. mencabut semua nikmat yang telah diberikan kepada hamba tersebut baik nikmat lahir maupun nikmat batin, supaya dia (orang yang dilaknat) tidak memperoleh nikmat dan anugerahNya. Oleh kerana itu Rasulullah SAW. melarang perbuatan itu, bahkan menganjurkan sebaliknya yaitu supaya saling mendoakan sesama muslim agar mendapat nikmat dan kurnia dari ALLAH SWT.
Best Regards Miftachul Arifin
Bila orang lain berbuat salah
Bila Orang Lain Berbuat Salah
KH. Abdullah Gymnastiar
Orang yang pasti tidak nyaman dalam keluarga, orang yang pasti tidak tentram dalam bertetangga, orang yang pasti tidak nikmat dalam bekerja adalah orang-orang yang paling busuk hatinya. Yakinlah, bahwa semakin hati penuh kesombongan, semakin hati suka pamer, ria, penuh kedengkian, kebencian, akan habislah seluruh waktu produktif kita hanya untuk meladeni kebusukan hati ini. Dan sungguh sangat berbahagia bagi orang-orang yang berhati bersih, lapang, jernih, dan lurus, karena memang suasana hidup tergantung suasana hati. Di dalam penjara bagi orang yang berhati lapang tidak jadi masalah. Sebaliknya, hidup di tanah lapang tapi jikalau hatinya terpenjara, tetap akan jadi masalah.
Salah satu yang harus dilakukan agar seseorang terampil bening hati adalah kemampuan menyikapi ketika orang lain berbuat salah. Sebab, istri kita akan berbuat salah, anak kita akan berbuat salah, tetangga kita akan berbuat salah, teman kantor kita akan berbuat salah, atasan di kantor kita akan berbuat salah karena memang mereka bukan malaikat. Namun sebenarnya yang jadi masalah bukan hanya kesalahannya, yang jadi masalah adalah bagaimana kita menyikapi kesalahan orang lain.
Sebetulnya sederhana sekali tekniknya, tekniknya adalah tanya pada diri, apa sih yang paling diinginkan dari sikap orang lain pada diri kita ketika kita berbuat salah ?! Kita sangat berharap agar orang lain tidak murka kepada kita. Kita berharap agar orang lain bisa memberitahu kesalahan kita dengan cara bijaksana. Kita berharap agar orang lain bisa bersikap santun dalam menikapi kesalahan kita. Kita sangat tidak ingin orang lain marah besar atau bahkan mempermalukan kita di depan umum. Kalaupun hukuman dijatuhkan, kita ingin agar hukuman itu dijatuhkan dengan adil dan penuh etika. Kita ingin diberik kesempatan untuk memperbaiki diri. Kita juga ingin disemangati agar bisa berubah. Nah, kalau keinginan-keinginan ini ada pada diri kita, mengapa ketika orang lain berbuat salah, kita malah mencaci maki, menghina, memvonis, memarahi, bahkan tidak jarang kita mendzalimi ?!
Ah, Sahabat. Seharusnya ketika ada orang lain berbuat salah, apalagi posisi kita sebagai seorang pemimpin, maka yang harus kita lakukan adalah dengan bersikap sabar pangkat tiga. Sabar, sabar, dan sabar. Artinya, kalau kita jadi pemimpin, dalam skala apapun, kita harus siap untuk dikecewakan. Mengapa? Karena yang dipimpin, dalam skala apapun, kita harus siap untuk dikecewakan. Mengapa ? Karena yang dipimpin kualitas pribadinya belum tentu sesuai dengan yang memimpin. Maka, seorang pemimpin yang tidak siap dikecewakan dia tidak akan siap memimpin.
Oleh karena itu, andaikata ada orang melakukan kesalahan, maka sikap mental kita, pertama, kita harus tanya apakah orang berbuat salah ini tahu atau tidak bahwa dirinya salah ? Kenapa ada orang yang berbuat salah dan dia tidak mengerti apakah itu suatu kesalahan atau bukan. Contoh yang sederhana, ada seorang wanita dari desa yang dibawa ke kota untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Ketika hari-hari pertama bekerja, dia sama sekali tidak merasa bersalah ketika kran-kran air di kamar mandi, toilet, wastafel, tidak dimatikan sehingga meluber terbuang percuma, mengapa ? Karena di desanya pancuran air untuk mandi tidak ada yang pakai kran, di desanya tidak ada aturan penghematan air, di desanya juga tidak ada kewajiban membayar biaya pemakaian air ke PDAM, sebab di desanya air masih begitu melimpah ruah. Tata nilai yang berbeda membuat pandangan akan suatu kesalahan pun berbeda. Jadi, kalau ada orang yang berbuat salah, tanya dululah, dia tahu tidak bahwa ini sebuah kesalahan.
Lalu, kalau dia belum tahu kesalahannya, maka kita harus memberi tahu, bukannya malah memarahi, memaki, dan bahkan mendzalimi. Bagaimana mungkin kita memarahi orang yang belum tahu bahwa dirinya salah, seperti halnya, bagaimana mungkin kita memarahi anak kecil yang belum tahu tata nilai perilaku orang dewasa seumur kita ? Misal, di rumah ada pembantu yang umurnya baru 24 tahun, sedangkan kita umurnya 48 tahun, hampir separuhnya. Bagaimana mungkin kita menginginkan orang lain sekualitas kita, sama kemampuannya dengan kita, sedangkan kita berbuat begini saja sudah rentang ilmu begitu panjang yang kita pelajari, sudah rentang pengalaman begitu panjang pula yang kita lalui.
Sebuah pengalaman, dulu ketika pulang sehabis diopname beberapa hari di rumah sakit karena diuji dengan sakit. Saat tiba di rumah, ada kabar tidak enak, yaitu omzet toko milik pesantren menurun drastis! Meledaklah kemarahan,
"Kenapa ini santri bekerja kok enggak sungguh-sungguh ? Lihat akibatnya, kita semua jadi rugi! Pimpinan sakit harusnya berjuang mati-matian!".
Tapi alhamdulillah, istri mengingatkan,
"Sekarang ini Aa umur 32 tahun, santri yang jaga umurnya 18 tahun. Bedanya saja 14 tahun, bagaimana mungkin kita mengharapkan orang lain melakukan seperti apa yang mampu kita lakukan saat ini, sementara dia ilmunya, kemampuannya, dan juga pengalamannya masih terbatas?! Mungkin dia sudah melakukan yang terbaik untuk seusianya. Bandingkan dengan kita pada usia yang sama, bisa jadi ketika kita berumur 18 tahun, mungkin kita belum mampu untuk jaga toko".
Subhanallah, pertolongan ALLAH datang dari mana saja. Oleh karena itu, kalau melihat orang lain berbuat salah, lihat dululah, apakah dia ini tahu atau tidak bahwa yang dilakukannya ini suatu kesalahan. Kalau toh dia belum tahu bukannya malah dimarahi, tapi diberi tahu kesalahannya,
"De', ini salah, harusnya begini".
Maka tahap pertama adalah memberitahu orang yang berbuat salah dari tidak tahu kesalahannya menjadi tahu dimana letak kesalahan dirinya. Selalu kita bantu orang lain mengetahui kesalahannya.
Tahap kedua, kita bantu orang tersebut mengetahui jalan keluarnya, karena ada orang yang tahi itu suatu masalah, tapi dia tidak tahu harus bagaimana menyelesaikannya? Maka, posisi kita adalah membantu orang yang berbuat salah mengetahui jalan keluarnya. Hal yang menarik, ketika dulu zaman pesantren masih sederhana, ketika masih berupa kost-kostan mahasiswa, muncul suata masalah di kamar paling pojok yang dihuni seorang santri mahasiswi, yaitu seringnya bocor ketika hujan turun,
"Wah, ini massalah nih, tiap hujan kok bocor lagi, bocor lagi".
Dia tahu ini masalah, tapi dia tidak tahu bagaimana cara mengatasinya. Kita harus bantu, tapi bantuan kita yang paling bagus adalah bukan menyelesaikan masalah, tapi membantu dia supaya bisa menyelesaikan masalahnya. Sebab, bantuan itu ada yang langsung menyelesaikan masalah, namun kelemahan bantuan ini, yaitu ketika kita membantu orang dan kita menyelesaikannya, ujungnya orang ini akan nyantel terus, ia akan punya ketergantungan kepada kita, dan yang lebih berbahaya lagi kita akan membunuh kreatifitasnya dalam menyelesaikan suatu masalah. Bantuan yang terbaik adalah memberikan masukan bagaimana cara memperbaiki kesalahan.
Dan tahap yang ketiga adalah membantu orang yang berbuat salah agar tetap bersemangat dalam memperbaiki kesalahan dirinya. Ini lebih menyelesaikan masalah daripada mencaci, memaki, menghina, mempermalukan, karena apa? Karena anak kita adalah bagian dari diri kita, istri kita adalah bagian dari keluarga kita, saudara-saudara kita adalah bagian dari khazanah kebersamaan kita, kenapa kita harus penuh kebencian, kedengkian, menebar kejelekan, ngomongin kejelekan, apalagi dengan ditambah-tambah, dibeberkan aib-aibnya, bagaimana ini ? Lalu, apa yang berharga pada diri kita ? Padahal, justru kalau kita melihat orang lain salah, maka posisi kita adalah ikut membantu memperbaiki kesalahannya.
Nah, Sahabat. Selalulah yang kita lakukan adalah berusaha membantu agar orang yang berbuat salah mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Membantu orang yang berbuat salah mengetahui bahwa yang dilakukannya adalah suatu kesalahan. Membantu orang yang berbuat salah agar ia tahu bagaimana cara memperbaiki kesalahannya. Dan membantu orang yang berbuat salah agar tetap bersemangat dalam memperbaiki kesalahan dirinya.
Melihat orang yang belum shalat, justru harus kita bantu dengan mengingatkan dia tentang pentingnnya shalat, membantu mengajarinya tata cara shalat yang benar, membantu dengan mengajaknya supaya dia tetap bersemangat untuk melaksanakan shalat secara istiqamah. Lihat pemabuk, justru harus kita bantu supaya pemabuk itu mengenal bahayanya mabuk, membantu mengenal bagaimana cara menghentikan aktivitas mabuk. Artinya, selalulah posisikan diri kita dalam posisi siap membantu. Walhasil, orang-orang yang pola pikirnya selalu rindu untuk membantu memperbaiki kesalahan orang lain, dia tidak akan pernah benci kepada siapapun. Tentu saja ini lebih baik, dibanding orang yang hanya bisa meremehkan, mencela, menghina, dan mencaci. Padahal orang lain berbuat kesalahan, dan kita pun sebenarnya gudang kesalahan.
KH. Abdullah Gymnastiar
Orang yang pasti tidak nyaman dalam keluarga, orang yang pasti tidak tentram dalam bertetangga, orang yang pasti tidak nikmat dalam bekerja adalah orang-orang yang paling busuk hatinya. Yakinlah, bahwa semakin hati penuh kesombongan, semakin hati suka pamer, ria, penuh kedengkian, kebencian, akan habislah seluruh waktu produktif kita hanya untuk meladeni kebusukan hati ini. Dan sungguh sangat berbahagia bagi orang-orang yang berhati bersih, lapang, jernih, dan lurus, karena memang suasana hidup tergantung suasana hati. Di dalam penjara bagi orang yang berhati lapang tidak jadi masalah. Sebaliknya, hidup di tanah lapang tapi jikalau hatinya terpenjara, tetap akan jadi masalah.
Salah satu yang harus dilakukan agar seseorang terampil bening hati adalah kemampuan menyikapi ketika orang lain berbuat salah. Sebab, istri kita akan berbuat salah, anak kita akan berbuat salah, tetangga kita akan berbuat salah, teman kantor kita akan berbuat salah, atasan di kantor kita akan berbuat salah karena memang mereka bukan malaikat. Namun sebenarnya yang jadi masalah bukan hanya kesalahannya, yang jadi masalah adalah bagaimana kita menyikapi kesalahan orang lain.
Sebetulnya sederhana sekali tekniknya, tekniknya adalah tanya pada diri, apa sih yang paling diinginkan dari sikap orang lain pada diri kita ketika kita berbuat salah ?! Kita sangat berharap agar orang lain tidak murka kepada kita. Kita berharap agar orang lain bisa memberitahu kesalahan kita dengan cara bijaksana. Kita berharap agar orang lain bisa bersikap santun dalam menikapi kesalahan kita. Kita sangat tidak ingin orang lain marah besar atau bahkan mempermalukan kita di depan umum. Kalaupun hukuman dijatuhkan, kita ingin agar hukuman itu dijatuhkan dengan adil dan penuh etika. Kita ingin diberik kesempatan untuk memperbaiki diri. Kita juga ingin disemangati agar bisa berubah. Nah, kalau keinginan-keinginan ini ada pada diri kita, mengapa ketika orang lain berbuat salah, kita malah mencaci maki, menghina, memvonis, memarahi, bahkan tidak jarang kita mendzalimi ?!
Ah, Sahabat. Seharusnya ketika ada orang lain berbuat salah, apalagi posisi kita sebagai seorang pemimpin, maka yang harus kita lakukan adalah dengan bersikap sabar pangkat tiga. Sabar, sabar, dan sabar. Artinya, kalau kita jadi pemimpin, dalam skala apapun, kita harus siap untuk dikecewakan. Mengapa? Karena yang dipimpin, dalam skala apapun, kita harus siap untuk dikecewakan. Mengapa ? Karena yang dipimpin kualitas pribadinya belum tentu sesuai dengan yang memimpin. Maka, seorang pemimpin yang tidak siap dikecewakan dia tidak akan siap memimpin.
Oleh karena itu, andaikata ada orang melakukan kesalahan, maka sikap mental kita, pertama, kita harus tanya apakah orang berbuat salah ini tahu atau tidak bahwa dirinya salah ? Kenapa ada orang yang berbuat salah dan dia tidak mengerti apakah itu suatu kesalahan atau bukan. Contoh yang sederhana, ada seorang wanita dari desa yang dibawa ke kota untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Ketika hari-hari pertama bekerja, dia sama sekali tidak merasa bersalah ketika kran-kran air di kamar mandi, toilet, wastafel, tidak dimatikan sehingga meluber terbuang percuma, mengapa ? Karena di desanya pancuran air untuk mandi tidak ada yang pakai kran, di desanya tidak ada aturan penghematan air, di desanya juga tidak ada kewajiban membayar biaya pemakaian air ke PDAM, sebab di desanya air masih begitu melimpah ruah. Tata nilai yang berbeda membuat pandangan akan suatu kesalahan pun berbeda. Jadi, kalau ada orang yang berbuat salah, tanya dululah, dia tahu tidak bahwa ini sebuah kesalahan.
Lalu, kalau dia belum tahu kesalahannya, maka kita harus memberi tahu, bukannya malah memarahi, memaki, dan bahkan mendzalimi. Bagaimana mungkin kita memarahi orang yang belum tahu bahwa dirinya salah, seperti halnya, bagaimana mungkin kita memarahi anak kecil yang belum tahu tata nilai perilaku orang dewasa seumur kita ? Misal, di rumah ada pembantu yang umurnya baru 24 tahun, sedangkan kita umurnya 48 tahun, hampir separuhnya. Bagaimana mungkin kita menginginkan orang lain sekualitas kita, sama kemampuannya dengan kita, sedangkan kita berbuat begini saja sudah rentang ilmu begitu panjang yang kita pelajari, sudah rentang pengalaman begitu panjang pula yang kita lalui.
Sebuah pengalaman, dulu ketika pulang sehabis diopname beberapa hari di rumah sakit karena diuji dengan sakit. Saat tiba di rumah, ada kabar tidak enak, yaitu omzet toko milik pesantren menurun drastis! Meledaklah kemarahan,
"Kenapa ini santri bekerja kok enggak sungguh-sungguh ? Lihat akibatnya, kita semua jadi rugi! Pimpinan sakit harusnya berjuang mati-matian!".
Tapi alhamdulillah, istri mengingatkan,
"Sekarang ini Aa umur 32 tahun, santri yang jaga umurnya 18 tahun. Bedanya saja 14 tahun, bagaimana mungkin kita mengharapkan orang lain melakukan seperti apa yang mampu kita lakukan saat ini, sementara dia ilmunya, kemampuannya, dan juga pengalamannya masih terbatas?! Mungkin dia sudah melakukan yang terbaik untuk seusianya. Bandingkan dengan kita pada usia yang sama, bisa jadi ketika kita berumur 18 tahun, mungkin kita belum mampu untuk jaga toko".
Subhanallah, pertolongan ALLAH datang dari mana saja. Oleh karena itu, kalau melihat orang lain berbuat salah, lihat dululah, apakah dia ini tahu atau tidak bahwa yang dilakukannya ini suatu kesalahan. Kalau toh dia belum tahu bukannya malah dimarahi, tapi diberi tahu kesalahannya,
"De', ini salah, harusnya begini".
Maka tahap pertama adalah memberitahu orang yang berbuat salah dari tidak tahu kesalahannya menjadi tahu dimana letak kesalahan dirinya. Selalu kita bantu orang lain mengetahui kesalahannya.
Tahap kedua, kita bantu orang tersebut mengetahui jalan keluarnya, karena ada orang yang tahi itu suatu masalah, tapi dia tidak tahu harus bagaimana menyelesaikannya? Maka, posisi kita adalah membantu orang yang berbuat salah mengetahui jalan keluarnya. Hal yang menarik, ketika dulu zaman pesantren masih sederhana, ketika masih berupa kost-kostan mahasiswa, muncul suata masalah di kamar paling pojok yang dihuni seorang santri mahasiswi, yaitu seringnya bocor ketika hujan turun,
"Wah, ini massalah nih, tiap hujan kok bocor lagi, bocor lagi".
Dia tahu ini masalah, tapi dia tidak tahu bagaimana cara mengatasinya. Kita harus bantu, tapi bantuan kita yang paling bagus adalah bukan menyelesaikan masalah, tapi membantu dia supaya bisa menyelesaikan masalahnya. Sebab, bantuan itu ada yang langsung menyelesaikan masalah, namun kelemahan bantuan ini, yaitu ketika kita membantu orang dan kita menyelesaikannya, ujungnya orang ini akan nyantel terus, ia akan punya ketergantungan kepada kita, dan yang lebih berbahaya lagi kita akan membunuh kreatifitasnya dalam menyelesaikan suatu masalah. Bantuan yang terbaik adalah memberikan masukan bagaimana cara memperbaiki kesalahan.
Dan tahap yang ketiga adalah membantu orang yang berbuat salah agar tetap bersemangat dalam memperbaiki kesalahan dirinya. Ini lebih menyelesaikan masalah daripada mencaci, memaki, menghina, mempermalukan, karena apa? Karena anak kita adalah bagian dari diri kita, istri kita adalah bagian dari keluarga kita, saudara-saudara kita adalah bagian dari khazanah kebersamaan kita, kenapa kita harus penuh kebencian, kedengkian, menebar kejelekan, ngomongin kejelekan, apalagi dengan ditambah-tambah, dibeberkan aib-aibnya, bagaimana ini ? Lalu, apa yang berharga pada diri kita ? Padahal, justru kalau kita melihat orang lain salah, maka posisi kita adalah ikut membantu memperbaiki kesalahannya.
Nah, Sahabat. Selalulah yang kita lakukan adalah berusaha membantu agar orang yang berbuat salah mampu menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Membantu orang yang berbuat salah mengetahui bahwa yang dilakukannya adalah suatu kesalahan. Membantu orang yang berbuat salah agar ia tahu bagaimana cara memperbaiki kesalahannya. Dan membantu orang yang berbuat salah agar tetap bersemangat dalam memperbaiki kesalahan dirinya.
Melihat orang yang belum shalat, justru harus kita bantu dengan mengingatkan dia tentang pentingnnya shalat, membantu mengajarinya tata cara shalat yang benar, membantu dengan mengajaknya supaya dia tetap bersemangat untuk melaksanakan shalat secara istiqamah. Lihat pemabuk, justru harus kita bantu supaya pemabuk itu mengenal bahayanya mabuk, membantu mengenal bagaimana cara menghentikan aktivitas mabuk. Artinya, selalulah posisikan diri kita dalam posisi siap membantu. Walhasil, orang-orang yang pola pikirnya selalu rindu untuk membantu memperbaiki kesalahan orang lain, dia tidak akan pernah benci kepada siapapun. Tentu saja ini lebih baik, dibanding orang yang hanya bisa meremehkan, mencela, menghina, dan mencaci. Padahal orang lain berbuat kesalahan, dan kita pun sebenarnya gudang kesalahan.
Nasihat Imam Ghazali
Nasihat Imam Ghazali
Ketahuilah bahwasanya tidur itu seumpama mati, dan bangun dari tidur itu seumpama bangkit dari kubur pada hari kiamat nanti. Siapa tahu barangkali rohmu dicabut oleh Allah Taala ketika engkau tidur pada suatu malam, Oleh karena itu bersiaplah engkau menemui Tuhanmu dengan tidur dalam keadaan suci dan wasiatmu ada tersimpan dibawah bantalmu.
Hendaklah engaku tidur dalam keadaan bertaubat kepada Allah dari segala dosa dan meminta ampun dari segala kesalahan dan tidak akan mengulangi lagi semua kemaksiatan yang pernah engkau kerjakan dan berazamlah untuk berbuat kebaikan kepada seluruh Orang Islam jikalau Allah membangkitkan engkau keesokan harinya.
Ketahulah bahwa siang dan malam itu hanya dua puluh empat jam saja. Maka janganlah engkau tidur pada waktu siang atau malam lebih dari delapan jam, karena jikalau engkau berumur enam puluh tahun maka engkau menyia-nyiakan umurmu itu sebanyak dua puluh tahun, yaitu sepertiga umurmu.
Dan berazamlah ketika hendak tidur untuk bangun ditengah malam atau sekurang-kurangnya diakhir malam sebelum waktu subuh, karena dua rakaat ditengah malam itu merupakan satu perbendaharaan kebaikan.
Dan jangan engkau panjangkan angan-anganmu karena engkau akan merasa malas melakukan ibadat, bahkan hendaklah engkau fikirkan bahwa kematianmu itu sangat dekat sekali kepadamu.
Begitulah hendaknya engkau menasehati dirimu setiap hari karena engkau tidak menyangka mati itu dekat kepadamu bahkan engkau mengira engkau mungkin hidup lima puluh tahun lagi, kemudian engkau menyuruh dirimu berbuat taat, sudah pasti dirimu tidak akan patuh kepadamu dan pasti ia akan menolak dan merasa berat untuk mengerjakan ketaatan.
Ketahuilah bahwasanya tidur itu seumpama mati, dan bangun dari tidur itu seumpama bangkit dari kubur pada hari kiamat nanti. Siapa tahu barangkali rohmu dicabut oleh Allah Taala ketika engkau tidur pada suatu malam, Oleh karena itu bersiaplah engkau menemui Tuhanmu dengan tidur dalam keadaan suci dan wasiatmu ada tersimpan dibawah bantalmu.
Hendaklah engaku tidur dalam keadaan bertaubat kepada Allah dari segala dosa dan meminta ampun dari segala kesalahan dan tidak akan mengulangi lagi semua kemaksiatan yang pernah engkau kerjakan dan berazamlah untuk berbuat kebaikan kepada seluruh Orang Islam jikalau Allah membangkitkan engkau keesokan harinya.
Ketahulah bahwa siang dan malam itu hanya dua puluh empat jam saja. Maka janganlah engkau tidur pada waktu siang atau malam lebih dari delapan jam, karena jikalau engkau berumur enam puluh tahun maka engkau menyia-nyiakan umurmu itu sebanyak dua puluh tahun, yaitu sepertiga umurmu.
Dan berazamlah ketika hendak tidur untuk bangun ditengah malam atau sekurang-kurangnya diakhir malam sebelum waktu subuh, karena dua rakaat ditengah malam itu merupakan satu perbendaharaan kebaikan.
Dan jangan engkau panjangkan angan-anganmu karena engkau akan merasa malas melakukan ibadat, bahkan hendaklah engkau fikirkan bahwa kematianmu itu sangat dekat sekali kepadamu.
Begitulah hendaknya engkau menasehati dirimu setiap hari karena engkau tidak menyangka mati itu dekat kepadamu bahkan engkau mengira engkau mungkin hidup lima puluh tahun lagi, kemudian engkau menyuruh dirimu berbuat taat, sudah pasti dirimu tidak akan patuh kepadamu dan pasti ia akan menolak dan merasa berat untuk mengerjakan ketaatan.
