Kamis, 27 Oktober 2011

Dalil larangan Mencela Orang Tua maupun Mencela / Menghina Sembahan-sembahan orang lain (Non Muslim)


Dan Abdillah bin Amru bin Al Ash RA, dia berkata: bahwa Rasulullah SAW bersabda,

"Diantara dosa-dosa besar yaitu, seorang mencela kedua orang tuanya." Ditanyakan pada beliau, "Mungkinkah seorang itu mencela kedua orang tuanya sendiri?." Rasulullah SAW bersabda, " Ya, tatkala seseorang mencela ayah orang lain, berarti ia mencela ayahnya sendiri demikian jika ia mencela ibu orang lain, berarti ia mencela ibunya sendiri." (Muttafaq 'Alaih)

Hal-Hal Penting dan Hadits

1. Salah satu dari hak-hak kita kepada kedua orang tua dan kewajiban kita adalah untuk berbuat baik kepada keduanya, sebagaimana telah diketahui pula bahwa diantara dosa-dosa besar yaitu salah satunya adalah durhaka kepada kedua orang tua. Allah Ta'ala berfirman, "Dan janganlah engkau berkata “ahh” kepada keduanya dan jangan pula kalian menghardik keduanya." (Qs. Al Israa' 17: 23)

2. Tatkala Rasulullah SAW bersabda, "Diantara dosa-dosa besar yaitu seorang mencela kedua orang tuanya," para sahabat pun lantas merasa heran terhadap hal itu, hingga mereka bertanya kepada Rasulullah SAW: mungkinkah seseorang mencela kedua orang tuanya sendiri? Maka Nabi SAW pun menjelaskan, bahwa seorang dapat dikatakan mencela kedua orang tuanya jika ia menjadi sebab akan hal itu, yaitu tatkala ia mencela ayah seseorang, maka orang itu membalas celaannya itu dengan mencela ayahnya.

3. Dengan demikian, meskipun ia tidak secara langsung mencela ayahnya tetapi ia telah menjadi sebab akan hal tersebut. Disebutkan dalam sebuah kaidah syar'iyyah "Sesungguhnya sarana itu mempunyai hukum-hukum yang sama dengan tujuan."


4. Wajib bagi seseorang untuk menahan diri agar tidak mencela manusia dan mencela ayah-ayah mereka, karena yang demikian itu merupakan perkataan-perkataan yang wajib untuk dijauhi lagi diharamkan dan karena yang demikian itu juga merupakan sebab manusia mencelanya dan mencela ayahnya.

5. Hadits ini juga menjelaskan tentang hukum orang-orang yang menjadi sebab terjadinya sebuah peristiwa, bahwa ia akan dihukumi sama dengan orang-orang yang melakukan langsung perbuatan tersebut. Jika baik perbuatan itu, maka baik pula balasannya dan jika buruk maka buruk pulalah balasannya.

6. Ibnu Batthal berkata: Hadits ini adalah merupakan asal dari sebuah kaidah yang sangat mulia, yaitu kaidah "saddu adz-dzari’ah" (menutup jalan yang menghantarkan pada kerusakan) yang mana dari kaidah ini disimpulkan bahwa suatu perkara jika akan diakhiri dengan sesuatu yang diharamkan, maka perbuatan itu pun akan diharamkan meskipun sang pelaku itu tidak memaksudkan sesuatu yang haram.

7. Dan hal ini di tunjukkan dengan firman-Nya, "Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan." (Qs. Al An'aam 61: 108).

8. Syaikh Abdurrahman As-Sa'di menafsirkan ayat ini: Allah Ta'ala telah melarang kaum mukmin akan perkara yang pada dasarnya adalah boleh bahkan di syari'atkan, yaitu mencela sembahan-sembahan kaum musyrikin. Tetapi tatkala hal itu akan menyebabkan dicelanya Rabb semesta alam, maka Allah pun melarang hal tersebut. Karena maka ayat ini merupakan dalil akan kaidah syar'iyyah, "sesungguhnya sarana itu mempunyai hukum-hukum yang sama dengan tujuan, jika sarana itu menghantarkan pada suatu yang diharamkan, maka sarana tersebut pun diharamkan meskipun pada asalnya ia adalah sesuatu yang boleh.

9. Adapun sarana yang dicantumkan pada hadits ini, maka ia adalah merupakan sarana yang diharamkan. Dan begitu pula maksud / tujuan dari hal itu, juga merupakan sesuatu yang diharamkan.

Diambil dari Kitab Syarah Bulughul Maram.

Wallahua’alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar