Assalamu’alaikum warrohmatullohi wabarokaatuh
Banyaknya pendapat-pendapat para ulama terkait perbedaan
status hukum suatu mu’amallah hingga ibadah sunnah semua terkait dengan
perbedaan cara pandang dan mengistimbath suatu hukum yang ada di Al Quran
maupun Hadits.
Hal ini sesungguhnya sudah ada sejak jaman dahulu, dimulai
sejak jaman tabi’in hingga para imam madzhab dan sampai sekarang.
Untuk mengetahui, mengapa terjadi perbedaan pendapat
tersebut, berikut ada tulisan ringkas, hasil rangkuman dari buku Tarikh Tasyri
yang artinya secara singkat adalah Sejarah Penentuan Hukum Syariat yang diambil
dari buku “Ikhtisar Tarikh Tasyri” karangan Dr H Abdul Majid Khon, M. Ag.
Semoga bermanfaat.
PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA PADA SEBAGIAN SUMBER HUKUM
Secara umum, sumber hukum Islam ada yang disepakati
(muttafaq ‘alaih atau mujma’ `alaih) dan ada yang diperselisihkan (mukhtalaf
fih). Sumber hukum yang disepakati adalah Al Quran dan Hadits. Sedangkan sumber
hukum yang diperselisihkan adalah ijma’, qiyas, istihsan, mashalih mursalah,
istishhab, ‘urf, dan sya’u man qablana..
Berikut akan diuraikan mengenai sumber hukum secara satu
persatu secara ringkas..
1. Al Quran.
Al Quran adalah wahyu dari Allah, tidak ada perselisihan di
kalangan ulama tentang eksistensinya sebagai sumber hukum Islam karena
petunjuknya bersifat tegas.
2. Sunnah
Sunnah yang dimaksud dalam hal ini adalah hadits.
3. Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid setelah wafatnya Nabi
SAW mengenai hukum suatu peristiwa.
4. Qiyas.
Qiyas adalah menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada teksnya
di dalam Al Quran dan hadits, tetapi mempunyai alas an (‘illat) yang sama.
Dengan kata lain, membandingkan hukum suatu peristiwa yang belum ada ketentuan
hukumnya dengan peristiwa lain yang sudah ada ketentuan hukumnya atas dasar
persamaan ‘illat. Misalnya : Minuman keras seperti, tuak, dan bir diqiyaskan
dengan khamar karena memiliki ‘illat yang sama, yaitu memabukkan. Contoh lain
adalah Haramnya memukul orang tua diqiyaskan dengan larangan berkata ah,
sebagaimana disebutkan dalam QS Al Isra’(17);23.
5. Istihsan
Istihsan artinya memandang lebih baik. Istihsan menentukan
hukum bukan berdasarkan qiyas yang jelas melainkan berdasarkan qiyas yang tidak
jelas, karena maslahat menghendaki demikian. Misalnya air bekas minuman harimau
itu najis. Akan tetapi, bekas minuman burung elang itu tidak najis.
Perbedaannya, harimau minum dengan lidahnya, sementara burung elang dengan
paruhnya.
6. Mashalih
Mursalah.
Mashalih mursalah ialah maslahat yang tidak disebut dalam
hukum. Hukum ditetapkan untuk keselamatan umum dan akan mengalami perubahan
sesuai dengan berkembangnya zaman. Misalnya, hadirnya surat nikah atau surat
cerai’ penumpasan orang-orang yang tidak mau membayar zakat pada masa Abu
Bakar’ penjatuhan hukuman penjara kepada pencuri yang kelaparan, bukan hukuman
potong tangan pada masa Umar bin Al Khaththab.
7. ‘Urf
‘Urf artinya adat atau tradisi masyarakat setempat yang
tidak bertentangan dengan Al Quran dan Hadits. Imam Malik banyak memakai ‘urf
Madinah sebagai sumber hukum. Demikian juga Imam al Syafi’I, Fatwanya di Irak
(Qaul Qadim) berbeda dengan fatwanya di Mesir (Qaul Jadid)
Beberapa contoh ‘urf antara lain membayar makanan atau
minuman setelah habis disantap, membayar taksi setelah sampai tujuan, serta
bolehnya transaksi jual-beli buah-buahan ketika sudah mulai tampak matan di
pohon. (Wahbah Al Zuhaili, Al WQajiz fi Ushul Al Fiqh, hal 99-100)
8. Istishhab
Istishhab artinya berpegang pada hukum semula selama tidak
timbul perubahan. Segala sesuatu di ala
mini memiliki hukum ibahah (boleh) selama tidak ada dalil Al Quran, hadits atau
dalil lain yang membatalkannya. Contoh-contoh lain seperti berikut ini.
a. Orang yang
yakin punya air qudhu, tetapi ragu sudah berhadas atau belum; dianggap suci
menurut jumhur, selain Malikiyyah.
b. Orang yang
meragukan benda suci yang dapat mengubah air, baik itu sedikit maupun banyak,
air tersebut tetap suci. (Wahbah Al Zuhaili, Al WQajiz fi Ushul Al Fiqh, hal
116-117)
9. Syar’u man
Qablana.
Syar’u man Qablana artinya syariat sebelum Nabi Muhammad SAW.
Hukum untuk ahli kitab ini tetap berlaku asalkan tidak bertentangan dengan
hukum Islam.
Sementara itu, sebab-sebab perbedaan pendapat pada sumber
hukum adalah sebagai berikut.
Berikut adalah factor-faktor penyebab terjadinya perbedaan
pendapat pada sumber hukum.
1. Perbedaan
Menilai shahih.
Keshahihan suatu hadits kadang-kadang diperdebatkan ulama.
Ada ulama yang menerima keshahihan suatu hadits, dan ada pula yang menlolaknya.
2. Perbedaan
dalam memahami nash
Dalam suatu nash, baik Al Quran maupun hadits, kadang-kadang
terdapat kata yang mengandung makna ganda (musytarak) dan majasi (metafora),
sehingga arti yang terkandung didalamnya tidak jelas. Misalnya kata quru’ dalam
QS Al Baqarah (2);228 yang mempunyai 2 arti, yaitu masa suci dan masa haid.
3. Perbedaan
dalam menggabungkan dan mengunggulkan nash-nash yang saling bertentangan.
Untuk memutuskan nash tsb, ulama biasanya memilih nash yang
lebih kuat atau mencari titik temu diantara nash-nash tersebut. Dalam mengambil
keputusan dan mencari titik temu inilah biasanya ulama berbeda pendapat.
4. Perbedaan
dalam kaidah-kaidah ushul sebagai sumber istinbath.
Dalam memilih suatu hadits atau mencari suatu dalil, para
mujtaqhid mempunyai cara pandang dan metode yang berbeda-beda. Ada mujtahid
yang mengambil perkataan sahabat dalam memecahkan masalah, tetapi ada pula mujtahid yang menolaknya. Begitu
pula dengan amaliah penduduk Madinah, ada mujtahid yang menjadikannya sebagai
hujjah dan ada pula yang menolaknya.
5. Perbedaan
dalam perbendaharaan hadits.
Para sahabat memiliki perbendaharaan hadits yang
berbeda-beda, karena mereka tidak mungkin selalu bersama Nabi. Hal ini
menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat dalam mengambil kesimpulan suatu
hukum.
6. Perselisihan
tentang ‘illat suatu hukum.
Perselisihan tentan ‘illat ini juga merupakan salah satu
sebab perbedaan pendapat dalam fiqh. Sebagai contoh, dalam Islam kita
diperintahkan untuk berdiri jika bertemu dengan usungan jenazah. Para
mujtahid berbeda pendapat tentang siapa
jenasazah itu’ orang Islam, orang kafir, atau kedua-duanya. Sebagian besar
mujtahid berpendapat bahwa yang dimaksudkan adalah kedua-duanya. Akan tetapi
ada yang berpendapat bahwa perintah untuk berdiri itu hanya terhadap jenazah
orang kafir. Karena dalam sebuah hadits diterangkan bahwa pada suatu hari,
ketika sedang berjalan, Rasulullah SAW bertemu dengan jenazah orang Yahudi. Beliau
lalu berhenti dan berdiri.
Selanjutnya, ulama Madzhab berbeda-beda dalam menentukan
sumber hukum Islam.
1. Abu Hanifah :
Al Quran, Sunnah, ijma’ qiyas dan istihsan.
2. Malik : Al
Quran, sunnah, ijma, amaliah ahli Madinah, dan mashalih mursalah.
3. Al Syafi’I ;
Al Quran, sunnah, ijma’, qiyas, dan istidlal (kesimpulan/pendapat sahabat)
4. Ahmad bin
Hambal; Al Quran, Sunnahy, ijma’, qiyas, dan fatwa sahabat.
Ada 3 hal yang mendasari perbedaan pendapat di kalangan
ulama mujtahidin, yaitu dasar-dasar tasyri’, kecenderungan ber istinbath dan
prinsip bahasa.
1. Dasar-dasar
tasyri’. Hanafi dan ashab[nya berhujjah dengan hadits mutawatir dan masyhur
saja. Ia juga menarjih hadits dari fuqaha yang terpercaya. Ulama lain berhujjah
dengan hadits dari perawi yang adil dan terpercaya baik, dari kalangan fuqaha
atau bukan, baik sesuai dengan amalan ahli Madinah maupun tidak. Pengaruhnya
dalam tasyri’ menimbulkan perbedaan dalam menerima atau menolak suatu hadits
serta perbedaan dalam memandang hadits yang unggul dan yang lemah.
2. Kecenderungan
ber istinbath. Ahli hadits membatasi ra’yu, sedangkan ahli ra’yu tidak
membatasinya. Berikut ini letak perbedaan ulama dalam beristinbath.
a. Imam Malik
mengambil fatwa yang dipandang kuat, tidak terpaku pada fatwa satu orang saja
dan tidak mau menyalahi fatwa
b. Imam Al
Syafi’I terkadang mengambil salah satu fatwa sahabat, tetapi terkadang berfatwa
menyalahi fatwa sahabat, karena menurutnya sahabat itu tidak maksum.
c. Golongan
Syiah dan Zhahiriyyah menolak qiyas, sedangkan jumhur ulama menerimanya.
3. Perbedaan
dalam bahasa. Sebagian ulama menetapkan hukum pada manthuq-nya (pemahaman
tersurat) dan sebagian lagi pada mafhumnya (pemahaman tersirat). Sebagian ulama
lagi menetapkan hukum pada lafal umum yang ditakhsis atau pada hal mutlak yang
dikaitkan dengna muqayyad. Al Syafi’I menjelaskan bahwa makna perintah dalam Al
Quran dan hadits ada yang bermakna boleh, petunjuk, wajib serta larangan.
Demikian ringkasan dari sebab-sebab terjadinya perbedaan
pendapat ulama pada sebagian sumber hukum. Bila kita telah mengetahuinya, ada
baiknya kita tidak mudah “menyalahkan orang lain” yang berbeda dalam memandang
suatu masalah, ataupun berbeda pendapat dengan kita. Perbedaan pendapat dalam
masalah-masalah fiqh harus disikapi dengna arif dan bijaksana. Kita tidak boleh
apriori dengan langsung menyalahkan satu pendapat dan membenarkan pendapat
lainnya. Sikap Apriori yang semacam ini dapat memicu terjadinya perpecahan di
kalangan umat. Masalah yang biasanya menimbulkan perbedaan pendapat dalam fiqh
adalah masalah-masalah furu’ (cabang), bukan masalah pokok. Oleh karena itu
mempertajam perbedaan pendapat dalam masalah cabang ini hanyalah membuang-buang
waktu dan energy.
Untuk lebih detail penjelasan tentang permasalahan timbulnya
perbedaan pendapat ini bisa merujuk pada buku Ikhtisar Tarikh Tasyri, yang
ditulis oleh Dr H Abdul Majid Khon M.Ag.
Wallahua’lam bishowab.
Enif