Gantungkan cita-citamu setinggi Akhirat
Sukses Dunia dan Akhirat
Sabtu, 29 Mei 2010, alhamdulillah saya bisa hadir menjadi pembicara di "Seminar Syariah Ekonomi Islam" di Restoran Sami Kuring, Cikarang, yang diselenggarakan oleh Forum Komunitas Muslim Karyawan EJIP. Rencana semula, peserta dibatasi maksimum 70 peserta, tetapi kenyataannya membludak hingga 98 orang peserta (di luar panitia). Itu pun, katanya, banyak yang ditolak saat mendaftar karena keterbatasan ruangan.
Seperti biasa, saya sharing tentang konsep bisnis berorientasi akhirat, dengan menjadikan akhirat sebagai tujuan utama saat kita berusaha. Yaitu, bukan mengejar cita-cita duniawi yang pendek, seperti punya mobil, punya rumah, perusahaan besar, dan seterusnya. Ini cita-cita yang terlalu pendek. Kita naikkan cita-cita kita ke akhirat.
Jika selama ini, kita diajarkan sejak kecil untuk menggantungkan cita-cita setinggi langit, maka sekalian saja naikkan cita-cita kita ke akhirat. Kenapa tidak?
Toh dengan bercita-cita akhirat, maka Allah Ta'ala akan membantu memudahkan urusan kita, akhirat dapat dan dunia pasti dapat. Sedangkan kalau cita-cita hanya dunia, maka khawatirnya kita hanya mendapat dunia, dan di akhirat kita menjadi orang yang rugi besar.
Allah Ta'ala berfirman,
مَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِن نَّصِيبٍ
“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat maka akan Kami tambah keuntungan itu baginya, dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia maka akan Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia, dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat.” (Qs. Asy-Syura: 20)
لْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا. وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى
“Akan tetapi, kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Qs. Al-A’laa: 16--17)
Banyak yang bertanya kepada saya, "Bagaimana contoh bekerja dengan orientasi akhirat?" Jawabannya banyak sekali: bekerja karena ingin menikah, karena ingin menafkahi keluarga, ingin membantu keluarga yang tidak mampu, ingin berhaji, ingin banyak bersedekah seperti si fulan, ingin membangun 100 rumah sakit Islam, ingin menyantuni satu juta anak yatim, dan seterusnya.... Ada kisah menarik di zaman tabiut tabi'in. Seorang ulama besar bernama Abdullah bin al-Mubarak, seorang ulama ahli hadits sekaligus seorang pedagang yang berhasil. Beliau rahimahullah ditanya oleh Fudhail bin Iyadh, "Engkau selalu mengajari kami untuk zuhud terhadap dunia, tetapi aku lihat engkau sibuk berdagang di pasar-pasar."
Abdullah bin al-Mubarak menjawab bahwa dia bersemangat berdagang karena ingin menanggung nafkah ulama-ulama ahli hadits, agar para ulama tersebut tetap fokus mengajar ilmu hadits dan tidak sibuk bekerja. Alasannya, kalau mereka sibuk bekerja, mereka tidak lagi memiliki waktu yang cukup untuk mengajarkan hadits." (Kisah itu disebutkan oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab Siyar A'alam an-Nubala', pada biografi Abdullah bin al-Mubarak)
Lihatlah betapa indahnya cita-cita ini, dan betapa Allah Ta'ala membuktikan janjinya. Beliau rahimahullah justru sukses dalam berdagang, menjadi pengusaha kaya, namun tetap zuhud terhadap dunia, yaitu tidak meletakkan dunia di hatinya. Dunia hanya sarana, bukan tujuan. Beliau mengerti hakikat kehidupan dunia yang fana, dunia hanya wasilah untuk kebahagiaan akhirat.
Contoh motivasi lain adalah seperti yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya), "Wajib atas setiap muslim untuk bersedekah." Dikatakan kepada beliau, "Bagaimana bila ia tidak mampu?" Beliau menjawab, "Ia bekerja dengan kedua tangannya, sehingga ia menghasilkan kemanfaatan untuk dirinya sendiri dan (dengannya ia dapat) bersedekah." (Muttafaqun 'alaih)
Lihatlah, betapa motivasi untuk bekerja hanya karena ingin bersedekah, karena sedekah itu wajib. Sehingga, setelah para sahabat mendengar hadits ini, mereka langsung pergi ke pasar-pasar mencari kerja, meskipun sekadar menjadi kuli angkat barang di punggungnya, hanya untuk mendapatkan upah dan dengan upah itu mereka dapat bersedekah.
Banyak dalil yang menerangkan janji-janji Allah Ta'ala kepada orang-orang yang berorientasi akhirat, bahwa orang yang berorientasi akhirat akan sukses dunia dan akhiratnya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "Sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman, 'Wahai anak Adam, beribadahlah sepenuhnya kepada-Ku, niscaya Aku penuhi (hatimu yang ada) di dalam dadamu dengan kekayaan dan Aku penuhi kebutuhanmu. Jika tidak kalian lakukan, niscaya Aku penuhi tanganmu dengan kesibukan, dan tidak Aku penuhi kebutuhanmu (kepada manusia).'" (Hr. Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan al-Hakim) Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "Barangsiapa yang menjadikan kegelisahan, kegundahan, cita-cita, dan tujuannya hanya satu, yaitu akhirat, maka Allah akan mencukupi semua keinginannya. Barangsiapa yang keinginan dan cita-citanya bercerai-berai kepada keadaan-keadaan dunia, materi duniawi, yang dipikirkan hanya itu saja, maka Allah tidak akan peduli di lembah mana dia binasa." (Hr. Ibnu Majah; sanadnya hasan) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "Barangsiapa yang obsesinya adalah akhirat, tujuannya akhirat, niatnya akhirat, cita-citanya akhirat, maka dia mendapatkan tiga perkara: Allah menjadikan kecukupan di hatinya, Allah mengumpulkan urusannya, dan dunia datang kepada dia dalam keadaan dunia itu hina. Barangsiapa yang obsesinya adalah dunia, tujuannya dunia, niatnya dunia, cita-citanya dunia, maka dia mendapatkan tiga perkara: Allah menjadikan kemelaratan ada di depan matanya, Allah mencerai-beraikan urusannya, dan dunia tidak datang kecuali yang ditakdirkan untuk dia saja." (Hr. At-Tirmidzi dan lain-lain; hadits shahih)
Nah, masihkah kita ragu dengan janji-janji Allah Ta'ala di atas? Apakah itu cuma dongeng di siang bolong? Siapakah yang paling mampu menepati janjinya? Sungguh sayang, banyak dari kita yang masih ragu dengan janji-janji Allah Ta'ala, dan ikut yakin dengan pameo ini, "Zaman ini zaman edan, kalau tidak ikut arus, bagaimana kita bisa dapat rezeki?", atau "Yang haram saja susah, apalagi yang halal." Maka, jadilah suap-menyuap menjadi keseharian kita, tanpa ada lagi beban, tanpa merasa berdosa, berdusta saat jual-beli menjadi hal yang wajar, dan seterusnya....
Bagaimana mungkin karunia Allah Ta'ala, berupa rezeki, dapat diraih dengan maksiat? Mungkin rezeki itu akan didapat, tetapi rezeki itu tidak akan memiliki berkah. Justru, rezeki tersebut akan membawa petaka, istri dibawa lari orang, anak berzina, kita sendiri terkena penyakit strok dan merana seorang diri di rumah sakit jiwa. Akhir yang buruk, yang tidak satu pun dari kita menginginkannya.
Perhatikan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut ini, "Janganlah kamu merasa bahwa rezekimu datangnya terlambat, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan meninggal, hingga telah datang kepadanya rezeki terakhir (yang telah ditentukan) untuknya. Maka, tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, yaitu dengan mengambil yang halal dan meninggalkan yang haram." (Hr. Abdur Razaq, Ibnu Hibban, dan al-Hakim)
"Sesungguhnya, Ruhul Qudus (malaikat Jibril) membisikkan dalam benakku bahwa jiwa tidak akan wafat sebelum lengkap dan sempurna rezekinya. Karena itu, hendaklah kamu bertakwa kepada Allah dan memperbaiki mata pencarianmu. Apabila datangnya rezeki itu terlambat, janganlah kamu memburunya dengan jalan bermaksiat kepada Allah, karena apa yang ada di sisi Allah hanya bisa diraih dengan ketaatan kepada-Nya." (Hr. Abu Dzar dan al-Hakim)
Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah dan carilah nafkah dengan cara yang baik, karena sesungguhnya seseorang sekali-kali tidak akan meninggal dunia sebelum rezekinya disempurnakan, sekalipun rezekinya terlambat (datang) kepadanya. Maka, bertakwalah kepada Allah dan carilah rezeki dengan cara yang baik, ambillah yang halal dan tinggalkanlah yang haram." (Hadits shahih, Shahih Ibnu Majah no. 1743 dan Ibnu Majah II: 725 no. 214)
Hendaklah kita perhatikan hadits-hadits di atas. Kita diperintahkan untuk berusaha, bersungguh-sungguh, bekerja, memperbaiki mata pencarian, meninggalkan yang haram, dan kita diperintahkan untuk bertakwa. Rezeki yang ada di langit (dari Allah) bukan dicari dengan cara maksiat kepada-Nya. Namun, kita diperintahkan untuk bersungguh-sungguh bekerja, memperbaiki cara mencari rezeki, dan bertakwa.
Ada satu pengalaman pribadi yang menarik, sebagai pembuktian hadits-hadits di atas, yaitu bahwa seseorang tidak akan mati hingga seluruh rezekinya diterima. Kejadiannya terjadi pada ayah saya, yaitu setelah operasi jantung beliau mengalami komplikasi, dan sempat dirawat di ruang ICU selama 30 hari.
Beliau sempat berada dalam kondisi koma selama 2 minggu, setelah itu sadar dan meminta es krim. Dokter mengizinkan saya untuk memberikan es krim tersebut. Setelah habis dimakannya, beliau koma lagi selama dua hari, dan akhirnya meninggal dunia.
Kalau diilustrasikan secara sederhana dari kejadian ini, seolah-olah para malaikat menginventaris kembali rezeki yang harus diterima ayah saya, ternyata ada satu yang tertinggal, yaitu es krim. Maka, ayah saya dibangunkan, diberi es krim, kemudian nyawanya dicabut setelah seluruh rezekinya diterima. Benar sekali, seseorang tidak akan mati sebelum rezekinya dia terima dengan sempurna.
Kejadian ini membuat saya bertambah yakin dengan firman Allah Ta'ala dan sabda Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam di atas.
Masih ada lagi yang bertanya, "Untuk apa kita berusaha kalau rezeki sudah ditentukan?" Jangankan kita, para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun bertanya hal yang sama.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu menceritakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda, “Setiap kalian telah ditulis tempat duduknya di surga atau di neraka.” Maka ada seseorang dari suatu kaum yang berkata, “Kalau begitu, kami bersandar saja (tidak beramal, pent), wahai Rasulullah?”
Maka, beliau pun menjawab, “Jangan demikian. Beramallah kalian, karena setiap orang akan dimudahkan.” Kemudian, beliau membaca firman Allah, “Adapun orang-orang yang mau berderma dan bertakwa, serta membenarkan al-husna (surga), maka kami siapkan baginya jalan yang mudah.” (Qs. al-Lail: 5-7). (Hr. Bukhari dan Muslim)
Inilah nasihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada kita, untuk tidak bertopang dagu, serta supaya senantiasa bersemangat dalam beramal dan tidak menjadikan takdir sebagai dalih untuk bermaksiat dan bermalas-malasan. Kita pasti akan dimudahkan menuju takdir kita, selama kita mengikuti firman Allah Ta'ala dalam surat al-Lail ayat 5 hingga 7 tersebut.
Terakhir, marilah kita renungkan firman Allah Ta'ala berikut ini,
مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
"Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (Qs. An-Nahl: 97)
Lihatlah, bahwa jika kita ingin hidup bahagia dengan mendapatkan semua kebaikan (karena ayat tersebut tidak membatasi kebaikan apa, maka ulama menerangkan bahwa yang dimaksud adalah semua kebaikan, baik rezeki, kebahagiaan, ketenangan jiwa, dan lain-lain), maka caranya adalah dengan beramal shalih, dalam keadaan beriman.
Bagaimana kita bisa beriman dan beramal shalih? Mari kita pelajari al-Quran dan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan pemahaman yang benar. Insya Allah kita akan selamat.
Wallahu a'alam.
***
Penulis: Fadil Fuad Basymeleh
Sabtu, 29 Mei 2010, alhamdulillah saya bisa hadir menjadi pembicara di "Seminar Syariah Ekonomi Islam" di Restoran Sami Kuring, Cikarang, yang diselenggarakan oleh Forum Komunitas Muslim Karyawan EJIP. Rencana semula, peserta dibatasi maksimum 70 peserta, tetapi kenyataannya membludak hingga 98 orang peserta (di luar panitia). Itu pun, katanya, banyak yang ditolak saat mendaftar karena keterbatasan ruangan.
Seperti biasa, saya sharing tentang konsep bisnis berorientasi akhirat, dengan menjadikan akhirat sebagai tujuan utama saat kita berusaha. Yaitu, bukan mengejar cita-cita duniawi yang pendek, seperti punya mobil, punya rumah, perusahaan besar, dan seterusnya. Ini cita-cita yang terlalu pendek. Kita naikkan cita-cita kita ke akhirat.
Jika selama ini, kita diajarkan sejak kecil untuk menggantungkan cita-cita setinggi langit, maka sekalian saja naikkan cita-cita kita ke akhirat. Kenapa tidak?
Toh dengan bercita-cita akhirat, maka Allah Ta'ala akan membantu memudahkan urusan kita, akhirat dapat dan dunia pasti dapat. Sedangkan kalau cita-cita hanya dunia, maka khawatirnya kita hanya mendapat dunia, dan di akhirat kita menjadi orang yang rugi besar.
Allah Ta'ala berfirman,
مَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِن نَّصِيبٍ
“Barangsiapa yang menghendaki keuntungan di akhirat maka akan Kami tambah keuntungan itu baginya, dan barangsiapa yang menghendaki keuntungan di dunia maka akan Kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia, dan tidak ada baginya suatu bagian pun di akhirat.” (Qs. Asy-Syura: 20)
لْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا. وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى
“Akan tetapi, kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.” (Qs. Al-A’laa: 16--17)
Banyak yang bertanya kepada saya, "Bagaimana contoh bekerja dengan orientasi akhirat?" Jawabannya banyak sekali: bekerja karena ingin menikah, karena ingin menafkahi keluarga, ingin membantu keluarga yang tidak mampu, ingin berhaji, ingin banyak bersedekah seperti si fulan, ingin membangun 100 rumah sakit Islam, ingin menyantuni satu juta anak yatim, dan seterusnya.... Ada kisah menarik di zaman tabiut tabi'in. Seorang ulama besar bernama Abdullah bin al-Mubarak, seorang ulama ahli hadits sekaligus seorang pedagang yang berhasil. Beliau rahimahullah ditanya oleh Fudhail bin Iyadh, "Engkau selalu mengajari kami untuk zuhud terhadap dunia, tetapi aku lihat engkau sibuk berdagang di pasar-pasar."
Abdullah bin al-Mubarak menjawab bahwa dia bersemangat berdagang karena ingin menanggung nafkah ulama-ulama ahli hadits, agar para ulama tersebut tetap fokus mengajar ilmu hadits dan tidak sibuk bekerja. Alasannya, kalau mereka sibuk bekerja, mereka tidak lagi memiliki waktu yang cukup untuk mengajarkan hadits." (Kisah itu disebutkan oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab Siyar A'alam an-Nubala', pada biografi Abdullah bin al-Mubarak)
Lihatlah betapa indahnya cita-cita ini, dan betapa Allah Ta'ala membuktikan janjinya. Beliau rahimahullah justru sukses dalam berdagang, menjadi pengusaha kaya, namun tetap zuhud terhadap dunia, yaitu tidak meletakkan dunia di hatinya. Dunia hanya sarana, bukan tujuan. Beliau mengerti hakikat kehidupan dunia yang fana, dunia hanya wasilah untuk kebahagiaan akhirat.
Contoh motivasi lain adalah seperti yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya), "Wajib atas setiap muslim untuk bersedekah." Dikatakan kepada beliau, "Bagaimana bila ia tidak mampu?" Beliau menjawab, "Ia bekerja dengan kedua tangannya, sehingga ia menghasilkan kemanfaatan untuk dirinya sendiri dan (dengannya ia dapat) bersedekah." (Muttafaqun 'alaih)
Lihatlah, betapa motivasi untuk bekerja hanya karena ingin bersedekah, karena sedekah itu wajib. Sehingga, setelah para sahabat mendengar hadits ini, mereka langsung pergi ke pasar-pasar mencari kerja, meskipun sekadar menjadi kuli angkat barang di punggungnya, hanya untuk mendapatkan upah dan dengan upah itu mereka dapat bersedekah.
Banyak dalil yang menerangkan janji-janji Allah Ta'ala kepada orang-orang yang berorientasi akhirat, bahwa orang yang berorientasi akhirat akan sukses dunia dan akhiratnya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "Sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman, 'Wahai anak Adam, beribadahlah sepenuhnya kepada-Ku, niscaya Aku penuhi (hatimu yang ada) di dalam dadamu dengan kekayaan dan Aku penuhi kebutuhanmu. Jika tidak kalian lakukan, niscaya Aku penuhi tanganmu dengan kesibukan, dan tidak Aku penuhi kebutuhanmu (kepada manusia).'" (Hr. Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan al-Hakim) Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "Barangsiapa yang menjadikan kegelisahan, kegundahan, cita-cita, dan tujuannya hanya satu, yaitu akhirat, maka Allah akan mencukupi semua keinginannya. Barangsiapa yang keinginan dan cita-citanya bercerai-berai kepada keadaan-keadaan dunia, materi duniawi, yang dipikirkan hanya itu saja, maka Allah tidak akan peduli di lembah mana dia binasa." (Hr. Ibnu Majah; sanadnya hasan) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "Barangsiapa yang obsesinya adalah akhirat, tujuannya akhirat, niatnya akhirat, cita-citanya akhirat, maka dia mendapatkan tiga perkara: Allah menjadikan kecukupan di hatinya, Allah mengumpulkan urusannya, dan dunia datang kepada dia dalam keadaan dunia itu hina. Barangsiapa yang obsesinya adalah dunia, tujuannya dunia, niatnya dunia, cita-citanya dunia, maka dia mendapatkan tiga perkara: Allah menjadikan kemelaratan ada di depan matanya, Allah mencerai-beraikan urusannya, dan dunia tidak datang kecuali yang ditakdirkan untuk dia saja." (Hr. At-Tirmidzi dan lain-lain; hadits shahih)
Nah, masihkah kita ragu dengan janji-janji Allah Ta'ala di atas? Apakah itu cuma dongeng di siang bolong? Siapakah yang paling mampu menepati janjinya? Sungguh sayang, banyak dari kita yang masih ragu dengan janji-janji Allah Ta'ala, dan ikut yakin dengan pameo ini, "Zaman ini zaman edan, kalau tidak ikut arus, bagaimana kita bisa dapat rezeki?", atau "Yang haram saja susah, apalagi yang halal." Maka, jadilah suap-menyuap menjadi keseharian kita, tanpa ada lagi beban, tanpa merasa berdosa, berdusta saat jual-beli menjadi hal yang wajar, dan seterusnya....
Bagaimana mungkin karunia Allah Ta'ala, berupa rezeki, dapat diraih dengan maksiat? Mungkin rezeki itu akan didapat, tetapi rezeki itu tidak akan memiliki berkah. Justru, rezeki tersebut akan membawa petaka, istri dibawa lari orang, anak berzina, kita sendiri terkena penyakit strok dan merana seorang diri di rumah sakit jiwa. Akhir yang buruk, yang tidak satu pun dari kita menginginkannya.
Perhatikan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut ini, "Janganlah kamu merasa bahwa rezekimu datangnya terlambat, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan meninggal, hingga telah datang kepadanya rezeki terakhir (yang telah ditentukan) untuknya. Maka, tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, yaitu dengan mengambil yang halal dan meninggalkan yang haram." (Hr. Abdur Razaq, Ibnu Hibban, dan al-Hakim)
"Sesungguhnya, Ruhul Qudus (malaikat Jibril) membisikkan dalam benakku bahwa jiwa tidak akan wafat sebelum lengkap dan sempurna rezekinya. Karena itu, hendaklah kamu bertakwa kepada Allah dan memperbaiki mata pencarianmu. Apabila datangnya rezeki itu terlambat, janganlah kamu memburunya dengan jalan bermaksiat kepada Allah, karena apa yang ada di sisi Allah hanya bisa diraih dengan ketaatan kepada-Nya." (Hr. Abu Dzar dan al-Hakim)
Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah dan carilah nafkah dengan cara yang baik, karena sesungguhnya seseorang sekali-kali tidak akan meninggal dunia sebelum rezekinya disempurnakan, sekalipun rezekinya terlambat (datang) kepadanya. Maka, bertakwalah kepada Allah dan carilah rezeki dengan cara yang baik, ambillah yang halal dan tinggalkanlah yang haram." (Hadits shahih, Shahih Ibnu Majah no. 1743 dan Ibnu Majah II: 725 no. 214)
Hendaklah kita perhatikan hadits-hadits di atas. Kita diperintahkan untuk berusaha, bersungguh-sungguh, bekerja, memperbaiki mata pencarian, meninggalkan yang haram, dan kita diperintahkan untuk bertakwa. Rezeki yang ada di langit (dari Allah) bukan dicari dengan cara maksiat kepada-Nya. Namun, kita diperintahkan untuk bersungguh-sungguh bekerja, memperbaiki cara mencari rezeki, dan bertakwa.
Ada satu pengalaman pribadi yang menarik, sebagai pembuktian hadits-hadits di atas, yaitu bahwa seseorang tidak akan mati hingga seluruh rezekinya diterima. Kejadiannya terjadi pada ayah saya, yaitu setelah operasi jantung beliau mengalami komplikasi, dan sempat dirawat di ruang ICU selama 30 hari.
Beliau sempat berada dalam kondisi koma selama 2 minggu, setelah itu sadar dan meminta es krim. Dokter mengizinkan saya untuk memberikan es krim tersebut. Setelah habis dimakannya, beliau koma lagi selama dua hari, dan akhirnya meninggal dunia.
Kalau diilustrasikan secara sederhana dari kejadian ini, seolah-olah para malaikat menginventaris kembali rezeki yang harus diterima ayah saya, ternyata ada satu yang tertinggal, yaitu es krim. Maka, ayah saya dibangunkan, diberi es krim, kemudian nyawanya dicabut setelah seluruh rezekinya diterima. Benar sekali, seseorang tidak akan mati sebelum rezekinya dia terima dengan sempurna.
Kejadian ini membuat saya bertambah yakin dengan firman Allah Ta'ala dan sabda Nabi-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam di atas.
Masih ada lagi yang bertanya, "Untuk apa kita berusaha kalau rezeki sudah ditentukan?" Jangankan kita, para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pun bertanya hal yang sama.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu menceritakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda, “Setiap kalian telah ditulis tempat duduknya di surga atau di neraka.” Maka ada seseorang dari suatu kaum yang berkata, “Kalau begitu, kami bersandar saja (tidak beramal, pent), wahai Rasulullah?”
Maka, beliau pun menjawab, “Jangan demikian. Beramallah kalian, karena setiap orang akan dimudahkan.” Kemudian, beliau membaca firman Allah, “Adapun orang-orang yang mau berderma dan bertakwa, serta membenarkan al-husna (surga), maka kami siapkan baginya jalan yang mudah.” (Qs. al-Lail: 5-7). (Hr. Bukhari dan Muslim)
Inilah nasihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada kita, untuk tidak bertopang dagu, serta supaya senantiasa bersemangat dalam beramal dan tidak menjadikan takdir sebagai dalih untuk bermaksiat dan bermalas-malasan. Kita pasti akan dimudahkan menuju takdir kita, selama kita mengikuti firman Allah Ta'ala dalam surat al-Lail ayat 5 hingga 7 tersebut.
Terakhir, marilah kita renungkan firman Allah Ta'ala berikut ini,
مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُم بِأَحْسَنِ مَا كَانُواْ يَعْمَلُونَ
"Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (Qs. An-Nahl: 97)
Lihatlah, bahwa jika kita ingin hidup bahagia dengan mendapatkan semua kebaikan (karena ayat tersebut tidak membatasi kebaikan apa, maka ulama menerangkan bahwa yang dimaksud adalah semua kebaikan, baik rezeki, kebahagiaan, ketenangan jiwa, dan lain-lain), maka caranya adalah dengan beramal shalih, dalam keadaan beriman.
Bagaimana kita bisa beriman dan beramal shalih? Mari kita pelajari al-Quran dan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan pemahaman yang benar. Insya Allah kita akan selamat.
Wallahu a'alam.
***
Penulis: Fadil Fuad Basymeleh
Ringkasan tafsir Ash Shaff ayat 2 dan 3 Tentang Murkanya Allah terhadap kaum yang Mengatakan sesuatu, tetapi tidak mau mengaplikasikannya terhadap Diri Sendiri
Ringkasan Tafsir surah As Shaff, ayat 2 dan 3 dari Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Al Qurthubi
Surah As Shaff
"Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (As Shaff:2-3)
Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir..
Ini merupakan pengingkaran Allah terhadap orang yang membuat janji atau mengatakan sesuatu dan tidak melaksanakannya, Oleh karena itu diantara ulama salaf ada yang menjadikan ayat ini sebagai dalil bahwa memenuhi janji itu wajib secara mutlak, baik janji tersebut mengakibatkan hukuman bagi yang berjanji, ataupun tidak.l Mereka juga beralasan dengan hadits yang tercatat dalam ash-Shahiihain, dimana Rasulullah SAW telah bersabda, "Tanda-tanda orang munafik itu tiga, : bila berjanji dia ingkar, bila berkata dia dusta, dan bila dipercaya dia khianat"
Dalam hadits lain disebutkan, "Ada empat perkara yang apabila (semuanya) ada pada diri seseorang, maka ia menjadi munafiq tulen. Dan barang siapa salah satunya ada padanya, maka (dikatakan) ia memiliki satu ciri dari orang munafiq, hingga dia meninggalkannya" (HR. Muttaffaq alaih)
Diantara para ulama ada juga yang berkata, "Ayat in diturunkan berkenaan dengan peperangan. Seorang laki-laki mengatakan bahwa dirinya telah berperang, padahal dia tidak melakukannya. Ia mengatakan bahwa dirinya telah menikam musuh, padahal ia tidak melakukannya. Ia katakan bahwa dirinya telah bersabar tetapi dia tidak melakukannya."
Kita lihat, saat ini banyak manusia sering untuk menyuruh yang ma'ruf maupun meninggalkan yang munkar, namun mereka sendiri tidak melaksanakan apa yang mereka perintahkan/anjurkan. Misalnya banyak para pemimpin (baik politik, perusahaan, dll) mengatakan, marilah kita bekerja sama memberantas korupsi..namun seringkali mereka yang menganjurkan untuk memberantas korupsi.juga terlibat dalam korupsi.. Ada juga anjuran dilarang untuk mencuri,..namun justru merekalah yang malah mencuri..
Semoga kita terlindung dari kemurkaan Allah dan terhindar dari sifat Munafiq...Amin...
Ringkasan Tafsir Al Qurthubi.
Asbabun nuzul ayat , Abdullah bin Salam berkata, "Sekelompok sahabat Rasulullah SAW mempersilahkan kami mampir, kemudian kami berdiskusi. Kami berkata, 'Seandainya kami mengetahui amalan apakah yang paling disukai oleh Allah Ta'ala, niscaya kami akan mengerjakannya. 'Allah Ta'ala kemudian menurunkan ayat ini...."Telah Bertasbih kepada Allah apa saja yang ada di langit dan......."dst sampai akhir ayat ke 3.'
Qatadah dan Adh-Dhahak berkata, "Ayat ini turun pada kaum yang berkata, 'Kami akan berjihad dan kami akan mati.' Namun mereka tidak melakukan (hal itu)
Ayat ini mewajibkan semua orang yang telah mewajibkan dirinya mengerjakan sebuah amalan ketaatan, bahwa dia harus memenuhi hal itu.
Sesuatu yang diwajibkan seperti Nadzar :
Nadzar ini sendiri ada dua bagian :
1. Nadzar untuk mendekatkan diri kepada Allah sejak awal,, seperti ucapan seseorang : Aku akan menunaikan shalat, puasa, sedekah, dan berbagai bentuk pendekatan diri lainnya kepada Allah. Nadzar seperti ini wajib untuk dipenuhi. Hal ini telah disepakati oleh para ulama.
2. Nadzar Mubah, yaitu nadzar yang dikaitkan kepada syarat yang diinginkan, misalnya ucapan seseorang ; Jika milikku yang hilang kembai, aku akan bersedekah. Atau dikaitkan pada syarat yang ditakuti, misalnya ucapan seseorang : Jika Allah memelihara aku dari keburukan anu, maka aku akan bersedekah. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini (Bentuk nadzar ke dua)
Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa dia wajib memenuhi nadzar tersebut. Sementara Imam Syafi'i mengatakan pada salah satu pendapatnya, bahwa dia tidak wajib memenuhi nadzar tersebut.
Namun keumuman ayat ini merupakan hujjah yang memperkuat pendapat kami (Imam Qurthubi) sebab ayat ini secara absolut mengecam orang yang mengatakan sesuatu, namun dia tidak melakukannya, apapun itu bentuknya, baik yang mutlak ataupun yang dibatasi oleh syarat.
An-Nakha'i berkata, "Ada 3 ayat yang menghalangiku untuk menyampaikan riwayat kepada orang-orang (Pertama Firman Allah Ta'ala), 'Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri' (QS. Albaqarah: 44). (Kedua, Firman Allah Ta'ala) Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang Aku larang (QS Hud:88) (Ketiga, Firman Allah) Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan (QS Ash Shaff:3)
Abu Nu'aim Al Hafizh meriwayatkan dari hadits Malik bin Dinar, bahwa Anas bin Malik berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Aku mendatangi suatu kaum pada malam Isra' yang lidahnya digunting dengan gunting api. Setiap kali lidahnya digunting, maka panjang kembali lidah itu. Aku bertanya (kepada malaikat Jibril), "Siapakah mereka, wahai Jibril? "Jibril menjawab, "Mereka adalah para khatib dari ummatmu yang mengatakan (sesuatu) namun mereka tidak mengerjakan(nya) dan mereka membaca kitab Allah namun mereka tidak mengamalkan(nya) (HR Ibnu Abi Daud dalam Al Mashahif, HR Baihaqi dalam Syu'ab Al Iman dan As Suyuthi dalam Al Jami' Al Kabir)
Firman Allah Ta'ala, "Kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?" Firman Allah tersebut merupakan sebuah Pertanyaan (Istifhaam) yang mengandung makna pengingkaran dan cemoohan. Sebab manusia mengatakan (memerintahkan) kepada kebaikan, padahal dia sendiri tidak mengerjakannya. Sufyan bin Uyainah menakwilkan ayat diatas sbb "Kenapakah kalian mengatakan sesuatu yang tidak diperintahkan kepada kalian, sehingga kalian tidak tahu apakah kalian boleh mengerjakan atau tidak boleh mengerjakan.
FIrman Allah Ta'ala "Amat besar kebencian Allah di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan" Firman Allah Ta'ala diatas merupakan dalil tentang diwajibkannya memenuhi/menepati (apa yang dikatakan) dalam keadaan tertekan dan marah, menurut salah satu dari pendapat Asy-Syafi'i.
Wallahua'lam..
Ringkasan Tafsir Al Hujuraat ayat 12 Tentang Tidak bolehnya Berprasangka (buruk)
Assalamu'alaikum
Ringkasan Tafsir Al Hujurat ayat 12 dari Tafsir Al Qurthubi dan Tafsir Ibnu Katsir.
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan dagin saudaranyan yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang" (Al Hujuraat:12)
Penjelasan ayat diatas, dari diringkas dari kitab Tafsir Al Qurthubi.
Pada ayat ini terdapat beberapa masalah yang bisa dibahas.
1. Firman Allah ,"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka"
Menurut satu pendapat, ayat ini diturunkan tentang 2 orang sahabat Nabi SAW yang menggunjing seorang temannya. Peristiwa itu bermula dari kebiasaan Nabi SAW saat melakukan perjalanan, dimana beliau selalu menggabungkan seorang lelaki miskin kepada dua orang lelaki kaya, dimana lelaki miskin ini bertugas untuk melayani mereka.
Dalam kasus ini, beliau kemudian menggabungkan Salman kepada dua orang lelaki kaya. Singkat cerita, pada saat 2 orang lelaki kaya tersebut lapar (tidak ada lauk maupun makanan yang dpt dimakan) maka mereka menyuruh Salman untuk meminta makan kepada Nabi SAW. Setelah bertemu Nabi, beliau berkata kepada Salman, "Pergilah engkau kepada Usamah bin Zaid, katakanlah padanya, jika dia mempunyai sisa makanan, maka hendaklah dia memberikannya kepadamu"
Setelah bertemu dengan Usamah, beliau mengatakan bahwa beliau tidak memiliki apapun. Akhirnya Salman kembali kepada kedua lelaki kaya tersebut dan memberitahukan hal itu (tidak adanya makanan). Namun kedua lelaki tersebut berkata, "Sesungguhnya Usamah itu mempunyai sesuatu, tapi dia itu kikir" Selanjutnya mereka mengutus Salman ketempat sekelompok sahabat, namun Salman tidak menemukan apapun di tempat mereka.
Akhirnya kedua lelaki tersebut memata-matai Usamah untuk melihat apakah Usamah memiliki sesuatu atau tidak. Tindakan mereka ini akhirnya terlihat oleh Nabi SAW, dan beliau bersabda, "Mengapa aku melihat daging segar di mulut kalian berdua?" Mereka berkata, "Wahai Nabi Allah, demi Allah, hari ini kami tidak makan daging atau yang lainnya." Beliau SAW bersabda, "Tapi, kalian sudah memakan daging Usamah dan Salman". Maka turunlah ayat ini ,"Hai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa".
Demikianlah yang dituturkan Ats-Tsa'labi.
Maksud Firman Allah diatas adalah : Janganlah kalian mempunyai dugaan buruk terhadap orang yang baik, jika kalian tahu bahwa pada zhahirnya mereka itu baik.
2. Dalam Shohih Al Bukhari dan Shahih Muslim terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Nabi bersabda,
"Janganlah kalian berprasangka (curiga), karena sesungguhnya prasangka itu pembicaraan yang paling dusta. Janganlah kalian saling mencari-cari berita atau mendengarkan aib orang, janganlah kalian mencari-cari keburukan orang, janganlah kalian saling menipu, janganlah kalian saling mendengki, janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian saling memboikot, dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara (Lafaz hadits ini milik Al Bukhari)
Para Ulama (Madzhab Maliki) berkata, "Dengan demikian prasangka (yang dimaksud) disini, juga pada ayat tersebut, adalah tuduhan (kecurigaan) dan adanya sesuatu yang perlu diwaspadai. Tuduhan (kecurigaan) yang terlarang adalah tuduhan yang tidak ada sebabnya, seperti seseorang dituduh berzina atau mengkonsumsi khamer, misalnya, padahal tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan pada tuduhan tersebut dalam dirinya.
Bukti bahwa prasangka disini berarti tuduhan (kecurigaan) adalah Firman ALlah Ta'ala, "Dan janganlah mencari-cari kesalahan orang lain".
Hal itu disebabkan sejak semula pada diri orang yang berprasangka itu sudah ada tuduhan (kecurigaan), kemudian dia berusaha mencari tahu, memeriksa, melihat dan mendengar berita mengenai hal itu, guna memastikan tuduhan/kecurigaan yang ada pada dirinya itu. Oleh karena itu Nabi SAW melarang hal itu.
Jadi intinya, prasangka yang terlarang/dilarang adalah prasangka yang tidak memiliki tanda dan sebab yang pasti. Maksudnya, bila orang yang kita curigai itu pada zhahirnya baik, tidak ada cerita/informasi sebelumnya tentang keburukan yang dia pernah lakukan, maupun tabiatnya yang memang tercela, serta memang orang tersebut adalah orang yang "baik" maka kita tidak boleh berprasangka buruk kepada orang tersebut. Berbeda bila orang tersebut memang terkenal akan keburukannya, suka menipu, suka berbuat onar, mencari masalah, yang pada intinya orang tersebut memang terkenal dengan tabiat buruknya, suka berbuat keburukan terang-terangan, maka diperbolehkan kita berhati-hati dan tidak mudah / langsung percaya terhadap apa yang dikatakannya/informasinya (harus dilakukan cek dan ricek kebenaran berita tersebut)
3. Prasangka (dugaan) itu memiliki kondisi :
a. Kondisi yang diketahui dan diperkuat oleh salah satu dari sekian banyak bukti/dalil, sehingga hukum dapat ditetapkan dengan prasangka (dugaan) pada kondisi ini.
b. Kondisi dimana terdapat sesuatu (asumsi/dugaan) didalam hati tanpa ada petunjuk (manakah yang lebih kuat: apakah sesuatu tersebut ataukah lawannya), sehingga sesuatu itu tidak menjadi lebih baik dari lawannya. Ini adalah Keraguan. Hukum sesuatu tidaklah boleh ditetapkan dengan keraguan ini. Inilah yang terlarang.
Nabi SAW bersabda, "Apabila salah seorang diantara kalian menyanjung saudaranya, maka hendaklah dia mengatakan: 'Saya kira anu, dan saya tidak menyucikan (menganggap suci) seseorang kepada Allah (HR Bukhari, tentang larangan menyanjung jika itu berlebihan dan dikhawatirkan akan menimbulkan Fitnah atas tersanjung, HR Abu Dawud, HR Ibnu Majah, dan HR Ahmad)
Mayoritas Ulama berpendapat bahwa memiliki prasangka buruk terhadap orang yang zhahirnya baik adalah tidak boleh. Namun tidak masalah mempunyai dugaan buruk terhadap orang yang zhahirnya buruk. Demikianlah yang dikatakan Al Mahdawi.
4. Firman Allah Ta'ala "Dan janganlah mencari-cari kesalahan orang lain"
Makna ayat tersebut adalah ; Ambilah apa yang nampak, dan janganlah kalian membuka aurat kaum muslimin. Maksudnya, salah seorang dari kalian tidak boleh mencari aib saudaranya hingga menemukannya setelah Allah menutupinya. Dalam kitab Abu Daud, terdapat hadits dari Mu'awiyah, dia berkata, "Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya jika engkau mencari-cari aib manusia, maka engkau telah menghancurkan mereka, atau hampir menghancurkan mereka" (HR Abu Daud)
Diriwayatkan dari Abu Barzah Al Aslamai, dia berkata, Rosulullah SAW bersabda, "Wahai sekalian orang-orang yang lidahnya telah menyatakan beriman namun keimanan belum masuk ke dalam hatinya. Janganlah kalian menggunjing kaum muslimin, dan jangan pula mencari-cari kesalahan mereka. Sebab barangsiapa yang mencari-cari kesalahan mereka, maka Allah akan mencari-cari kesalahannya. Dan, barangsiapa yang kesalahannya dicari-cari Allah, maka Allah akan membukakan kesalahannya itu di rumahnya" (HR Abu Daud)
Abdurrahman bin Auf berkata, "Suatu malam, aku meronda bersama Umar bin Al Khaththab di Madinah. Tiba-tiba, terlihatlah oleh kami pelita di dalam rumah yang pintunya disegani oleh orang-orang. Mereka mengeluarkan suara yang keras dan ribut. Umar berkata, "Ini adalah rumah Rabi'ah bin Umayah bin Khalaf, dan sekiranya mereka sedang minum-minum. Bagaimana menurutmu? Aku menjawab, "Menurutku sesungguhnya kita telah melakukan apa yang dilarang oleh Allah. Sebab Allah Ta'ala berfirman "Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan kini kita telah mencari-cari kesalahan orang lain" Umarpun kemudian pergi dan meninggalkan mereka.
Amr bin Dinar berkata, 'Seorang penduduk Madinah mempunyai seorang saudara yang sedang sakit. Dia menjenguk saudarinya itu, lalu saudarinya itu meninggal dunia. Maka dia pun memakamnya. Dia turun ke dalam makam saudarinya, namun kantungnya yang berisi uang terjatuh. Maka dia meminta keluarganya untuk menggali makam saudarinya. Dia mengambil kantung itu lalu berkata, 'Sungguh, akan kubuka (makamnya) agar dapat kulihat bagaimanakah keadaannya.' Dia kemudian membongkar makam saudarinya itu, dan ternyata makam itu penuh dengan nyala api. Dia kemudian mendatangi ibunya dan berkata, 'Beritahukanlah padaku apa yang telah dilakukan saudariku?' Ibunya berkata, 'Saudarimu sudah meninggal dunia. Lalu, mengapa engkau bertanya tentang perbuatannya?; Lelaki itu terus mendesak ibunya, hingga ibunya berkata, 'Diantara perbuatannya adalah mengakhirkan shalat dari waktunya. Apabila para tetangga tidur, dia berangkat ke rumah mereka, menempelkan telinganya di rumah mereka, mencari-cari keburukan mereka, dan menyebarkan rahasia mereka' Orang itu berkata, 'Karena inilah saudariku celaka'".
5.Firman Allah Ta'ala, 'Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain"
Allah 'azza wa Jalla melarang menggunjing, yaitu engkau menceritakan seseorang sesuai dengan apa yang ada pada dirinya. Tapi jika engkau menceritakan tidak sesuai dengan apa yang ada pada dirinya, maka itu merupakan sebuah kebohongan.
Pengertian itu terdapat dalam sebuah hadits Riwayat Muslim, Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Tahukan kalian apakah menggunjing itu?" Para sahabat menjawab, "Allah dan RasulNya lebih tahu." Beliau bersabda, "Engkau menceritakan hal-hal yang tidak disukai saudaramu" Ditanyakan kepada beliau, :Bagaimana pendapatmu jika apa yang kau katakan memang terdapat pada saudaraku?" Beliau menjawab, "Jika apa yang engkau katakan terdapat padanya, maka sesungguhnya engkau telah menggunjingnya. Tapi jika apa yang engkau katakan tidak terdapat padanya, maka sesungguhnya engkau telah berdusta kepadanya (HR Muslim)
Al Hasan berkata, "Menggunjing itu ada 3 macam, dan semuanya terdapat dalam kitab Allah :
a, Ghiibah (menggunjing), b Ifk (cerita bohong) c, Buhtaan (berdusta).
Ghibah adalah engkau menceritakan apa yang ada pada diri saudaramu.
Ifk adalah engkau menceritakannya sesuai dengan berita yang sampai padamu tentangnya.
Buhtaan adalah engkau menceritakan apa yang tidak ada padanya.
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Ma'iz Al Aslami datan kepada Nabi SAW dan mengaku berzina, kemudian beliau merajamnya. Beliau kemudian mendengar dua lelaki dari sahabatnya, salah satunya berkata kepada yang lainnya, "Lihatlah orang yang dilindungi Allah itu. Dia tidak membiarkan dirinya, hingga dirinya dirajam seperti dirajamnya anjing." Beliau tidak mengomentari kedua orang itu, lalu beliau berjalan beberapa saat, hingga bertemu dengan bangkai keledai yang mengangkat kakinya. Beliau bertanya, "Dimana si fulan dan si fulan?" Kedua orang itu menjawab, "Ini kami wahai Rasulullah "Beliau bersabda, "Turunlah kalian makanlah bangkai keledai ini!" Keduanya berkata, "Wahai Rasulullah, siapa yang akan memakan bangkai (keledai) ini." Beliau bersabda, "Apa yang telah kalian nodai dari kehormatan saudaramu adalah lebih menjijikan daripada memakan bangkai keledai itu. Demi Dzat yang jiwaku berada didalam kekuasaan Nya, sesungguhnya dia sekarang ini telah berada di sungai surga, dimana dia menyelam ke dalamnya" (HR Abu Daud)
6. FIrman Allah Ta'ala, "Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?"
Allah menyerupakan menggunjing dengan memakan bangkai. Sebab orang yang sudah mati tidak mengetahui dagingya dimakan, sebagaiman orang yang masih hidup tidak mengetahui gunjingan yang dilakukan orang yang menggunjingnya.
Ibnu Abbas berkata, "Allah membuat perumpamaan ini untuk menggunjing, karena memakan bangkai itu haram lagi jijik. Demikianlah pula menggunjingpun diharamkan dalam agama dan dianggap buruk di dalam jiwa (manusia).
Didalam Kitab Abu Daud, dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda, "Ketika aku melakukan Mi'raj, aku bertemu dengan suatu kaum yang memiliki kuku-kuku yang terbuat dari tembaga. Mereka mencakari wajah dan dada mereka. Aku berkata, "Siapakah mereka itu wahai Jibril?" Jibril Menjawab, "Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (menggunjing) dan menodai kehormatan mereka" (HR Abu Daud)
Diriwayatkan dari Al Mustaurid, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang memakan makanan karena (menggunjing) seorang muslim, maka Allah akan memberinya makanan yang serupa dengan makanan itu dari api neraka Jahannam. Barangsiapa yang diberikan pakaian/penghargaan karena (menjelek-jelekan) seorang muslim, maka Allah akan memberinya pakaian yang serupa dengan pakaian itu dari api neraka. Barangsiapa yang mendirikan seseorang di sebuah tempat karena ingin mendapatkan reputasi baik dan riya, (dimana dia menyifatinya dengan baik, bertakwa dan mulia, dan dia pun mempopulerkannya dengan sifat itu, juga menjadikannya sebagai wasilah untuk mendapatkan tujuan pribadinya), maka Allah akan mendirikannya ditempat orang-orang yang ingin mendapatkan reputasi baik dan riya pada hari kiamat kelak" (HR Abu Daud)
Maimun Bin Siyah tidak pernah menggunjing seseorang, dan diapun tidak pernah membiarkan seseorang menggunjing seseorang lain di dekatnya. Dia melarangnya, Jika orang itu berhenti, (maka itu yang terbaik). Tapi jika tidak, maka diapun berdiri (untuk pergi)
Umar bin Al Khaththab berkata, "Janganlah kalian menceritakan manusia, sebab itu merupakan penyakit. Berdzikirlah kepada Allah, sebab itu merupakan obat/penawar"
7. Bergunjing termasuk kezhaliman yang harus mendapatkan maaf dari saudaranya (penghalalan dari saudaranya) karena mencakup masalah agama dan dunia, sebagaimana sabda Rasulullah,
"Barangsiapa yang memiliki kezhaliman terhadap saudaranya, maka hendaklah dia meminta penghalalan pada saudaranya itu dari kezhaliman tersebut" (HR Bukhari).
8. Perbuatan ini (membicarakan orang lain/berprasangka buruk kepada orang lain) merupakan dosa besar, dan orang yang membicarakan hal ini (bergunjing) harus bertobat kepada Allah 'Azza wa Jalla.
9. Menggunjing/Membicarakan orang lain yang diperbolehkan adalah membicarakan orang yang fasik, yang terang-terangan dan menampakkan kefasikannya.
Juga diperbolehkan membicarakan orang lain yang ditujukan kepada seorang hakim , dimana hendak meminta bantuannya untuk mengambil haknya dari orang yang menzhalimi tersebut, seperti contoh :"Fulan telah menzhalimiku, merampas (sesuatu) dariku, mengkhianatiku, memukulku, menuduhku berzina, atau melakukan kejahatan terhadapku. Adalah termasuk dalam sesuatu yang dihalalkan (bila menceritakan keburukan seseorang) saat meminta fatwa, seperti ucapan Hindun kepada Nabi SAW, "Sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang sangat kikir. Dia tidak memberiku nafkah yang dapat mencukupi aku dan anakku, sehingga aku harus mengambil (hartanya) tanpa sepengetahuannya" Nabi SAW kemudian bersabda kepadanya, "Ya Ambillah"
Demikian pula (diperbolehkan menceritakan keburukan seseorang) jika menceritakan keburukannya itu mengandung suatu faidah, seperti sabda beliau, "Adapun Mu'awiyah, dia orang yang miskin tidak mempunyai harta. Adapun Abu Jahm, dia tidak dapat meletakkan tongkatnya dari tengkuknya (ringan tangan)" Ucapan beliau ini adalah sesuatu yang dibolehkan, sebab maksud beliau adalah agar Fathimah Binti Qais tidak terkecoh oleh keduanya. Semua itu dikatakan oleh Al Muhasibi.
Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir.
Allah Ta'ala melarang hamba-hamba Nya yang beriman dari banyak prasangka, yaitu melakukan tuduhan dan pengkhianatan terhadap keluarga dan kaum kerabat serta ummat manusia secara keseluruhan yang tidak pada tempatnya, karena sebagian dari prasangka itu murni menjadi perbuatan dosa.
Oleh karena itu, jauhilah banyak berprasangka sebagai suatu kewaspadaan. Amirul Mukminin 'Umar bin Al Khaththab RA pernah berkata, "Janganlah kalian berprasangka terhadap ucapan yang keluar dari saudara Mukminmu kecuali dengan prasangka baik. Sedangkan engkau sendiri mendapati adanya kemungkinan ucapan itu mengandung kebaikan."
Malik meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulllah SAW bersabda, "Jauhilah prasangka, karena prasangka itu adalah sedusta-dusta perkataan. Janganlah kalian meneliti rahasia orang lain, mencuri dengan, bersaing yang tidak baik, saling dengki, saling membenci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian ini sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara." (hadits ini juga diriwayatkan oleh Bukhari, dan Muslim, juga Abu Dawud)
Pada ayat ini juga terdapat pemberitahuan tentang larangan berghibah (penjelasannya sama dengan Ringkasan dari Tafsir Al Qurthubi)
Ghibah masih diperbolehkan bila terdapat kemaslahatan yang lebih kuat, seperti misalnya dalam Jarh (menilai cacat dalam masalah hadits), Ta'dil (menilai baik/peninjauan kembali dalam masalah hadits), dan nasihat, seperti perkataan Nabi SAW kepada Fatimah binti Qais ketika dilamar oleh Mu'awiyah dan Abul Jahm (seperti diterangkan dalam penjelasan sebelumya dalam Ringkasan Tafsir Al Qurthubi).
Adapun bagi orang-orang yang berghibah/menggunjing orang lain, diwajibkan bertobat atas kesalahannya, dan melepaskan diri darinya (bergunjing) serta berkemauan keras untuk tidak mengulanginya lagi.
Kemudian ada sebagian ulama yang menambahkan syaratnya, bahwa bagi yang suka bergunjing/menggunjingkan orang lain, maka dia harus meminta maaf kepada orang yang digunjingkannya, atau dia harus memberikan sanjungan kepada orang yang telah digunjingkannya di tempat-tempat dimana ia telah mencelanya.
Selanjutnya, ia menghindari gunjingan orang lain atas orang itu sesuai dengan kemampuannya. Sehingga gunjingan dibayar dengan pujian..
javascript:void(0)
Wallahua'alam bishowab..
Ringkasan Tafsir Al Hujurat ayat 12 dari Tafsir Al Qurthubi dan Tafsir Ibnu Katsir.
"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan dagin saudaranyan yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang" (Al Hujuraat:12)
Penjelasan ayat diatas, dari diringkas dari kitab Tafsir Al Qurthubi.
Pada ayat ini terdapat beberapa masalah yang bisa dibahas.
1. Firman Allah ,"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka"
Menurut satu pendapat, ayat ini diturunkan tentang 2 orang sahabat Nabi SAW yang menggunjing seorang temannya. Peristiwa itu bermula dari kebiasaan Nabi SAW saat melakukan perjalanan, dimana beliau selalu menggabungkan seorang lelaki miskin kepada dua orang lelaki kaya, dimana lelaki miskin ini bertugas untuk melayani mereka.
Dalam kasus ini, beliau kemudian menggabungkan Salman kepada dua orang lelaki kaya. Singkat cerita, pada saat 2 orang lelaki kaya tersebut lapar (tidak ada lauk maupun makanan yang dpt dimakan) maka mereka menyuruh Salman untuk meminta makan kepada Nabi SAW. Setelah bertemu Nabi, beliau berkata kepada Salman, "Pergilah engkau kepada Usamah bin Zaid, katakanlah padanya, jika dia mempunyai sisa makanan, maka hendaklah dia memberikannya kepadamu"
Setelah bertemu dengan Usamah, beliau mengatakan bahwa beliau tidak memiliki apapun. Akhirnya Salman kembali kepada kedua lelaki kaya tersebut dan memberitahukan hal itu (tidak adanya makanan). Namun kedua lelaki tersebut berkata, "Sesungguhnya Usamah itu mempunyai sesuatu, tapi dia itu kikir" Selanjutnya mereka mengutus Salman ketempat sekelompok sahabat, namun Salman tidak menemukan apapun di tempat mereka.
Akhirnya kedua lelaki tersebut memata-matai Usamah untuk melihat apakah Usamah memiliki sesuatu atau tidak. Tindakan mereka ini akhirnya terlihat oleh Nabi SAW, dan beliau bersabda, "Mengapa aku melihat daging segar di mulut kalian berdua?" Mereka berkata, "Wahai Nabi Allah, demi Allah, hari ini kami tidak makan daging atau yang lainnya." Beliau SAW bersabda, "Tapi, kalian sudah memakan daging Usamah dan Salman". Maka turunlah ayat ini ,"Hai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa".
Demikianlah yang dituturkan Ats-Tsa'labi.
Maksud Firman Allah diatas adalah : Janganlah kalian mempunyai dugaan buruk terhadap orang yang baik, jika kalian tahu bahwa pada zhahirnya mereka itu baik.
2. Dalam Shohih Al Bukhari dan Shahih Muslim terdapat hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Nabi bersabda,
"Janganlah kalian berprasangka (curiga), karena sesungguhnya prasangka itu pembicaraan yang paling dusta. Janganlah kalian saling mencari-cari berita atau mendengarkan aib orang, janganlah kalian mencari-cari keburukan orang, janganlah kalian saling menipu, janganlah kalian saling mendengki, janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian saling memboikot, dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara (Lafaz hadits ini milik Al Bukhari)
Para Ulama (Madzhab Maliki) berkata, "Dengan demikian prasangka (yang dimaksud) disini, juga pada ayat tersebut, adalah tuduhan (kecurigaan) dan adanya sesuatu yang perlu diwaspadai. Tuduhan (kecurigaan) yang terlarang adalah tuduhan yang tidak ada sebabnya, seperti seseorang dituduh berzina atau mengkonsumsi khamer, misalnya, padahal tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan pada tuduhan tersebut dalam dirinya.
Bukti bahwa prasangka disini berarti tuduhan (kecurigaan) adalah Firman ALlah Ta'ala, "Dan janganlah mencari-cari kesalahan orang lain".
Hal itu disebabkan sejak semula pada diri orang yang berprasangka itu sudah ada tuduhan (kecurigaan), kemudian dia berusaha mencari tahu, memeriksa, melihat dan mendengar berita mengenai hal itu, guna memastikan tuduhan/kecurigaan yang ada pada dirinya itu. Oleh karena itu Nabi SAW melarang hal itu.
Jadi intinya, prasangka yang terlarang/dilarang adalah prasangka yang tidak memiliki tanda dan sebab yang pasti. Maksudnya, bila orang yang kita curigai itu pada zhahirnya baik, tidak ada cerita/informasi sebelumnya tentang keburukan yang dia pernah lakukan, maupun tabiatnya yang memang tercela, serta memang orang tersebut adalah orang yang "baik" maka kita tidak boleh berprasangka buruk kepada orang tersebut. Berbeda bila orang tersebut memang terkenal akan keburukannya, suka menipu, suka berbuat onar, mencari masalah, yang pada intinya orang tersebut memang terkenal dengan tabiat buruknya, suka berbuat keburukan terang-terangan, maka diperbolehkan kita berhati-hati dan tidak mudah / langsung percaya terhadap apa yang dikatakannya/informasinya (harus dilakukan cek dan ricek kebenaran berita tersebut)
3. Prasangka (dugaan) itu memiliki kondisi :
a. Kondisi yang diketahui dan diperkuat oleh salah satu dari sekian banyak bukti/dalil, sehingga hukum dapat ditetapkan dengan prasangka (dugaan) pada kondisi ini.
b. Kondisi dimana terdapat sesuatu (asumsi/dugaan) didalam hati tanpa ada petunjuk (manakah yang lebih kuat: apakah sesuatu tersebut ataukah lawannya), sehingga sesuatu itu tidak menjadi lebih baik dari lawannya. Ini adalah Keraguan. Hukum sesuatu tidaklah boleh ditetapkan dengan keraguan ini. Inilah yang terlarang.
Nabi SAW bersabda, "Apabila salah seorang diantara kalian menyanjung saudaranya, maka hendaklah dia mengatakan: 'Saya kira anu, dan saya tidak menyucikan (menganggap suci) seseorang kepada Allah (HR Bukhari, tentang larangan menyanjung jika itu berlebihan dan dikhawatirkan akan menimbulkan Fitnah atas tersanjung, HR Abu Dawud, HR Ibnu Majah, dan HR Ahmad)
Mayoritas Ulama berpendapat bahwa memiliki prasangka buruk terhadap orang yang zhahirnya baik adalah tidak boleh. Namun tidak masalah mempunyai dugaan buruk terhadap orang yang zhahirnya buruk. Demikianlah yang dikatakan Al Mahdawi.
4. Firman Allah Ta'ala "Dan janganlah mencari-cari kesalahan orang lain"
Makna ayat tersebut adalah ; Ambilah apa yang nampak, dan janganlah kalian membuka aurat kaum muslimin. Maksudnya, salah seorang dari kalian tidak boleh mencari aib saudaranya hingga menemukannya setelah Allah menutupinya. Dalam kitab Abu Daud, terdapat hadits dari Mu'awiyah, dia berkata, "Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya jika engkau mencari-cari aib manusia, maka engkau telah menghancurkan mereka, atau hampir menghancurkan mereka" (HR Abu Daud)
Diriwayatkan dari Abu Barzah Al Aslamai, dia berkata, Rosulullah SAW bersabda, "Wahai sekalian orang-orang yang lidahnya telah menyatakan beriman namun keimanan belum masuk ke dalam hatinya. Janganlah kalian menggunjing kaum muslimin, dan jangan pula mencari-cari kesalahan mereka. Sebab barangsiapa yang mencari-cari kesalahan mereka, maka Allah akan mencari-cari kesalahannya. Dan, barangsiapa yang kesalahannya dicari-cari Allah, maka Allah akan membukakan kesalahannya itu di rumahnya" (HR Abu Daud)
Abdurrahman bin Auf berkata, "Suatu malam, aku meronda bersama Umar bin Al Khaththab di Madinah. Tiba-tiba, terlihatlah oleh kami pelita di dalam rumah yang pintunya disegani oleh orang-orang. Mereka mengeluarkan suara yang keras dan ribut. Umar berkata, "Ini adalah rumah Rabi'ah bin Umayah bin Khalaf, dan sekiranya mereka sedang minum-minum. Bagaimana menurutmu? Aku menjawab, "Menurutku sesungguhnya kita telah melakukan apa yang dilarang oleh Allah. Sebab Allah Ta'ala berfirman "Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan kini kita telah mencari-cari kesalahan orang lain" Umarpun kemudian pergi dan meninggalkan mereka.
Amr bin Dinar berkata, 'Seorang penduduk Madinah mempunyai seorang saudara yang sedang sakit. Dia menjenguk saudarinya itu, lalu saudarinya itu meninggal dunia. Maka dia pun memakamnya. Dia turun ke dalam makam saudarinya, namun kantungnya yang berisi uang terjatuh. Maka dia meminta keluarganya untuk menggali makam saudarinya. Dia mengambil kantung itu lalu berkata, 'Sungguh, akan kubuka (makamnya) agar dapat kulihat bagaimanakah keadaannya.' Dia kemudian membongkar makam saudarinya itu, dan ternyata makam itu penuh dengan nyala api. Dia kemudian mendatangi ibunya dan berkata, 'Beritahukanlah padaku apa yang telah dilakukan saudariku?' Ibunya berkata, 'Saudarimu sudah meninggal dunia. Lalu, mengapa engkau bertanya tentang perbuatannya?; Lelaki itu terus mendesak ibunya, hingga ibunya berkata, 'Diantara perbuatannya adalah mengakhirkan shalat dari waktunya. Apabila para tetangga tidur, dia berangkat ke rumah mereka, menempelkan telinganya di rumah mereka, mencari-cari keburukan mereka, dan menyebarkan rahasia mereka' Orang itu berkata, 'Karena inilah saudariku celaka'".
5.Firman Allah Ta'ala, 'Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain"
Allah 'azza wa Jalla melarang menggunjing, yaitu engkau menceritakan seseorang sesuai dengan apa yang ada pada dirinya. Tapi jika engkau menceritakan tidak sesuai dengan apa yang ada pada dirinya, maka itu merupakan sebuah kebohongan.
Pengertian itu terdapat dalam sebuah hadits Riwayat Muslim, Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Tahukan kalian apakah menggunjing itu?" Para sahabat menjawab, "Allah dan RasulNya lebih tahu." Beliau bersabda, "Engkau menceritakan hal-hal yang tidak disukai saudaramu" Ditanyakan kepada beliau, :Bagaimana pendapatmu jika apa yang kau katakan memang terdapat pada saudaraku?" Beliau menjawab, "Jika apa yang engkau katakan terdapat padanya, maka sesungguhnya engkau telah menggunjingnya. Tapi jika apa yang engkau katakan tidak terdapat padanya, maka sesungguhnya engkau telah berdusta kepadanya (HR Muslim)
Al Hasan berkata, "Menggunjing itu ada 3 macam, dan semuanya terdapat dalam kitab Allah :
a, Ghiibah (menggunjing), b Ifk (cerita bohong) c, Buhtaan (berdusta).
Ghibah adalah engkau menceritakan apa yang ada pada diri saudaramu.
Ifk adalah engkau menceritakannya sesuai dengan berita yang sampai padamu tentangnya.
Buhtaan adalah engkau menceritakan apa yang tidak ada padanya.
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Ma'iz Al Aslami datan kepada Nabi SAW dan mengaku berzina, kemudian beliau merajamnya. Beliau kemudian mendengar dua lelaki dari sahabatnya, salah satunya berkata kepada yang lainnya, "Lihatlah orang yang dilindungi Allah itu. Dia tidak membiarkan dirinya, hingga dirinya dirajam seperti dirajamnya anjing." Beliau tidak mengomentari kedua orang itu, lalu beliau berjalan beberapa saat, hingga bertemu dengan bangkai keledai yang mengangkat kakinya. Beliau bertanya, "Dimana si fulan dan si fulan?" Kedua orang itu menjawab, "Ini kami wahai Rasulullah "Beliau bersabda, "Turunlah kalian makanlah bangkai keledai ini!" Keduanya berkata, "Wahai Rasulullah, siapa yang akan memakan bangkai (keledai) ini." Beliau bersabda, "Apa yang telah kalian nodai dari kehormatan saudaramu adalah lebih menjijikan daripada memakan bangkai keledai itu. Demi Dzat yang jiwaku berada didalam kekuasaan Nya, sesungguhnya dia sekarang ini telah berada di sungai surga, dimana dia menyelam ke dalamnya" (HR Abu Daud)
6. FIrman Allah Ta'ala, "Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?"
Allah menyerupakan menggunjing dengan memakan bangkai. Sebab orang yang sudah mati tidak mengetahui dagingya dimakan, sebagaiman orang yang masih hidup tidak mengetahui gunjingan yang dilakukan orang yang menggunjingnya.
Ibnu Abbas berkata, "Allah membuat perumpamaan ini untuk menggunjing, karena memakan bangkai itu haram lagi jijik. Demikianlah pula menggunjingpun diharamkan dalam agama dan dianggap buruk di dalam jiwa (manusia).
Didalam Kitab Abu Daud, dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda, "Ketika aku melakukan Mi'raj, aku bertemu dengan suatu kaum yang memiliki kuku-kuku yang terbuat dari tembaga. Mereka mencakari wajah dan dada mereka. Aku berkata, "Siapakah mereka itu wahai Jibril?" Jibril Menjawab, "Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (menggunjing) dan menodai kehormatan mereka" (HR Abu Daud)
Diriwayatkan dari Al Mustaurid, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang memakan makanan karena (menggunjing) seorang muslim, maka Allah akan memberinya makanan yang serupa dengan makanan itu dari api neraka Jahannam. Barangsiapa yang diberikan pakaian/penghargaan karena (menjelek-jelekan) seorang muslim, maka Allah akan memberinya pakaian yang serupa dengan pakaian itu dari api neraka. Barangsiapa yang mendirikan seseorang di sebuah tempat karena ingin mendapatkan reputasi baik dan riya, (dimana dia menyifatinya dengan baik, bertakwa dan mulia, dan dia pun mempopulerkannya dengan sifat itu, juga menjadikannya sebagai wasilah untuk mendapatkan tujuan pribadinya), maka Allah akan mendirikannya ditempat orang-orang yang ingin mendapatkan reputasi baik dan riya pada hari kiamat kelak" (HR Abu Daud)
Maimun Bin Siyah tidak pernah menggunjing seseorang, dan diapun tidak pernah membiarkan seseorang menggunjing seseorang lain di dekatnya. Dia melarangnya, Jika orang itu berhenti, (maka itu yang terbaik). Tapi jika tidak, maka diapun berdiri (untuk pergi)
Umar bin Al Khaththab berkata, "Janganlah kalian menceritakan manusia, sebab itu merupakan penyakit. Berdzikirlah kepada Allah, sebab itu merupakan obat/penawar"
7. Bergunjing termasuk kezhaliman yang harus mendapatkan maaf dari saudaranya (penghalalan dari saudaranya) karena mencakup masalah agama dan dunia, sebagaimana sabda Rasulullah,
"Barangsiapa yang memiliki kezhaliman terhadap saudaranya, maka hendaklah dia meminta penghalalan pada saudaranya itu dari kezhaliman tersebut" (HR Bukhari).
8. Perbuatan ini (membicarakan orang lain/berprasangka buruk kepada orang lain) merupakan dosa besar, dan orang yang membicarakan hal ini (bergunjing) harus bertobat kepada Allah 'Azza wa Jalla.
9. Menggunjing/Membicarakan orang lain yang diperbolehkan adalah membicarakan orang yang fasik, yang terang-terangan dan menampakkan kefasikannya.
Juga diperbolehkan membicarakan orang lain yang ditujukan kepada seorang hakim , dimana hendak meminta bantuannya untuk mengambil haknya dari orang yang menzhalimi tersebut, seperti contoh :"Fulan telah menzhalimiku, merampas (sesuatu) dariku, mengkhianatiku, memukulku, menuduhku berzina, atau melakukan kejahatan terhadapku. Adalah termasuk dalam sesuatu yang dihalalkan (bila menceritakan keburukan seseorang) saat meminta fatwa, seperti ucapan Hindun kepada Nabi SAW, "Sesungguhnya Abu Sufyan adalah orang yang sangat kikir. Dia tidak memberiku nafkah yang dapat mencukupi aku dan anakku, sehingga aku harus mengambil (hartanya) tanpa sepengetahuannya" Nabi SAW kemudian bersabda kepadanya, "Ya Ambillah"
Demikian pula (diperbolehkan menceritakan keburukan seseorang) jika menceritakan keburukannya itu mengandung suatu faidah, seperti sabda beliau, "Adapun Mu'awiyah, dia orang yang miskin tidak mempunyai harta. Adapun Abu Jahm, dia tidak dapat meletakkan tongkatnya dari tengkuknya (ringan tangan)" Ucapan beliau ini adalah sesuatu yang dibolehkan, sebab maksud beliau adalah agar Fathimah Binti Qais tidak terkecoh oleh keduanya. Semua itu dikatakan oleh Al Muhasibi.
Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir.
Allah Ta'ala melarang hamba-hamba Nya yang beriman dari banyak prasangka, yaitu melakukan tuduhan dan pengkhianatan terhadap keluarga dan kaum kerabat serta ummat manusia secara keseluruhan yang tidak pada tempatnya, karena sebagian dari prasangka itu murni menjadi perbuatan dosa.
Oleh karena itu, jauhilah banyak berprasangka sebagai suatu kewaspadaan. Amirul Mukminin 'Umar bin Al Khaththab RA pernah berkata, "Janganlah kalian berprasangka terhadap ucapan yang keluar dari saudara Mukminmu kecuali dengan prasangka baik. Sedangkan engkau sendiri mendapati adanya kemungkinan ucapan itu mengandung kebaikan."
Malik meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulllah SAW bersabda, "Jauhilah prasangka, karena prasangka itu adalah sedusta-dusta perkataan. Janganlah kalian meneliti rahasia orang lain, mencuri dengan, bersaing yang tidak baik, saling dengki, saling membenci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian ini sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara." (hadits ini juga diriwayatkan oleh Bukhari, dan Muslim, juga Abu Dawud)
Pada ayat ini juga terdapat pemberitahuan tentang larangan berghibah (penjelasannya sama dengan Ringkasan dari Tafsir Al Qurthubi)
Ghibah masih diperbolehkan bila terdapat kemaslahatan yang lebih kuat, seperti misalnya dalam Jarh (menilai cacat dalam masalah hadits), Ta'dil (menilai baik/peninjauan kembali dalam masalah hadits), dan nasihat, seperti perkataan Nabi SAW kepada Fatimah binti Qais ketika dilamar oleh Mu'awiyah dan Abul Jahm (seperti diterangkan dalam penjelasan sebelumya dalam Ringkasan Tafsir Al Qurthubi).
Adapun bagi orang-orang yang berghibah/menggunjing orang lain, diwajibkan bertobat atas kesalahannya, dan melepaskan diri darinya (bergunjing) serta berkemauan keras untuk tidak mengulanginya lagi.
Kemudian ada sebagian ulama yang menambahkan syaratnya, bahwa bagi yang suka bergunjing/menggunjingkan orang lain, maka dia harus meminta maaf kepada orang yang digunjingkannya, atau dia harus memberikan sanjungan kepada orang yang telah digunjingkannya di tempat-tempat dimana ia telah mencelanya.
Selanjutnya, ia menghindari gunjingan orang lain atas orang itu sesuai dengan kemampuannya. Sehingga gunjingan dibayar dengan pujian..
javascript:void(0)
Wallahua'alam bishowab..
Pengertian Ittiba'
Ittiba'
Seringkali kita mendengar kalimat...."kita harus berittiba' kepada Nabi SAW"
Apa sih Ittiba' itu? Bagaimana contoh Ittiba' yang benar? Apakah Ittiba' itu wajib, sunnah atau mubah? Apa standarisasi Ittiba' us-salaf" dengan segala perkembangan dan perubahannya? Berikut ada artikel yang Insya Allah bisa menjadi penjelasan kepada kita tentang Makna dan arti dari Ittiba' serta hukumnya itu sendiri.
Semoga bermanfaat.
Wassalam
Pengertian Ittiba’
Ittiba’ secara bahasa berarti iqtifa’ (menelusuri jejak), qudwah (bersuri teladan) dan uswah (berpanutan).
Ittiba’ terhadap Al-Qur’an berarti menjadikan Al-Qur’an sebagai imam dan mengamalkan isinya. Ittiba’ kepada Rasul berarti menjadikannya sebagai panutan yang patut diteladani dan ditelusuri langkahnya. (Mahabbatur Rasul, hal.101-102).
Adapun secara istilah ittiba’ berarti mengikuti seseorang atau suatu ucapan dengan hujjah dan dalil. Ibnu Khuwaizi Mandad mengatakan : “Setiap orang yang engkau ikuti dengan hujjah dan dalil padanya, maka engkau adalah muttabi’ (Ibnu Abdilbar dalam kitab Bayanul ‘Ilmi, 2/143).
Allah memerintahkan agar semua kaum muslimin ber-ittiba’ kepada Rasulullah SAW, seperti Firman-Nya: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik., (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kesenangan) hari akhirat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab:21)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat ini : “Ayat ini merupakan azas pokok lagi agung dalam bersuri teladan kepada Rasulullah SAW dalam segala ucapan, perbuatan dan hal ihwalnya…”(Tafsir Ibnu Katsir, 3/475). Sedangkan Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam kitabnya Al-Hadits Al-Hujjatun bi Nafsihi pada hal.35 menyatakan : “Ayat ini memberi pengertian bahwa Rasulullah SAW adalah panutan kita dan suri teladan bagi kita dalam segala urusan agama…”
Ibnu Qoyyim-rahimulloh – dalam kitabnya I’lamu Muwaqqi’in 2/139 menukil ucapan Abu Daud -rahimahullah- , beliau berkata:” Aku mendengar imam Ahmad bin hanbal -rahimahullah- menyatakan: Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Rosulullah SAW dan para Shohabat RA .”
Dari perkataan para imam diatas, dapat dipahami bahwa yang dinamakan ittiba’ ialah mengikuti Al Qur’an dan As-Sunnah yang shahihah dengan pemahaman salaful ummah, karena dua perkara ini adalah hujjah yang qathiyyah sebagaimana telah disepakati oleh para ulama.
Oleh karena itu Imam Ahmad bin hambal berkata:’ Janganlah engkau taqlid kepadaku, kepada malik, Sufyan Ats Tsauri dan Al Auza’I, tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” {lihat: A’lamul Muwaqi’in 2/139}
Sedangkan para imam yang disebut oleh imam ahmad diatas, tidak pernah mengambil pendapat rijal (orang-orang) tapi mereka mengambilnya dai Al Qur’an dan As Sunnah ash shahihah lengkap dengan perkataan para Sahabat RA .
Jika ada orang-orang yang mengikuti mereka (para imam) dengan dalil dan hujjah yang mereka ambil, maka dia adalah seorang muttabi’. Demikian pula jika ada orang yang mengikuti Syaikh Muhamamd Nashiruddin Al Albani , Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baaz , Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin -rahimakumullah- atau ulama yang lainnya karena berdasarkan hujjah dari Al Qur’an dan Assunnah dengan pemahaman salaful Ummah yang ada pada mereka, maka orang ini yang mengikuti para ulama tersebut adalah seorang muttabi’.
Ber-uswah kepada Rasulullah saw ialah mengerjakan sesuai dengan apa yang dikerjakan oleh beliau, baik berupa amalan sunnah atau pun wajib dan meninggalkan semua yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW baik perkara itu makruh, apalagi yang haram. Jika beliau SAW mengucapkan suatu ucapan, kita juga berucap seperti ucapan beliau, jika beliau mengerjakan ibadah, maka kita mengikuti ibadah itu dengan tidak ditambah atau dikurangi. Jika beliau menganggungkan sesuatu, maka kita juga mengagungkannya.
Begitu pula jika Rasulullah SAW meninggalkan sesuatu maka kita juga harus meninggalkan selama perbuatan atau ucapan tersebut bukan suatu kekhususan bagi beliau Rasulullah SAW. Dan jika beliau mengagungkan sesuatu maka kita juga mengagungkannya, dan demikian seterusnya.
Jadi, beruswah kepada Rasulullah SAW berarti kita mengesakannya dalam hal mutaba’ah (mengikuti) sebagaimana kita mengesakan Allah Azza wa Jalla dalam beribadah. Hal ini merupakan konsekuensi dari ucapan syahadat Laa Ilaha Illallah wa Asyhadu Anna Muhammadan rasulullah, jika hilang salah satu hal dari diri seseorang kedua kalimat persaksian tersebut maka belum dapat dikatakan seseorang tersebut sebagai muslim.
Namun perlu diperhatikan bahwa mustahil seseorang itu ber-uswah atau ber-ittiba’ kepada Rasulullah saw jika dia jahil (bodoh) terhadap sunnah-sunnah dan petunjuk-petunjuk Rasulullah saw. Oleh sebab itu jalan satu-satunya untuk ber-uswah kepada Rasulullah adalah dengan mempelajari sunnah-sunnah beliau – ini menunjukkan bahwa atba’ (pengikut Rasul) adalah ahlul bashirah (orang yang berilmu).
Selain itu, cukup banyak ayat-ayat Al-Qur’an agar kita senantiasa mengikuti sunnah berkaiatan dengan Ittiba' seperti :
“Barangsiapa yang menta’ati Rasul berarti dia menta’ati Allah.. ” (An-Nisa’:80)
“Barangsiapa yang ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya Allah akan memasukkannya ke dalam Syurga…” (An-Nisa’:13) … dan ayat-ayat yang lainnya.
Dan perkataan Rasulullah merupakan perkataan yang harus dipercaya, sebab “Dan tidaklah ia berkata-kata dari hawa nafsunya melainkan wahyu yang disampaikan Allah kepadanya.” (An-Najm:4)
Bahkan Rasulullah mengingkari orang-orang yang beramal tetapi mereka tidak mau mencontoh seperti apa yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah :
“Barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim, 1718).
Dalam hadits ini ada faedah penting, yaitu : Niat yang baik semata tidak dapat menjadikan suatu amalan menjadi lebih baik dan akan diterima di sisi Allah , akan tetapi harus sesuai dengan cara yang pernah diajarkan oleh Rasulullah saw. Oleh sebab itu Nabi menutup jalan bagi orang yang suka mengada-ngada dalam ibadah dengan ucapan : “Siapa yang benci (meninggalkan) sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku“.(HR. Bukhari). Dan ini berlaku bagi seluruh sunnah yang telah ditetapkan beliau.
Maka dengan demikian kedudukan ittiba’ (mengikuti contoh kepada Ralullah saw) dalam Islam adalah wajib, setiap orang yang mengaku muslim mesti meninggikannya, bahkan ia merupakan pintu bagi seseorang setelah masuk Islam. Sehingga Ittiba’ kepada Rasulullah adalah salah satu syarat agar diterimanya amal seseorang.
Sedangkan syarat diterimanya ibadah seseorang yang disepakati oleh para ulama, ada dua:
Pertama, mengikhlaskan niat ibadah hanya kepada Allah.
Kedua, harus mengikuti dan cocok dengan apa yang diajarkan Rasulullah SAW.
Imam Al Baihaqi -rahimahullah- mengatakan:” Jika ittiba’ kepada Rasulullah SAW merupakan suatu kewajiban dan tidak ada cara lain untuk bisa berittiba’ kepada sunnah beliau kecuali dengan mengilmuinya, maka tidak ada jalan lain untuk bisa mengilmuinya kecuali dengan menerima semua apa yang datang dari beliau. Oleh sebab itu beliau memerintahkan umatnya untuk mengajarkan dan mendakwahkan sunnah kepada ummat.” [lihat Al I’tiqod Wal Hidayah Ila Sabili Ar Rasyad hal 154]
Sunnah Rasulullah SAW dibagi menjadi dua yaitu: Sunnah fi’liyah dan sunnah tarqiyyah. Segala sesuatu yang dikerjakan Rasulullah SAW termasuk sunnah yang kita kerjakan selama bukan merupakan kekhususan bagi beliau. Sunnah ini yang yang dinamakan sunnah fi’liyah. Sedangkan segala sesuatu yang ditinggalkan beliau adalah termasuk sunnah untuk kita tinggalkan dan ini dinamakan sunnah tarkiyyah.
Al Hafidz Ibnu Rajab Al Hambali -rahimahullah- dalam kitabnya Fadllu ‘Ilmi Salaf hal 31 beliau berkata”…Segala sesuatu yang disepakati oleh salafush shalih untuk ditinggalkan maka tidak boleh diamalkan karena mereka tidak akan meninggalkan suatu amalan karena mereka tahu bahwa amalan itu tidak dikerjakan Rasulullah SAW “
Dasar kaidah sunnah tarkiyyah ini diambil dari beberapa dalil. Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori -rahimahullah- (no 5063) dan Imam Muslim -rahimahullah- (no 1401) dari anas bin malik -Rodliallohu anhu- , dia berkata :
”Datang tiga orang ke rumah istri Rasulullah SAW . Ketika mereka dikabari tentang ibadah Rasulullah SAW mereka merasa bahwa ibadah mereka amat sedikit. Oleh karena itu mereka mengatakan’Ada apanya kita dibanding Rasulullah SAW? padahal beliau telah diampuni oleh Allah dosanya yang lalu maupun yang akan datang’, salah satu diantara mereka berkata,’Saya akan sholat semalam suntuk selama-lamanya’ yang lainya berucap,’ Saya akan berpuasa sepanjang masa dan tidak akan berbuka.’ dan yang lainnya berkata,’saya akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya’ (mendengar hal ini) Rasulullah SAW pun bersabda,”Kalian mengucapkan begini dan begitu?! Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling taqwa kepadaNya, namun aku berpuasa juga berbuka, aku sholat dan juga tidur serta aku pun menikahi wanita. Maka barangsiapa yang benci terhadap sunnahku maka dia bukan dari golonganku” [HR Bukhori dan Muslim]
Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid -Hafidlahullah- dalam kitabnya Ilmu Ushulil Bida’ hal 108 menjelaskan hadits tersebut :’Hadits ini secara jelas mengisyaratkan tentang usaha tiga orang yang tersebut dalam hadits untuk mengerjakan ibadah-ibdah yang pada dasarnya memang disyariatkan, namun kaifiyyah (tata cara) yang tidak pernah dilakukan Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam . Puasa pada asalnya ibadah yang dianjurkan. Qiyamul Lail pun asalnya dalah ibadah yang disukai . Tetapi kaifiyah dan sifat ibadah yang akan dilakukan oleh tiga orang tadi ditinggalkan oleh Rasulullah SAW .dalam praktek ibadahnya dan tidak pernah diajarkan oleh beilau, maka beliau pun mengingkari perbuatan mereka. Pengingkaran Rasulullah SAW tesebut sesuai sabda beliau, "barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalan itu tertolak.”[HR Muslim 1718]. “
Al Imam Ibnul Qoyyim Al Jauziyah dalam kitabnya Zaadul Ma’ad 1/69-70 mengatakan :”Kalau kebahagian seorang hamba di dunia dan akherat tergantung dengan petunjuk Rasulullah SAW maka wajib bagi setiap hamba yang ingin mendapatkannya untuk mengetahui dan memahami Sunnah Rasulullah SAW , petunjuk-petunjuk dan jalan hidup beliau sehingga dapat digolongkan sebagai atba’ (pengikut) beliau..”
Setelah mempelajari sunnah-sunnah beliau Rasulullah SAW , maka wajib bagi kita selanjutnya adalah tathbiqu Sunnah (mengamalkan sunnah) baik secara individu maupun masyarakat. Di dalam menjalankan sunnah ini tidak boleh hanya mengamalkan sebagian dan meninggalkan sebagian lainnya. Tidak boleh hanya mementingkan sholat saja tanpa mengamalkan yang lain, begitu juga tidak boleh mementingkan akhlak saja namun tauhidnya tidak. Akan tetapi harus mengamalkan sunnah Rasulullah SAW baik yang berkaitan dengan masalah I’tiqod, ibadah, muamalah, akhlaq, adab, hubungan sosial ataupun lainnya.
Salah satu cara dalam tahthbiqu sunnah adalah dengan menyebarkan ilmu syar’i yang telah diwariskan Rasulullah SAW kepada ummat. Jadi merupakan kewajiban bagi setiap orang yang mempunyai illmu syari tersebut untuk meyampaikan dan mendakwahkan kepada ummat tentang sunnah.
Sekarang setelah kita mengetahui definisi dari Ittiba', hukum dari ittiba', maka pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana ittiba' kepada sahabat RA, sebagaimana seperti yang dikatakan oleh Imam Ibnu Qoyyim-rahimulloh – dalam kitabnya I’lamu Muwaqqi’in 2/139 menukil ucapan Abu Daud -rahimahullah- , beliau berkata:” Aku mendengar imam Ahmad bin hanbal -rahimahullah- menyatakan: Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Rosulullah SAW dan para Shohabat RA ., yang mana ittiba' para sahabat adalah mengikuti Rasul, dan juga mengikuti Al Qur’an dan As-Sunnah yang shahihah dengan pemahaman mereka (salaful ummah), karena dua perkara ini adalah hujjah yang qathiyyah sebagaimana telah disepakati oleh para ulama.
Sebagaimana kita ketahui dari penjelasan diatas bahwa Ittiba' para sahabat (ittiba' salaf) adalah mengikuti sunnah para sahabat (ulama salaf) tersebut. Selanjutnya bagaimanakan kita mengikuti sunnah para sahabat, yaitu dengan mengikuti kaidah-kaidah mereka dalam memahami Kitabullah dan Sunnah Rasulullah tersebut, yang mana para sahabat ini memiliki keunggulan dalam memahami nash Al Quran serta hadits Rasulullah, dikarenakan kemampuan mereka dan keunggulan bahasa Arab mereka, melebihi orang-orang dari luar Arab dalam melafazhkan dan memahami nash (yang tertuliskan dalam bahasa Arab itu)
Jadi pemahaman Ittiba' saat ini selain dengan pengertian yang sudah dijelaskan sebelumnya diatas yaitu, mengikuti apa yang datang dari Rasulullah SAW dan para Shohabat RA, juga dengan cara memahami Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW, dengan menggunakan manhaj-manhaj para sahabat (salaf), seperti mengikuti kaidah-kaidah yang harus dipakai dalam memahami dan menafsirkan nash-nash dan mengkompromikan nash-nash jika terjadi perbedaan dan pertentangan, terutama setelah menyebarnya Islam di luar Arab dan lemahnya penguasaan mereka terhadap bahasa Arab, juga belajar bagaimana cara mengistimbat hukum dengan benar sesuai yang diajarkan oleh Manhaj Salaf (yaitu mengikuti mereka tentang kaidah-kaidah di dalam menafsirkan dan men takwil kan nash, dan dasar-dasar ijtihad dalam memahami prinsip-prinsip dasar hukum Islam) (Salafy, karangan Dr.M.Said.Ramadhan al Buthi)
Demikian kira-kira penjelasan Ittiba' diambil dari beberapa pendapat para Imam/Ulama Salaf dan Khalaf.
Wallahua'lam bishowab.
Seringkali kita mendengar kalimat...."kita harus berittiba' kepada Nabi SAW"
Apa sih Ittiba' itu? Bagaimana contoh Ittiba' yang benar? Apakah Ittiba' itu wajib, sunnah atau mubah? Apa standarisasi Ittiba' us-salaf" dengan segala perkembangan dan perubahannya? Berikut ada artikel yang Insya Allah bisa menjadi penjelasan kepada kita tentang Makna dan arti dari Ittiba' serta hukumnya itu sendiri.
Semoga bermanfaat.
Wassalam
Pengertian Ittiba’
Ittiba’ secara bahasa berarti iqtifa’ (menelusuri jejak), qudwah (bersuri teladan) dan uswah (berpanutan).
Ittiba’ terhadap Al-Qur’an berarti menjadikan Al-Qur’an sebagai imam dan mengamalkan isinya. Ittiba’ kepada Rasul berarti menjadikannya sebagai panutan yang patut diteladani dan ditelusuri langkahnya. (Mahabbatur Rasul, hal.101-102).
Adapun secara istilah ittiba’ berarti mengikuti seseorang atau suatu ucapan dengan hujjah dan dalil. Ibnu Khuwaizi Mandad mengatakan : “Setiap orang yang engkau ikuti dengan hujjah dan dalil padanya, maka engkau adalah muttabi’ (Ibnu Abdilbar dalam kitab Bayanul ‘Ilmi, 2/143).
Allah memerintahkan agar semua kaum muslimin ber-ittiba’ kepada Rasulullah SAW, seperti Firman-Nya: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri teladan yang baik., (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kesenangan) hari akhirat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab:21)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan ayat ini : “Ayat ini merupakan azas pokok lagi agung dalam bersuri teladan kepada Rasulullah SAW dalam segala ucapan, perbuatan dan hal ihwalnya…”(Tafsir Ibnu Katsir, 3/475). Sedangkan Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam kitabnya Al-Hadits Al-Hujjatun bi Nafsihi pada hal.35 menyatakan : “Ayat ini memberi pengertian bahwa Rasulullah SAW adalah panutan kita dan suri teladan bagi kita dalam segala urusan agama…”
Ibnu Qoyyim-rahimulloh – dalam kitabnya I’lamu Muwaqqi’in 2/139 menukil ucapan Abu Daud -rahimahullah- , beliau berkata:” Aku mendengar imam Ahmad bin hanbal -rahimahullah- menyatakan: Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Rosulullah SAW dan para Shohabat RA .”
Dari perkataan para imam diatas, dapat dipahami bahwa yang dinamakan ittiba’ ialah mengikuti Al Qur’an dan As-Sunnah yang shahihah dengan pemahaman salaful ummah, karena dua perkara ini adalah hujjah yang qathiyyah sebagaimana telah disepakati oleh para ulama.
Oleh karena itu Imam Ahmad bin hambal berkata:’ Janganlah engkau taqlid kepadaku, kepada malik, Sufyan Ats Tsauri dan Al Auza’I, tapi ambillah dari mana mereka mengambil.” {lihat: A’lamul Muwaqi’in 2/139}
Sedangkan para imam yang disebut oleh imam ahmad diatas, tidak pernah mengambil pendapat rijal (orang-orang) tapi mereka mengambilnya dai Al Qur’an dan As Sunnah ash shahihah lengkap dengan perkataan para Sahabat RA .
Jika ada orang-orang yang mengikuti mereka (para imam) dengan dalil dan hujjah yang mereka ambil, maka dia adalah seorang muttabi’. Demikian pula jika ada orang yang mengikuti Syaikh Muhamamd Nashiruddin Al Albani , Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baaz , Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin -rahimakumullah- atau ulama yang lainnya karena berdasarkan hujjah dari Al Qur’an dan Assunnah dengan pemahaman salaful Ummah yang ada pada mereka, maka orang ini yang mengikuti para ulama tersebut adalah seorang muttabi’.
Ber-uswah kepada Rasulullah saw ialah mengerjakan sesuai dengan apa yang dikerjakan oleh beliau, baik berupa amalan sunnah atau pun wajib dan meninggalkan semua yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW baik perkara itu makruh, apalagi yang haram. Jika beliau SAW mengucapkan suatu ucapan, kita juga berucap seperti ucapan beliau, jika beliau mengerjakan ibadah, maka kita mengikuti ibadah itu dengan tidak ditambah atau dikurangi. Jika beliau menganggungkan sesuatu, maka kita juga mengagungkannya.
Begitu pula jika Rasulullah SAW meninggalkan sesuatu maka kita juga harus meninggalkan selama perbuatan atau ucapan tersebut bukan suatu kekhususan bagi beliau Rasulullah SAW. Dan jika beliau mengagungkan sesuatu maka kita juga mengagungkannya, dan demikian seterusnya.
Jadi, beruswah kepada Rasulullah SAW berarti kita mengesakannya dalam hal mutaba’ah (mengikuti) sebagaimana kita mengesakan Allah Azza wa Jalla dalam beribadah. Hal ini merupakan konsekuensi dari ucapan syahadat Laa Ilaha Illallah wa Asyhadu Anna Muhammadan rasulullah, jika hilang salah satu hal dari diri seseorang kedua kalimat persaksian tersebut maka belum dapat dikatakan seseorang tersebut sebagai muslim.
Namun perlu diperhatikan bahwa mustahil seseorang itu ber-uswah atau ber-ittiba’ kepada Rasulullah saw jika dia jahil (bodoh) terhadap sunnah-sunnah dan petunjuk-petunjuk Rasulullah saw. Oleh sebab itu jalan satu-satunya untuk ber-uswah kepada Rasulullah adalah dengan mempelajari sunnah-sunnah beliau – ini menunjukkan bahwa atba’ (pengikut Rasul) adalah ahlul bashirah (orang yang berilmu).
Selain itu, cukup banyak ayat-ayat Al-Qur’an agar kita senantiasa mengikuti sunnah berkaiatan dengan Ittiba' seperti :
“Barangsiapa yang menta’ati Rasul berarti dia menta’ati Allah.. ” (An-Nisa’:80)
“Barangsiapa yang ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya Allah akan memasukkannya ke dalam Syurga…” (An-Nisa’:13) … dan ayat-ayat yang lainnya.
Dan perkataan Rasulullah merupakan perkataan yang harus dipercaya, sebab “Dan tidaklah ia berkata-kata dari hawa nafsunya melainkan wahyu yang disampaikan Allah kepadanya.” (An-Najm:4)
Bahkan Rasulullah mengingkari orang-orang yang beramal tetapi mereka tidak mau mencontoh seperti apa yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah :
“Barangsiapa yang melakukan amalan yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim, 1718).
Dalam hadits ini ada faedah penting, yaitu : Niat yang baik semata tidak dapat menjadikan suatu amalan menjadi lebih baik dan akan diterima di sisi Allah , akan tetapi harus sesuai dengan cara yang pernah diajarkan oleh Rasulullah saw. Oleh sebab itu Nabi menutup jalan bagi orang yang suka mengada-ngada dalam ibadah dengan ucapan : “Siapa yang benci (meninggalkan) sunnahku, maka dia bukan termasuk golonganku“.(HR. Bukhari). Dan ini berlaku bagi seluruh sunnah yang telah ditetapkan beliau.
Maka dengan demikian kedudukan ittiba’ (mengikuti contoh kepada Ralullah saw) dalam Islam adalah wajib, setiap orang yang mengaku muslim mesti meninggikannya, bahkan ia merupakan pintu bagi seseorang setelah masuk Islam. Sehingga Ittiba’ kepada Rasulullah adalah salah satu syarat agar diterimanya amal seseorang.
Sedangkan syarat diterimanya ibadah seseorang yang disepakati oleh para ulama, ada dua:
Pertama, mengikhlaskan niat ibadah hanya kepada Allah.
Kedua, harus mengikuti dan cocok dengan apa yang diajarkan Rasulullah SAW.
Imam Al Baihaqi -rahimahullah- mengatakan:” Jika ittiba’ kepada Rasulullah SAW merupakan suatu kewajiban dan tidak ada cara lain untuk bisa berittiba’ kepada sunnah beliau kecuali dengan mengilmuinya, maka tidak ada jalan lain untuk bisa mengilmuinya kecuali dengan menerima semua apa yang datang dari beliau. Oleh sebab itu beliau memerintahkan umatnya untuk mengajarkan dan mendakwahkan sunnah kepada ummat.” [lihat Al I’tiqod Wal Hidayah Ila Sabili Ar Rasyad hal 154]
Sunnah Rasulullah SAW dibagi menjadi dua yaitu: Sunnah fi’liyah dan sunnah tarqiyyah. Segala sesuatu yang dikerjakan Rasulullah SAW termasuk sunnah yang kita kerjakan selama bukan merupakan kekhususan bagi beliau. Sunnah ini yang yang dinamakan sunnah fi’liyah. Sedangkan segala sesuatu yang ditinggalkan beliau adalah termasuk sunnah untuk kita tinggalkan dan ini dinamakan sunnah tarkiyyah.
Al Hafidz Ibnu Rajab Al Hambali -rahimahullah- dalam kitabnya Fadllu ‘Ilmi Salaf hal 31 beliau berkata”…Segala sesuatu yang disepakati oleh salafush shalih untuk ditinggalkan maka tidak boleh diamalkan karena mereka tidak akan meninggalkan suatu amalan karena mereka tahu bahwa amalan itu tidak dikerjakan Rasulullah SAW “
Dasar kaidah sunnah tarkiyyah ini diambil dari beberapa dalil. Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori -rahimahullah- (no 5063) dan Imam Muslim -rahimahullah- (no 1401) dari anas bin malik -Rodliallohu anhu- , dia berkata :
”Datang tiga orang ke rumah istri Rasulullah SAW . Ketika mereka dikabari tentang ibadah Rasulullah SAW mereka merasa bahwa ibadah mereka amat sedikit. Oleh karena itu mereka mengatakan’Ada apanya kita dibanding Rasulullah SAW? padahal beliau telah diampuni oleh Allah dosanya yang lalu maupun yang akan datang’, salah satu diantara mereka berkata,’Saya akan sholat semalam suntuk selama-lamanya’ yang lainya berucap,’ Saya akan berpuasa sepanjang masa dan tidak akan berbuka.’ dan yang lainnya berkata,’saya akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya’ (mendengar hal ini) Rasulullah SAW pun bersabda,”Kalian mengucapkan begini dan begitu?! Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling taqwa kepadaNya, namun aku berpuasa juga berbuka, aku sholat dan juga tidur serta aku pun menikahi wanita. Maka barangsiapa yang benci terhadap sunnahku maka dia bukan dari golonganku” [HR Bukhori dan Muslim]
Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid -Hafidlahullah- dalam kitabnya Ilmu Ushulil Bida’ hal 108 menjelaskan hadits tersebut :’Hadits ini secara jelas mengisyaratkan tentang usaha tiga orang yang tersebut dalam hadits untuk mengerjakan ibadah-ibdah yang pada dasarnya memang disyariatkan, namun kaifiyyah (tata cara) yang tidak pernah dilakukan Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam . Puasa pada asalnya ibadah yang dianjurkan. Qiyamul Lail pun asalnya dalah ibadah yang disukai . Tetapi kaifiyah dan sifat ibadah yang akan dilakukan oleh tiga orang tadi ditinggalkan oleh Rasulullah SAW .dalam praktek ibadahnya dan tidak pernah diajarkan oleh beilau, maka beliau pun mengingkari perbuatan mereka. Pengingkaran Rasulullah SAW tesebut sesuai sabda beliau, "barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalan itu tertolak.”[HR Muslim 1718]. “
Al Imam Ibnul Qoyyim Al Jauziyah dalam kitabnya Zaadul Ma’ad 1/69-70 mengatakan :”Kalau kebahagian seorang hamba di dunia dan akherat tergantung dengan petunjuk Rasulullah SAW maka wajib bagi setiap hamba yang ingin mendapatkannya untuk mengetahui dan memahami Sunnah Rasulullah SAW , petunjuk-petunjuk dan jalan hidup beliau sehingga dapat digolongkan sebagai atba’ (pengikut) beliau..”
Setelah mempelajari sunnah-sunnah beliau Rasulullah SAW , maka wajib bagi kita selanjutnya adalah tathbiqu Sunnah (mengamalkan sunnah) baik secara individu maupun masyarakat. Di dalam menjalankan sunnah ini tidak boleh hanya mengamalkan sebagian dan meninggalkan sebagian lainnya. Tidak boleh hanya mementingkan sholat saja tanpa mengamalkan yang lain, begitu juga tidak boleh mementingkan akhlak saja namun tauhidnya tidak. Akan tetapi harus mengamalkan sunnah Rasulullah SAW baik yang berkaitan dengan masalah I’tiqod, ibadah, muamalah, akhlaq, adab, hubungan sosial ataupun lainnya.
Salah satu cara dalam tahthbiqu sunnah adalah dengan menyebarkan ilmu syar’i yang telah diwariskan Rasulullah SAW kepada ummat. Jadi merupakan kewajiban bagi setiap orang yang mempunyai illmu syari tersebut untuk meyampaikan dan mendakwahkan kepada ummat tentang sunnah.
Sekarang setelah kita mengetahui definisi dari Ittiba', hukum dari ittiba', maka pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana ittiba' kepada sahabat RA, sebagaimana seperti yang dikatakan oleh Imam Ibnu Qoyyim-rahimulloh – dalam kitabnya I’lamu Muwaqqi’in 2/139 menukil ucapan Abu Daud -rahimahullah- , beliau berkata:” Aku mendengar imam Ahmad bin hanbal -rahimahullah- menyatakan: Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Rosulullah SAW dan para Shohabat RA ., yang mana ittiba' para sahabat adalah mengikuti Rasul, dan juga mengikuti Al Qur’an dan As-Sunnah yang shahihah dengan pemahaman mereka (salaful ummah), karena dua perkara ini adalah hujjah yang qathiyyah sebagaimana telah disepakati oleh para ulama.
Sebagaimana kita ketahui dari penjelasan diatas bahwa Ittiba' para sahabat (ittiba' salaf) adalah mengikuti sunnah para sahabat (ulama salaf) tersebut. Selanjutnya bagaimanakan kita mengikuti sunnah para sahabat, yaitu dengan mengikuti kaidah-kaidah mereka dalam memahami Kitabullah dan Sunnah Rasulullah tersebut, yang mana para sahabat ini memiliki keunggulan dalam memahami nash Al Quran serta hadits Rasulullah, dikarenakan kemampuan mereka dan keunggulan bahasa Arab mereka, melebihi orang-orang dari luar Arab dalam melafazhkan dan memahami nash (yang tertuliskan dalam bahasa Arab itu)
Jadi pemahaman Ittiba' saat ini selain dengan pengertian yang sudah dijelaskan sebelumnya diatas yaitu, mengikuti apa yang datang dari Rasulullah SAW dan para Shohabat RA, juga dengan cara memahami Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW, dengan menggunakan manhaj-manhaj para sahabat (salaf), seperti mengikuti kaidah-kaidah yang harus dipakai dalam memahami dan menafsirkan nash-nash dan mengkompromikan nash-nash jika terjadi perbedaan dan pertentangan, terutama setelah menyebarnya Islam di luar Arab dan lemahnya penguasaan mereka terhadap bahasa Arab, juga belajar bagaimana cara mengistimbat hukum dengan benar sesuai yang diajarkan oleh Manhaj Salaf (yaitu mengikuti mereka tentang kaidah-kaidah di dalam menafsirkan dan men takwil kan nash, dan dasar-dasar ijtihad dalam memahami prinsip-prinsip dasar hukum Islam) (Salafy, karangan Dr.M.Said.Ramadhan al Buthi)
Demikian kira-kira penjelasan Ittiba' diambil dari beberapa pendapat para Imam/Ulama Salaf dan Khalaf.
Wallahua'lam bishowab.
Rabu, 06 Oktober 2010
Seputar Rukun Ikhlas
Seputar Rukun Ikhlas
(Diterjemahkan dari Kitab Hawla Rukn al Ikhlash karya Dr. Yusuf al Qaradhawy, penerbit Darut Tawzi’ wan Nasyr al Islamiyah tahun 1993 M)
Oleh : Farid Nu'man
Makna Ikhlash
Ikhlas adalah keinginan untuk mendapatkan wajah Allah ‘Azza wa Jalla melalui amal shalih, dan membersihkannya dari setiap kepentingan duniawi. Tidak mencampurkan amalnya dengan keinginan dunia apada dirinya, baik berupa keuntungan dunia, pangkat, harta, ketenaran, kedudukan di hati makhluk, pujian manusia, lari dari celaan, mengikuti nafsu tersembunyi, atau keinginan lainnya berupa penyakit dan kotoran amal. Prinsipnya, menginginkan selain Allah ‘Azza wa Jalla dari seluruh amalnya.
Ikhlas degan pengertian ini adalah buah di antara buah-buah tauhid yang sempurna, yaitu mengesakan Allah Ta’ala dalam peribadatan dan meminta pertolongan. Sebagaimana yang tergambar dalam firmanNya: “Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami meminta pertolongan” oleh karena itu riya -lawan dari Ikhlas- termasuk dari syirik. Berkata Syadad bin Aus radhiallahu ‘anhu: “Adalah kami kembali kepada masa Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam: Sesungguhnya riya itu termasuk syirik kecil.” (HR. Hakim. Ia menshahihkannya dan disepakati adz Dzahabi, 4/329. Al Haitsami menyebutkan bahwa at Thabrani meriwayatkan dalam al Awsath, juga diriwayatkan al Bazzar. Rijal keduanya adalah rijal shahih, kecuali Ya’la bin Aus, dia tsiqah. Adapun pada lafaz at Thabrani disebut ‘syirik besar’. Majma’ uz Zawa-id, 10/222)
Sulitnya Ikhlas
Membersihkan amal dari kotoran dan keinginan dunia bukanlah urusan mudah sebagaimana yang disangka sebagian orang … Sesungguhnya ia adalah kemenangan atas egoisme dan kecintaan kepada materi, lenyapnya ketamakan jiwa dan tujuan-tujuan pendek dunia. Karena itu, harus ada mujahadah (kesungguhan) yang keras, muraqabah (pengawasan) yang konsisten terhadap ruang-ruang masuknya syetan, meluruskan dirinya dari niatan-niatan tersembunyi dan riya, cinta kemegahan dan ketenaran. Inilah faktor-faktor yang bisa mengalahkan para pemilik kekuatan dan berpengaruh pada jiwa manusia.
Karena itu sebagian orang shalih bertanya: Apakah yang paling berat bagi jiwa? Jawabnya: Ikhlas, karena ia tidak mendapatkan bagiannya.
Yang lain berkata: Membersihkan niat adalah amal paling berat dari seluruh amal. Juga ada yang berkata: Yang paling agung di dunia adalah ikhlas. Berapa banyak manusia yang bersungguh-sungguh namun terjatuh dalam riya di hatinya, seakan ia tumbuh menjadi rupa yang lain.
Bahkan ada ungkapan indah: Beruntunglah bagi yang benar langkahnya walau sekali, dia tidak menghendaki dengan langkahnya itu kecuali Allah Ta’ala.
Di antara manusia ada yang melihatnya, mereka menyangka bahwa dia beramal untuk Islam dengan benar, bahkan barangkali ia mengira dirinya juga demikian. Maka, jika hatinya mencari dan menduga hakikat niatnya itu, ia akan temukan tuntutan dunia di balik pakaian agama. Sekarang memang belum ia inginkan semua ketamakan di balik amalnya, tetapi ia akan harapkan itu esok hari. Setelah itu, angin menggugurkan apa-apa yang ia angankan.
Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menerima hati yang tidak murni, tidak pula amal yang tercampur. Dia hanya menerima amal yang ditujukan untuk wajahNya semata.
Keutamaan Ikhlas
Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan Ikhlas di dalam kitabNya, dan sangat menekankannya dalam banyak surat al Qur’an khususnya Makkiyah, karena ia berkaitan dengan pemurnian tauhid, pelurusan aqidah, dan melempangkan tujuan. Allah Ta’ala berfirman kepada RasulNya:
“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (al Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)…” (QS. Az Zumar: 2-3)
“Katakanlah: ‘Hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agamaku’ ” (QS. Az Zumar: 14)
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang perttama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).’ “ (QS. Al An’am: 162-163)
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (QS. Al bayyinah: 5)
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.” (QS. An Nisa: 125)
“Barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan Allah dengan apapun dalam beribadah.” (QS. al Kahfi:110)
Asas Diterimanya Amal
Sesungguhnya tiap amal shalih memiliki dua rukun. Allah Ta’ala tidak menerima amal kecuali dengan keduanya:
Pertama: Ikhlas dan meluruskan niat
Kedua: Bersesuaian dengan sunah dan syara’
Rukun pertama merupakan tanda benarnya batin, rukun kedua merupakan tanda benarnya zhahir (praktiknya-pen). Tentang rukun pertama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya amal itu tergantung niat.” (HR. Muttafaq ‘alaih, dari Umar) Ini adalah timbangan bagi batin. Tentang rukun kedua Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa beramal dengan amal yang kami tidak pernah perintah, maka amal itu tertolak” (HR. Muslim dari ‘Aisyah) Ini adalah timbangan zhahir.
Allah Ta’ala telah menggabungkan dua rukun tersebut dalam banyak ayat al Qur’an. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman:
“Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan semua urusan.” (QS. Luqman: 22)
“Dan siapakah yang lebih baik agamnya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedng diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus?” (QS. An Nisa’: 125)
Makna ‘menyerahkan diri kepada Allah’ yaitu memurnikan tujuan dan amal hanya untukNya. Makna ‘berbuat kebaikan’ adalah memurnikannya dengan itqan (profesional) dan mengikuti sunah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Berkata Fudhail bin’Iyadh tentang ayat, ‘Untuk menguji di antara kalian siapa yang paling baik amalnya (ahsanu amala).’ Ahsanul amal artinya paling ikhlas dan paling benar. Ia ditanya: “Wahai Abu Ali, apa maksud paling ikhlas dan paling benar?” Ia menjawab, “Sesungguhnya amal, jika ikhlas tetapi tidak benar , tidak akan diterima. Jika benar tetapi tidak ikhlas juga tidak diterima, hingga ia ikhlas dan benar. Ikhlas adalah beramal hanya untuk Allah. Benar adalah beramal di atas sunah.” Kemudian Fudhail bin ‘Iyadh membaca ayat:
“Maka barangsiapa yang menghendaki perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia beramal dengan amal shalih, dan jangan menyekutukan Tuhannya dengan apapun dalam beribadah.” (QS. Al Kahfi: 110)
Sebelumnya kita telah mengetahui bahwa niat yang ikhlas belumlah cukup untuk diterimanya amal, selama tidak sesuai dengan syariat dan tidak dibenarkan sunah. Sebagaimana amal yang sesuai dengan syariat tidaklah sampai derajat diterima, selama di dalamnya belum ada ikhlas dan pemurnian niat untuk Allah ‘Azza wa Jalla.
Ada dua contoh dalam masalah ini.
Pertama. Membangun masjid dengan tujuan merusak
Tidak ragu lagi, bahwa masjid memiliki kedudukan dan pengaruh dalam kehidupan Islam. Dia adalah rumah ibadah, madrasah bagi da’wah, dan tempat berkumpul untuk saling mengenal. Karena itulah Islam menganjurkan untuk membangunnya, memakmurkannya, serta memeliharanya. Telah dijanjikan ganjaran di sisi Allah ‘Azza wa Jalla bagi siapa yang melakukannya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa membangun masjid dalam rangka mencari wajah Allah (ridhoNya), Allah akan bangunkan baginya rumah di surga.” (HR. Muttafaq ‘alaih dari Utsman bin ‘Affan) Namun hadits mulia ini, memperingatkan kita bahwa ganjaran hanya diperuntukkan bagi mereka yang menginginkan wajah Allah (sebagian orang menerjemahkan wajah Allah dengan ridha Allah-pen), bukan untuk setiap yang membangun masjid. Jika membangun masjid dengan tujuan rusak dan maksud yang jelek, maka hal itu akan menjadi bencana bagi yang membangunnya. Sesungguhnya niat yang buruk akan memusnahkan dan menyimpangkan amal yang baik, dan merubah kebaikan menjadi keburukan.
Dakam masalah ini terdapat kisah masjid adh dhirar di dalam Al Qur’an untuk menerangkan kepada manusia, bahwa niat yang buruk akan merusak dasar-dasar bangunan yang baik, serta menghapus kebaikan-kebaikan yang ada di dalamnya. Kami maknai ‘dasar-dasar bangunan yang baik’ adalah kebaikan-kebaikan yang terlihat dan melekat padanya, atau kebaikan dan taqwa yang telah ditentukan untuknya.
“Janganlah kamu bersembahyang dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba) sejak hari pertama, adalah lebih patut bagi kamu untuk menegakkan shalat di dalamnya. Di dalamnya terdapat orang-orang yang ingin mensucian diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang suci.” (QS. At Taubah: 108)
Kedua. Berjihad untuk selain Allah Ta’ala
Jihad fi sabilillah adalah tathawwu’ (anjuran) paling utama. Seorang muslim, dengan jihad bisa bertaqarrub kepada TuhanNya. Namun demikian, Allah Ta’ala tidak akan menerima amal jihad sampai ia bersih dari kepentingan duniawi. Misal untuk dilihat manusia, melagakan keberanian, membela suku dan tanahnya, dan lainnya.
Sesungguhnya seseorang yang telah menggunakan pakaian para mujahid, dia berperang di dalam barisannya, sampai ia mati di tangan orang kafir, kemudian di sisi Allah ia bukanlah seorang syahid. Ini terjadi karena niatnya tidak murni untuk meninggikan kalimat Allah, di dalamnya terdapat muatan-muatan lain.
Di dalam Ash Shahihain diriwayatkan dari Abu Musa al Asy’ary radhiallahu ‘anhu, bahwa datanglah seorang Arab Badui kepada Nabi Shallalahu ‘alaihi wa sallam, ia bertanya: “Ya rasulullah, orang yang berperang demi rampasan perang, supaya namanya disebut-sebut orang, dan supaya kedudukannya dilihat, maka siapa yang fi sabilillah?” Rasulullah menjawab: “Barangsiapa yang berperang dengan tujuan meninggikan kalimat Allah, maka dia fi sabilillah.” (HR. Muttafaq ‘alaih dari Utsman bin Affan)
Imam an Nasa’I meriwayatkan dengan sanad jayyid (bagus), dari Abu Umamah radhiallahu ‘anhu, ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah ‘Alaihi shalatu wa salam, lalu berkata, “Apa pendapat engkau tentang orang yang berperang untuk mendapatkan upah dan disebut-sebut namanya, apa yang ia dapatkan?” Rasulullah menjawab, “Ia tidak mendapatkan apa-apa.” Diulangi sampai tiga kali. Kemudian ia bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali bagi yang ikhlas dan mengharapkan wajahNya”.
Ikhlas memiliki tanda dan ciri-ciri yang banyak, yang nampak pada kehidupan dan perilaku orang yang ikhlas. Hal itu bisa dilihat olehnya dan orang lain. Di antaranya adalah:
1. Takut terhadap Ketenaran (syuhrah)
Orang yang takut terhadap ketenaran dan tersebarnya citra baik dirinya serta kualias agamanya, khususnya jika ia termasuk orang yang gemar memberi, meyakini bahwa amal yang diterima Allah ‘Azza wa Jalla adalah yang tersembunyi tidak dipamerkan. Bahwasanya manusia jika tertutup ketenarannya, ia hanya meniatkannya untuk Allah semata, Dialah yang akan mencukupkannya, bukan manusia.
Karena itu, zuhud terhadap kemegahan, ketenaran, dan cahaya diri, adalah lebih agung (berat) dari zuhud terhadap harta, syahwat perut, dan kemaluan. Imam Ibnu Syihab az Zuhri berkata: Tidak ada yang kami pandang berat selain zuhud kepada jabatan. Seseorang bisa zuhud terhadap makan, minum, dan harta, maka sudah seharusnya ia ketika diberi jabatan, menjaga dan berhati-hati terhadapnya.
Inilah yang menyebabkan banyak ulama terdahulu dan orang-orang shalih, takut jika hati mereka tertimpa fitnah ketenaran, tipuan kemegahan, dan citra diri. Mereka memperingatkan hal itu kepada murid-muridnya. Telah banyak karya-karya tentang perilaku yang memperingatkan hal itu, seperti Abul Qasil al Qusyairi dalam kitabnya Ar Risalah, Abu Thalib al Makky dalam Qutul Qulub, dan Imam al Ghazaly dalam Al Ihya’-nya.
Seorang zahid terkenal Ibrahim bin Ad-ham berkata: Allah tidak membenarkan (mengakui) orang-orang yang mencintai ketenaran.
Dia juga berkata: Tidak ada hari yang menyedapkan pandanganku terhadap dunia kecuali sekali saja, yaitu ketika aku bermalam pada suatu malam di sebuah Mesjid di negeri Syam.Saat itu aku sakit perut, lalu datanglah juru adzan, dia menyeret kakiku hingga aku keluar mesjid.
Itulah yang yang membuatnya senang, yaitu laki-laki tersebut tidaklah mengenalnya (walau ia seorang yang tenar), itulah yang menyebabkan juru adzn itu melakuakn tindak kekerasan dengan menarik kakinya seolah-olah ia penjahat. Itulah Ibrahim bin Ad-ham, yang meninggalkan wilayah dan harta kekayaannya karena Allah Ta’ala.
Ketenaran, secara dzat bukanlah hal tercela. Tidak ada yang lebih tenar dibanding para nabi, khulafa’ur rasyidin, dan para imam mujtahid. Tetapi yang tercela adalah jika ketenaran, kekuasaan, dan kemegahan adalah sesuatu yang dicari dan dikejar. Adapun jika ketenaran itu lahir tanpa dikejar dan dicari, maka itu tidak masalah. Hal itu – sebagaimana kata Imam al Ghazaly- menjadi fitnah bagi orang-orang lemah, tidak bagi orang-orang yang kuat.
2. Menuduh Diri Sendiri
Sesungguhnya seorang yang mukhlis selalu menuduh dirinya masih lalai dalam pengabdian kepada Allah Azza wa Jalla, sedikit menunaikan kewajiban, tidak menjaga hatinya dengan keterpedayaan amalnya, dan ‘ujub (bangga/kagum) dengan diri sendiri. Justru ia takut kejelekannya tidak diampuni, kebaikannya tidak diterima. Sebagain orang-orang shalih menangis dengan tangisan yang keras.
Ada orang bertanya: kenapa engkau menangis? Bukankah engkau telah bangun di tengah malam, puasa, jihad, sedekah (zakat), haji dan umrah, mengajar ilmu dan berdzikir? Ia menjawab: Apa yang Dia kehendaki terhadapku dari timbanganku nanti? Apakah itu akan diterima Tuhanku? Allah Ta’ala berfirman: Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal-amal) orang-orang bertaqwa …(QS. Al Maidah: 27)
Mata air taqwa adalah hati, karena itulah Al Qur’an menegaskan: ….maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati (QS. Al Hajj:32). Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Taqwa itu di sini (diulangi tiga kali). Ia menunjuk dadanya (HR. Muslim dari Ibnu Umar)
Aku bertanya kepada Sayyidah Aisyah radhiallahu ‘anha tentang orang-orang yang telah ‘memberi’ dalam firman Allah: Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka (QS. Al Mu’minun: 60). Apakah mereka itu para pencuri, pezina, pemabuk, dan mereka takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla ? Ia menjawab: bukan, tetapi mereka adalah orang yang shalat, puasa, dan bersedekah, namun mereka takut itu semua tidak diterima. Mereka itulah yang bersegera untuk meraih kebaikan-kebaikan,dan merekalah yang segera mendapatkannya (QS. Al Mu’minun: 61) (HR. Ahmad dan lainnya)
3. Mengutamakan amal yang Tersembunyi
Ia harus lebih menyintai amal yang tersembunyi daripada amal yang terang-terangan dan melahirkan ketenaran. Sesungguhnya ini memiliki pengaruh dalam masyarakat, seperti akar pohon yang merupakan pokok sekaligus sumber kehidupannya. Tetapi ia tertutup oleh perut bumi, tidak terlihat mata. Atau seperti fondasi sebuah bangunan. Seandainya ia tidak ada, niscaya tidak akan tegak dinding, tidak pula atap, rumah pun tidak ada. Tak ada satupun yang melihatnya, sebagaimana terlihatnya dinding yang tinggi.
Berkata Asy Syauqi:
Fondasi merendah, ia tidak terlihat oleh mata
Setelah ia menegakkan bangunan yang kokoh
Umar radhiallahu ‘anhu keluar menuju mesjid, ia melihat Mu’adz bin Jabal menangis di sisi makam Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Umar bertanya: Apa yang membuatmu menangis? Mu’adz menjawab: Hadits yang telah aku dengar dari Rasulullah, ia bersabda: Sesungguhnya riya’ (walau sedikit) adalah syirik. Dan barangsiapa yang memusuhi wali-wali Allah, maka Allah akan memeranginya. Sesungguhnya Allah menyukai kebaikan-kebaikan orang-orang bertaqwa yang tersembunyi. Yaitu orang-orang yang jika ia tidak ada manusia tidak merasa kehilangan. Jika ia hadir orang-orang tidak mengenalnya. Hati mereka adalah pelita-pelita petunjuk, yang keluar dari tanah-tanah yang gelap. (HR. Ibnu Majah dan Baihaqy dalam Az Zuhud dan Al hakim. Katanya shahih, tidak ada cacat dalamnya)
4. Tetap Beramal Baik menjadi Pemimpin atau Prajurit
Konsisten dengan amal shalih, baik ketika menjadi pemimpin atau prajurit. Pada kedua posisi itu ia senantiasa mencari ridha Tuhannya, mengabdi pada da’wahNya, dan membela risalahNya. Tidak membiarkan hatinya dikuasai keinginan untuk terkenal, nyelonong ke shaff terdepan ketika shalat, dan gila kekuasaan serta mengejar kedudukan sebagai pemimpin.
Bagaimana pun keadaannya, ia tidak mengejar-ngejar atau menuntut untuk dirinya, tetapi jika ia diberikan tugas, ia akan mengembannya dengan berharap pertolongan Allah untuk menjalankannya dengan benar.
Rasulullah telah menyifati orang seperti ini dalam haditsnya:
“Berbahagialah hamba yang menuntun kendali untanya di jalan Allah, kepala dan kedua kakinya berdebu, jika ia dibertugas jaga maka ia melaksanakan (dengan baik dan ikhlas) dan jika sebagai pengawal pasukan di belakang ia melaksanakan pengawalan (baik dan ikhlash)” (HR. Bukhari)
Semoga Allah meridhai Khalid bin Walid yang telah rela menanggalkan jabatannya sebagai panglima pasukan, padahal ia pemimpin yang selalu memenangkan pertempuran. Akhirnya ia berperang di bawah kendali Abu Ubaidah tanpa menyesal dan gelisah.
5. Mengharap Ridha Allah, sebelum ridha manusia
Jangan pernah tergoda untuk mendapatkan ridha manusia, jika kemudian Allah murka. Sebab manusia itu memiliki perbedaan yang sangat besar, dalam perasaan mereka, pemikiran, kecenderungan, tujuan-tujuan dan metode. Maka, mengejar ridha manusia adalah tujuan yang tidak pernah tercapai, dan tuntutan yang tidak bisa dikabulkan.
Berkata seorang penyair:
Siapakah manusia yang diridhai oelh semua manusia
Padahal di antara hawa nafsu jiwa-jiwa terdapat jarak yang amat jauh?
6. Cinta dan Benci karena Allah Ta’ala
Menjadikan rasa benci dan cinta, taat dan menolak, ridha dan marah, harus karena Allah semata dan agamaNya. Bukan karena diri atau kepentingan-kepentingan pribadinya. Janganlah berperilaku seperti kaum opurtunis munafik yang telah Allah ‘Azza wa Jalla cela dalam kitabNya.
Allah berfirman:
“Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat, jika mereka diberi sebagian darinya (zakat) mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian darinya, serta merta mereka menjadi marah” (QS. At Taubah: 58)
Sebagian aktifis da’wah menyaksikan, jika ada saudaranya yang dicela (oleh musuh, pen) dengan kata-kata yang menyakitkan hati atau melukai perasaannya, dengan menjelek-jelekkan dirinya atau salah satu karakternya maka dengan cepat ia marah, lalu meninggalkan aktifitas da’wah dan harakah, lalu memisahkan diri dari medan da’wah.
Ikhlas beramal merupakan tujuan yang harus terpenuhi karena itu adalah konsekuensi da’wah. Ia harus kukuh terhadap orientasinya, Bagaimanapun juga keadaan yang menimpanya, kesalahan, kelalaian, atau sikap melampaui batas,karena ia beramal hanya untuk Allah, bukan untuk dirinya, bukan pula untuk si Fulan dan si Alan.
Da’watullah bukanlah barang atau harta milik satu orang. Da’watullah adalah milik semuanya, maka tidak boleh seorang mu’min memisahkan orang lain darinya, lantaran sikap-sikap tersebut.
Wallahu A’lam wa lillahil ‘Izzah
(Diterjemahkan dari Kitab Hawla Rukn al Ikhlash karya Dr. Yusuf al Qaradhawy, penerbit Darut Tawzi’ wan Nasyr al Islamiyah tahun 1993 M)
Oleh : Farid Nu'man
Makna Ikhlash
Ikhlas adalah keinginan untuk mendapatkan wajah Allah ‘Azza wa Jalla melalui amal shalih, dan membersihkannya dari setiap kepentingan duniawi. Tidak mencampurkan amalnya dengan keinginan dunia apada dirinya, baik berupa keuntungan dunia, pangkat, harta, ketenaran, kedudukan di hati makhluk, pujian manusia, lari dari celaan, mengikuti nafsu tersembunyi, atau keinginan lainnya berupa penyakit dan kotoran amal. Prinsipnya, menginginkan selain Allah ‘Azza wa Jalla dari seluruh amalnya.
Ikhlas degan pengertian ini adalah buah di antara buah-buah tauhid yang sempurna, yaitu mengesakan Allah Ta’ala dalam peribadatan dan meminta pertolongan. Sebagaimana yang tergambar dalam firmanNya: “Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami meminta pertolongan” oleh karena itu riya -lawan dari Ikhlas- termasuk dari syirik. Berkata Syadad bin Aus radhiallahu ‘anhu: “Adalah kami kembali kepada masa Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam: Sesungguhnya riya itu termasuk syirik kecil.” (HR. Hakim. Ia menshahihkannya dan disepakati adz Dzahabi, 4/329. Al Haitsami menyebutkan bahwa at Thabrani meriwayatkan dalam al Awsath, juga diriwayatkan al Bazzar. Rijal keduanya adalah rijal shahih, kecuali Ya’la bin Aus, dia tsiqah. Adapun pada lafaz at Thabrani disebut ‘syirik besar’. Majma’ uz Zawa-id, 10/222)
Sulitnya Ikhlas
Membersihkan amal dari kotoran dan keinginan dunia bukanlah urusan mudah sebagaimana yang disangka sebagian orang … Sesungguhnya ia adalah kemenangan atas egoisme dan kecintaan kepada materi, lenyapnya ketamakan jiwa dan tujuan-tujuan pendek dunia. Karena itu, harus ada mujahadah (kesungguhan) yang keras, muraqabah (pengawasan) yang konsisten terhadap ruang-ruang masuknya syetan, meluruskan dirinya dari niatan-niatan tersembunyi dan riya, cinta kemegahan dan ketenaran. Inilah faktor-faktor yang bisa mengalahkan para pemilik kekuatan dan berpengaruh pada jiwa manusia.
Karena itu sebagian orang shalih bertanya: Apakah yang paling berat bagi jiwa? Jawabnya: Ikhlas, karena ia tidak mendapatkan bagiannya.
Yang lain berkata: Membersihkan niat adalah amal paling berat dari seluruh amal. Juga ada yang berkata: Yang paling agung di dunia adalah ikhlas. Berapa banyak manusia yang bersungguh-sungguh namun terjatuh dalam riya di hatinya, seakan ia tumbuh menjadi rupa yang lain.
Bahkan ada ungkapan indah: Beruntunglah bagi yang benar langkahnya walau sekali, dia tidak menghendaki dengan langkahnya itu kecuali Allah Ta’ala.
Di antara manusia ada yang melihatnya, mereka menyangka bahwa dia beramal untuk Islam dengan benar, bahkan barangkali ia mengira dirinya juga demikian. Maka, jika hatinya mencari dan menduga hakikat niatnya itu, ia akan temukan tuntutan dunia di balik pakaian agama. Sekarang memang belum ia inginkan semua ketamakan di balik amalnya, tetapi ia akan harapkan itu esok hari. Setelah itu, angin menggugurkan apa-apa yang ia angankan.
Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menerima hati yang tidak murni, tidak pula amal yang tercampur. Dia hanya menerima amal yang ditujukan untuk wajahNya semata.
Keutamaan Ikhlas
Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan Ikhlas di dalam kitabNya, dan sangat menekankannya dalam banyak surat al Qur’an khususnya Makkiyah, karena ia berkaitan dengan pemurnian tauhid, pelurusan aqidah, dan melempangkan tujuan. Allah Ta’ala berfirman kepada RasulNya:
“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (al Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)…” (QS. Az Zumar: 2-3)
“Katakanlah: ‘Hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agamaku’ ” (QS. Az Zumar: 14)
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang perttama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).’ “ (QS. Al An’am: 162-163)
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” (QS. Al bayyinah: 5)
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.” (QS. An Nisa: 125)
“Barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan Allah dengan apapun dalam beribadah.” (QS. al Kahfi:110)
Asas Diterimanya Amal
Sesungguhnya tiap amal shalih memiliki dua rukun. Allah Ta’ala tidak menerima amal kecuali dengan keduanya:
Pertama: Ikhlas dan meluruskan niat
Kedua: Bersesuaian dengan sunah dan syara’
Rukun pertama merupakan tanda benarnya batin, rukun kedua merupakan tanda benarnya zhahir (praktiknya-pen). Tentang rukun pertama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya amal itu tergantung niat.” (HR. Muttafaq ‘alaih, dari Umar) Ini adalah timbangan bagi batin. Tentang rukun kedua Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa beramal dengan amal yang kami tidak pernah perintah, maka amal itu tertolak” (HR. Muslim dari ‘Aisyah) Ini adalah timbangan zhahir.
Allah Ta’ala telah menggabungkan dua rukun tersebut dalam banyak ayat al Qur’an. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman:
“Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan semua urusan.” (QS. Luqman: 22)
“Dan siapakah yang lebih baik agamnya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedng diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus?” (QS. An Nisa’: 125)
Makna ‘menyerahkan diri kepada Allah’ yaitu memurnikan tujuan dan amal hanya untukNya. Makna ‘berbuat kebaikan’ adalah memurnikannya dengan itqan (profesional) dan mengikuti sunah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Berkata Fudhail bin’Iyadh tentang ayat, ‘Untuk menguji di antara kalian siapa yang paling baik amalnya (ahsanu amala).’ Ahsanul amal artinya paling ikhlas dan paling benar. Ia ditanya: “Wahai Abu Ali, apa maksud paling ikhlas dan paling benar?” Ia menjawab, “Sesungguhnya amal, jika ikhlas tetapi tidak benar , tidak akan diterima. Jika benar tetapi tidak ikhlas juga tidak diterima, hingga ia ikhlas dan benar. Ikhlas adalah beramal hanya untuk Allah. Benar adalah beramal di atas sunah.” Kemudian Fudhail bin ‘Iyadh membaca ayat:
“Maka barangsiapa yang menghendaki perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia beramal dengan amal shalih, dan jangan menyekutukan Tuhannya dengan apapun dalam beribadah.” (QS. Al Kahfi: 110)
Sebelumnya kita telah mengetahui bahwa niat yang ikhlas belumlah cukup untuk diterimanya amal, selama tidak sesuai dengan syariat dan tidak dibenarkan sunah. Sebagaimana amal yang sesuai dengan syariat tidaklah sampai derajat diterima, selama di dalamnya belum ada ikhlas dan pemurnian niat untuk Allah ‘Azza wa Jalla.
Ada dua contoh dalam masalah ini.
Pertama. Membangun masjid dengan tujuan merusak
Tidak ragu lagi, bahwa masjid memiliki kedudukan dan pengaruh dalam kehidupan Islam. Dia adalah rumah ibadah, madrasah bagi da’wah, dan tempat berkumpul untuk saling mengenal. Karena itulah Islam menganjurkan untuk membangunnya, memakmurkannya, serta memeliharanya. Telah dijanjikan ganjaran di sisi Allah ‘Azza wa Jalla bagi siapa yang melakukannya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa membangun masjid dalam rangka mencari wajah Allah (ridhoNya), Allah akan bangunkan baginya rumah di surga.” (HR. Muttafaq ‘alaih dari Utsman bin ‘Affan) Namun hadits mulia ini, memperingatkan kita bahwa ganjaran hanya diperuntukkan bagi mereka yang menginginkan wajah Allah (sebagian orang menerjemahkan wajah Allah dengan ridha Allah-pen), bukan untuk setiap yang membangun masjid. Jika membangun masjid dengan tujuan rusak dan maksud yang jelek, maka hal itu akan menjadi bencana bagi yang membangunnya. Sesungguhnya niat yang buruk akan memusnahkan dan menyimpangkan amal yang baik, dan merubah kebaikan menjadi keburukan.
Dakam masalah ini terdapat kisah masjid adh dhirar di dalam Al Qur’an untuk menerangkan kepada manusia, bahwa niat yang buruk akan merusak dasar-dasar bangunan yang baik, serta menghapus kebaikan-kebaikan yang ada di dalamnya. Kami maknai ‘dasar-dasar bangunan yang baik’ adalah kebaikan-kebaikan yang terlihat dan melekat padanya, atau kebaikan dan taqwa yang telah ditentukan untuknya.
“Janganlah kamu bersembahyang dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba) sejak hari pertama, adalah lebih patut bagi kamu untuk menegakkan shalat di dalamnya. Di dalamnya terdapat orang-orang yang ingin mensucian diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang suci.” (QS. At Taubah: 108)
Kedua. Berjihad untuk selain Allah Ta’ala
Jihad fi sabilillah adalah tathawwu’ (anjuran) paling utama. Seorang muslim, dengan jihad bisa bertaqarrub kepada TuhanNya. Namun demikian, Allah Ta’ala tidak akan menerima amal jihad sampai ia bersih dari kepentingan duniawi. Misal untuk dilihat manusia, melagakan keberanian, membela suku dan tanahnya, dan lainnya.
Sesungguhnya seseorang yang telah menggunakan pakaian para mujahid, dia berperang di dalam barisannya, sampai ia mati di tangan orang kafir, kemudian di sisi Allah ia bukanlah seorang syahid. Ini terjadi karena niatnya tidak murni untuk meninggikan kalimat Allah, di dalamnya terdapat muatan-muatan lain.
Di dalam Ash Shahihain diriwayatkan dari Abu Musa al Asy’ary radhiallahu ‘anhu, bahwa datanglah seorang Arab Badui kepada Nabi Shallalahu ‘alaihi wa sallam, ia bertanya: “Ya rasulullah, orang yang berperang demi rampasan perang, supaya namanya disebut-sebut orang, dan supaya kedudukannya dilihat, maka siapa yang fi sabilillah?” Rasulullah menjawab: “Barangsiapa yang berperang dengan tujuan meninggikan kalimat Allah, maka dia fi sabilillah.” (HR. Muttafaq ‘alaih dari Utsman bin Affan)
Imam an Nasa’I meriwayatkan dengan sanad jayyid (bagus), dari Abu Umamah radhiallahu ‘anhu, ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah ‘Alaihi shalatu wa salam, lalu berkata, “Apa pendapat engkau tentang orang yang berperang untuk mendapatkan upah dan disebut-sebut namanya, apa yang ia dapatkan?” Rasulullah menjawab, “Ia tidak mendapatkan apa-apa.” Diulangi sampai tiga kali. Kemudian ia bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali bagi yang ikhlas dan mengharapkan wajahNya”.
Ikhlas memiliki tanda dan ciri-ciri yang banyak, yang nampak pada kehidupan dan perilaku orang yang ikhlas. Hal itu bisa dilihat olehnya dan orang lain. Di antaranya adalah:
1. Takut terhadap Ketenaran (syuhrah)
Orang yang takut terhadap ketenaran dan tersebarnya citra baik dirinya serta kualias agamanya, khususnya jika ia termasuk orang yang gemar memberi, meyakini bahwa amal yang diterima Allah ‘Azza wa Jalla adalah yang tersembunyi tidak dipamerkan. Bahwasanya manusia jika tertutup ketenarannya, ia hanya meniatkannya untuk Allah semata, Dialah yang akan mencukupkannya, bukan manusia.
Karena itu, zuhud terhadap kemegahan, ketenaran, dan cahaya diri, adalah lebih agung (berat) dari zuhud terhadap harta, syahwat perut, dan kemaluan. Imam Ibnu Syihab az Zuhri berkata: Tidak ada yang kami pandang berat selain zuhud kepada jabatan. Seseorang bisa zuhud terhadap makan, minum, dan harta, maka sudah seharusnya ia ketika diberi jabatan, menjaga dan berhati-hati terhadapnya.
Inilah yang menyebabkan banyak ulama terdahulu dan orang-orang shalih, takut jika hati mereka tertimpa fitnah ketenaran, tipuan kemegahan, dan citra diri. Mereka memperingatkan hal itu kepada murid-muridnya. Telah banyak karya-karya tentang perilaku yang memperingatkan hal itu, seperti Abul Qasil al Qusyairi dalam kitabnya Ar Risalah, Abu Thalib al Makky dalam Qutul Qulub, dan Imam al Ghazaly dalam Al Ihya’-nya.
Seorang zahid terkenal Ibrahim bin Ad-ham berkata: Allah tidak membenarkan (mengakui) orang-orang yang mencintai ketenaran.
Dia juga berkata: Tidak ada hari yang menyedapkan pandanganku terhadap dunia kecuali sekali saja, yaitu ketika aku bermalam pada suatu malam di sebuah Mesjid di negeri Syam.Saat itu aku sakit perut, lalu datanglah juru adzan, dia menyeret kakiku hingga aku keluar mesjid.
Itulah yang yang membuatnya senang, yaitu laki-laki tersebut tidaklah mengenalnya (walau ia seorang yang tenar), itulah yang menyebabkan juru adzn itu melakuakn tindak kekerasan dengan menarik kakinya seolah-olah ia penjahat. Itulah Ibrahim bin Ad-ham, yang meninggalkan wilayah dan harta kekayaannya karena Allah Ta’ala.
Ketenaran, secara dzat bukanlah hal tercela. Tidak ada yang lebih tenar dibanding para nabi, khulafa’ur rasyidin, dan para imam mujtahid. Tetapi yang tercela adalah jika ketenaran, kekuasaan, dan kemegahan adalah sesuatu yang dicari dan dikejar. Adapun jika ketenaran itu lahir tanpa dikejar dan dicari, maka itu tidak masalah. Hal itu – sebagaimana kata Imam al Ghazaly- menjadi fitnah bagi orang-orang lemah, tidak bagi orang-orang yang kuat.
2. Menuduh Diri Sendiri
Sesungguhnya seorang yang mukhlis selalu menuduh dirinya masih lalai dalam pengabdian kepada Allah Azza wa Jalla, sedikit menunaikan kewajiban, tidak menjaga hatinya dengan keterpedayaan amalnya, dan ‘ujub (bangga/kagum) dengan diri sendiri. Justru ia takut kejelekannya tidak diampuni, kebaikannya tidak diterima. Sebagain orang-orang shalih menangis dengan tangisan yang keras.
Ada orang bertanya: kenapa engkau menangis? Bukankah engkau telah bangun di tengah malam, puasa, jihad, sedekah (zakat), haji dan umrah, mengajar ilmu dan berdzikir? Ia menjawab: Apa yang Dia kehendaki terhadapku dari timbanganku nanti? Apakah itu akan diterima Tuhanku? Allah Ta’ala berfirman: Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal-amal) orang-orang bertaqwa …(QS. Al Maidah: 27)
Mata air taqwa adalah hati, karena itulah Al Qur’an menegaskan: ….maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati (QS. Al Hajj:32). Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Taqwa itu di sini (diulangi tiga kali). Ia menunjuk dadanya (HR. Muslim dari Ibnu Umar)
Aku bertanya kepada Sayyidah Aisyah radhiallahu ‘anha tentang orang-orang yang telah ‘memberi’ dalam firman Allah: Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka (QS. Al Mu’minun: 60). Apakah mereka itu para pencuri, pezina, pemabuk, dan mereka takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla ? Ia menjawab: bukan, tetapi mereka adalah orang yang shalat, puasa, dan bersedekah, namun mereka takut itu semua tidak diterima. Mereka itulah yang bersegera untuk meraih kebaikan-kebaikan,dan merekalah yang segera mendapatkannya (QS. Al Mu’minun: 61) (HR. Ahmad dan lainnya)
3. Mengutamakan amal yang Tersembunyi
Ia harus lebih menyintai amal yang tersembunyi daripada amal yang terang-terangan dan melahirkan ketenaran. Sesungguhnya ini memiliki pengaruh dalam masyarakat, seperti akar pohon yang merupakan pokok sekaligus sumber kehidupannya. Tetapi ia tertutup oleh perut bumi, tidak terlihat mata. Atau seperti fondasi sebuah bangunan. Seandainya ia tidak ada, niscaya tidak akan tegak dinding, tidak pula atap, rumah pun tidak ada. Tak ada satupun yang melihatnya, sebagaimana terlihatnya dinding yang tinggi.
Berkata Asy Syauqi:
Fondasi merendah, ia tidak terlihat oleh mata
Setelah ia menegakkan bangunan yang kokoh
Umar radhiallahu ‘anhu keluar menuju mesjid, ia melihat Mu’adz bin Jabal menangis di sisi makam Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Umar bertanya: Apa yang membuatmu menangis? Mu’adz menjawab: Hadits yang telah aku dengar dari Rasulullah, ia bersabda: Sesungguhnya riya’ (walau sedikit) adalah syirik. Dan barangsiapa yang memusuhi wali-wali Allah, maka Allah akan memeranginya. Sesungguhnya Allah menyukai kebaikan-kebaikan orang-orang bertaqwa yang tersembunyi. Yaitu orang-orang yang jika ia tidak ada manusia tidak merasa kehilangan. Jika ia hadir orang-orang tidak mengenalnya. Hati mereka adalah pelita-pelita petunjuk, yang keluar dari tanah-tanah yang gelap. (HR. Ibnu Majah dan Baihaqy dalam Az Zuhud dan Al hakim. Katanya shahih, tidak ada cacat dalamnya)
4. Tetap Beramal Baik menjadi Pemimpin atau Prajurit
Konsisten dengan amal shalih, baik ketika menjadi pemimpin atau prajurit. Pada kedua posisi itu ia senantiasa mencari ridha Tuhannya, mengabdi pada da’wahNya, dan membela risalahNya. Tidak membiarkan hatinya dikuasai keinginan untuk terkenal, nyelonong ke shaff terdepan ketika shalat, dan gila kekuasaan serta mengejar kedudukan sebagai pemimpin.
Bagaimana pun keadaannya, ia tidak mengejar-ngejar atau menuntut untuk dirinya, tetapi jika ia diberikan tugas, ia akan mengembannya dengan berharap pertolongan Allah untuk menjalankannya dengan benar.
Rasulullah telah menyifati orang seperti ini dalam haditsnya:
“Berbahagialah hamba yang menuntun kendali untanya di jalan Allah, kepala dan kedua kakinya berdebu, jika ia dibertugas jaga maka ia melaksanakan (dengan baik dan ikhlas) dan jika sebagai pengawal pasukan di belakang ia melaksanakan pengawalan (baik dan ikhlash)” (HR. Bukhari)
Semoga Allah meridhai Khalid bin Walid yang telah rela menanggalkan jabatannya sebagai panglima pasukan, padahal ia pemimpin yang selalu memenangkan pertempuran. Akhirnya ia berperang di bawah kendali Abu Ubaidah tanpa menyesal dan gelisah.
5. Mengharap Ridha Allah, sebelum ridha manusia
Jangan pernah tergoda untuk mendapatkan ridha manusia, jika kemudian Allah murka. Sebab manusia itu memiliki perbedaan yang sangat besar, dalam perasaan mereka, pemikiran, kecenderungan, tujuan-tujuan dan metode. Maka, mengejar ridha manusia adalah tujuan yang tidak pernah tercapai, dan tuntutan yang tidak bisa dikabulkan.
Berkata seorang penyair:
Siapakah manusia yang diridhai oelh semua manusia
Padahal di antara hawa nafsu jiwa-jiwa terdapat jarak yang amat jauh?
6. Cinta dan Benci karena Allah Ta’ala
Menjadikan rasa benci dan cinta, taat dan menolak, ridha dan marah, harus karena Allah semata dan agamaNya. Bukan karena diri atau kepentingan-kepentingan pribadinya. Janganlah berperilaku seperti kaum opurtunis munafik yang telah Allah ‘Azza wa Jalla cela dalam kitabNya.
Allah berfirman:
“Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat, jika mereka diberi sebagian darinya (zakat) mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian darinya, serta merta mereka menjadi marah” (QS. At Taubah: 58)
Sebagian aktifis da’wah menyaksikan, jika ada saudaranya yang dicela (oleh musuh, pen) dengan kata-kata yang menyakitkan hati atau melukai perasaannya, dengan menjelek-jelekkan dirinya atau salah satu karakternya maka dengan cepat ia marah, lalu meninggalkan aktifitas da’wah dan harakah, lalu memisahkan diri dari medan da’wah.
Ikhlas beramal merupakan tujuan yang harus terpenuhi karena itu adalah konsekuensi da’wah. Ia harus kukuh terhadap orientasinya, Bagaimanapun juga keadaan yang menimpanya, kesalahan, kelalaian, atau sikap melampaui batas,karena ia beramal hanya untuk Allah, bukan untuk dirinya, bukan pula untuk si Fulan dan si Alan.
Da’watullah bukanlah barang atau harta milik satu orang. Da’watullah adalah milik semuanya, maka tidak boleh seorang mu’min memisahkan orang lain darinya, lantaran sikap-sikap tersebut.
Wallahu A’lam wa lillahil ‘Izzah
Hal hal yang harus diperhatikan bila menafsirkan al Quran dan ancamannya.
Hal-hal yang harus diperhatikan Sebelum Menafsirkan Al Qur'an
Untuk memahami kandungan dan maksud-maksud ayat al-Quran, diperlukan penafsiran oleh orang yang memenuhi kualifikasi. Meski kualifikasi itu tidak mutlak, namun para ulama tafsir menetapkan syarat-syarat yang sangat ketat sehingga tidak semua orang dapat menafsirkan al-Quran. Perbedaan produk tafsir selain karena kompetensi, juga karena berbeda dalam menggunakan metode tafsir. Dalam menafsirkan suatu ayat, peran akal terbatas. Akal berfungsi mencari ayat lain atau hadits yang membicarakan suatu masalah. Berikut petikan wawancara Tim Reportase CMM bersama Dr. Isnawati Rais, dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mufasir dan masalah-masalah seputar penafsiran al-Quran:
Adakah syarat-syarat seseorang menjadi mufassir?
Pertama, kelayakan untuk menafsir yang meliputi: akidah yang kokoh, niat yang ikhlas, menguasai ilmu-ilmu Alquran, sunnnah Nabi, ilmu alat, seperti bahasa Arab dan ilmu yang terkait dengan ayat yang ditafsirkan, misalnya kalau menafsirkan ayat hukum harus ahli ilmu ushul fikih dan lain sebagainya. Kedua, prosedur penafsiran. Terlebih dahulu menafsirkan ayat dengan ayat dan menafsirkan ayat dengan hadits. Ketiga, larangan Nabi Muhammad menafsirkan ayat Alquran dengan akal. Nabi bersabda, man fassaral qur’an bi ra’yihi fal yatabawwa’ maq’adahu minan nar; barang siapa yang menafsirkan Alquran dengan semata-mata dengan akal (logika), dia akan mengambil tempatnya di neraka.
Kenapa tidak boleh menafsirkan Alquran dengan akal atau logika?
Karena kebesaran Allah dan kemahatahuan Allah tidak akan bisa dijangkau oleh semata akal manusia yang terbatas. Allah berfirman, “kalian tidak diberi ilmu pengetahuan kecuali sedikit” (QS al-Isra’ [17]: 85).
Lalu, apa peran akal dalam menafsirkan Alquran?
Akal berfungsi mencari ayat lain atau hadits yang lain yang membicarakan suatu masalah. Mencari ayat yang dijelaskan oleh ayat lain, didukung oleh sebuah hadits, atau dijelaskan oleh prinsip atau tujuan umum dari penetapan syariah. Tujuan penetapan hukum dalam Alquran biasanya disebut sebagai maqashidus syariah; tujuan dari penetapan hukum oleh Allah. Tujuan syariah adalah lil mashlahatil ‘ammah (untuk kebaikan umum) sesuai yang dikehendaki Allah. (maqashidus syariah meliputi lima hal, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, harta dan keturunan).
Ketika ada seseorang yang mempunyai kualifikasi untuk menafsirkan Alquran, kemudian ia menulis sebuah kitab tafsir, siapa yang berhak memeriksa dan menetapkan bahwa kitab tafsirnya layak untuk diedarkan?
Apabila telah memenuhi prosedur yang tadi saya sebutkan, tentu ahli-ahli lain akan memberikan komentar, masukan, dan kritikan untuk perbaikan, menyetujui, atau memberikan koreksi.
Apakah penetapan layak tidaknya sebuah penafsiran ditentukan oleh sebuah lembaga atau oleh pribadi-pribadi?
Bisa lembaga, seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia) kalau di Indonesia atau lembaga-lembaga keagamaan lainnya yang berkompeten. Bisa juga individu yang dianggap lebih tahu dan lebih ahli dalam bidang itu.
Ada sekelompok orang yang melegitimasi tindak kekerasan yang dilakukannya dengan ayat-ayat Alquran yang diberi nama ayat-ayat saif (pedang). Bagaimana menafsirkan ayat-ayat saif ini dalam zaman sekarang?
Kita harus sadar, bahwa jihad dalam arti sempit bermakna perang. Tapi jihad dalam arti luas adalah bersungguh-sungguh menegakkan agama Allah. Jadi, jihad tidak selalu bermakna perang. Jihad juga bisa menggunakan pemikiran, pendidikan, politik, ekonomi dan lain sebagainya. Jihad tidak selalu bermakna memegang senjata.(CMM)
ANCAMAN TERHADAP PENAFSIRAN AL QUR'AN DENGAN PENDAPAT SENDIRI
Hadits 1:
At Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah, beliau bersabda, "Jagalah hadits dariku kecuali yang telah aku ajarkan. Siapa saja yang berdusta kepadaku secara sengaja maka hendaklah dia menempati tempat duduknya yang terbuat dari api neraka. Siapa saja yang menafsirkan Al Qur'an dengan menggunakan pendapatnya sendiri maka hendaknya dia menempati tempat duduknya yang terbuat dari api neraka" (HR. Ahmad dalam kitab musnadnya, At Tirmidzi, Ibnu Abi Syaibah).
Hadits 2:
Diriwayatkan pula dari Jundab, dia berkata, Rasulullah bersabda, "Siapa saja yang berbicara mengenai Al Qur'an dengan pendapatnya sendiri kemudian benar maka ia tetap dianggap salah" (HR Abu Dawud, HR At Tirmidzi)
Abu Bakar Muhammad bin Qasim bin Basyar bin Muhammad Al Anbari An-Nahwi Al-Lughawi dalam kitab Ar-Radd berkata,"Hadits Ibnu Abbas ditafsirkan dengan 2 penafsiran:
1. Siapa saja yang mengemukakan pendapat mengenai persoalan dalam Al Qur'an dengan pendapat yang bukan bersumber dari madzhab generasi pertama dari para sahabat dan tabi'in maka berarti dia akan menghadapi kemurkaan dari Allah. Jawaban yang ke dua yang merupakan pendapat yang paling benar maknanya adalah : siapa saja yang mengemukakan pendapat mengenai Al Qur'an, sedangkan dia sendiri sebenarnya mengetahui bahwa pendapat yang benar adalah pendapat yang lain, maka hendaknya dia mempersiapkan tempat duduknya dari api neraka."
Dia berkata pada hadits Jundab, "Sebagian ahlul 'ilmi menafsirkan hadits ini dengan mengatakan bahwasanya pendapat itu lebih cenderung mengikuti hawa nafsu. Maka siapa saja yang mengemukakan pendapat mengenai Al Qur'an dengan pendapat yang mengikuti hawa nafsunya dan tidak mengambilnya dari pendapat para pemimpin kaum salaf kemudian pendapatnya itu benar, maka sesungguhnya dia tetap salah. Karena dia telah memberikan hukum terhadap Al Quran dengan sesuatu yang dia sendiri tidak mengetahui sumbernya dan tidak bersandar pada madzhab-madzhab ahlul atsar dan menukil darinya.
Ibny Athiyyah berkata ,"ARtinya adalah bahwa seseorang bertanya mengenai suatu makna dalam Kitabullah kemudian dia mengemukakan pandangannya sendiri tanpa memperhatikan pendapat para ulama. Dia sendiri mengabaikan aturan-aturan disiplin ilmu, seperti ilmu Nahwu dan dasar-dasar agama. Pada hadits tersebut tidak berarti para ahli bahasa boleh menafsirkan bahasa Al Qur'an, ahli Nahwu menafsirkan dengan kemampuan Nahwunya, dan ahli fikih menafsirkan makna-maknanya hingga masing-masing darfi mereka berpendapat dengan ijtihadnya masing-masing, yang hanya bersandar pada aturan disiplin ilmu dan pendapat sendiri saja. Orang yang memberikan pendapat tidak boleh hanya berpendapat dengan pandangannya sendiri saja.
Saya (Al Qurthubi) katakan ,"Bahwa pendapat diatas adalah pendapat yang benar dan dipilih oleh lebih dari satu ulama. Orang-yang mengemukakan pendapat dari perkiraan dan apa yang terbertik dalam benaknya saja tanpa mengambil dalil dari ilmu ushul maka orang itu dinyatakan telah melakukan kesalahan. Sedangkan oran gyang menyimpulkan makna Al Qur'an dengan menyertakan dalil dari ilmu ushul yang telah disepakati maknyanya, maka orang itu dikatakan telah melakukan perbuatan yang terpuji"
Dikutip dari Tafsir Al Qurthubi
Terbitan Pustaka Azzam
Untuk memahami kandungan dan maksud-maksud ayat al-Quran, diperlukan penafsiran oleh orang yang memenuhi kualifikasi. Meski kualifikasi itu tidak mutlak, namun para ulama tafsir menetapkan syarat-syarat yang sangat ketat sehingga tidak semua orang dapat menafsirkan al-Quran. Perbedaan produk tafsir selain karena kompetensi, juga karena berbeda dalam menggunakan metode tafsir. Dalam menafsirkan suatu ayat, peran akal terbatas. Akal berfungsi mencari ayat lain atau hadits yang membicarakan suatu masalah. Berikut petikan wawancara Tim Reportase CMM bersama Dr. Isnawati Rais, dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mufasir dan masalah-masalah seputar penafsiran al-Quran:
Adakah syarat-syarat seseorang menjadi mufassir?
Pertama, kelayakan untuk menafsir yang meliputi: akidah yang kokoh, niat yang ikhlas, menguasai ilmu-ilmu Alquran, sunnnah Nabi, ilmu alat, seperti bahasa Arab dan ilmu yang terkait dengan ayat yang ditafsirkan, misalnya kalau menafsirkan ayat hukum harus ahli ilmu ushul fikih dan lain sebagainya. Kedua, prosedur penafsiran. Terlebih dahulu menafsirkan ayat dengan ayat dan menafsirkan ayat dengan hadits. Ketiga, larangan Nabi Muhammad menafsirkan ayat Alquran dengan akal. Nabi bersabda, man fassaral qur’an bi ra’yihi fal yatabawwa’ maq’adahu minan nar; barang siapa yang menafsirkan Alquran dengan semata-mata dengan akal (logika), dia akan mengambil tempatnya di neraka.
Kenapa tidak boleh menafsirkan Alquran dengan akal atau logika?
Karena kebesaran Allah dan kemahatahuan Allah tidak akan bisa dijangkau oleh semata akal manusia yang terbatas. Allah berfirman, “kalian tidak diberi ilmu pengetahuan kecuali sedikit” (QS al-Isra’ [17]: 85).
Lalu, apa peran akal dalam menafsirkan Alquran?
Akal berfungsi mencari ayat lain atau hadits yang lain yang membicarakan suatu masalah. Mencari ayat yang dijelaskan oleh ayat lain, didukung oleh sebuah hadits, atau dijelaskan oleh prinsip atau tujuan umum dari penetapan syariah. Tujuan penetapan hukum dalam Alquran biasanya disebut sebagai maqashidus syariah; tujuan dari penetapan hukum oleh Allah. Tujuan syariah adalah lil mashlahatil ‘ammah (untuk kebaikan umum) sesuai yang dikehendaki Allah. (maqashidus syariah meliputi lima hal, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, harta dan keturunan).
Ketika ada seseorang yang mempunyai kualifikasi untuk menafsirkan Alquran, kemudian ia menulis sebuah kitab tafsir, siapa yang berhak memeriksa dan menetapkan bahwa kitab tafsirnya layak untuk diedarkan?
Apabila telah memenuhi prosedur yang tadi saya sebutkan, tentu ahli-ahli lain akan memberikan komentar, masukan, dan kritikan untuk perbaikan, menyetujui, atau memberikan koreksi.
Apakah penetapan layak tidaknya sebuah penafsiran ditentukan oleh sebuah lembaga atau oleh pribadi-pribadi?
Bisa lembaga, seperti MUI (Majelis Ulama Indonesia) kalau di Indonesia atau lembaga-lembaga keagamaan lainnya yang berkompeten. Bisa juga individu yang dianggap lebih tahu dan lebih ahli dalam bidang itu.
Ada sekelompok orang yang melegitimasi tindak kekerasan yang dilakukannya dengan ayat-ayat Alquran yang diberi nama ayat-ayat saif (pedang). Bagaimana menafsirkan ayat-ayat saif ini dalam zaman sekarang?
Kita harus sadar, bahwa jihad dalam arti sempit bermakna perang. Tapi jihad dalam arti luas adalah bersungguh-sungguh menegakkan agama Allah. Jadi, jihad tidak selalu bermakna perang. Jihad juga bisa menggunakan pemikiran, pendidikan, politik, ekonomi dan lain sebagainya. Jihad tidak selalu bermakna memegang senjata.(CMM)
ANCAMAN TERHADAP PENAFSIRAN AL QUR'AN DENGAN PENDAPAT SENDIRI
Hadits 1:
At Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah, beliau bersabda, "Jagalah hadits dariku kecuali yang telah aku ajarkan. Siapa saja yang berdusta kepadaku secara sengaja maka hendaklah dia menempati tempat duduknya yang terbuat dari api neraka. Siapa saja yang menafsirkan Al Qur'an dengan menggunakan pendapatnya sendiri maka hendaknya dia menempati tempat duduknya yang terbuat dari api neraka" (HR. Ahmad dalam kitab musnadnya, At Tirmidzi, Ibnu Abi Syaibah).
Hadits 2:
Diriwayatkan pula dari Jundab, dia berkata, Rasulullah bersabda, "Siapa saja yang berbicara mengenai Al Qur'an dengan pendapatnya sendiri kemudian benar maka ia tetap dianggap salah" (HR Abu Dawud, HR At Tirmidzi)
Abu Bakar Muhammad bin Qasim bin Basyar bin Muhammad Al Anbari An-Nahwi Al-Lughawi dalam kitab Ar-Radd berkata,"Hadits Ibnu Abbas ditafsirkan dengan 2 penafsiran:
1. Siapa saja yang mengemukakan pendapat mengenai persoalan dalam Al Qur'an dengan pendapat yang bukan bersumber dari madzhab generasi pertama dari para sahabat dan tabi'in maka berarti dia akan menghadapi kemurkaan dari Allah. Jawaban yang ke dua yang merupakan pendapat yang paling benar maknanya adalah : siapa saja yang mengemukakan pendapat mengenai Al Qur'an, sedangkan dia sendiri sebenarnya mengetahui bahwa pendapat yang benar adalah pendapat yang lain, maka hendaknya dia mempersiapkan tempat duduknya dari api neraka."
Dia berkata pada hadits Jundab, "Sebagian ahlul 'ilmi menafsirkan hadits ini dengan mengatakan bahwasanya pendapat itu lebih cenderung mengikuti hawa nafsu. Maka siapa saja yang mengemukakan pendapat mengenai Al Qur'an dengan pendapat yang mengikuti hawa nafsunya dan tidak mengambilnya dari pendapat para pemimpin kaum salaf kemudian pendapatnya itu benar, maka sesungguhnya dia tetap salah. Karena dia telah memberikan hukum terhadap Al Quran dengan sesuatu yang dia sendiri tidak mengetahui sumbernya dan tidak bersandar pada madzhab-madzhab ahlul atsar dan menukil darinya.
Ibny Athiyyah berkata ,"ARtinya adalah bahwa seseorang bertanya mengenai suatu makna dalam Kitabullah kemudian dia mengemukakan pandangannya sendiri tanpa memperhatikan pendapat para ulama. Dia sendiri mengabaikan aturan-aturan disiplin ilmu, seperti ilmu Nahwu dan dasar-dasar agama. Pada hadits tersebut tidak berarti para ahli bahasa boleh menafsirkan bahasa Al Qur'an, ahli Nahwu menafsirkan dengan kemampuan Nahwunya, dan ahli fikih menafsirkan makna-maknanya hingga masing-masing darfi mereka berpendapat dengan ijtihadnya masing-masing, yang hanya bersandar pada aturan disiplin ilmu dan pendapat sendiri saja. Orang yang memberikan pendapat tidak boleh hanya berpendapat dengan pandangannya sendiri saja.
Saya (Al Qurthubi) katakan ,"Bahwa pendapat diatas adalah pendapat yang benar dan dipilih oleh lebih dari satu ulama. Orang-yang mengemukakan pendapat dari perkiraan dan apa yang terbertik dalam benaknya saja tanpa mengambil dalil dari ilmu ushul maka orang itu dinyatakan telah melakukan kesalahan. Sedangkan oran gyang menyimpulkan makna Al Qur'an dengan menyertakan dalil dari ilmu ushul yang telah disepakati maknyanya, maka orang itu dikatakan telah melakukan perbuatan yang terpuji"
Dikutip dari Tafsir Al Qurthubi
Terbitan Pustaka Azzam
Tafsir surah al baqarah ayat 8 dan 9 tentang Sifat Orang Munafik
“Diantara manusia ada yang mengatakan, “Kami beriman kepada Allah dan hari Akhir,” padahal mereka itu bukan orang-orang yang beriman (QS 2:8) Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu diri sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya (QS 2:9)
Ayat diatas membahas tentang orang orang munafik, sifat orang munafik, neraka orang munafik dan bagaimana kita menghindar dari orang munafik, bahwa orang munafik sesungguhnya tidak dapat menipu Allah, mereka menyangka telah menipu Allah, padahal mereka menipu diri mereka sendiri, dan lain-lain berkaitan dengan munafik.
Untuk lebih jelasnya berikut ringkasan penjelasan dari beberapa muffassirin.
Ringkasan Tafsir Al Qurthubi.
Ayat 8.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Mujahid, dia berkata, “Empat ayat dari surah Al Baqarah turun kepada orang-orang yang beriman, dua ayat tentang sifat orang-orang kafir, dan tiga belas pada orang-orang munafik”
Ulama kita –semoga Allah merahmati mereka- berkata,
“Orang yang beriman itu ada dua : orang yang beriman yang dicintai Allah juga dibimbing-Nya, dan orang yang beriman yang tidak dicintai Allah juga tidak dibimbing-Nya, justru dibenci dan dimusuhi-Nya. Setiap orang yang Allah ketahui bahwa dia memilih keimanan maka Allah mencintai, membimbing dan meridhainya, dan setiap orang yang Allah ketahui bahwa dia memilih kekufuran maka Allah benci, murka dan memusuhinya. Bukan karena keimanannya, akan tetapi karena kekufuran dan kesesatan yang dipilihnya.
Orang kafir pun ada dua : orang kafir yang pasti disiksa, dan orang kafir yang tidak disiksa. Orang kafir yang disiksa adalah orang yang menetapi kekufuran. Oleh karena itulah Allah murka dan memusuhinya. Sedangkan orang kafir yang tidak disiksa adalah orang yang memilih keimanan. Allah tidak murka terhadap orang ini, bahkan Dia cinta dan akan membimbingnya. Bukan karena kekufurannya, akan tetapi karena keimanan yang dipilihnya.
Berdasarkan hal diatas maka tidak boleh mengatakan perkataan berikut :
Orang yang beriman pasti mendapatkan pahala dan orang kafir pasti mendapatkan siksa. Akan tetapi wajib mengiringi perkataan itu dengan, “Jika dia memilih dan menetapinya.” Karena itu kami pun berkata, “Sesungguhnya Allah ridha kepada Umar ketika dia masih menyembah berhala dan dia ingin mendapatkan pahala juga untuk masuk surga. Bukan karena penyembahannya kepada berhala, akan tetapi karena keimanan yang dipilihnya. Sebaliknya, Allah murka kepada Iblis ketika dia menyembah Nya, karena kekufuran yang dipilihnya.
Bukti kebenaran pendapat ini adalah kesepakatan umat bahwa Allah tidak senang kepada orang yang Dia ketahui termasuk ahli neraka, bahkan Dia murka terhadapnya, dan dia dengan kepada orang yang Dia ketahui termasuk ahli surga.
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya seluruh amal itu tergantung pada akhirnya” (HR Bukhari).
Imam Qurthubi berkata, “Hal ini sama seperti yang termaktub dalam Shahih Muslim dan lainnya dari Abdullah bin Mas’ud RA, dia berkata,
“Sesungguhnya salah seorang dari kalian diawali penciptaannya di dalam rahim ibunya selama empat puluh hari. Kemudian selama itu jug amenjadi segumpal darah. Kemudian selama itu juga menjadi segumpal daging. Kemudian Allah mengirim seorang malaikat, lalu malaikat itu meniupkan ruh padanya. Malaikat itu juga diperintahkan dengan empat kalimat, yakni menetapkan rezeki, ajal dan amalnya, serta celaka atau bahagia. Demi Dzat yang tidak ada tuhan melainkan Dia, sesungguhnya salah seorang dari kalian beramal dengan amal ahli surga hinggga tidak ada jarak antaranya dan surga kecuali satu hasta, namun ketentuan telah mendahuluinya, maka diapun beramal dengan amal ahli neraka, lalu diapun masuk ke dalam neraka. Sesungguhnya salah seorang dari kalian beramal dengan amal ahli neraka hingga tidak ada jarak antaranya dan neraka kecuali satu hasta, namun ketentuan telah mendahuluinya, maka diapun beramal dengan amal ahli surga, lalu diapun masuk ke dalam surga” (HR Muslim)
Para ulama bahasa berkata, “Orang munafik disebut munaafiq, karena menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang ada dalam hatinya. Sama seperti rayap yang merusak bagian dalam kayu. Bagian luarnya bagus, padahal bagian dalamnya kosong melompong. Begitulah orang munafik, luarnya iman namun batinnya kufur.
Ayat 9
“Mereka hendak menipu Allah” artinya mereka merusak iman dan amal mereka dengan riya. Seperti inilah salah satu tafsir ayat diatas dari nabi. “Mereka bermaksud riya dihadapan manusia” (QS An Nisaa 4:142)
Firman Allah SWT “Padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri” maksudnya tidaklah menimpa akibat penipuan itu kecuali pada mereka sendiri. Kata mutiara Arab mengatakan, “Barangsiapa menipu orang yang tidak pernah menipu maka sebenarnya dia menipu dirinya sendiri”.
Firman Allah SWT, “sedang mereka tidak sadar” maksudnya, mereka tidak menyadari bahwa akibat tipuan mereka kembali kepada diri mereka sendiri.
Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir.
Makna NIFAQ (Kemunafikan)
Nifaq adalah menampakkan kebaikan dan menyembunyikan keburukan.
Nifaq ada beberapa macam.
Pertama, nifaq I’tiqadi (dalam keyakinan), yang menjadikan pelakunya kekal di Neraka.
Kedua, nifaq ‘amali (berupa perbuatan) yang merupakan salah satu dosa besar, sebagaimana akan dirinci pada pembahasan khusus insya Allah.
Ibnu Juraij berpendapat bahwa orang munafik itu senantiasa bertentangan antara ucapan dan perbuatannya, antara yang tersembunyi dan yang nyata, serta antara zhahir dan yang bathin. (Tafsir Ath Thabari)
Ayat 8.
Firman Allah, “Diantara manusia ada yang mengatakan: ‘Kami beriman kepada Allah dan hari Akhir’ padahal mereka itu bukan orang-orang yang beriman”. Allah SWT mengingatkan sifat-sifat orang-orang munafik agar kaum mukminin tidak terpedaya oleh penampilan mereka, karena kelengahan dalam hal ini akan mendatangkan bahaya yang besar, jika tidak berhati-hati terhadap mereka. Jangan sampai kaum mukminin beri’tiqad bahwa orang-orang munafik itu beriman, padahal sebenarnya mereka kafir. Mereka mengucapkan pengakuan itu tanpa bukti yang nyata, sebagaimana firman Nya: “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, seraya berkata, ‘Kami mengakui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah. ‘ Maka Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya” (QS Al Munafiquun:1)
Firman Allah “Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman” dengan menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekufuran, hal ini terjadi karena kebodohan mereka. Mereka menyangka Pertama, telah menipu Allah dengan ucapan itu. Kedua, mengira bahwa ucapan itu bermanfaat di sisi Allah. Ketiga, menganggap bahwa perkataan mereka itu akan laris diterima, sebagaimana pernyataan mereka itu sempat diterima oleh sebagian kaum muslimin.
Ayat 9
FIrman Allah, “Ingatlah hari ketiak mereka semua dibangkitkan oleh Allah, lalu mereka bersumpah kepada-Nya (bahwa mereka bukan orang-orang musyrik) sebagaimana mereka bersumpah kepadamu; dan mereka menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan memperoleh suatu (manfaat). Ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka adalah para pendusta (QS Al-Mujaadilah: 18)
Tiga sangkaan itu dibalas oleh Allah SWT dengan firman Nya, “Padahal mereka hanya menipu dir sendiri sedang mereka tidak menyadarinya: (QS Al Baqarah:9).
Dengan tindakan itu mereka hanya menipu diri mereka sendiri karena mereka tidak menyadarinya sebagaiman firmanNya: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka” (QS An-Nissa:142)
Tentang ayat 8 dan 9 ini Sa’id telah meriwayatkan dari Qatadah bahwa sebagian dari sifat-sifat orang munafik yang sangat banyak adalah ahlaknya tercela, membenarkan dengan lisan tetapi mengingkarinya dengan hati serta bertentangan dengan perbuatan. Pada pagi hari ia berada dalam suatu keadaan tetapi disore hari ia berada dalam keadaan lain. Sore hari dalam suatu keadaan dan pada pagi harinya pun berubah, seperti bergoyangnya kapal yang ditiup angina, kemana angina bertiup ke situlah ia mengarah.
Tafsir Fathul Qadir
Ayat 8 dan 9
Diawal surah ini Allah SWT menyebutkan tentang orang-orang beriman yang murni, kemudian setelah mereka, Allah menyebutkan tentang orang-orang kafir murni, kemudian kelompok ketiga Allah menyebutkan tentang orang-orang munaifk, yaitu mereka tidak termasuk kedua golongan tadi, tapi mereka menjadi golongan yang ketiga, karena secara lahir mereka adalah golongan yang pertama (orang-orang beriman), sedangkan secara batin mereka adalah golongan yang kedua (orang-orang kafir), dan karena itu mereka menjadi penghuni neraka yang paling bawah.
Firman Allah, “padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri” maksudnya adalah pemberitahuan bahwa ketika mereka menipu Dzat yang tidak dapat ditipu, sebenarnya mereka itu sedang menipu diri mereka sendiri.
Yang dimaksud dengan ‘menipu diri mereka sendiri’ adalah bahwa mereka dibuai oleh angan-angan batil, sehingga begitulah angan-angan itu membuai mereka.
Tafsir As Sa'di.
Ayat 8 dan 9.
Kenifakan (kemunafikan) ada 2, yaitu kenifakkan i'tiqad dan kenifakan perbuatan. Kenifakan i'tiqad telah dijelaskan diatas pada penjelasan sebelumnya (tafsir Ibnu Katsir), adapun kenifakan perbuatan seperti yang disebut oleh Nabi SAW dalam sabdanya.."Tanda-tanda munafiq itu ada 3, apabila berbicara dia berdusta, bila berjanji dia mengingkarinya, dan bila diberikan amanat dia berkhianat" (HR Bukhari, Muslim).
Wallahua'lam
Langganan:
Postingan (Atom)